Bagai disambar petir di siang bolong, Kana mendapatkan foto berupa undangan pernikahan melalui chat WhatsApp. Lebih mengagetkan lagi ketika pengirimnya merupakan seorang lelaki yang masih memiliki status sebagai pacarnya, Aldi. Kana segera membalas pesan gambar tersebut.
Maksudnya apa ini, kak?
Ya 2 minggu lagi aku nikah, Na.
Maksudnya apa kak tiba-tiba ngirim undangan nikah beginian?
Kenapa tiba-tiba nikah sama orang lain?
Siapa itu namanya?
Rani?
Pokoknya 1 minggu lagi aku nikah, Na. Kalau bisa datang ya.
Bajingan orang ini, batin Kana. Saking terlalu mengejutkan, dia bingung hingga tak bisa menangis. 3 hari sebelumnya mereka masih baik-baik saja, masih makan bersama di restoran dan hangout di mall seperti tak ada masalah apa-apa. 2 hari sebelum hari ini Aldi berdalih memiliki urusan di luar kota, dan Kana tak menaruh curiga apa-apa karena memang Aldi tak pernah melakukan hal-hal yang membuatnya harus merasa was-was jika sedang tidak bersama. Bahkan malam sebelumnya mereka sempat melakukan video call.
Kana kesal dia terlalu santai dalam hubungan mereka.
Kana belum selesai menata pikiran dan perasaannya, tapi beberapa chat mulai meramaikan notifikasi handphonenya, termasuk chat di grup angkatan dan grup keluarga besarnya. Kana sudah bisa menebak isinya sehingga malas membukanya, tapi entah mengapa jempolnya bergerak sendiri.
Na, Aldi nikah?
Na, kalian kapan putusnya deh
Aldi nikah??!! Sungguhan?
Sumpah Na Aldi nikah sama orang lain?
Katamu kalian rencana nikah tahun depan? Kok Aldi malah nikah sama orang lain?
“Kalian saja bingung, apalagi aku,” batin Kana.
Siapa Rani itu?
“Mana kutahu Rani itu siapa.”
Mata Kana berkaca-kaca. Dalam hatinya dia tak ingin menangisi apa yang barusan terjadi. Dia masih ingin berpikir secara logis apa yang telah terjadi di antara mereka. Celah-celah apa yang telah timbul sebelumnya, memungkinkan Aldi melakukan tindakan yang benar-benar di luar dugaannya. Terpikir olehnya untuk bertanya di base twitter, tapi dia yakin mayoritas jawabannya sudah jelas. Tuhan sudah menuntun Kana untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Aldi, lupakan saja Aldi, berarti Aldi bukan jodohmu...
Kalimat yang cukup menghibur tapi tak memuaskan Kana.
Tahu darimana kalau ke depannya Kana akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Aldi? Kalau logikanya begitu, Kana tidak terima. Berarti sekarang Aldi menikahi wanita yang lebih baik dari dirinya?
Lagipula, melupakan seseorang tak semudah mengetik kata-kata tersebut. Sebut saja Kana budak cinta, baperan, dan kata-kata lain yang mungkin bisa menyadarkan Kana, tapi untuk saat ini, jelas dia tak mampu berpikir jernih. Berpikir secara logika merupakan suatu hal yang sulit.
Perasaannya kini campur aduk. Semua orang sudah tahu bahwa akhirnya Aldi akan menikah dengan orang lain. Dia ditinggalkan ketika banyak orang tahu mereka telah merencanakan pernikahan setahun kedepan. Belum lagi pertanyaan menuntut dari orang tuanya, sumpah serapah yang diarahkan ke Aldi, juga tatapan kasihan padanya sebagai orang yang ditinggalkan. Tapi jelas, tatapan remeh orang-orang padanya juga menghantuinya. Mungkin karena Kana terlalu menuntut hingga akhirnya Aldi tak ingin menjadikannya pendamping hidupnya. Mungkin karena Kana terlalu manja. Mungkin karena Kana terlalu perfeksionis. Mungkin Kana terlalu egois.
Kini pikirannya sendiri menggerogoti dirinya.
“Kenapa?” Kana memukul kepalanya dengan kedua tangannya berkali-kali. “Kenapa?”
.
Sudah pukul 7 malam. Kana akhirnya bangkit dari kasurnya setelah sekian jam menghabiskan waktunya untuk menangis dan memikirkan sejak kapan hubungan di antara mereka tidak baik-baik saja. Perutnya terlalu lapar saat ini hingga dia memutuskan untuk memesan nasi goreng via aplikasi online.
“Mari isi tenaga dulu, Kana,” ucapnya pada diri sendiri. “harus bertenaga dulu untuk bisa berpikir jernih.”
