“Arunima, akhirnya sebentar lagi kita akan bertemu....”
“Cahaya! Hei, Cahaya kau kenapa?” Cahaya membuka matanya, ia mencengkeram lengan temannya dengan erat, “mimpi buruk?”
Cahaya menganggukan kepalanya dan mengatur nafasnya pelan, “Iya, sudah berapa lama aku tertidur, Mbak Ren?” Cahaya bertanya pada Renatta sambil melihat sekitar.
“Belum ada satu jam, lagian kenapa juga kau tidur saat kita sedang outing gini? Mimpi apa sih hingga keringatmu sebesar jagung gitu?”
“Entahlah...” Cahaya mengusap wajahnya yang telihat pias. Ia mengedarkan pandangannya ke luar. Hanya hutan lebat yang dilihatnya.
Arunima.
Seketika bulu di tubuh Cahaya meremang. Sudah lama sekali rasanya ia mendengar nama itu. Ia mengusap lengannya untuk menghilangkan hawa dingin yang membuatnya takut. Ah mimpi ini bukan pertanda yang baik. Ia yakin masa lalu akan segera mengejarnya. Cepat atau lambat, mau tidak mau.
+++
“Perkenalkan nama saya Mahesa, saya berasal dari Jambi...”
Tubuh Cahaya mematung seketika. Bola matanya bergetar menatap laki-laki paruh baya itu. Kesunyian seketika menyergap dirinya. Cahaya cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan menatap lantai dengan gelisah. Ia berulang kali mengusap tangannya yang kembali merinding.
“Cahaya, kau baik-baik saja?” Renatta menyenggol tubuh Cahaya untuk kesekian kalinya. Cahaya tidak menyadari namanya dipanggil, ia berdiri dengan gelisah. Matanya tidak sengaja bertemu dengan laki-laki itu, Cahaya gentar seketika itu juga.
“Cahaya, halo, apa anda siap?” suara pembawa acara itu bahkan tidak terdengar oleh Cahaya karena dalam waktu yang bersamaan ia mendengar suara yang lebih kuat, tidak hanya dari indera pendengarnya namun terdengar dari seluruh indera yang ada padanya.
“Aku menemukanmu Arunima...”
Suara itu tidak lain berasal dari laki-laki bernama Mahesa. Ia menatap Cahaya dengan mata seekor harimau yang seolah siap menerkam mangsanya. Seketika itu juga Cahaya pingsan. Ruang pertemuan kacau. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu penasaran dengan apa yang terjadi.
“Dia hanya pingsan”, entah sejak kapan Mahesa sudah berada di samping Cahaya.
“Panitia punya ruang perwatan, kita bisa membawanya ke sana. Tim medis akan segera datang...” belum selesai panitia pertemuan itu bicara, Mahesa sudah merengkuh Cahaya dalam pelukkannya dan menggendongnya keluar.
“Bisa tunjukkan jalannya?” tanya Mahesa pada dua orang wanita yang terpaku melihatnya membawa Cahaya dalam pelukkanya. Bahkan usianya yang sudah tidak bisa dikatakan muda itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa Mahesa adalah laki-laki yang menarik bagi kaum hawa. Tubuhnya tinggi, wajahnya sulit dideskripsikan antara tegas namun juga memiliki keanggunan yang sangat mempesona.
“Se..se..sebelah sini...” panitia itu tergagap dan berjalan mendahului Mahesa. Mahesa berjalan mengikuti mereka dan masuk ke ruang perawatan. Tidak banyak orang di ruangan itu dan Mahesa meletakkan Cahaya pada salah satu tempat tidur yang ada di samping jendela. Mahesa dengan lembut menyentuh dahi Cahaya.
Tidak ada yang tahu selain Mahesa dan Cahaya bahwa ada percakapan menarik di ruangan itu.
“Anda siapa? Apa yang Anda lakukan pada saya?” Cahaya bisa melihat ia sudah ada di ruangan yang berbeda. Laki-laki itu kini menyentuh dahinya dengan begitu lembut. Ada kehangatan yang menyenangkan yang mengalir dari sana namun Cahaya menyadari bahwa ia tidak bisa menggerakan badannya sama sekali. Ia seperti terjebak pada dimensi waktu yang berbeda. Ia seolah kehilangan kendali atas raganya.
