Read More >>"> Mawar Merah
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mawar Merah
MENU 0
About Us  

            Malam yang datang dengan segala keheningan, kegelapan yang menghadirkan nuansa tidak biasa yang dirasakan. Aini, sosok gadis muda dengan perawakan tinggi, berkulit putih dan memiliki kelembutan hati seperti seorang Ibu. Maka, tidak heran jika pemuda yang ada di kampungnya sangat banyak yang menginginkan dirinya bersanding dengannya.

            Malam itu Aini ditemani oleh Bagas, Adiknya, melangkah bersama untuk kembali menuju rumah setelah menghabiskan dua jam sehabis solat isya dengan mengikuti kajian agama di masjid yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Mungkin jarak yang lumayan ini, bagi Aini sudah menjadi suatu kebiasaan yang sering ia lakukan disetiap harinya, yang juga mengajar disebuah taman kanak-kanak yang berada disamping masjid. Akan tetapi, hal itu biasa dilakukan pagi sampai menjelang siang hari dan belum pernah ia lakukan di malam hari. Hal itu yang menyebabkan ia sedikit merasakan hal-hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Matanya terus menatap ke segala penjuru arah, tangannya berpegangan erat dengan lengan Bagas.

            “Kakak pegangannya kuatnya banget kayak mau nyebrang aja!” gurau Bagas. Ditengah situasi malam yang gelap dan sepi seperti ini, Bagas terlihat santai dan masih bisa bercanda dengan leluasa. Sedangkan bagi Aini momen seperti ini sudah sangat tidak pantas untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa mengundang tawa jika momennya tepat. Hanya ada satu keinginan Aini saat ini, yaitu ia ingin segera sampai di rumah dan segera masuk ke dalam kamar, lalu mengunci kamarnya serta berlindung dibalik selimut.

            “Kak, kok lampunya begitu ya?” Bagas menghentikan langkahnya sembari mengamati sebuah lampu disudut jalan yang berkedip-kedip sendiri. Aini yang dirundung rasa gelisah, cemas, akibat rasa takut yang ia rasakan. Dengan sigap selalu menoleh ke arah kanan dan kirinya.

            “Putus kali! Udah ah nggak usah ngurusin begituan, udah malem tau, Gas.” Aini menarik tangan Bagas berharap agar tubuh Adiknya itu terbawa oleh genggaman tangannya. “Sebentar, Kak.” Bagas justru menahan dengan kuat genggaman tangan Kakaknya dan akhirnya tubuh Aini yang justru tertarik oleh tangan Bagas.

            Lampu itu kini tidak berkedip lagi, kembali normal dan terus menerus memancarkan cahaya yang menerangi jalan disekitar. “Apa mungkin tadi koslet kali ya, Kak?” tanya Bagas yang masih terlihat bingung.

            “Iya koslet kali, Gas. Makanya udah yuk pulang nanti Ibu sama Ayah nyariin.” Aini dengan rasa dihati yang semakin tidak enak berusaha membujuk Adiknya agar segera pulang dan tidak melakukan hal-hal yang macam-macam.

            Bagas mengangguk dan membalikan tubuhnya. Keduanya mulai melangkah, baru dua langkah dan lampu itu kembali berkedip-kedip dengan sendirinya, terus berulang seperti semula. Keduanya menyadari dan menghentikan langkahnya, lalu membalikan tubuhnya.

            “Jangan-jangan...” Aini memasang wajah panik. Wajahnya memerah dan terlihat banyak keringat yang keluar. “Ada hantunya, Kak. Kabur...” Bagas berseru sembari melangkah dengan cepat meninggalkan Aini yang tertinggal cukup jauh. Aini semakin dihantui rasa takut yang begitu besar. Setiap langkahnya coba ia panjangkan agar bisa menyusul langkah Bagas yang begitu cepat.

            Setelah berjarak kurang lebih seratus meter, disaat sudah banyak rumah warga yang masih terang dan ada beberapa Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang masih mengobrol diteras rumah, Aini melambatkan langkahnya, berjalan seperti biasanya, agar tidak ada yang mencurigai gelagat rasa ketakutan yang ia sedang ia rasakan.

            “Permisi, Bu!” nada suara Aini tidak baik akibat nafasnya yang tersengal-sengal. Beberapa warga tersenyum. “Eh, Aini. Pulang ngaji, Neng?” tanya seorang Ibu yang sedari tadi asyik menatap ke langit dan baru sadar saat Aini sudah maju dua langkah dari tubuhnya berada.

            “Iya, Bu,” jawabnya singkat. Berusaha menyembunyikan nafasnya yang masih tidak normal.

            “Lah kok keringetan sama nafasnya begitu banget kayak habis lari maraton aja?” tanyanya lagi kali ini dengan sedikit candaan, mungkin ada rasa curiga juga mengapa Aini begitu berkeringat.

            “Lah si Aini disini. Kok nggak bareng Bagas?” seorang pria menepuk bahu Aini dari belakang, sedikit membuat tubuhnya bergetar akibat rasa kejut yang ia rasakan. Suasana seperti ini sangat mudah membuat dirinya menjadi gampang terkejut.