Sayangnya, dari ketika nasi goreng pesanannya sampai hingga habis dia makan, dia masih tak menemukan celah dimana hubungan mereka tidak baik-baik saja. Pertengkaran kecil memang selalu saja ada, terlebih ketika hubungan di antara mereka telah menginjak tahun ketiga. Sudah banyak suka dan duka di antara mereka, dan mereka berhasil melewatinya tanpa menimbulkan masalah lain.
Atau mungkin selama ini Aldi merasa tersiksa sendiri atas hal-hal yang Kana anggap bukan masalah besar?
Kana menggeleng. Justru Kana yang selalu tersiksa akan hal itu. Sering sekali dia menceritakan berbagai kesusahan yang dia alami, entah karena pengkhianatan sahabat, atmosfer kerja yang tidak sehat, dosen yang pelit memberikan nilai, semua itu merupakan beban berat bagi Kana namun Aldi selalu mengentahkannya dengan satu kalimat pasti,
“Jangan baperan lah, Na. Semua itu bagian dari hidup. Jalani saja prosesnya, jangan lemah.”
Kana kini ingat, entah sejak kapan dia tak lagi menceritakan bagian dari hidupnya dan cenderung menjadi pendengar yang baik bagi Aldi. Tak pernah sekalipun dia menilai tindakan Aldi terlalu gegabah, kekanakan, terlalu egois, semaunya sendiri... yang Kana ingat dia selalu mendengarkan cerita Aldi sambil tersenyum, kadang matanya berkaca-kaca tanpa Aldi sadari. Kana merasa bersalah menganggap permasalahan Aldi sebenarnya masalah sepele yang tak perlu dibesar-besarkan, tapi karena Kana tahu bagaimana sakitnya dicap ‘baperan’, Kana memilih diam.
Bagiku sepele, tapi bagi Aldi, hal ini merupakan masalah terberat di hidupnya.
Kana berpikir apa yang dia pikirkan sekarang hanyalah suatu alasan yang dia ciptakan sendiri untuk membenarkan dirinya dan menyalahkan Aldi, entah apa tujuannya. Kana menggeleng keras, bukan itu yang dia inginkan saat ini. Dia ingin mengingat kembali satu momen dimana dia bisa menerima bahwa Aldi pantas meninggalkannya.
Tapi sekeras apapun dia mengingat momen di antara mereka, yang Kana temukan hanyalah momen-momen dimana Aldi bertingkah tak sesuai ekspektasinya. Tak hanya satu dua kenangan, tapi lebih banyak dari yang Kana sadari. Kana pun mempertanyakan dirinya sendiri, alasan dia begitu ingin menikahi Aldi hingga kemarin, sebelum dia melihat foto undangan pernikahan tersebut.
Kana juga mempertanyakan dirinya sendiri alasan mengapa dia merasa Aldi-lah yang terluka di antara mereka berdua.
Kana menatap langit-langit kamarnya sambil menghela napas keras. Setelah energinya terkuras habis hanya untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang nampak abstrak, akhirnya dia memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Aldi.
“Bisa kita ketemu besok? Di tempat biasanya.”
.
“Rani hamil.”
Kana tercengang mendengar dua kata yang meluncur begitu saja dari mulut Aldi. Baru 5 menit mereka duduk saling bertatap muka di cafe langganan mereka dan tanpa basa-basi Aldi langsung ke poin utamanya.
“Rani hamil anakku, sudah 2 bulan ini.”
Kana hanya bisa tertawa kecil, bingung harus memberikan reaksi seperti apa. “Hamil anakmu? Sudah 2 bulan ini?”
Aldi mengangguk yakin. “Aku harus bertanggung jawab, Na.”
“Wah, hebat,” Kana masih berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Kemarin tiba-tiba dia mendapatkan undangan pernikahan via chat, seharian menangisi nasibnya ditinggal menikah dengan orang lain, semalaman suntuk berusaha memahami Aldi dan menyalahkan diri sendiri atas keegoisan yang mungkin saja pernah timbul dan menyakiti Aldi tanpa Kana sadari, belum lagi pagi harinya ia awali dengan was-was, merancang kata-kata perpisahan dan maaf atas kesalahan yang belum bisa dia temukan.
Ternyata memang Aldinya yang brengsek.
“Maaf beribu maaf, Na. Mungkin kita memang nggak ditakdirkan untuk berjodoh.”
Aldi mengucapkan berbagai kata, tapi pikiran Kana masih kalut. Di saat seperti ini, dia masih berusaha untuk berpikir logis dan memaafkan Aldi, tapi dia masih kaget atas perilaku Aldi yang tak pernah dia bayangkan.
