Lonceng tanda masuk berdentang nyaring. Lapangan sekolah yang riuh sejak setengah jam lalu dengan cepat menjadi sepi. Anak-anak berlarian masuk kelas, meninggalkan bola basket, disusul papan berisikan nama, foto dan kalimat support kepada si jagoan, bando-bando plastik, pom-pom dan sampah plastik di pinggir lapangan sekolah.
“Kamu sudah memberikan suratnya?” Putri berbisik perlahan.
“Belum.”
“Kamu harus segera memberikannya, Del.” Putri berbisik lagi, seperti takut di dengar orang lain.
“Tapi, apa gak aneh, Put?”
“Memangnya kamu mau keduluan dia?” ucap Putri sambil menunjuk seorang gadis berpita merah muda. “Gakpapa kali kalo cewek nembak duluan.”
“Nembak siapa?” Adit mengulang ucapan Putri.
“Eh?” Putri menggaruk kepala.
“Main, Dit. Kan belum lonceng.” Delisa menjawab ngasal.
“Sembarangan. Lonceng sudah dari tadi. Kenapa belum masuk kelas, sih?” mata Adit menyelidik kedua pasang mata temannya dengan tajam.
“Kepo banget sih, Dit!.” Celetuk Putri.
“Apaan sih, Put? Judes amat. Aku gak nanya kamu kali.” Protes Adit.
“Udah deh, guru udah datang tuh.” Delisa berseru sambil tangannya menyelipkan amplop ke sembarangan buku.
Putri dan Adit tidak perlu diteriaki dua kali, bergegas masuk ke dalam kelas.
Pelajaran pun dimulai.
“Bagus sekali, Delisa! Kamu lagi-lagi memperoleh nilai terbaik.”
Suara Bu Nurul memecah keheningan kelas. Wanita berkaca-mata itu berseru dengan wajah tanpa ekspresi, menatap Delisa yang baru saja menerima hasil ulangan.
Kelas seketika ramai oleh tawa. Shakira yang duduk di barisan terdepan juga ikut tertawa. Putri yang duduk di belakangnya menarik beberapa helai rambut gadis berpita merah muda tersebut. Dengan mata melotot, dia menegur Shakira, “Itu tidak sopan, tahu!”
Shakira mengangkat bahu. “Apanya yang tidak sopan?”
Ini adalah pelajaran ketiga, pelajaran kimia. Bu Nurul memulai pelajaran dengan membagikan satu per satu lembar jawaban ulangan anak-anak minggu lalu. Delisa dan teman-temannya tahu sekali maksud kalimat “nilai terbaik” itu. Di kertas yang dipegangnya hanya ada angka 3 dari maksimal 10.
“Kalian harus terbiasa belajar setiap hari dan mempersiapkan diri. Masih awal semester. Ibu kecewa dengan nilai rata-rata yang hanya tujuh. Ibu percaya kalian bisa lebih baik lagi. Dan kamu, Delisa, kamu merusak nilai rata-rata kelas. Apakah kamu tidak bisa belajar dengan serius?”
Semua teman-teman di kelas sekarang menoleh ke arah Delisa. Yang di tatap hanya garuk-garuk kepala.
“Kalau kamu tidak bisa, bisa tanyakan ke Ibu. Dan kalau kamu malu, kamu juga bisa tanyakan kepada teman kamu. Jangan malu untuk bertanya apalagi gengsi? Nah gengsi ini yang salah. Beberapa solusi yang bisa dilakukan seperti belajar dengan orang tua, panggil guru private ataupun belajar kelompok dengan teman. Kamu bisa belajar dengan Dilan. Lihatlah, lagi-lagi, Dilan yang memperoleh nilai tertinggi. Kamu dengar itu, Delisa?” Bu Nurul menghela napas panjang.
Adit lagi-lagi menutup mulut, menahan tawa.
“Apanya yang lucu, Dit?” Putri menoleh, berbisik.
“Eh, lihat tuh, wajah Delisa lucu sekali. Aku yakin, dia itu pasti...,” Adit berbisik geli.
Putri keberatan, lantas memotong kalimat Adit, “Delisa teman kita, Dit. Kamu tidak boleh menertawakannya. Lagi pula, kamu tahu persis dia hanya malas, bukan bodoh.”
Adit lagi-lagi mengangkat bahu. Apa salahnya tertawa? Demikian maksud ekspresi wajahnya.
“Sekarang mari kita lihat pekerjaan rumah kalian sebelum melanjutkan materi kita hari ini.”
Masing-masing anak mengumpulkan buku PR mereka. Kemudian Bu Nurul menarik salah satu buku dari tumpukan dan tanpa sadar sebuah amplop kuning meluncur dari salah satu buku PR Kimia.
“Amplop siapa ini?’
Tidak ada yang menjawab.
Delisa melihat dengan wajah cemas, menoleh Putri di depannya. Khawatir amplop miliknya yang belum ia berikan kepada Dilan dibacakan. Alamat menanggung malu karena sekarang Bu Nurul membuka amplop tersebut.
“Dear, Dilan.” Bu Nurul mulai membaca, “Aku telah coba jadikan semua itu nyata. Tidak terkurung dalam angan maupun mimpi. Semua upaya diri ini karena kamu....,”
Teman sekelas Delisa segera menahan tawa. Melihat itu, Putri ragu-ragu mengacungkan tangan.
“Maaf bu, saya izin ke toilet.”
“Kamu mengganggu sekali, Putri. Ibu baru saja mau membaca isi surat ini.” Bu Nurul mengelus dahi.
Putri nyengir. “Maaf, Bu. Panggilan alam.”