            “Emang Bagas dimana, Bang Ramlan?” tanya Aini dengan tatapan mata yang tidak biasa. Pria itu adalah satu-satunya pria yang sangat bersikap dingin terhadapnya, tidak berlebihan seperti yang dilakukan oleh pemuda lainnya yang ada di kampungnya.

            “Itu di warung. Lagi minum es sama teman-temannya sekalian cerita tentang kejadian barusan. Yang saya denger si dia cerita tentang Kakaknya yang ketakutan saat lewat jalan gelap. Emang bener, Ni?” Ramlan sedikit menampilkan tawa kecil, merasa ragu dengan ucapan Adiknya Aini.

            Dalam hati kecil Aini ada perasaan malu jika ia harus mengakui kejadian yang sebenarnya. “Ah itu mah bercandaannya si Bagas aja, Bang. Dia mah anak nakal yang suka cerita aneh-aneh. Tujuannya cuma satu paling ujung-ujungnya minta uang buat jajan.” Dengan wajah penuh percaya diri Aini mencoba berbicara dengan penuh ketegasan agar tidak terlihat bahwa ia sedang berbohong.

            Ramlan mengangguk dan kemudian pamit. Aini melangkah menuju warung dimana Adiknya bermain bersama teman-temannya. Dalam hati kecilnya, Adiknya itu benar-benar sudah membuat dirinya malu, terlebih yang berbicara adalah seorang pria yang benar-benar menjadi rebutan pada pemudi yang ada di kampungnya. Setelah melangkah beberapa ratus meter, sayangnya tidak ada anak-anak satu pun yang bermain di depan warung yang ditunjukan oleh Ramlan. Hanya ada seorang pria tua yang tengah menutup warungnya karena sudah terlalu malam.

            Detik demi detik yang berlalu, kini jam sudah menunjukan pukul sepuluh tepat. Aini memutuskan untuk segera pulang, sebab beberapa lampu di rumah tetangga juga sudah dipadamkan, tanda orang-orang yang ada didalamnya sudah tertidur lelap.

            “Assalamualaikum!” dengan wajah cemberut Aini masuk dan langsung duduk di kursi tepat dihadapan Ayahnya.

            “Waalaikumsalam. Eh kenapa wajahmu itu?” tanya Ayahnya sedikit terkejut melihat ekspresi wajah anaknya yang sangat tidak enak untuk dipandang. Aini tidak menjawab dan hanya diam membisu.

            “Kenapa kamu baru pulang, Kak? Bagas saja sudah dari tadi pulang. Ini pasti kamu main dulu kan,” tebak Ibunya yang datang dari dapur membawa segelas teh hangat yang langsung diletakan  di meja tepat dihadapan sang suami.

            Belum genap lima detik berada di atas meja. Dengan cepat dan tanpa basa-basi, Aini langsung mengambil segelas teh itu dan menyeruputnya.

            “Ah, panas...” Aini kembali meletakan gelas berisi teh itu dan berulang kali mengeluarkan lidahnya yang kepanasan. Kedua orang tuanya tertawa geli, mungkin inilah hiburan terbaik yang bisa mereka dapatkan. Dari hal-hal kecil, penuh kekonyolan yang mengundang gelak tawa.

            “Makanya tanya dulu, Kak, jangan asal minum aja.” Kata Ibunya seraya terus melanjutkan tawanya. Disaat suasana tengah hangat, Aini tiba-tiba ingat pada kejadian tadi dan ingat pada sosok Bagas yang benar-benar membuatnya kesal.

            “Bagas mana, Bu?” tanyanya.

            “Ada di kamarnya.”

            “Aku ke kemarnya ya. Barusan dia sudah bikin aku menderita sekaligus malu karena ulahnya, Bu.” Aini bangkit dari kursi yang ia duduki, berniat untuk menghampiri kamar Adiknya, melampiaskan segala kekesalannya. Namun, sayangnya tangan Ibunya lebih cepat dari geraknya dan kembali tubuhnya terduduk di kursi semula.

            “Lho kenapa memangnya, Bu?” Aini memasang wajah heran.

            “Adikmu sudah tidur jangan kamu ganggu, kasihan dia sepertinya kelelahan. Memangnya ada apa? Bagas melakukan hal apa sampai membuatmu malu dan menderita.”

            “Macam-macam aja anak sekarang bahasanya menderita. Lebay kamu, Kak!” cetus Ayahnya bercgurau. Ibunya kembali melempar tawa membuat Aini seperti terpojokan. “Ah Ayah, gini-gini kan anak Ayah.” jawabnya dengan wajah cemberut manja.

            “Itu si Bagas masa tadi ninggalin aku waktu di jalan yang sepi ujung gang sana, Bu, Yah. Parah banget kan? Sudah begitu dia bikin gosip kalau aku takut sama gelap dan diceritain ke teman-temannya dan didengar oleh Bang Ramlan. Alhasil Bang Ramlan tahu dan aku ngerasa malu banget. Sumpah aku kesel banget sama Bagas!” ungkapnya berkeluh kesah dengan kedua orang tuanya tentang kejadian yang baru saja dialaminya.