Tiba-tiba Kana teringat suatu hari dimana Aldi meminta Kana menyerahkan apa yang harus dia jaga kehormatannya. Aldi bilang dia akan bertanggung jawab jika terjadi hal yang tak mereka inginkan, tapi sayangnya Kana dibesarkan dalam keluarga yang masih konservatif. Berbagai macam dalih yang diucapkan Aldi agar berhasil merebut kehormatan Kana, tapi Kana tetap kukuh pada pendiriannya.
“Kasihan si Rani,” celetuk Kana di tengah penjelasan Aldi yang tak bisa dia dengarkan dengan jelas sedari tadi. “Jadi pelampiasan hasrat seksualmu saja.”
Aldi menahan napas. “Dengar. Rani jauh lebih baik dari kamu—“
Kana manggut-manggut mengiyakan. Sekali lagi dia memasang wajah datar di depan Aldi tanpa mengindahkan kata-kata Aldi dan membayangkan berbagai jenis balas dendam di otaknya.
Menyiram wajahnya dengan air minum di depannya? Tidak. Aldi tak akan sadar betapa bejadnya dia hanya dengan satu siraman air.
Berteriak memakinya? Di depan umum begini? Tidak. Hal ini malah merugikan Kana. Bisa saja dia jadi viral sebagai perempuan sakit jiwa yang tak bisa move on dari kekasihnya.
Kana terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga akhirnya lamunannya terbuyarkan ketika Aldi pergi meninggalkannya. Kana tak menangkap kata maaf dalam radar pendengarannya, seingatnya dia hanya mendengarkan betapa Aldi begitu mengelu-elukan Rani sebagai perempuan yang patuh, taat beragama dan selalu mendengarkan apa yang Aldi mau.
Bucin at it’s finest, pikir Kana.
Untuk beberapa saat Kana tak beranjak dari kursinya, mengingat kenangan antara dia dan Aldi yang bisa jadi membantunya untuk menemukan balas dendam yang tepat.
Kana tersenyum sesaat, lalu meninggalkan cafe dengan langkah yang pasti, sebelum akhirnya senyumannya memudar karena pelayan cafe menginformasikan padanya bahwa Aldi belum membayar pesanan di meja makannya. Sambil menahan malu, Kana membayar pesanan Aldi dan beranjak pergi.
Tekadnya bulat untuk benar-benar membalaskan dendamnya pada Aldi dengan kata kunci yang kini terpatri di benaknya.
Rumah hantu.
.
“Kamu gila, Na?” ucap Aldi frustasi melalui telepon. Baru pagi tadi Aldi menjelaskan panjang lebar kenapa hubungan mereka harus berakhir meskipun dengan cara yang tidak semestinya, kenapa malam ini Kana menelponnya lagi? Lebih dari itu, Kana mengajaknya kencan besoknya?
“Aku cuma ingin minta maaf ke kak Aldi,” ucap Kana dengan mata berkaca-kaca, “selama ini aku nggak bisa menjadi pacar yang baik. Kalau saja aku bisa lebih baik dari aku yang sekarang, mungkin nggak akan begini jadinya.”
“Na, please. 5 hari lagi sudah akad nikahku.”
“Aku tahu. Makanya, aku minta kita kencan sebelum itu. Setidaknya aku ingin Kak Aldi mengingat aku sebagai pacar yang baik, bukan pacar yang egois. Aku nggak ingin dikenang sebagai orang yang jahat.”
Aldi menghela napas. Sejenak kemudian, Aldi mendengar isak tangis Kana di seberang sana.
“Iya deh, iya,” ucap Aldi pada akhirnya. “Besok aku jemput.”
Belum sempat Kana mengucapkan terima kasih, Aldi sudah menutup teleponnya. Kana melihat layar handphone sambil tersenyum sinis.
“Sekali bajingan tetap bajingan, ya?”
Tapi tak dapat dipungkiri, Kana begitu senang ketika Aldi mengiyakan ajakannya. Awalnya dia kira rencananya tak akan berjalan semulus itu—walaupun ajakan kencannya baru langkah awal dari serangkaian balas dendamnya.
Tanpa berpikir panjang, Kana meraih kunci sepeda motornya dan bergegas pergi ke suatu tempat.
.
Kana menatap rumah kosong berlantai dua di depannya. Belum memasuki bulan purnama, tapi setidaknya sinar bulan yang mengintip di balik awan mendung sempat membuat bulu kuduk Kana berdiri. Sebenarnya nyalinya ciut untuk sesaat, tapi ketika membayangkan wajah Aldi yang berteriak ketakutan saat memasuki wahana rumah hantu setahun yang lalu membuatnya yakin untuk melakukan misi ini.
