Read More >>"> A promise
Loading...
Logo TinLit
Read Story - A promise
MENU
About Us  

​​​​Sempurna. Satu kata yang bisa mencerminkan sosok Raka di mata Sara. Raka itu tampan, cerdas, berprestasi, dan yang paling penting dia laki-laki yang sangat baik.

Sara mengenal Raka. Namun Raka tidak mengenalnya, atau mungkin tidak tahu bahwa ada Sara di sekitarnya. Karena Sara bukan tipe perempuan kasat mata yang membuat orang lain mau memerhatikan dirinya.

"Samperin aja. Loe ngga capek ngeliat dia dari jauh?" bisik Lindu, membuat Sara terkesiap kaget.

Sara menggerutu. "Nggak berani. Kalau gue sapa dia, dan dia nggak kenal gue, gue takut rasa sakitnya melebihi rasa sakit gue saat ngeliat dia sama cewek lain dari jauh," Sara menghela panjang. "Gue ngga mau tersakiti karena hal sepele begitu," lanjutnya diikuti langkah panjang menjauhi tempat Raka yang sedang berkumpul dengan teman-temannya.

"Kalau ternyata Raka suka sama loe gimana?" tanya Lindu begitu mereka sudah berada di kelas.

Sara terdiam. Diperhatikannya wajah cantik Lindu yang terlihat pucat, kemudian ia menggeleng. "Aku nggak mau bermimpi."

Lindu berdecak. "Pengecut," bisiknya. 

***

 

Sara menatap kosong gundukan tanah di hadapannya. Percakapan dengan Lindu minggu lalu terngiang, merasa kesal pada diri sendiri karena memilih mendiamkan Lindu karena percakapan tidak penting itu. Seandainya waktu itu mereka tidak bertengkar karena kekeraskepalaan Sara, mungkin gundukan tanah itu tidak akan pernah ada di sini. Mungkin, Lindu tidak akan menjadi mayat secepat ini. 

"Kamu Sara 'kan?"

Sara berbalik, menghadap sosok laki-laki yang selalu menjadi bahan utama gosip yang dibawa Lindu dulu. Raka.

Sara mengangguk. Terlalu kelu untuk berkata. Tangis sudah berada di kerongkongan, takut jika bersuara, hanya air mata yang akan mengaliri pipinya.

Raka tersenyum. Air mata membayang di pelupuk matanya. "Terima kasih karena sudah menjadi teman Lindu selama ini."

Lagi, Sara mengangguk. Tapi, kenapa Raka harus berterima kasih kepadanya? Pertanyaan itu tiba-tiba berkelabat dalam benak Sara. 

"Karena penyakitnya, Lindu jarang bisa punya teman. Hanya saya dan kamu yang menemani dia."

"Kamu kenal Lindu?" tanya Sara dalam suara yang siap menyemburkan tangis. 

Raka mengangguk. "Kami bersahabat sejak kecil. Tapi, di sekolah dia nggak mau dekat-dekat dengan saya karena takut kamu kabur."

Sara menelan ludah susah payah. "Jadi, kamu tahu?"

Raka mengangguk. Ada senyum di sudut bibirnya yang bisa Sara lihat. Mata Raka yang semula berkaca-kaca dengan sejuta kesedihan, menampakan sedikit binar yang Sara tahu juga ada di matanya kala melihat Raka. Dan pada detik itu, Sara tahu bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. 

Terlalu kaget dengan apa yang terhampar di depannya, Sara mundur beberapa langkah. Tanah yang setengah basah, mengingatkannya pada tempat di mana ia berada. Makam Lindu. Sahabatnya. 

"Maaf, saya harus pulang," pamit Sara. Dengan langkah panjang, ia meninggalkan Raka. Membiarkan Raka menatap punggungnya yang menjauh dan menghilang dalam keremangan sore yang mulai menjejak malam. 

Lindu benar. Baik Sara ataupun Raka, mereka berdua adalah pengecut. 

***

 

"Jangan jadi pengecut, Ra. Kalau memang Raka ngga sayang sama loe, ya loe harus buat dia jatuh cinta. Bukannya malah lari menghindari dia. Loe nggak langsung nembak dia kok. Gue cuma minta loe buat deketin dia, kenalan, jadi teman. Udah. Setelah itu loe nggak perlu menggalau lagi karena diri loe yang nggak kasat mata ini."