            Ayah dan Ibunya saling bertatap-tapapan. Dari bibirnya sudah sangat jelas bahwa keduanya sedang menahan tawa sekuat mungkin, agar tawa itu tidak pecah tepat dihadapan Aini. Akan tetapi memang hal tersulit didalam hidup ini mungkin menahan tawa yang datang begitu kuat. Dan akhirnya tawa itu cepat membuat ruang yang sedikit sunyi tadinya, menjadi ramai oleh tawa kedua orang tuanya.

            “Ayah.. Ibu!” Aini meninggikan suaranya, sedikit jengkel. Kedua orang tuanya sulit menghentikan tawa yang datang. Suasana seperti ini membuat Aini merasa tidak nyaman dan membuat dirinya ingin cepat-cepat untuk masuk ke dalam kamar. Namun, dari kamar yang tidak jauh dari ruang tamu, tiba-tiba pintu terbuka dan muncul kepala dari balik pintu dan tertawa terbahak-bahak.

            “Kasihan banget!” ujarnya seraya kembali memasukan kepalanya, menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Aini yang mencoba merangsek ke kamar Bagas, namun gagal dan memilih untuk masuk ke kemarnya sendiri dengan segala kekesalan yang dirasakan.

 

            *****

 

            Lengkingan suara burung-burung kecil menyambut pagi yang cerah. Matahari perlahan mulai meninggi, memancarkan sinarnya, memberi kebahagiaan kepada seluruh makhluk hidup. Sudah pukul sembilan pagi, disaat Bagas dan kedua orang tuanya sudah selesai berolahraga sekaligus sarapan pagi, hanya Aini yang nampak belum keluar dari kamarnya sejak sehabis solat subuh tadi.

            “Coba, Nak, bangunin Kakakmu. Hari sudah siang seperti ini masih saja tidur, mentang-mentang libur!” perintah Ayahnya pada Bagas yang langsung dilaksanakan olehnya. Satu ketukan pintu yang terdengar nyaring tidak mendapat sahutan. Begitu juga dua kali, hingga tiga kali pun tidak ada sama sekali sahutan dari dalam.

            “Apa Kakak sudah bangun, Yah. Mungkin Kakak lagi keluar,” Bagas menerka.

            Ayahnya mengangguk. Bagas kembali ke kursi dan asyik memainkan ponselnya. Sedangkan Ibunya baru saja datang, sehabis olahraga ia memilih untuk sekalian belanja, itulah sebabnya ia sampai di rumah terakhir.

            “Kakak mana, Nak?” tanya Ibu.

            “Keluar, Bu,” jawabnya dengan kedua bola mata fokus dilayar ponsel. “Keluar mana? Tadi kan kamu kunci pintunya, kamu juga kan yang buka pintu barusan.” Ibunya terlihat bingung. Dua bola mata Bagas langsung beralih dari layar ponsel menuju wajah Ibunya yang terlihat kebingungan.

            “Jangan-jangan pingsan dia!” Bagas bergegas menekan gagang pintu kamar Kakaknya yang tidak dikunci dan kemudian langsung merangsek masuk. Dilihatnya Aini masih tertidur pulas, bahkan jendela kamarnya pun masih tertutup rapat.

            “Kak Aini bangun!” ujar Bagas menggoyah-goyahkan bahu Kakaknya.

            “Apaan..ih, orang masih ngantuk juga!” Aini merontah, enggan untuk membuka kedua bola matanya.

            “Bu, tolong ambilin air segayung dong. Kakak nggak mau bangun nih!” Bagas sengaja berbicara dengan nada tinggi dan mengancam agar Kakaknya mau membuka kedua matanya. Dengan segala kekesalan yang ada, dengan segala kenikmatan tidur yang hancur lebur, akhirnya Aini memutuskan untuk membuka kedua matanya meskipun terasa sangat berat.

            Berulang kali kedua matanya masih terasa berat terbuka, meskipun begitu ia coba buka sepenuhnya. Dua tangannya mengusap wajahnya mencoba menormalkan kembali kondisi pandangan dan juga tubuhnya. Lalu, ia beranjak dari tempat tidurnya dan membuka jendela kamarnya hingga matahari yang menyorot ke arah wajahnya membuat ia merasa silau. Buru-buru ia pergi dan menjauh dari jendela yang sudah terbuka lebar. Kemudian, ia pandangi seluruh kamarnya dan ia melihat ada sebuah bunga yang tergeletak rapih diatas meja yang biasa ia kenakan untuk membaca buku.

            Setangkai mawar merah cerah ia genggam, lalu ia hirup dalam-dalam aroma yang tercium dari bunga itu. Sungguh bahagia hatinya, sungguh tenang jiwanya dan alangkah indahnya hari ini. Namun, seketika di dalam hati dan pikirannya bertanya-tanya bagaimana mungkin bunga itu bisa ada di kamarnya. Siapa yang meletakan bunga itu di atas mejanya? Ia tidak mau berfikir rumit, ia menduga bahwa bunga itu sengaja disiapkan oleh Bagas, Adiknya sebagai bukti permintaan maaf atas tingkah konyolnya beberapa hari lalu.

            Kakinya melangkah ke arah ruang tamu.