“Selamat malam, nek,” ucapnya begitu memasuki halaman rumah. Rumah itu awalnya rumah nenek Kana, tapi semenjak nenek Kana meninggal beberapa tahun yang lalu karena alzheimer, rumah itu tak lagi ditempati. Orang tua Kana bekerja di luar negeri, sementara Kana tinggal di kota ini demi melanjutkan studinya semata sebelum akhirnya memiliki ilmu yang cukup untuk membantu pekerjaan orang tuanya. Rumah ini sempat disewakan beberapa kali, bahkan dijual dengan harga yang murah, tapi tak pernah ada yang tinggal di rumah itu lebih dari setahun.
Konon katanya, rumah itu menagih tumbal.
Kana sebagai cucu kandung neneknya merasa bersalah jika rumah itu harus meraih titel yang tidak mengenakkan seperti itu, tapi bisa jadi faktanya memang begitu? Terlebih kata orang, rumah itu hanya jinak pada keturunan asli nenek yang pernah tinggal di situ, entah atas dasar apa.
“Kana nggak mau macam-macam kok, nek. Kana cuma mau balas dendam ke Aldi.”
Untuk sesaat Kana merasakan hembusan angin dingin menyentuh tengkuknya bersamaan dengan langkah kakinya memasuki rumah itu. Dia sedikit takut, tapi kemudian hembusan angin lainnya menyentuh ubun-ubunnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang berusaha menenangkannya.
“Aldi nggak perlu sampai mati kok, nek. Cukup ketakutan sampai setengah mati. Kalau perlu sampai dia menangis, sampai terkencing-kencing.”
Semakin Kana melangkah jauh ke rumah itu sambil memikirkan misi yang harus dilakukan Aldi, Kana tertawa sendiri.
“Aku nggak gila ‘kan, Nek?” Kana masih tertawa sendiri sambil mengikat kain putih di salah satu patung ala dewi-dewi Yunani di sudut ruangan. Kana mengitari ruangan, lalu menemukan kamar mandi dengan pintu yang tak tertutup. Kana memiliki ide lain untuk misi berikutnya.
“Wajar ‘kan, Nek, kalau aku harus bertindak sejauh ini?” Kana menaiki tangga untuk melihat apa yang bisa dia lakukan di lantai dua. Jantungnya berdetak kencang dari sebelumnya, begitu mengingat ada salah satu kamar yang pernah digunakan untuk bunuh diri penghuni sebelumnya. Kana juga pernah dengar dari tetangga sekitar bahwa di lantai dua juga pernah terjadi pembunuhan yang dilakukan Ayah tiri terhadap anak dari istri sirinya.
Tapi setiap bayangan-bayangan aneh muncul di kepalanya, selalu ada angin dingin yang seolah memeluk Kana. Bulu kuduk Kana berdiri, tapi di saat yang bersamaan, Kana merasakan kenyamanan di tengah kekalutan gelap malam di rumah itu.
Hingga di saat-saat terakhir Kana menyelesaikan misinya, seolah Kana mendengar bisikan entah dari mana asalnya. Tapi yang pasti, Kana tahu pasti suara itu adalah suara yang dia rindukan selama bertahun-tahun.
“Kalau kamu mau si Aldi selamat, ajak dia datang di pagi hari.”
Kana mengangkat sebelah alisnya. Dia ingin tertawa, mengira pemilik suara itu bercanda, tapi akhirnya yang Kana lakukan hanya mengiyakan ucapan tersebut. Sudah terlalu banyak cerita seram terjadi di rumah itu dan Kana tak memiliki alasan untuk tak mengindahkan himbauan dari neneknya. Malam ini saja Kana bisa selamat karena, mungkin benar kata orang, rumah ini hanya jinak pada keturunan pemilik aslinya.
“Sampai ketemu besok, Nek,” ucap Kana dengan mata berkaca-kaca. Menyedihkan. Neneknya—yang dia yakin telah menemaninya dan melindunginya dari gangguan makhluk lain—bisa melihatnya, tapi dia tak bisa melihat neneknya. Hembusan angin dingin kembali menyentuh pipinya yang basah karena air mata, seolah memberikan kekuatan baginya. Kana menghela napas panjang, lalu Kana pergi meninggalkan rumah tua itu.
.
Pagi itu Kana sengaja memakai riasan yang menonjolkan fitur wajahnya hingga dia sendiri puas dengan pantulan wajahnya di cermin. Bukan karena dia senang akhirnya bisa kencan lagi dengan Aldi, lebih karena dia ingin menunjukkan pada Aldi bahwa berpisah dengannya bukanlah akhir perjalanan hidupnya. Beberapa saat kemudian dia mendengarkan deru motor Aldi berhenti di depan kosnya.