Tepat sebelum Putri meninggalkan kursinya, ia sempat berbisik pada Adit, teman sebangkunya. “Kamu harus pastikan, jangan sampai Bu Nurul membaca surat itu sampai selesai.”
“Memangnya itu surat milik siapa?” tanya Adit.
Putri pun mengedarkan pandangannya ke arah Delisa yang sudah tampak panik. Melihat itu, tanpa perlu penjelasan lebih lama, Adit mengangguk setuju.
“Baik, kita lanjutkan isi suratnya,” Bu Nurul melambaikan tangan, menyuruh kelas diam, membaca kembali kertas tadi, “Kamu buat aku berjuang tanpa kenal letih. Bertarung dengan terik mentari dan hujan. Eh?” Bu Nurul terdiam sejenak, bahkan melepaskan kaca-matanya.
Seluruh isi kelas tertawa. Delisa yang tadi cemas malah semakin cemas. Melihat itu, Adit melanjutkan rencana Putri.
“Aku terpanjat. Sesaat dunia seakan berhenti berotasi pada porosnya. Sangking terkersima pesona indahmu. Aku terjatuh dalam lubang cin...,”
“Haaaaatchihhhhh...”
“Kamu kenapa, Adit?” Bu Nurul kembali menghentikan untuk membaca isi surat tadi.
“Maaf Bu, Adit sedang tidak enak badan. Boleh izin ke UKS?”
“Oh, silahkan.”
Adit pun meninggalkan kelas. Namun kepergiannya tak mengubah apa pun. Bu Nurul masih ingin melanjutkan membaca surat tersebut. Hingga tiba-tiba saja sebuah keberuntungan menghampiri Delisa.
“Maaf, Bu. Akan lebih baik jika kita melanjutkan materi daripada membaca surat tersebut.” Usul Dilan yang kemudian disetujui Bu Nurul.
“Baiklah,” Bu Nurul memasang kaca-mata kembali, meletakkan kertas tadi di atas tumpukan PR Kimia. “Kita lanjutkan materi berikutnya.”
Perhatian kembali ke depan.
Mendengar itu membuat Delisa bisa kembali bernafas dengan lega. Ia bersorak dalam hati. Dari kaca jendela, ia bisa melihat kedua temannya melambaikan tangan. Sengaja keluar kelas untuk mengulur waktu.
***
“Thanks guys.” Ucap Delisa sambil meletakkan mangkuk bakso ke atas meja. “Kok, kamu jadi pinter akting gini sih, Put?”
“Ya gitu, deh.” Putri tersenyum lalu menambahkan empat sendok sambal ke dalam mangkuk baksonya. “Untung si Adit aktingnya juga bagus.” Putri melirik ke arah Adit sambil mencicipi racikannya.
“Jadi, kamu meragukan keahlianku ini, Put?” protes Adit sambil tangannya meraih mangkuk sambel dan menambahkan dua sendok sambal.
“Kalau gak dibantu Dilan, belum tentu berhasil,” ucap Putri sambil ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. “Ngmong-ngomong, Dilan kesambet apaan ya, sampai mau bantui juga?”
“Mungkin dia mulai suka sama aku.” Ucap Delisa, percaya diri.
“Pede banget sih, Del.” Adit menatap Delisa. Ia mengerutkan keningnya sambil ber-hah menahan pedas, “Kenapa dia mau bantu kamu, karena memang dia ingin belajar dan tidak mau membuang-buang waktu.”
Sekarang giliran Delisa yang cemberut. “Paling nggak, beri aku semangat kek, Dit.”
Belum sempat Adit membalas ucapan Delisa, Dilan telah datang.
“Rupanya kalian sedang berkumpul di sini,” Dilan tersenyum tipis. “Ini surat kamu, kan, Delisa?”
Bersamaan dengan kedatangan Dilan, muncul juga serombongan anak perempuan yang lebih berisik daripada rombongan bebek. Dilan memang ganteng, bahkan terlalu rupawan.
Dengan tubuh yang tinggi dan tegap, mata yang sipit tajam di bawah sepasang alis yang tebal dan hidung yang sedikit mancung serta bibir yang tipis. Laki-laki itu tersenyum, dan senyumnya seperti itu pasti membuat produsen mana pun berebut untuk mengabadikan senyum seperti itu dan memasangkannya ke iklan mereka. Maut banget. Tapi sayangnya, senyum itu sangat mahal.
“Darimana kamu mendapatkan surat ini?” tanya Putri memecahkan keheningan.
“Tadi, Bu Nurul menyuruhku membuangnya. Namun, menurutku akan lebih baik jika surat ini aku kembalikan kepada pemiliknya. Ini punyamu, kan, Delisa?”
Mendengar namanya disebut, Delisa menjawab dengan terbata-bata, “E-eh, i-ii-iyy-a. Eh tapi kamu tau darimana?”
Dilan menarik sudut bibirnya sedikit dan meninggalkan meja Delisa dan teman-temannya tanpa meninggalkan jawaban dari pertanyaan kamu tau dari mana?
“Sudah malas belajar, jangan nyari masalah. Buat apa ke sekolah kalau cuma untuk main-main?”
Namun pemandangan indah itu tidak berlangsung lama. Delisa merasakan pipinya memanas. Benar-benar keterlaluan! Dalam hati, ia memaki. Ia memang sudah naksir Dilan sejak lama, tetapi bukan berarti Dilan bisa seenaknya mempermalukan Delisa di depan banyak orang. Lagian, surat itu juga belum ia kasih kepada Dilan.
“Jangan dimasukkan ke dalam hati, Del.” Tutur Putri lalu meneguk segelas es teh dengan cepat.