            “Sok romantis banget si kamu, Gas. Segala ngasih bunga ke Kakak.” Aini menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berniat untuk meledek. Bagas yang tengah asyik dengan game yang ia mainkan di ponsel terkejut dan bingung dengan ucapan Kakaknya.

            “Apaan si, Kak. Siapa yang ngasih bunga ke Kakak?”

            “Suka begitu, jangan pura-pura. Kamu sengaja kan beliin Kakak bunga, lalu kamu taruh di atas meja Kakak,” Aini memojokan Bagas agar ngaku bahwa ia yang telah meletakan bunga di mejanya.

            Bagas mengerutkan dahinya, lalu meletakan ponselnya di atas meja seraya tertawa penuh keheranan.

            “Apa si, Kak. Aku nggak pernah beliin bunga Kakak.” Bagas kekeh.

            “Lho terus bunga dari mana ya?” Aini bingung dengan sendirinya. “Ibu sama Ayah tahu nggak kalau tentang bunga mawar ini?”

            Kedua orang tuanya menggeleng kuat dan memasang wajah datar.

            “Ah semakin aneh ini mah sejak kejadian kemarin. Aku nggak mau keluar malam lagi ah!” ucapnya berfikir bahwa kejadian beberapa hari yang lalu ada hubungannya dengan bunga yang ia temukan di kamarnya.

            “Ah kamu suka hal-hal yang nggak masuk akal!” Ayahnya tertawa kecil melihat ucapan Anaknya yang sedikit diluar akal sehat. Aini tidak menjawab, justru langsung kembali ke kamarnya dan memikirkan bunga yang ditemukannya.

            Waktu terus berjalan, hari demi hari kejadian aneh semakin dirasakan oleh Aini. Setiap ia bangun pagi selalu ada bunga mawar yang menyambut paginya. Entah dari mana, entah siapa yang meletakan, hal ini sungguh bukan sebuah keindahan yang didapatkannya. Hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini adalah hal-hal yang sangat ia tidak sukai, dimana banyak keanehan yang datang diluar logikanya.

            Satu malam ia memutuskan untuk tidak tidur, mumpung esok hari ia libur mengajar. Dari sejak isya ia sudah berada di dalam kamarnya dan berjaga-jaga dengan kedua mata yang terus fokus mengamati keadaan sekitar kamarnya. Sembari menunggu pagi, Aini memutar murotal Al-quran dengan tujuan jika ada hal-hal yang ditakutkan olehnya datang, ia sudah mempunyai tameng yang kuat.

            Jarum jam berputar dengan lambat. Berulang kali Aini terus memandangi arah jarum jam yang seakan enggan untuk berputar. Ditambah matanya sudah mulai layu, beberapa kali juga ia menguap, tanda rasa kantuk yang begitu besar sedang menyerang tubuhnya. Tidak ada seseorang pun yang bisa menahan rasa kantuk yang datang, sekuat-kuatnya seseorang jika ia mengangtuk maka solusinya hanyalah tidur. 

            Aini sudah tidak bisa lagi menahan rasa kantuk yang datang. Kedua matanya memejam sempurna, namun itu cuma sesaat setelah suara seperti orang terjatuh terdengar jelas dan mengejutkan dirinya. Suara itu bersumber dari luar jendela, membuat nyalinya menjadi sedikit menciut. Didalam pikirannya sudah tidak karuan, hal-hal negatif mengalir cepat dan membuat pikirannya menjadi sulit untuk berfikir positif.

            “Jangan-jangan itu orangnya!” gumamnya dalam hati dengan rasa ketakutan yang ia rasakan. Akan tetapi bagaimana seseorang itu bisa masuk ke dalam kamar, sedangkan jendelanya kamarnya saja tertutup rapat dan terkunci rapih. Dengan hati yang berusaha untuk memberanikan diri, ia melangkah menuju jendela kamarnya dan mengintip dari sisi kain yang menutupi jendelanya. Tergambar jelas diluar, hanya rumah seorang warga dan kebunnya yang begitu luas. Tidak ada satu pun orang yang terlihat disana, Aini buru-buru menarik kembali pandangannya dan menutup kain penutup jendelanya. Beberapa kali ia menarik nafas dan berusaha menenangkan hatinya yang tadi sempat merasakan rasa takut yang begitu besar.

            Ia kembali melangkah menuju tempat tidurnya. Sekarang jam menunjukan pukul sebelas malam. Baru saja kakinya ingin menaiki tempat tidurnya, sebuah suara kembali datang dari balik jendela. Bukan suara orang jatuh seperti sebelumnya, melainkan suara ketukan kaca yang begitu terdengar cepat dan berulang-ulang.

            Aini menatap ke arah jendela seraya berjalan mundur ke arah pintu. Dan ketika suara itu terdengar semakin kencang dan menakutkan, Aini segara membuka pintu kamarnya dan berlari ke arah kamar Ayah dan Ibunya.

            “Ayah, Ibu..” Aini mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan kencang.

            “Ada apa, Kak? Bikin kaget orang lagi tidur aja!” Ayahnya sedikit kesal dengan tindakan Aini. “Pelan-pelan kalau apa-apa itu. Sekarang sudah malam, Nak, nggak enak sama tetangga.” Ibu ikut berbicara.

            “Itu, Yah..” ucapnya dengan ragu.