Begitu Kana keluar dari kosnya, Aldi tercengang sesaat. Bagaimanapun, pernikahannya dengan Rani terbilang begitu tiba-tiba dan bukan karena kehendaknya sendiri. Jauh di dalam hatinya, Aldi masih menyukai Kana, dan Kana begitu cantik hari itu.
“Hari ini kita mau kemana?”
Kana memasang helmnya setelah memberikan handphone-nya pada Aldi. “Ikuti petunjuk navigasi di handphone itu aja Kak.”
.
Aldi tercengang melihat bangunan tua di depannya. Ketika dia membayangkan kencan yang dimaksud Kana adalah kencan yang pernah mereka lakukan di masa lalu, ternyata kenyataannya tak pernah terpikirkan olehnya.
“Apa maksudnya ini, Na?”
Kana turun dari motor dan melepaskan helmnya. Dia tersenyum jahil dan berkata, “Uji nyali?”
“Enggak deh,” Aldi menyalakan mesin motornya. “Mau kamu bilang kencan terakhir aku nggak mau kalau uji nyali di tempat gak jelas begini.”
“Kalau kamu nggak mau,” ucap Kana sedikit keras sambil mengeluarkan handphone-nya. “coba lihat dulu ini siapa.”
Aldi menyipitkan matanya dan melihat dengan seksama jendela chat whatsapp di handphone Kana. Aldi semakin terkejut melihat foto profil Rina di sana. Aldi baru saja membuka mulut ketika Kana menjelaskan sendiri, “Aku bisa kirim foto-foto kita ke Rina dan menjelaskan kalau sebenarnya, sampai hari ini, kita masih pacaran.”
“Silahkan saja, dia nggak bakal—“
“Oh, nggak hanya itu rencanaku. Aku bisa saja kirim foto USG dan bilang ke dia, aku hamil anaknya kak Aldi? Sudah jalan 4 bulan?”
“Gila kamu ya?!”
Kana tersenyum puas. “Nggak hanya berhenti di situ. Si Rina ini polos sekali, sampai mencantumkan alamat rumahnya di profil IG-nya. Aku bisa kok datang ke rumahnya, nangis-nangis di depan orang tua Rina dan bilang ke orang tuanya sama persis dengan yang aku bilang ke Rina. Nggak berhenti di situ, di resepsi kalian nanti aku bakal mengumumkan ke seluruh tamu undangan kamu kalau kamu bajingan, dan—“
“Oke!” Aldi membentak dan melepaskan helmnya setelah memarkir sepeda motornya di bawah pohon. “Aku bakal uji nyali di rumah ini, asalkan kamu nggak ganggu hidup aku lagi.”
“Fine. Lagian ini masih pagi kok, nggak ada yang perlu Kak Aldi takutkan.”
Aldi bergegas memasuki halaman rumah itu sambil merutuki Kana. Tak pernah Aldi ketahui sisi Kana yang hari ini begitu licik, berbeda dengan Kana yang dulu selalu berbaik hati mendengarkannya dan tak pernah mengeluh ketika Aldi mementingkan dirinya sendiri.
Baru saja memasuki rumah tersebut, tiba-tiba ada chat masuk dari Kana.
Ikuti setiap petunjuk yang ada di dalam rumah, kak. Total ada 7 misi. Di setiap misi yang berhasil kakak selesaikan, kirim bukti berupa foto ke aku. Kurang satu foto saja, kak Aldi tahu ‘kan konsekuensinya?
Aldi menghela napas keras. “Dasar anjing!”
Berikutnya Kana mengirimkan chat lagi
Oh iya kak. Ini rumah mendiang nenekku. Kalau bisa, jaga sikap ya. Jangan berkata kasar.
.
Sudah 10 menit Kana berdiri di halaman rumah dengan stand-by menunggu chat dari Aldi, tapi masih belum ada tanda-tanda Aldi mengirimkan foto padanya.
“Aneh,” desis Kana. “Misi pertama nggak terlalu menakutkan kok.”
Sementara itu, Aldi masih was-was untuk melepas kain kuning yang terikat pada patung di sudut ruangan. Dia meyakinkan diri untuk tidak berkata kasar lagi dan membaca segala macam surat yang dia ketahui ketika mendekati patung itu. Baru saja dia memegang kain kuning tersebut, terdengar suara benda yang runtuh di belakangnya. Aldi hampir saja menjerit sambil memejamkan mata erat, tapi beberapa detik kemudian dia berhasil mengendalikan diri. Dia melepaskan kain kuning itu dengan tangan yang bergetar hebat, lalu tangan kirinya berusaha mengambil foto benda tersebut.