“Gak bakal, Put. Toh, isi hatinya udah ada Dilan.” Sambung Adit dengan sedikit tertawa.
Delisa melotot, mengancam Adit dengan bola bakso.
Adit tertawa dengan nada mengejek. Sedangkan Putri hanya menahan tawa sambil memutar sedotan minumannya yang sudah habis.
Melihat itu, Delisa sungguhan menimpuk Adit dengan bola bakso. Adit masih tertawa dan cekatan menghindar. Tapi, bola bakso yang dilemparnya mengenai kepala anak kelas dua belas. Melihat itu, mereka terpaksa bergegas kabur dari kantin.
“Kamu cari masalah, Del. Cowok itu kakak kelas kita.” Putri berlari-lari kecil menarik Delisa dan Adit sambil berbisik sebal ke arah Delisa. Delisa dan Adit patah-patah mengikuti langkah kaki Putri, melewati keramaian kantin.
Tadi itu, jelas-jelas bukan salah Delisa. Sasarannya kepala Adit dan salah siapa mereka duduk persis di belakang Adit?
Mereka bergegas kembali ke kelas.
***
“Gila banget, nih.” Delisa mengomeli diri sendiri. Merasa tidak waras masih bisa cengengesan memikirkan Dilan, padahal seharusnya ia marah dan membenci laki-laki tersebut.
Cinta benar-benar bisa mengubah batu yang keras menjadi lunak, begitu ucapan Putri. Biarpun menyebalkan, entah kenapa laki-laki itu masih menjadi laki-laki impian. Ganteng, cerdas dan cool.
Delisa pun menghampiri meja Putri, meminta pendapat dari sahabatnya tersebut.
“Ada apa sih, Del?” tanya Putri begitu sahabatnya menarik salah satu kursi di depannya.
“Mau minta pendapat, sih.”
“Apa?”
“Bagi tips dong, biar Dilan bisa melirik aku gitu.”
“Hmm.., Coba kamu searching di Google deh.”
“Oke.” Delisa pun menuruti kata Putri, lalu mengeluarkan ponselnya dan mengetik halaman yang ia cari.
“Sudah ketemu?”
“Emang bakal berhasil?” sambil menunjukkan hasil pencariannya kepada Putri.
“Coba saja.”
Tanpa ragu, Delisa menjawab, “Oke.”
Gadis itu kembali membaca artikel yang dia temukan.
“Gunakan lip gloss transparan. Nggak terlalu mencolok, tapi bisa bikin bibir jadi bersinar. Membuat penampilan jadi keren banget di depan gebetan.”
“Kemudian gunakan Natural face dengan bedak sewarna kulit supaya nggak terlihat berminyak dan ini akan membuat penampilanmu lebih cute.”
“Agar mata kamu lebih segar, besar, tajam dan menggoda, nggak ada salahnya menggunakan sedikit maskara. Gebetan bakalan klepek-klepek pas kamu mengedipkan bulu mata panjang menggodamu.”
Delisa cekikikan membaca tips dandan yang terakhir. Diam-diam, ia membayangkan Dilan terpesona padanya saat ia mengedipkan bulu mata penuh maskara.
BRUKK!!
Adit melemparkan buku ke wajah Delisa.
“Woi, jangan lempar sembarangan.” Delisa berseru sebal.
“Lagi ngelamunin apa, sih, Del? Dipanggil dari tadi gak nyahut?” tanya Adit dengan nada yang juga sedikit sebal.
“Kepo banget, sih, Dit.” Cetus Delisa.
“Aelah, bukannya kepo atau apa, ya. Tuh ada kakak kelas yang tadi kamu lempar pakai bakso berdiri di depan kelas.” Ucap Adit, kemudian memutar badan Delisa agar bisa melihat dengan jelas.
Melihat wajah kakak kelasnya itu membuat Delisa tersentak. Ada keperluan apa cowok itu ke kelasnya? Apakah kakak itu sudah tahu siapa yang melempar bola bakso ke kepalanya?
“Maaf, mengganggu waktu istirahatnya sebentar. Mohon perhatiannya, ya.” Ucap laki-laki tersebut yang berdiri bersama dua rekannya.
“Saya Rian, ketua OSIS di sini. Dan ini Ayu dan Budi. Izin mau mengingatkan kepada adik-adik sekalian bahwa mengingat sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan acara rutin setiap tahunnya, jadi dimohon untuk setiap kelas segera mengumpulkan uang iurannya kepada bendahara kelas.” Tutur Rian.
“Jadi, kepada bendahara, dimohon maju ke depan sebentar, ya.” Pinta Ayu sambil tersenyum.
Putri yang pada saat itu mengemban amanah menjadi bendahara kelas pun maju ke depan. Tampak keempat orang di depannya sedang asyik mengobrol. Sesekali putri tampak menggaruk rambutnya yang tidak gatal kemudian mengangguk.
Setelah merasa diskusi diantara mereka sudah cukup. Rian dan dua rekannya pun pamit dan keluar kelas untuk menyampaikan pesan yang sama kepada kelas lainnya. Tak lama setelahnya, lonceng tanda masuk berdentang.
“Nah, kan tadi udah dengar tuh pesan dari Kak Rian. Jadi langsung kutagih, ya.” Tutur Putri.
Teman-teman Putri pun mengikuti intruksi, kemudian mengantri untuk setoran kepada Putri. Tapi, pada saat giliran Delisa dan Adit, Putri merasakan perutnya memberontak.
“Ada ada, Put?” tanya Delisa.
“Perutku, sakit nih. Duh.” Balas Putri.
“Kualat, tuh.” Sambung Adit.
“Huusss.. sembarangan” sambar Putri cepat.