            “Itu apa?”

            “Di kamar aku...”

            “Kenapa di kamar kamu? Cerita yang jelas dong jangan setengah-setengah!”

            “Ada hantu Yah. Di balik jendela kamar aku. Cepat Yah, aku takut!” ujarnya seraya menarik-narik tangan Ayahnya agar cepat masuk ke dalam kamarnya. “Hantu apa?” Ibunya sedikit tidak percaya.

            “Mana aku tahu hantu apa. Emang aku nanya ke dia kamu hantu apa, kan nggak mungkin. Aku aja takut gimana mungkin aku nanyain dia hantu apa,” jawabnya membuat kedua orang tuanya yang sempat panik juga menjadi tertawa geli.

            “Ayo, Yah. Buruan nanti aku nggak bisa tidur kalau seperti ini!” tubuh Ayahnya tergerak akibat tarikan tangan Aini, diikuti oleh Ibunya yang mengikuti dipaling belakang.

            Sesampainya di kamar Aini, suara yang tadi terdengar jelas dari balik jendela hilang tiba-tiba. Kini hanya suara hening dan suara jangkrik yang terdengar berisik, yang membuat suasana sama seperti malam-malam biasanya.

            “Mana, Kak? Orang nggak ada bunyi apa-apa juga.” Ayahnya menggelengkan kepalanya, mempertanyakan sesuatu yang tadi diucapkan olehnya. “Ah, kamu mah suka begitu. Orang dari tadi di kamar aja kita nggak dengar suara apapun kok!” sahut Ibunya.

            “Beneran ada kok tadi, Yah. Nggak mungkin kalau nggak ada suara yang muncul tiba-tiba aku lari ke kamar Ayah sama Ibu.”

            Dalam suasana yang masih ia yakini sebagai suasana yang mencekam, Aini kembali mendekatkan tubuhnya pada jendela kamarnya dan mengntip dari sela kain penutup jendela.

            Tok...tok..

            Sangat jelas terlihat di dua bola matanya sebuah tangan tepat berada dihadapannya dan mengetuk kaca jendela kamarnya. Dua matanya langsung ia tarik kembali dari hadapan jendela, lalu ia menatap kedua orang tuanya dengan mata yang membesar, tubuh yang kaku dan sulit mengedip.

            “Ibu... aku ngeliat tangan dibalik jendela!” ucapnya seraya berlari dan langsung memeluk erat tubuh Ibunya serta memejamkan kedua matanya. Tidak berselang lama Ayahnya mencoba untuk mengecek kebenaran apa yang dilihat oleh putrinya itu.

            “Nggak ada apa-apa kok, Kak. Kamu itu makanya sering-sering ikut kajian bareng Adik kamu biar nggak halusinasi terus.” Ujarnya menasihati. Sang Ibu membawa tubuh Aini ke arah kursi di ruang tamu dan mendudukannya. Setelah itu ia ke dapur untuk mengambil air minum, kemudian kembali lagi dan memberikannya pada putrinya itu.

            “Mungkin bukan kamar kamu kali yang diketuk. Bisa aja jendela kamar tetangga sebelah. Orang Ayah juga mendengarnya hanya sekilas aja dan terdengar seperti dari jauh kok.” Ayah membantah segala apa yang dirasakan oleh Aini.

            “Tapi kalau Ibu kok denger jelas ya, waktu ketukan terakhir itu. Apa Ibu salah denger?” matanya mengarah ke Aini disusul ke sang suami. “Tuh, kan. Bukan berarti bukan cuma aku yang dengar, Ibu juga dengar kan. Itu artinya aku nggak halusinasi.” Aini kekeh dengan keyakinannya yang begitu besar.

            Malam semakin larut, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas. Kedua bola mata Ayahnya terlihat sudah sangat layu, kalau bukan karena putri satu-satunya yang merasa ketakutan, mungkin ia sudah terlelap tidur. Sementara itu Aini masih dalam dekapan Ibunya, enggan untuk beralih dan begitu juga sebaliknya, Ibunya terus berupaya menenangkan putrinya yang tengah ketakutan.

            “Apa kita panggil Pak ustad Hadi, Yah?” usul Ibunya.

            “Jangan, Bu.” Jawabnya dengan cepat.

            “Lho kenapa, Yah? Aku nggak mau terus-terusan diganggu oleh setan. Apa Ayah mau setiap malam aku bangunin.” Aini menaikan nada bicaranya.

            “Bukan seperti itu maksud Ayah. Ini kan sudah malam, nggak sopan lah kalau malam-malam menyuruh Ustad Hadi kesini. Maskud Ayah besok saja kalau mau manggil Ustad Hadi, jangan sekarang.”

            Ditengah perbincangan ketiganya, suara ketukan kini terdengar kembali. Aini semakin merasa ketakutan. Kali ini suara itu berasal dari pintu utama rumahnya, terdengar lemah dan sedikit berjarak antara ketukan satu dengan ketukan selanjutnya.

            “Ayah coba cek jangan-jangan memang benar rumah kita ada setannya!”

            “Sebentar Ayah cek dulu!”