Di luar, Kana tersenyum ketika mendapatkan foto dari Aldi, namun untuk sesaat, jantungnya berdetak kencang ketika dia melihat sesosok anak di bawah tangan Aldi. Tapi kemudian, dia tertawa kecil, “si brengsek ini lihat nggak, ya?”
Berikutnya, Aldi membaca tulisan di kain kuning tersebut. Petunjuk untuk misi kedua.
“bakar dupa di kamar tamu.”
Aldi menahan napas. Sial sekali hari ini.
Dia baru saja melangkahkan kakinya di kamar nenek Kana, tapi dia merasakan adanya hembusan angin yang amat keras membelai tengkuknya di saat kondisi kamar tertutup rapat. Dia menyalakan senter dari handphonenya setelah memastikan lampu kamar tak dapat menyala. Malang sekali nasibnya, cahaya handphonenya langsung menyorot kursi goyang yang tiba-tiba bergerak sendiri.
“Permisi nek, permisi nek. Saya nggak niat ganggu nek, saya nggak niat ganggu.”
Bibir Aldi bergetar, lalu dengan membulatkan tekad untuk menyelesaikan misi gila ini, dia berjalan mendekati meja rias di dekat kasur. Untung sekali dia berhasil membakar dupa dengan satu kali percobaan. Aldi kembali mengirimkan foto pada Kana. Karena sejauh ini tidak ada kejanggalan yang benar-benar berarti—dia masih berpikir positif apapun yang terjadi sebelumnya hanyalah hasil dari rasa paranoidnya—dia percaya diri bisa menyelesaikan 5 misi selanjutnya. Sambil mengirimkan foto, dia menanyakan petunjuk misi selanjutnya karena dia tidak menemukan apapun di sekitar dupa.
Kok fotonya ngeblur?
Aldi mengumpat dalam hati sembari membalas chat Kana
Ya plis lah, kursinya goyang tadi, pengen cepet keluar aku.
Kana merenung sesaat, lalu membalas chat Aldi.
Ya sudah kak
Baca tulisan di kaca meja rias
Petunjuknya di situ
Saat Aldi masih membaca petunjuk di cermin, terdengar suara tawa di belakangnya, membuat dia bergegas meninggalkan ruangan. Aldi mengelilingi lantai dasar rumah itu demi mencari ruang keluarga dengan televisi 18 inch. Misi selanjutnya dari Kana adalah memindahkan boneka barbie di atas tv ke etalase boneka di dekat sofa merah. Baru saja Aldi memegang boneka itu, mata boneka itu terlihat mengeluarkan darah. Spontan Aldi berteriak sambil melemparkan boneka barbie itu ke lantai. Aldi mengerjapkan matanya, dan boneka barbie itu terlihat baik-baik saja.
Ketika Aldi meletakkan boneka itu ke etalase, dia merasakan bahwa boneka-boneka lainnya seolah memandanginya sambil menertawakannya. Aldi mendesis pelan, entah mengapa ayat kursi yang sudah dia hapalkan dari kecil mendadak hilang dari pikirannya. Lidahnya kelu, membuat makian meluncur tanpa dia sadari. Dia buru-buru meninggalkan ruang keluarga begitu menemukan petunjuk lainnya di pintu etalase boneka.
Memasang lukisan di lorong dekat ruang tamu
.
Sekali lagi Kana mendengarkan teriakan yang cukup kencang, beberapa menit setelah dia mendapatkan foto Barbie—yang Aldi pikir sudah terpotret dengan jelas, tapi sekali lagi Kana tak melihat dengan jelas rupa barbie yang dia ingat, melainkan bentuk boneka yang dililit kain kafan. Mirip seperti pocong. Kana bergumam, “Ini masih pagi, tapi hawanya sudah menyeramkan begini.”
Lalu dia mendengarkan bisikan, sepertinya dari neneknya. Suaranya begitu lirih seperti desiran angin, disusul hembusan angin yang begitu kencang hingga hampir merobohkan pohon kering di halaman. Kana Cuma tertawa kecil menanggapi ceramah neneknya yang panjang lebar, bahwa Aldi lelaki yang tak baik untuk Kana. Kemudian raut wajahnya berubah, sulit diartikan apa yang Kana pikirkan sekarang.
Misi berikutnya adalah menggantungkan lukisan di dekat ruang tamu. Bukan lukisan istimewa duplikasi lukisan terkenal, hanya lukisan yang warnanya sudah luntur dan rupanya tak begitu jelas. Yang pasti mata Aldi mengenali lukisan itu merupakan gambaran seorang perempuan berumur 20an. Mungkin nenek Kana ketika masih muda.