“Kebanyakan makan sambal, tuh.” Tutur Delisa.
“Iya kali, ya.” Putri pun cengengesan, “Eh, gantiin aku nyatat setoran dong, Del!”
“Kok aku? Adit aja.”
“Aelah, Del. Adit gak bisa dipercaya.”
Yang disebut namanya pun melotot. “Enak aja.”
“Tuh, kan, Del. Kamu aja.”
“Iya, Del. Kamu aja. Aku ikhlas kok.” Tambah Adit.
“Tapi, kan....,”
Putri pun memberikan catatan dan uang sumbangan kepada Delisa dengan cepat. “Thanks, Del. Aku izin ke toilet dulu.”
“Eh..” Delisa menatap Adit sesaat, sebelum memberi anggukan pada Putri.
***
Pagi kembali menyapa.
Setiba di sekolah, Delisa berpapasan dengan Dilan yang berjalan santai tanpa peduli sekelilingnya. Di samping Dilan yang entah bagaimana jauh lebih ganteng dari kemarin, terlihat Shakira mengajak ngobrol Dilan terus-terusan dengan alasan kepentingan kelas karena Shakira terpilih menjadi ketua kelas dan Dilan sebagai wakilnya.
Jelas sekali terlihat Shakira itu lagi caper. Padahal Delisa ataupun orang lain yang melihat hal itu, yakin seratus persen kalau Dilan tidak memedulikan Shakira. Ajaibnya, Shakira juga tahu hal itu. Yang lebih ajaib lagi, justru itulah yang membuat Shakira sangat tertarik pada Dilan.
Setibanya di kelas, Delisa menyambar buku PR milik Adit. Melihat itu, membuat Adit melotot menatapnya.
“Ngapain sih, Del?”
“Nyontek dong.”
“Kan biasanya kamu nyontek buku PR Putri?”
Delisa nyengir, “Putri belum dateng. Jadinya lihat punya kamu, dong.”
“Ogah.”
“Pelit banget, sih.”
“Noh, lihat punya Dilan. Udah dateng tuh, anaknya.” Tutur Adit sambil menunjuk-nunjuk ke arah Dilan.
Delisa kemudian menoleh kearah tujuan yang ditunjukkan Adit kepadanya, siapa lagi kalau bukan kearah Dilan yang dimaksud. Sejujurnya, Delisa gengsi nyontek sama Dilan. Bukan karena Delisa naksir Dilan dan ingin terlihat pintar, tapi keburu ciut mengingat penghinaan Dilan kemarin kepadanya. Sadar kalau dirinya sedang dipandang oleh Delisa, Dilan akhirnya angkat bicara.
“Sudah puas lihatin muka aku?” cetus Dilan.
“Siapa juga lihatin kamu. Jangan geer deh.” Bela Delisa sambil menyembunyikan semburat merah pipinya.
“Kalau bukan lihat aku, terus kamu lihatin tembok? Kurang kerjaan banget.” Jawab Dilan sambil menunjuk tembok yang disebelahnya.
“Tuh kan. Belum minta contekan saja sudah dikatain. Apalagi kalau sudah dibilang nyontek. Bisa-bisa jatuh juga nih harga diri. Duh, malunya.” Batin Delisa sambil menggelengkan kepala.
Dilan yang melihat tingkah aneh Delisa, menarik sudut bibirnya. Ada-ada saja kejadian pagi ini yang mengganggunya, pikir Dilan. Selang beberapa menit percakapan antara Dilan dan Delisa, Putri pun datang menghampiri tempat duduknya, di depan meja Delisa.
“Del, kamu kenapa?” Tanya Putri, heran melihat Delisa.
“Put, nyontek MTK dong.” Ucap Delisa dengan nada memelas.
“Oh...jadi mukamu kusut kayak setrikaan gitu karna mau nyontek tugas MTK?” Tanya Putri, mulai paham situasi.
Wajah Delisa langsung bersemu merah. Dilan pasti mendengar perkataan Putri. Tak perlu ditanya lagi karna tempat duduk Dilan berseberangan dengan Delisa.
“Duh, Put. Bisa nggak sih ngomongnya pelan sedikit.” Gerutu Delisa.
“Iya deh, maaf. Nih, bukunya.” Kata Putri sembari memberikan buku PR MTK-nya kepada Delisa.
“Del, soal iuran itu, uangnya sudah kamu hitung?” Tanya Putri.
“Sudah kok, Put, tenang saja. Malahan uang iuran itu aku bawa sekarang.” Jawab Delisa sambil menyalin jawaban dari tugas Putri ke dalam buku PR-nya.
“Kenapa kamu bawa sekarang, Del? Kan aku mintanya besok, bukan sekarang.”
“Aku kira kamu mintanya hari ini. Jadi, ya, aku bawa.”
“Kalau gitu, nanti uangnya disimpan aja di loker ya, Del. Takut hilang soalnya.”
“Oke.”
Tiba-tiba Pak Henri, guru MTK masuk ke dalam kelas dengan wajah ceriah. Keriuhan kelas pun seketika mereda, menyadari kehadiran Pak Henri disekitar mereka, kecuali Delisa yang sibuk menyalin PR MTK Putri ke dalam buku PR-nya.
“Del, cepatan dong. Pak Henri sudah datang tuh.” Desak Putri.
“Sabar put, sabar. Bentar lagi kelar nih.” Jawab Delisa.
“Delisa Taguchi, tuh pak Henri sudah nyuruh kumpul. Entar kamu ketahuan lagi nyonteknya. Cepetan!” Seru Putri gemes.