            Langkah kakinya begitu tegas, didalam hatinya seperti sama sekali tidak ada rasa takut. Mungkin ia berfikir jika dirinya saja takut bagaimana mungkin ia bisa melindung dua wanita yang sangat berharga didalam hidupnya yang tengah ketakutan.

            “Setannya kepala itam, Bu, Kak.” Katanya dengan nada tinggi. Namun setelah itu ia tertawa geli dan anehnya ia justru sibuk saja diluar pintu rumahnya dan membuat Aini dengan Ibunya hanya bisa saling memeluk erat.

            “Nih setannnya!” seorang pria yang terlihat lemas seraya memegangi lututnya dibawa masuk oleh Ayahnya. Ia menampakan wajahnya di depan dua wanita yang ketakutan.

            “Jadi kamu yang sedari tadi ngetuk jendela kamar Kakak?” Aini meradang, amarahnya mulai tidak karuan.

            “Iya, sudah diketuk jendelanya sampai jatuh-jatuh bukannya dibukain malah teriak-teriakan. Kan ngeselin!” Keluh Bagas yang terasa begitu menderita. “Jadi itu tangan kamu yang muncul?” Aini bertanya lagi, masih kurang yakin.

            “Iya, Kak. Namanya orang habis jatuh, nggak kuat bangun yaudah tangan aja yang gerak,” jawabnya.

            “Ish.. sumpah kamu nyebelin banget si, Gas. Tahu nggak Kakak itu jadi nggak bisa tidur akibat ulah kamu!”

            “Sedari awal kan aku sudah ngetuk pintu depan, nggak ada yang bukain. Terus aku dengar dari kamar Kakak ada suara murotal Al-quran, itu artinya Kakak belum tidur.  Makanya aku ketuk jendelanya, eh apesnya aku jatuh. Jadi begitu kejadiannya!” Bagas menegaskan kejadian sebenarnya.

            Aini menghela nafas dalam-dalam. Ayah dan Ibunya tertawa diam-diam. “Makanya, Kak, ikut kajian terus jangan baru sekali langsung nggak mau ikutan lagi.” gurau Bagas dengan tawa ledeknya.

            “Biarin aja nggak akan Kakak obatin tuh kakinya!” Aini mengancam.

            “Ada Ibu!” Bagas menjulurkan lidahnya.

            “Ibu ngantuk mau tidur,” jawab Ibu.

            “Ada Ayah.”

            “Sama, Ayah juga ngantuk habis kerja.”

            Aini tertawa puas melihat Adiknya memasang wajah cemberut.

 

            ****

 

            Satu sama lain saling membisu, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, membuat suasana ruang tamu menjadi hening. Tidak ada topik pembicaraan yang dibahas, tidak ada kata yang saling terlontar dari bibir masing-masing. Kedua orang tuanya sibuk dengan koran dan majalah, sedangkan Adiknya sibuk dengan game yang tengah ia mainkan di ponselnya. Aini merasa hal ini sangatlah membosankan, sebab di kamar juga ia merasa bosan dengan keadaan kamar yang begitu-begitu saja.

            “Yah, Bu. Sudah dong jangan baca-baca terus, ngobrol yuk?” Aini berinisatif menyudahi semua keheningan yang ada.

            “Ngobrol apa. Politik?” Ayahnya menaikan turunkan dua alisnya, dengan senyum kecil terlihat di wajahnya.

            “Mana ngerti aku, Yah.”

            “Ngobrol tentang masak-memasak, gimana?” Ibunya berusul.

            “Apalagi, Bu. Aku nggak ngerti sama sekali tentang masak-memasak, padahal aku udah belajar dengan keras dan banyak baca. Tapi, kenapa waktu aku coba kok rasanya dan tampilannya nggak sesuai sama gambar.”

            Ibunya menahan tawa.Ayahnya melirik.

            “Ah sialan, gagal!” spontan Bagas berucap.

            “Gas, nggak usah pake suara main gamenya, berisik tahu!” ujar Aini dengan nada sedikit kesal.

            “Yes, menang!” Bagas asyik sendiri dan tidak menghiraukan ucapan Kakaknya.

            “Kak, tolong bikinin Ayah kopi dong,” ujar Ayahnya.

            “Iya, Yah. Manis apa pahit?”

            “Pahit aja, Kak, soalnya Ayah kan udah manis,” sahutnya diiringi tawa bahagia. “Ish, yang bilang manis juga cuma Ibu doang, sisanya ngaku sendiri,” timpalnya. Ibunya mengerutkan dahinya. “Ih, Ibu nggak ngakuin. Ayah yang ngaku sendiri,” tambahnya.

            Berselang beberapa menit, Aini kembali dari dapur membawa dua buah gelas.

            “Ini teh buat Ibu. Ini kopi buat Ayah,” ucapnya.

            “Nah begitu dong. Kayaknya udah cocok ya, Bu, buat jadi seorang Ibu rumah tangga.” Gurau Ayahnya. Aini tersipu malu. Bagas melirik ke arah ketiganya. “Boro-boro jadi Ibu rumah tangga, pacar aja nggak punya,” Bagas ikut berkomentar.

            “Nggak usah ikut-ikutan deh!” sahut ketus Aini.

            Kedua orang tuanya langsung menyeruput teh dan kopi buatan putrinya.