Sara mengingatnya. Pertengkaran terakhirnya dengan Lindu, dua hari sebelum hari kematian sahabatnya itu. Rasa bersalah yang belum sepenuhnya hilang tumbuh kembali, membentuk akar kuat seakan enggan untuk tercabut. 

Saat itu, Lindu datang ke rumahnya. Lindu marah karena Sara yang tiba-tiba mendiamkannya. Semua umpatan tercurah, yang pada akhirnya ditutup dengan kata maaf dan perpisahan. Lebih menyakitkannya lagi, perpisahan itu bukan hanya untuk sesaat, melainkan untuk selamanya. 

Sara tidak pernah tahu kalau selama ini Lindu sakit parah. Selama ini yang Sara tahu hanyalah Lindu penderita Anemia akut. Karena itulah wajah Lindu selalu terlihat pucat, sekalipun ia sudah berusaha menutupinya dengan make up

"Sejak kecil, Lindu punya kelainan di katup jantungnya. Beberapa bulan yang lalu sudah harus dioperasi, cuma belum ada pendonor yang cocok. Anaknya juga nggak mau dirawat di rumah sakit. Jadi, ya begini."

Sara memejamkan mata. Suara Tante Mayang, mama Lindu, seakan terngiang bagai kaset rusak yang menuturkan kalimat sama. Kesedihan terdengar jelas. Namun, ada ketegaran juga yang terselip di sana. Sara kalah. Di saat ia sendiri masih memikirkan kebodohan dan ketidakpekaannya, keluarga Lindu sudah mulai memantapkan hati, menerima keinginan Sang Pencipta.

"Bodoh, Ra. Kamu bodoh."

***

"Maaf saya ganggu obrolan kamu sama yang lain," bisik Sara ketika suasana taman sekolah sudah tidak seramai awal-awal istirahat. 

Raka mengangguk dengan segaris senyum di wajah tampannya. "Nggak apa. Mereka pasti ngerti."

"Soal yang di pemakaman waktu itu, saya..."

"Kamu nggak perlu jawab sekarang," potong Raka. "Masih ada banyak waktu. Lagipula, kita belum kenal terlalu lama 'kan?"

Sara menghela nafas panjang. "Bukan itu yang mau saya bicarakan."

"Lalu apa?"

Dengan susah payah, Sara menelan ludahnya, mengabaikan rasa sakit yang entah sejak kapan mengganggu kerongkongannya. "Kamu tahu kalau Lindu suka sama kamu? Suka dalam artian kalau dia cinta kamu sebagai laki-laki?"

Raka terlihat tenang. Ia terdiam beberapa saat, lalu menganggukkan kepala. "Saya tahu. Akhir tahun lalu dia pernah ngomong langsung. Tapi saya tolak karena waktu itu, bahkan sebelum dan setelahnya, saya cuma menganggap dia saudara."

"Apa waktu itu kamu udah suka sama saya?"

Raka menggeleng. Lagi-lagi ia tersenyum. "Belum. Saya tahu kamu setelah Lindu nembak saya. Sebelum itu, kamu ngga kasat mata."

Tertohok. Itulah yang Sara rasakan saat Raka mengatainya tidak kasat mata. Ternyata rasa sakit yang dibayangkan dan yang dirasakan secara langsung sangat berbeda. Apa yang ia rasakan ini seperti rasa malu bercampur dengan marah, kecewa dan kesal, membuatnya ingin menendang sesuatu hingga terbang jauh dari tempatnya semula. 

"Kenapa diam?"

Sara menggeleng. "Nggak. Saya cuma nggak menyangka kalau rasa sakitnya melebihi yang saya bayangkan," tutur Sara dengan tawa di ujung kalimatnya. 

"Yang kamu bayangkan?"

"Iya. Rasa sakit ditolak karena tidak pernah diketahui keberadaannya," ketus Sara. 

"Itu salah kamu sendiri. Lindu pernah bilang kalau dia punya seorang teman yang punya segudang kelebihan, tapi memilih untuk tidak melakukan apa-apa karena takut menjadi pusat perhatian. Saya semakin penasaran sama sosok kamu setelah Lindu bilang teman yang dia maksud itu adalah kamu," tutur Raka dengan senyum yang tetap melekat di wajahnya.

"Apa karena itu kamu suka saya?"

"Sebelum saya jawab pertanyaan kamu, kalau saya boleh tau, kamu tahu darimana kalau saya suka sama kamu?" tanya Raka. 