“Yaelah Put, tak perlu nyebut nama lengkap, aku paham kok. Bentar ya.” Jawab Delisa.
“Delisa!!” Panggil Putri geram, kali ini dengan nada sedikit meninggi.
Tanpa mereka ketahui, Dilan melirik kearah mereka dengan menggelengkan kepala mendengar percakapan mereka yang sedari tadi mengganggu ketenangan Dilan.
“Kalau bicara pelan sedikit dong Put. Malu tahu!” Ucap Delisa sambil menoleh kearah Dilan.
“Bodo amat, Del. Makanya cepetan, Del.” Tutur Putri dengan nada ketus.
“Iya-iya.” Jawab Delisa.
***
Delisa pun bergegas menuju loker untuk menyimpan uang iurannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat dilan sedang memainkan bola basket. Melihat Delisa yang diam saja, membuat Putri menyeretnya ke kolam. Delisa dan teman-temannya pun bergegas menuju kolam renang sekolah yang terletak di halaman belakang sekolah. Setidaknya, hingga lonceng istirahat selanjutnya berbunyi, tidak ada kejadian yang membuat Putri tambah jengkel. Pelajaran olah raga, dia suka. Putri memasang wajah sumringah selama pelajaran berlangsung. Sepertinya hampir seluruh teman sekelas menyukai guru olah raga, Bu Anisa. Dia persis seperti atlit berbakat seperti yang atlit lainnya yang sering disiarkan di siaran televisi nasional, pintar, cantik dan pandai bergurau. Hanya Tio yang tampak kusut, dengan wajah tertekuk di pojokan kolam renang. Entah apa yang sedang dia pikirkan sejak tadi.
Lonceng istirahat terdengar merdu setelah satu jam bermain air. Ini sangat menyenangkan. Delisa dan Putri pun bergegas menuju ruang ganti, begitu pun dengan teman lainnya.
Tak lama kemudian, sebuah suara mengejutkan Delisa dan teman-temannya.
“DIMANA???” Teriak Shakira di ruang loker.
Delisa dan teman-temannya pun bergegas menuju asal suara. Sayangnya, tiba di sana, Delisa sudah mendapati ruang yang sesak oleh teman-temannya dan beberapa orang guru.
“Ada apa, Shakira?” tanya Bu Anisa.
“Uang saya hilang, Bu.” Tutur Shakira, sedih.
“Dimana kamu meletakkannya, Nak?” tanya Pak Agus.
“Di dalam loker, pak.”
“Apakah lokermu lupa di kunci?”
“Shakira yakin sudah menguncinya.”
“Kapan terakhir kamu melihat isi loker?”
“Tepat sebelum pelajaran olah raga di mulai.”
Pak Agus dan Bu Anisa pun terdiam beberapa saat. Kemudian menatap anak-anaknya yang lain, yang kebetulan sedang menonton adegan ‘kehilangan’ tersebut.
“Ibu mau tanya, apakah diantara kalian, ada yang menyelinap keluar dari gedung sebelum jam pelajaran habis?” tanya Bu Anisa.
“Tidak, Bu.” Jawab anak-anaknya serentak.
Bu Anisa pun menatap anak-anaknya satu per satu sambil bertanya.
“Delisa, kamu berada dimana saat jam pelajaran olah raga?” tanya Bu Anisa.
“Sudah pasti di kolam renang, Bu.” Jawab Delisa.
“Sungguh?” tanya Bu Anisa kembali.
“Iya, Bu. Delisa sejak tadi bersama Putri. Dan kami tidak pergi kemana-mana.”
Kemudian Bu Anisa berganti menatap Putri. Tanpa perlu ditanya, Putri sudah bersuara duluan. “Putri juga sejak tadi bersama Delisa, Bu. Tidak kemana-mana.”
Bu Anisa pun mengangguk sambil mendengarkan setiap keterangan dari siswanya, sehingga membuatnya bingung. Tiba-tiba..
“Baik. Kalau begitu, Ibu minta seluruhnya berdiri dan menunjukkan telapak tangan kalian.”
Anak-anaknya pun mengikuti apa yang diperintah. Hingga beberapa menit kemudian, Bu Anisa menemukan yang ia cari.
“Sudah cukup. Ibu sudah tahu siapa pelakunya.” Tutur Bu Anisa.
“Bagaimana Ibu bisa tahu secepat itu?” tanya Shakira.
“Ibu bisa tahu dari telapak tangan kalian.” Jawab Bu Anisa, “Sebelum berita ini sampai ke telinga Kepala Sekolah, Ibu harapkan, yang mengambil uang Shakira, segera temui Ibu.” Tuturnya sambil meninggalkan ruang loker yang semakin sesak.
“Put, apa yang bisa dilihat dari telapak tangan?” tanya Delisa.
“Ntah. Aku juga gak ngerti.” Jawab Putri.
“Pasti magic.” Sambung Adit.
“Ngaco. Mana ada yang gituan di dunia serba modern ini?” ucap Delisa.
“Bisa aja, kan? Terus menurutmu tau dari mana?” balas Adit.
“Simple saja. Tangan si pelaku tidak memiliki kerutan. Karena jika si pelaku mengaku ikut berenang bersama kita lebih kurang selama satu jam, seharusnya tangannya sudah keriput karena terlalu lama berendam di air. Dan saat salah satu dari kita ada yang tidak keriput tangannya, artinya dia berbohong. Pasti dia lah pelakunya.” Sambung Dilan tiba-tiba.
Delisa, Putri dan Adit pun mendengarkan sambil mengangguk. Tiba-tiba Delisa teringat sesuatu.
“LOKERKU?” pekik Delisa tiba-tiba, lalu berlari menuju lokernya. Putri, Adit dan Dilan menatap bingung.