            “Lah kok manis, Kak?” tanya Ayahnya. “Lah yang ini pahit, Kak?” Ibunya menunjuk ke arah teh yang habis ia seruput.

            “Masa si, Yah, Bu?” Aini tidak percaya, lalu mencoba teh yang ia buatkan untuk Ibunya.

            Aini cengengesan. “Iya, Yah, Bu, ketuker. Maaf ya.”

            “Tuh kan ini menandakan bahwa Kak Aini itu belum pantas untuk menjadi seorang Ibu rumah tangga. Betul nggak Yah, Bu?” Bagas menaikan kedua alisnya, meminta dukungan atas ucapannya.

            “Eh nggak juga. Kalau pria itu mau menerima kekurangan Kak Aini dan bisa memperbaikinya bersama-sama, maka nggak ada kata yang nggak pantes,” jawab Ibunya. “Kan Ibu sama Ayah dulu juga seperti itu.”

            Bagas terpojokan, Aini merasa menang, ketawa kegirangan.

            “Oh iya, Yah. Itu jalan yang di ujung gang sana kok hawanya nyeremin banget ya, lain sama jalan yang lainnya.” Aini kembali memulai percakapan. Bagas lelah dengan berbagai kekalahan saat bermain game, akhrinya ia letakan ponselnya di atas meja dan ikut mendengarkan perbincangan yang ada.

            “Itu mah Kak Aini aja yang nggak pernah solat jadinya bawaanya halu terus,” sambar Bagas.

            “Diam, nggak usah ikut ngomong!” Aini gregetan.

            “Emang Kakak nggak solat?” dua mata Ibunya menatap serius ke arah Aini.

            “Gimana mau solat, orang lagi halangan, Bu. Kalau nggak halangan mah, ya pasti solat lah.”

            Ibunya menghela nafas lega.

            “Lampunya kedap-kedip terus, Bu, Yah. Kemarin terakhir aku lewat sama si Melati waktu magrib, masih aja sama seperti kemarin-kemarinnya waktu aku lewat sama Bagas sehabis kajian di masjid,” ucapnya dengan penuh keseriusan.

            “Koslet kali ah,” sambut Ayahnya.

            “Tahu paling juga kena air hujan, makanya dia koslet!” tambah Bagas. “Kamu tuh yang koslet,” Aini masih terlihat kesal dengan Adiknya. “Nggak boleh begitu ah, Kak. Jadi Kakak itu harus sabar dan harus memiliki kedewasaan yang lebih dari Adiknya.”

            “Iya, Bu. Tapi kenapa ya, Bu, Yah, anehnya setelah itu aku ngalamin hal-hal yang nggak masuk akal gitu. Contohnya seperti bunga mawar yang ada di kamar aku, entah siapa yang naruh di atas meja, itu kejadian terus berulang hingga tadi pagi.”

            “Bagas kali yang naruh, mungkin sebagai bukti cintanya sama Kakaknya,” jawab Ayahnya bergurau.

            “Ngapain aku beli bunga mawar terus aku kasih ke Kakak, sayang uangnya. Mending aku pakai untuk main game kalau nggak nabung. Lagian juga kalau aku mau ngasih bunga ke Kak Aini, pasti aku kasih bunga yang lebih istimewa dari bunga mawar.”

            “Bunga apa, Nak?”

            “Bunga bangke!” Bagas langsung lari menuju kamarnya saat kata terakhir terucap dengan sempurna. Rasa kesal, gregetan dan amarah berkumpul menjadi satu kesatuan di dalam hatinya. Bagas benar-benar membuat pagi hari Aini yang semula penuh kegembiraan menjadi penuh kekesalan.

            “Kakak mandi gih sana, bau tahu. Masa iya anak gadis mandinya siang-siang, malu tahu sama anak-anak kecil yang sudah cakep dan wangi.” Perintah Ayahnya. “Iya, Kak. Nanti kan juga ada tamu, malu lah kalau kamu belum mandi.”

            “Siapa tamunya?”

            “Sebentar lagi juga datang. Makanya kamu siap-siap sana. Tuh lihat Adik kamu aja sudah ganti baju, udah ganteng, nggak kalah sama Ayahnya.” Ayahnya menunjuk ke arah Bagas yang baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian rapih.

            “Wish, kayak mau nyambut tamu penting aja!” Aini menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruang tamu.

            Suasana pagi menjelang siang kian hangat, kala tamu yang ditunggu-tunggu datang lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan oleh kedua belah pihak. Bagas ke dapur dengan Ibunya, menyediakan minum untuk tamu spesialnya.

            “Kak, tidur apa mandi?” Bagas mengetuk pintu kamar mandi yang tidak jauh dari dapur. Tidak ada jawaban dan terasa sangat hening. “Kak, tamunya udah dateng tuh. Buruan mandinya!”

            Masih sama tetap tidak ada jawaban.

            “Apaan si, Gas. Kakak udah selesai mandinya.” Aini muncul dari belakang.

            “Pakai baju yang rapih, Kak. Masa iya mau ketemu calon suami pakaiannya seperti itu!” ujar Bagas membalikan tubuh Kakaknya agar kembali ke kamarnya dan mengganti pakaiannya.