"Mata kamu. Cara kamu menatap saya, sama seperti cara saya dan Lindu natap kamu," jawab Sara dengan tatapan menerawang. 

Sara tidak tahu bagaimana bisa percakapannya dengan Raka ini membawanya pada sosok Lindu. Wajah sahabatnya itu tiba-tiba membayang, dengan seulas senyum menawan dan tatapan berbinar. Wajahnya yang biasa terlihat pucat tampak berseri, meninggalkan semburat kemerahan pada tulang pipinya yang tinggi.

Sara mengingat wajah itu. Itu wajah Lindu saat untuk pertama kalinya mereka mencoba tutorial make up yang diperagakan oleh seorang youtuber cantik di channel youtube-nya. Bergantian mereka mencoba, dan pada akhirnya tertawa karena bukannya menjadi lebih cantik, mereka malah terlihat seperti tante-tante galak yang biasa muncul di TV. 

Sejak hari itu, mereka tidak pernah mencoba make up lagi. Perlengkapan yang saat itu Lindu siapkan pun, kini entah berada di mana. Saat itu, barang-barang itu mereka tinggalkan begitu saja karena ingin membersihkan wajah, dan setelah itu, Sara tidak mengingat apa-apa lagi. Mungkin, barang-barang itu kini sudah masuk masa kadaluarsanya. Entahlah. 

Tanpa Sara sadari, ia tertawa mengingat kekonyolannya bersama Lindu dulu. Untuk sesaat ia lupa bahwa semua itu adalah kenangan. Ia lupa bahwa Lindu kini tidak berada di tempat yang sama dengannya. Ia lupa bahwa pada kenyataannya, semua tidak akan sama lagi. Lindu pergi. Dan semua tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

"Jangan menangis!" bisik Raka ketika tawa Sara mulai berubah menjadi isak tangis. Tubuh Sara yang ramping didekapnya, berusaha menyalurkan perasaan tenang dan kekuatan dari sana. 

"Saya nggak bisa. Maaf," isak Sara, masih dalam rengkuhan Raka. 

Seakan mengerti makna dari ucapan itu, Raka berbisik, "Jangan jawab sekarang. Kita masih punya banyak waktu itu."

Sara menggeleng. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan hangat Raka agar bisa menatap wajah laki-laki itu. 

"Sampai kapanpun, jawaban saya akan tetap sama. Saya tetap nggak bisa."

"Kenapa?" tanya Raka. 

"Karena Lindu suka sama kamu. Dulu, kami udah pernah berjanji satu sama lain supaya nggak jatuh cinta pada laki-laki yang sama. Kalau pun itu sampai terjadi, kami akan mengabaikan perasaan itu dan tetap memilih persahabatan kami," tutur Sara.

"Lindu nggak pernah cerita ke saya kalau dia suka sama kamu. Saya tau perasaannya itu dari cerita mamanya kalau Lindu lagi suka sama laki-laki yang namanya Raka. Waktu itu saya marah sama dia, sampai akhirnya saya mulai paham kalau ternyata Lindu mengalah. Dia selalu membujuk saya agar mau mendekati kamu. Tapi, saya menolak karena janji itu."

Raka terdiam. Terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu. 

"Lindu memang udah meninggal. Tapi janji itu tetap ada. Janji itu adalah hutang saya ke Lindu. Saya nggak bisa mengingkarinya, sekalipun Lindu selalu mendorong saya untuk dekat sama kamu. Maafin saya, Ka," lanjut Sara ketika Raka hanya terdiam sembari menatap dirinya. 

Raka mengangguk. "Saya mengerti. Tapi, kita masih bisa jadi teman 'kan?"

Sara menggeleng. Wajahnya ia tundukkan. "Sampai saya yakin kalau saya bisa menepati janji itu, saya mohon sama kamu anggap saya nggak pernah ada. Saya juga akan ngelakuin hal yang sama."

Raka terdiam. Cukup lama ia menatap wajah Sara yang nyaris tertutupi helaian rambut. Sampai suara bel sekolah memekakkan telinga itu berbunyi, menyadarkannya bahwa semua berakhir di sini, bahkan sebelum dia memulai perjuangannya. Sara menginginkannya pergi, dan dia hanya bisa mengikuti perintah itu jika tidak ingin tersakiti lebih jauh lagi.

"Baik. Senang bisa kenal sama kamu, Ra." Raka mengulurkan telapak tangannya. 