Tak lama kemudian, ia memeriksa isi loker.
“Uang iuran Kelas?” Ucapnya lirih tanpa suara saat melihat uang iuran yang dititipkan Putri kepadanya tidak ada di dalam loker.
Delisa pun menutup kembali lokernya dan bergegas menemui Bu Anisa.
Setiba di ruang Bu Anisa. Delisa bertemu dengan Tio, teman sekelasnya. Melihatnya, membuat Delisa berasumsi bahwa Tio-lah yang mengambil uang iuran kelas dari dalam lokernya.
“Permisi, Bu.” Sapa Delisa.
“Ada apa, Delisa?” tanya Bu Anisa, kaget. Di hadapannya, Tio sedang tertunduk pasrah.
“Uang saya juga hilang, Bu.” Ucap Delisa, cepat. “Kamu pasti juga telah mengambilnya, kan, Tio?” tanya Delisa sambil menatap wajah kusut Tio.
Yang ditanya pun menoleh. “Aku tidak mengambil uangmu. Sungguh.” Ucap Tio.
“Lalu siapa lagi? Bukankah lokerku berada tepat di sebelah loker milik Shakira. Sudah pasti kamu juga mengambilnya, kan?”
“Aku tidak mengambilnya, Delisa.”
“Mengakulah, Tio.”
Melihat perdebatan itu, membuat Bu Anisa harus segera menghentikan keduanya. “Sudah cukup, Delisa, Tio. Daripada saling berdebat, mari kita simak video rekaman cctv di ruang loker.”
Delisa mendengus sebal, begitu pula dengan Tio. Kini keduanya memperhatian tayangan video dihadapan mereka. Seketika, Delisa merasa putus asa melihat isi video rekaman cctv tersebut.
“Kalau bukan Tio, lalu siapa?” ucap Delisa, lirih. Kini kedua kakinya bergetar hebat. Bagaimana dia bisa menghadapi kemarah Putri?
“Kamu sudah memeriksa ke semua tempat, Delisa?” tanya Bu Anisa.
“Sudah, Bu.”
Kini, Bu Anisa bertanya kepada Tio. Selebihnya, Delisa tidak mendengarkan apa yang dibicarakan Bu Anisa dan Tio.
Tak lama, Delisa dan Tio dipersilahkan kembali ke kelas.
Delisa berjalan tanpa semangat. Kepalanya sedang asyik berpikir dimana uang iuran kelasnya? Bagaimana dia bisa menghadapi Putri? Bagaimana dia bisa menggantinya? Apa yang akan Ibunya lakukan padanya jika mengetahui masalah ini?
BRUKK!!!
Delisa tanpa sadar menabrak seseorang.
“Kalau jalan hati-hati, dong!” Tegur Delisa, sebal.
Yang ditabrak menoleh, “Kalau jalan juga harus konsentrasi.” Balas Dilan.
Delisa pun menutup mulut tak percaya bahwa dia menabrak Dilan. Mulanya sempat deg-degan, tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar. Wajahnya kembali resah.
Melihat ekspresi Delisa yang berbeda dari biasanya, membuat Dilan penasaran. “Ada masalah?”
“Hmm... gak ada.” Jawab delisa, gelagapan.
“Oke deh, kalau gitu.” Ucap Dilan, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Delisa.
Melihat Dilan yang mulai menjauh, membuat Delisa memutuskan untuk mengejarnya karena ia tidak mungkin meminta bantuan kepada Adit apalagi Putri.
“Dilan!” teriak Delisa.
Dilan pun menoleh, “Ya?”
“Aku.. aku mau minta bantuan sama kamu.”
“Apa?”
Dilan pun mengambil posisi duduk di dekat Delisa. Gadis itu tampak resah. Sesekali ia menarik napas panjang. Delisa pun menceritakan keresahannya. Dimulai dari Kak Rian yang meminta uang iuran dilunaskan, Putri yang tiba-tiba sakit perut, Putri yang menyuruhnya menggantikan tugasnya, Putri yang meminta dirinya untuk menyimpan uang di loker sebelum pelajaran olah raga. Mendengar itu, membuat Dilan sesekali mengerutkan kening. Namun, selebihnya, ia hanya bersikap datar. Apalagi saat tanpa sengaja Delisa melihat wajahnya sedang menatap diam-diam gadis di depannya, Dilan semakin mempertahankan wajah datarnya.
Melihat raut sedih pada wajah Delisa, memunculkan suatu ide menarik di benak Dilan.
“Saranku, kamu harus minta maaf kepada kak Rian, Del.” Ucap Dilan dengan nada prihatin.
“Apa menurutmu harus begitu?” Tanya Delisa, ragu.
“Tentu saja. Uang iurannya hilang karena siapa?”
“A..a..aku.”
“Bagus, kalau kamu sudah sadar. Aku duluan ya.” Pamit Dilan, lalu meninggalkan Delisa yang masih diam. Dari ekor matanya, ia bisa melihat wajah bingung gadis itu.
Delisa pun memutuskan untuk menemui Putri sebelum bertemu dengan Kak Rian. Namun, belum sempat ia beranjak, pandangan Delisa sudah beradu dengan Putri ketika ia membalikkan tubuhnya. Delisa terperanjak kaget dan mundur beberapa langkah. Melihat respon yang berbeda dari biasanya, membuat Putri bertanya-tanya. Pasti Delisa sudah membuat suatu kesalahan, lagi.
Putri pun menghampiri Delisa.
“Ada apa, Del? Kamu buat masalah lagi?” tanya Putri sambil berkacak pinggang.