            “Siapa si yang mau ketemu calon suaminya. Ih aneh, masa ketemu tamu harus pakai yang bagus si, ini kan udah rapih!” Aini sempat menolak. Namun, jika terus berlanjut hanya akan ada debat panjang yang tidak berkesudahan. Apalagi dengan Adiknya, mana mungkin ia mau mengalah dengannya.

            Aini kembali ke kamar dan menggantik pakaiannya. Bagas dan Ibunya kembali ke depan dengan membawa air minum dan makanan ringan. Tawa penuh bahagia, obrolan penuh keceriaan sudah mulai terdengar. Aini keluar dari kamarnya dan langsung menyusul ke ruang tamu. Dilihatnya seorang pria dengan pakaian rapih didampingi oleh orang tuanya duduk sembari berbincang penuh keakraban.

            “Bang Rahmlan..”

            Matanya takjub, bibirnya spontan memanggil pria idamannya dan pemudi di kampunnya.

            “Biasa aja ngeliatinnya, Kak!” Bagas membuyarkan pandangnnya Aini. Lalu, buru-buru ia mengecup dengan penuh rasa sayang tangan kedua orang tua pria yang menjadi tamu spesial keluarganya itu, kemudian ia duduk disamping Bagas.

            “Kakak harus tahu bahwa bunga mawar yang diletakan di kamar Kakak itu aku yang ngelakuin,” ujar Bagas.

            “Oh, jadi kamu. Kenapa dari kemarin nggak ngaku!” tangan Aini mencubit lengan Bagas.

            “Bang nggak usah jadi ngelamarnya lah. Lihat sendiri kan gimana galaknya Kak Aini,” usul Bagas.

            “Ih jangan!” sahut Aini dengan cepat, spontan.

            “Asyik ngebet banget, Kak.” Bagas meledek. “Jadi itu semua ide dari Bang Ramlan. Waktu ketemu di warung, aku disuruh ngasih bunga mawar itu sebab Bang Ramlan malu untuk ngasih bunganya langsung. Tapi, waktu aku sampai di rumah, karena Kakak juga belum sampai, makanya aku taruh di atas meja Kakak. Dan setelah itu Bang Ramlan bilang kalau ngasihnya jangan bilang-bilang dari Bang Ramlan, makanya aku nggak ngaku. Begitu, jadi ini persembahan cinta Bang Ramlan untuk Kakak.” Ungkapnya menjelaskan kejadian dari awal misteri bunga mawar di kamar Aini.

            Aini dan Ramlan tersipu malu. Acara lamaran dimulai dan dengan senang hati Aini menerima Ramlan sebagai calon suaminya. Tidak lama berselang Pak Rt datang. “Mohon maaf ni semuanya saya datang terlambat, habis benerin lampu di ujung gang sana yang mati.”

            “Oh, jadi lampu itu mati, Pak? Aku kira disana ada hantunya, makanya setiap aku lewat lampunya kedap-kedip sendiri.”

            Seluruhnya menggelengkan kepalanya seraya tertawa.

Tags: tlwc19

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
That Day
327      227     1     
Short Story
Hari itu benar-benar hari penyesalan terbesarnya. Jika saja dia mengatakan sejujurnya pada Sena, maka mungkin dia bisa mencegah Sena pergi. Hari-hari dia berdoa dan memohon agar dapat memutar ulang waktu atau setidaknya mendapatkan Sena kembali, namun keajaiban tetaplah sebuah keajaiban.
The Secret
372      247     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Noterratus
2154      858     4     
Mystery
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
My Halloween Girl
1015      546     4     
Short Story
Tubuh Kevan bergetar hebat. Ia frustasi dan menangis sejadi-jadinya. Ia ingat akan semalam. Mimpi gila itu membuatnya menggila. Mimpi itu yang mengantarkan Kevan pada penyesalan. Ia bertemu dengan Keisya dimimpi itu. “Kev, kau tahu? Cintaku sama besarnya denganmu. Dan aku tak akan membencimu,”. Itu adalah kata-kata terakhir Keisya dimimpinya. Keisya tak marah dengannya. Tak membencinya. Da...
The Story of Fairro
2406      933     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Hantu Perpustakaan Pusat
441      306     2     
Short Story
Jatuh cinta adalah agenda hidup yang memiliki giliran bahagia, sepi dan sedih. Kepergian merawat rindu,untuk apa? Terlalu jauh jika mencoba menyusulnya. Siapa yang menjamin pertemuan jika Habib nekat pergi?Apakah Gulita tetap bersamanya? Cinta dan pengorbanan harus sejalan, demi pertemuan.Haruskah Habib mengorbankan nyawa untuk mendapatkan cinta sejati bersama Gulita. Takdir menjawab ...
Once Upon A Time
362      236     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
Sisi Lain Tentang Cinta
742      407     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
RUMAH ITU
483      277     0     
Short Story
Seorang laki-laki memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan pergi sejauh mungkin, saat di perjalanan, dia menumui seseorang dan pergi ke hutan. Beberapa hari kemudian, kejadian aneh mulai terjadi, apakah dia akan selamat atau tidak?
Good Art of Playing Feeling
362      272     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...