Setelah memasangkan paku di dinding dan hendak menggantungkan lukisan tersebut, sepasang mata yang awalnya menatap lurus kini menatap Aldi. Tak hanya itu, bibir di lukisan tersebut menyunggingkan senyuman, seolah menertawakan Aldi yang begitu penakut. Sontak Aldi berteriak hingga lukisannya terjatuh dari kedua tangannya.
“Sial sial sial,” desis Aldi. Sejak memasuki rumah ini, tubuhnya tak henti-hentinya bergetar hebat. Sesungguhnya dia malu kalau harus mengakui ke semua orang bahwa dia sangat takut dengan keberadaan hantu, tapi rasa takut yang tak terbendung ini selalu berhasil mempermalukannya di depan banyak orang, termasuk Kana.
Aldi ingat tepat setahun yang lalu dia dan Kana mencoba wahana rumah hantu di dekat tempat kerja Kana, dan setelah mencoba wahana itu Kana tak henti-hentinya menertawakan Aldi yang matanya berair dan tak melepas genggamannya pada bahu Kana.
Aldi masih mengatur napasnya yang masih naik turun, kemudian bergegas memasang lukisan tersebut, dan kembali mengambil foto untuk dikirimkan pada Kana. Misi keempat, selesai.
Sayangnya di bawah lukisan itu, tertulis misi berikutnya.
Cuci muka dengan air di bak kamar mandi.
“Kana bangsat.”
.
Aldi kini mengucapkan berbagai sumpah serapah yang dia ketahui begitu air keruh di bak mandi berubah menjadi darah ketika dia menyiramkan air tersebut ke wajahnya. Aldi segera berlari ke luar rumah sambil memaki-maki Kana, namun dia merasakan kakinya terasa berat begitu sampai di ruang tamu. Dia melihat sosok perempuan dengan wajah yang hancur memegangi kedua kakinya.
Aldi tercekat, tak sanggup mengeluarkan suara untuk meminta pertolongan.
“Jangan berisik...” ucap perempuan itu, lalu tertawa dengan suara yang begitu rendah namun terasa begitu menusuk pendengaran Aldi. Aldi masih berusaha meronta untuk bisa berjalan, namun tetap tak bergeming. Mulutnya pun bergerak liar, berusaha mengucapkan kata maaf walau dia tak tahu pasti mengapa dia harus meminta maaf, namun nalurinya menuntutnya untuk melakukannya.
“Foto,” perintah perempuan itu kemudian. Awalnya Aldi bingung, apa maksud dari perempuan itu? Lalu kemudian dia teringat bahwa dia harus menyelesaikan misi Kana. Kali ini Aldi mengumpat dalam hati. Seberapa jauh Kana bersekongkol dengan makhluk-makhluk penghuni rumah ini?
Dengan susah payah, Aldi menggerakkan tangannya untuk mengambil selfie, karena misi tersebut harus dibuktikan dengan foto wajah yang basah karena air di bak mandi.
Begitu Kana menerima foto tersebut, Kana sendiri hampir mengumpat saking kagetnya. Wajah Aldi penuh dengan darah. Walau begitu, Kana kembali tertawa. Ada kepuasan tersendiri begitu melihat raut wajah Andi yang sangat ketakutan setelah menjalankan misi demi misi yang dia lakukan.
Setidaknya semua berjalan sesuai rencana, pikir Kana. Kana sudah mengira jika di tengah jalan Aldi membatalkan misi dan masa bodoh dengan ancamannya, Kana harus kembali memutar otak agar Aldi mau menuntaskan misi rumah hantu ini. Bagaimanapun, Kana ingin menunjukkan bahwa salah bagi Aldi untuk mempermainkan seorang Kana. Kana sudah mendedikasikan banyak hal untuk Aldi dan sebagai gantinya, Aldi malah menghamili perempuan lain ketika masih menjadi kekasihnya.
Sekarang Kana mengagumi kemampuan neneknya. Tak hanya bekerja sama dengan penghuni lain rumah itu, neneknya bahkan berhasil mengendalikan Aldi, seolah ia terhipnotis untuk tetap berada di rumah itu sampai dia selesai melakukan semua yang Kana inginkan. Kana tahu pasti Aldi sangat takut dengan keberadaan ‘mereka’, sampai-sampai ancaman apapun tak akan mempan bagi Aldi. Yang terpenting bagi Aldi adalah pergi sejauh mungkin dari mereka.
Tapi sejauh ini, Aldi masih berkutat di rumah itu.
Sesaat kemudian, Kana mendengarkan denting piano dari lantai 2. Sepertiya Aldi telah menjalankan misi keenam. Kana segera membuka aplikasi ojek online dan memesan driver untuk menjemputnya, sesuai dengan apa yang telah dia rencanakan malam sebelumnya.
.