“E..eh.. anu..” Tiba-tiba, Delisa merasakan kelu pada lidahnya.
“Anu apa sih, Del?” tanya Putri lagi.
“Hmm... itu, Put. Anuu...”
Geram melihat tingkah Delisa yang seperti orang gagap membuat Putri gemas. Ia pun menyeret Delisa ke tempat yang lebih baik supaya Delisa bisa dengan lancar bercerita.
Delisa pun mengatur nafas. Berusaha menceritakan masalah yang ia perbuat tanpa membuat Putri marah padanya.
Melihat dari ekspresi Putri saat mendengarkan ceritanya, tampak wajahnya akan meledak. Diakhir cerita, Delisa menelan ludah melihat respon temannya yang kini tampak marah. Oke, kalimat bercerita tanpa membuat Putri marah, ia ralat. Sudah pasti Putri akan marah.
“Bagaimana bisa uang itu hilang, Del?” Tanya Putri dengan nada tinggi.
“Aku juga tidak tahu, Put. Maafkan aku.” Ucap Delisa dengan nada lirih. “Kamu gak marah, kan, Put?”
Lima detik kemudian terdengar bunyi lonceng yang bergitu nyaring, menandakan bahwa pelajaran selanjutnya akan segera dimulai. Delisa dan Putri pun bergegas menuju kelas. Sepanjang pelajaran berlangsung, konsentrasi Delisa mulai terganggu. Ia masih memikirkan uang iuran yang hilang dan Putri. Bagaimana ia bisa mempertahankan pertemanan mereka. Ah, pikiran-pikiran jahat mulai merasuki Delisa hingga lonceng pulang berbunyi.
“Del, habis ini kita rapat untuk mencari keberadaan uang itu.” Ucap Putri.
“I-iya, Put.” Jawab Delisa, terbata.
“Dit, kamu habis ini ikut kita rapat ya.” Pinta Putri kepada Adit.
“Rapat apaan, Put?” Tanya Adit, heran.
“Jangan protes, Dit. Ini penting.” Seru Putri, memerintah.
“Memangnya kita bakalan rapat dimana, Put? Apa kita bakalan rapat di Mall atau cafe atau mungkin kamu mau ajak kita rapat di restaurant, ya kan, Put?” Lanjut Adit, menanyakan lokasi rapat mereka sambil melihat satu-persatu teman-temannya mulai pergi meninggalkan kelas.
“Kita rapat di kelas.” Jawab Putri.
“Yah...gak seru, dong.” Ucap Adit dengan nada malas, “Ini sebenarnya rapat apaan sih, Put?” Tanya Adit, penasaran.
“Rapat mengenai uang iuran yang hilang.” Jawab Putri dengan nada sedikit berbisik.
Mendengar jawaban dari Putri, membuat Adit menoleh kearah Delisa yang terlihat tidak dalam kondisi baik-baik saja. Adit menghembuskan napas panjang melihat situasi yang tidak seperti biasanya. Drama perempuan, gumam Adit dalam hati.
“Oke, langsung saja kita mulai rapatnya.” Tutur Putri, membuka acara rapat.
“Del, coba kamu ceritakan masalah kalian.” Pinta Adit, seperti mengerti maksud dari tatapan Putri.
Delisa pun menjelaskan kembali kronologi kejadiannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk membuat temannya paham. Delisa masih memasang wajah sedihnya, meminta maaf kepada Putri atas kecerobohannya, lagi.
“Cukup sampai di sini. Yuk, pulang!” Ucap Putri.
“Loh, kok pulang, Put. Kan uangnya belum ketemu?” Tanya Adit, heran.
“Iya, Put, Adit benar. Lagian besok uang itu akan diserahkan ke kak Rian, Put.” Sambung Delisa, bingung.
“Gini ya, Dit, Del. Hari ini sudah siang, lagian aku lapar dan aku juga gak tega melihat kamu, Delisa. Wajahmu pucat. Aku takut kamu kenapa-napa. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, maka aku putuskan untuk mencarinya besok. Lagian rapat ini diadakan untuk mendengar penjelasan dari kamu aja, kok, Del.” Jelas Putri.
“Baiknya kamu, Put. Jarang-jarang loh, Del, Putri seperti ini.” Puji Adit sambil menunjuk-nunjuk kearah Putri.
“Kamu itu niat mau muji nggak sih.” Ucap Putri, kesal.
“Pengen banget, ya, Put?” Ledek Adit.
“Awas aja kamu, ya, Dit!” Ancam Putri.
Ketika Adit ingin angkat bicara, Delisa lebih dulu mengambil alih suasana dengan mengajak kedua temannya pulang. Adit pun memasang muka cemberut.
***
Pagi kembali menyapa dengan indah. Pagi ini Delisa kembali merapalkan permohonannya kepada Sang Pemberi, berharap keinginan untuk bisa menemukan uang iuran itu terwujudkan. Dengan sedikit kepercayaan, Delisa mengeluarkan motor kesayangannya untuk bergegas pergi menuju sekolah. Di lain sisi, Dilan juga melakukan hal yang sama hingga mereka pun secara tidak sengaja pergi bersama. Sadar diikuti, Dilan akhirnya menoleh sebal.
“Kenapa ikuti aku?” Tanya Dilan, ketus.
“Siapa yang ngikuti.” Jawab Delisa, heran.
“Kamu. Siapa lagi?” Todong Dilan, sinis.
“Kamu aneh deh, Dilan. Aku tidak sedang mengikuti kamu tapi memang jalan kita searah. Kamu tidak lupa kalau kita sekelas?” Jelas Delisa.