Sara mendongak. Mencari makna di balik senyum yang tertoreh pada wajah Raka. Sara menghela nafas panjang, dibalasnya uluran tangan itu.

"Senang bisa jatuh cinta sama laki-laki seperti kamu, Ka. 

***

Sara dan Lindu termenung menatap layar televisi yang mulai menampakkan nama-nama kru di belakang layar pembuatan film yang sejak dua jam lalu mereka tonton. Sara menghela nafas panjang, lalu Lindu mengikutinya dengan suara yang menahan senggukan. 

"Film-nya udah selesai, Ndu. Loe masih sesenggukan aja," sindir Sara. 

"Sedih, Ra. Waktu nonton itu, gue ngebayangin loe ngekhianatin gue karena cowok. Setelah itu, karena gue dendam sama loe, gue nekad ngebantai loe. 'Kan gue serem," tutur Lindu yang berhasil menciptakan kerutan di dahi Sara. 

"Kita nonton drama, bukan thriller, Ndu."

Lindu mendengus, lalu melemparkan bantal sofa yang disandarinya tepat ke wajah Sara."Gue tau. Itu 'kan cuma sebatas imajinasi gue aja. Lagian, kita nggak akan begitu. Kalau pun kita suka sama cowok yang sama, gue akan ngalah demi persahabatan kita," tutur Lindu dengan seulas senyum di wajahnya. 

Sara tersenyum. "Gue juga. Gue akan mengalah buat loe. Demi persahabatan kita."

"Janji? Kalau seandainya ada cowok di antara kita, persahabatan ini yang akan kita utamakan?" Dengan wajah penuh harap dan binar kebahagiaan di matanya, Lindu menatap wajah Sara yang menampakkan ketenangan. 

"Janji, Ndu. Gue janji," bisik Sara, meyakinkan

Lindu melonjak. Dipeluknya tubuh Sara yang memiliki bobot lebih berisi darinya itu. "Saraaa... Sumpah demi apa, gue sayang banget sama loe!" serunya. Selang beberapa detik, dilepaskannya pelukan itu lalu berujar, "By the way Kita coba praktekin tutorial make up yang kemarin yuk. Gue udah bawa perlengkapannya."

 

END 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ti Amo
456      252     2     
Romance
“Je t’aime, Irish...” “Apa ini lelucon?” Irish Adena pertama kali bertemu dengan Mario Kenids di lapangan saat masa orientasi sekolah pada bulan Juli sekitar dua tahun yang lalu. Gadis itu menyukainya. Irish kembali bertemu dengan Mario di bulan Agustus tahun kemudian di sebuah lorong sekolah saat di mana mereka kembali mencari teman baru. Gadis itu masih menyukainya. Kenyataannya...
Awal Akhir
650      404     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
My Idol Party
828      414     2     
Romance
Serayu ingin sekali jadi pemain gim profesional meskipun terhalang restu ibunya. Menurut ibunya, perempuan tidak akan menjadi apa-apa kalau hanya bisa main gim. Oleh karena itu, Serayu berusaha membuktikan kepada ibunya, bahwa cita-citanya bisa berati sesuatu. Dalam perjalanannya, cobaan selalu datang silih berganti, termasuk ujian soal perasaan kepada laki-laki misterius yang muncul di dalam...
ANSWER
630      368     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
Teru Teru Bozu
533      304     2     
Short Story
“Teru-teru bozu, make tomorrow into a bright day and i’ll bring you something”
Strange Boyfriend
172      139     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Peneduh dan Penghujan
264      216     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta
Shymphony Of Secret
175      138     0     
Romance
Niken Graviola Bramasta “Aku tidak pernah menginginkan akan dapat merasakan cinta.Bagiku hidupku hanyalah untuk membalaskan dendam kematian seluruh keluargaku.Hingga akhirnya seseorang itu, seseorang yang pernah teramat dicintai adikku.Seseorang yang awalnya ku benci karena penghinaan yang diberikannya bertubi-tubi.Namun kemudian dia datang dengan cinta yang murni padaku.Lantas haruskah aku m...
Seberang Cakrawala
75      71     0     
Romance
sepasang kekasih menghabiskan sore berbadai itu dengan menyusuri cerukan rahasia di pulau tempat tinggal mereka untuk berkontemplasi
Senja (Ceritamu, Milikmu)
5228      1380     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...