Tertulis di dinding kamar mandi, misi berikutnya adalah memainkan piano di lantai dua. Di misi kali ini bukan foto yang harus menjadi bukti, melainkan rekaman suara, maka dari itu Aldi memainkan sembarang lagu yang dia ketahui pada piano tua itu dengan tergesa-gesa.
Hanya saja, sepertinya si pemilik piano tak merasa puas dengan permainan Aldi. Tangan Aldi pun terluka dengan bekas cakaran. Tak hanya satu kali, dua kali, tiga kali...
Bertubi-tubi dia mendapatkannya, hingga akhirnya Aldi menangkap sosok seorang laki-laki bertubuh kekar berdiri di depannya. Sama seperti sebelumnya, Aldi tak memiliki kekuatan untuk berteriak. Sekujur tubuhnya kaku, hanya jari-jemarinya yang leluasa bergerak.
“Air on G String,” desis lelaki tersebut dengan nada menuntut. Aldi menitikkan air mata, lalu berusaha memainkan lagu yang tak pernah dia ketahui tersebut. Malang sekali, dia mendapatkan semakin banyak sayatan di kedua tangannya.
.
Misi terakhir dengan susah payah Aldi lakukan setelah memohon-mohon pada pemilik piano melalui isyarat mata bahwa dia benar-benar tidak tahu melodi musik kesukaannya. Aldi menangis keras sambil menyusuri tiap ubin lantai, berusaha mencari satu-satunya kamar tidur di lantai dua. Tidak ada petunjuk apa yang harus dilakukan di kamar itu, hanya dituliskan ‘pergi ke satu-satunya kamar tidur di lantai dua’. Aldi berharap misi terakhir hanya perlu mengirimkan foto kamar tersebut dan penderitaannya berakhir secepat mungkin.
Sayangnya, untuk ke sekian kalinya, dia berteriak sangat keras begitu melihat sesosok mayat yang gantung diri di langit-langit kamar dengan mata melotot, seolah-olah menelanjangi kehadirannya. Di luar, Kana dan driver ojek yang baru saja datang bisa mendengarkan teriakan Aldi.
“Ada apa ya mbak?” tanya si driver was-was.
“Tenang aja mas. Cuma lagi uji nyali.”
Sebenarnya misi terakhir hari ini diusulkan oleh nenek Kana, makanya tak tertulis bagaimana Aldi harus mengirimkan bukti pada Kana. Kata nenek Kana, Aldi tak akan sanggup mengirimkan apapun di misi terakhir ini, maka Kana tak memberikan tugas apapun.
Benar juga, Aldi akhirnya keluar dari rumah itu dengan penampilan yang begitu menyedihkan. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat yang bercucuran, sepatu yang hilang sebelah, lengan kanan bajunya robek entah karena apa, serta wajah yang mengekspresikan ketakutan luar biasa, lengkap dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir...
Dan celana yang basah karena Aldi terlalu takut hingga harus kencing di celana.
Driver ojek Kana hanya tercengang, tak paham atas apa yang terjadi, sementara Kana sibuk menahan tawa lalu menghampiri Aldi.
“Mission completed,” ucap Kana sambil tersenyum puas. Aldi memberikan tatapan mata penuh kebencian, tapi jelas Kana tak merasa takut padanya. Kana pun memperlihatkan layar handphonenya di depan Aldi, lalu menghapus kontak Rani dari handphonenya. Tak hanya itu, dia juga membuka instagramnya dan bergegas meng-unfollow Rani. “Sudah ya. Aku sudah menepati janji lho. Nggak kayak kamu.”
Aldi tertohok mendengarnya. Awalnya Aldi merasa bersalah, sebelum akhirnya dia mendengarkan suara dari handphone Kana yang seolah sedang memotretnya.
“Apa-apaan ini, Na?”
Kana tersenyum jahil. “Kenang-kenangan. Setidaknya untuk bisa move on, aku harus punya senjata dong. ‘Beruntunglah aku nggak jadi nikah sama penakut ini’. Pesan semacam itu lah.”
Aldi berusaha merebut handphone Kana, tapi Kana berteriak, “Kuntilanak!!!”
Aldi berteriak lagi sambil menutup kedua telinga dan matanya sambil berjongkok. Begitu Kana tertawa, Aldi kembali sadar bahwa Kana kembali mengerjainya.
“Lagipula, kenapa kamu setakut itu sama hantu?” desis Kana. Kini ekspresinya begitu dingin dengan tatapan seolah ingin menerkam Aldi, membuat Aldi tak mampu berkata-kata. “Manusia lebih menakutkan daripada hantu.”
Setelahnya, Kana bergegas menghampiri driver pesanannya dan bergegas meninggalkan Aldi, tak betah untuk memperlama momen kebersamaan mereka barang sedetik.
.