Mendengar perkataan Delisa, Dilan pun duduk di kursinya dengan perasaan campur-aduk. Sementara, Delisa sudah sibuk berdiskusikan sesuatu bersama teman-temannya. Tak lama, terdengar suara bel, menandakan jam pelajaran di mulai.
***
Suara keriuhan dari dalam kelas terdengar jelas. Wajar saja, karena bel jam istirahat telah terdengar begitu merdu hingga satu persatu dari mereka pergi meninggalkan kelas kecuali Delisa, Putri dan Adit yang memilih menghabiskan jam istirahat dengan mencari keberadaan uang iuran yang hilang itu dan Dilan yang sibuk dengan buku bacaannya.
Mereka memulai pencarian tersebut dari dalam kelas, tempat loker sampai lapangan olah raga. Belum ada tanda-tanda keberadaan uang tersebut, bel masuk pun berbunyi, lagi.
“Itu bel perasaan cepat banget bunyi! Mana uang iurannya belum ketemu lagi.” Keluh Adit.
“Betul tuh, Dit.” Bela Delisa.
“Kalau begini, tidak ada pilihan lain, pulang sekolah kita harus cari uang itu. Karna Kak Rian bilang terakhir kumpulkan uang iuran itu jam 5 sore. Berarti kita masih ada kesempatan untuk mencari uang itu.” Jelas Putri.
“Oke, Put” Jawab Delisa dan Adit secara bersamaan.
***
“Duh, kemana lagi kita cari uang itu. Ini sudah 3 kali kita putarin tempat yang sama.” Keluh Putri.
“Mana ini sudah mau jam 5. Bisa marah Kak Rian kepadaku. Bukan Kak Rian saja yang bakalan marah tapi juga teman-teman sekelas pasti sudah menuduhku menggunakan uang mereka.” Ucap Putri, prustasi.
“Kemana lagi?” Tanya Putri dengan tangisan yang tidak bisa ia sembunyikan. Kali ini Putri yang tertunduk lemah berdiri menghampiri Delisa dengan emosi yang tidak bisa ia tahan lebih lama lagi.
“Semua ini gara-gara kamu, Del.” Ucap Putri sambil mendorong Delisa.
Delisa tampak kaget dengan perubahan emosi Putri. Memang Delisa akui, jika itu kesalahannya dan ia berpikir bahwa ia pantas mendapatkan dorongan tersebut. Namun, Adit yang berada diantara kedua orang itu tidak tinggal diam. Kini ia mulai melerai pertengkaran yang terjadi. Sementara dari arah kejauhan terlihat Dilan menyaksikan pertengkaran seperti sedang menonton sebuah pertunjukkan.
“Sudah, Put. Jangan begitu, kasihan Delisa. Ia kan temanmu juga. Kita bisa mengatakan semuanya dengan jujur.” Lerai Adit.
“Bagaimana caranya, Dit? Mereka tidak mungkin percaya dengan mudah kepada kita.” Terang Putri masih dengan amarahnya. Ia pun kembali mendorong Delisa hingga sebuah amplop keluar dari tas Delisa. Menyadari hal tersebut, membuat Adit berpikir cepat.
“Del, coba kamu ingat-ingat lagi, dimana hilangnya uang itu.” Pinta Adit.
“Kalau aku tahu, Dit, bukan hilang namanya tapi di simpen.” Jawab Delisa.
Adit pun maju beberapa langkah kearah Delisa. “Lalu, sebelum kamu simpen di loker, kamu simpen dimana, Del?”
“Didalam tas lah. Kan kamu lihat sendiri waktu itu.”
Adit pun menunduk dan mengambil sesuatu yang keluar dari dalam tas Delisa. “Del, ini amplop surat cinta kamu ke Dilan kemarin?” Tanya Adit.
“Iya, Dit. Kan aku udah cerita.” Ucap Delisa.
“Udah gendut aja amplopnya.” Komentar Adit.
“Jangan mengalihkan topik deh, Dit. Uangnya aja belum ketemu!” protes Putri.
“Put, sudah dong marahnya.” Tegur Adit sambil mengeluarkan isi ambil amplop cinta Delisa.
“Put, tampaknya kamu tidak jadi kena marah sama Kak Rian dan kamu juga tidak kehilangan kepercayaan teman sekelas. Karna aku tahu uang itu dimana.” Ucap Adit.
Refleks, kedua gadis yang kini bersama Adit menghampirinya secara bersama.
Adit pun mengeluarkan uang iurannya.
***
“Maafkan aku, Put. Sungguh, aku tidak tahu kalau uang itu ada disitu.” Ucap Delisa merasa bersalah ketika melihat uang iuran berada di dalam surat cintanya.
“Tidak apa-apa, Del. Justru aku yang minta maaf karna telah mendorongmu dua kali.” Jelas Putri sambil memeluk Delisa.
“Eh, tapi kok bisa, ya? Bukannya waktu itu kamu ke loker?” tanya Putri, masih dalam posisinya.
Delisa pun berusaha mengingat sesuatu kemudian menepuk jidat. “Waktu itu aku lihatin Dilan mainin bola basket, terus bel bunyi. Teruss.....aku lupa.” Ucap Delisa, menahan malu.
Keduanya tertawa.
“Cie...yang sudah baikan. Akunya tidak dipeluk nih.” Tutur Adit pura-pura ngambek.
Putri menatap tajam kearah Adit. Begitu juga Delisa. Bisa-bisanya Adit mencari kesempatan dalam situasi sekarang?
Diseberangnya tampak Dilan tersenyum melihat kejadian tersebut. “Benar-benar gadis bodoh. Uang iuran di dalam amplop surat miliknya saja, dia tidak tahu.” Batin Dilan.