“Aku Mahesa, kau sudah dengan jelas mendengarkannya tadi Arunima...” Mahesa terenyum, senyum yang bagi Cahaya sangat menakutkan dalam kondisi seperti ini.
“Apa anda mengenal saya?”
“Tentu saja, aku ke sini untuk membawamu pulang, sayang...”
Deg! Jantung Cahaya terasa ngilu seolah ada yang meremasnya dengan sengaja. Ia menatap Mahesa tidak percaya. Apa yang sebenarnya dilakukan laki-laki itu terhadapnya.
“Oh, kau sudah siuman Cahaya?” Bu Renatta ikut menghampiri Cahaya dan menggengam tangan kirinya, “kau lemas sekali...”
“Tolong aku Bu...” suara Cahaya tidak bisa keluar dari mulutnya.
“Ia tidak akan bisa mendengarmu...” Mahesa tersenyum saat ‘mengatakannya’.
“Sebaiknya Bu Renatta saja yang kembali ke ruang pertemuan. Saya yang akan menjaganya...” Mahesa kini tersenyum ke arah Renatta yang menatapnya tidak percaya.
“Bagaimana saya bisa meninggalkannya dengan laki-laki asing seperi Anda?” Renatta menatap Mahesa curiga.
“Mungkin Bu Renatta belum tahu, namun saya akan memperkenalkan diri saya lebih jelas lagi. Saya Mahesa, saya berasal dari Jambi, dan Vanesha Cahaya adalah kekasih saya...” Mahesa kini menundukkan kepalanya dan menyapa Renatta dengan lebih sopan.
“Kekasih Anda bilang? Sejak kapan? Apa Anda sudah gila?” Cahaya protes.
“Hyang yang menyuruhku untuk mencari wanita yang mengikat janji dengannya, dan kau orangnya. Jadi kau adalah kekasihku...”
“Hyang?” , Cahaya kembali di sergap kesunyian saat mendengar nama itu di sebut oleh Mahesa. Ia kembali merasa kedinginan.
“Kekasih? Cahaya tidak pernah membicarakannya...” Renatta lalu menatap Cahaya yang kini tangan kanannya bergerak. Gadis itu terlihat mencenkeram ujung lengan baju Mahesa.
“Jangan khawatir Bu, kalau Anda tidak percaya pada saya, Anda boleh berpesan pada petugas medis agar mengawasi saya. Mereka tidak akan meninggalkan ruangan ini kan pastinya...” Mahesa dengan santainya meraih tangan Cahaya dan menggenggamnya.
Cahaya bisa merasakan kehangatan yang mengalir dari tangan Mahesa mengusir hawa dingin yang menyelimutinya. Ia akhirnya memutuskan untuk menyerah, “bebaskan Saya, kita bicara baik-baik, dengan normal. Tidak seperti ini. Anda menyiksa saya...”
Saat itu juga Cahaya seolah kembali memiliki tubuhnya. Tenaganya beransur-ansur pulih dan kini ia perlahan duduk dibantu oleh Mahesa, “benar Bu, tidak apa-apa, dia ke..kekasih saya...”
“Kau tidak berbohong?”
“Tidak, Bu...” Cahaya melirik tangannya yang masih ada dalam genggaman Mahesa dan menghela nafas. Energi laki-laki itu terasa mengisi tubuhnya sehingga ia mau tidak mau harus menggenggamnya.
“Baiklah kalau begitu Ibu tinggal kalian berdua...” sepeninggal Renata, Mahesa dan Cahaya kembali terdiam. Mereka hanya duduk tanpa mengatakan sepatah katapun.
Cahaya memberanikan diri untuk melihat wajah Mahesa. Tapi tanpa Cahaya sadari tangannya telah menyentuh ujung mata Mahesa. Ia terkejut dan hendak menarik tangannya saat Mahesa menahannya.
“Kau mungkin menolaknya, tapi nalurimu tidak akan bisa mengingkarinya...” suara Mahesa hampir tidak terdengar namun Cahaya bisa dengan jelas merasakannya.
Mata Mahesa sangat tajam dan yang sangat aneh adalah bingkai matanya yang hitam seperti mengenakan eyeliner. Hal inilah yang tadinya membuat Cahaya penasaran, namun akhirnya ia menyadari bahwa warna itu asli. Iris matanya yang hitam membuat siapapun akan terpikat, masuk ke kedalaman matanya yang sangat indah namun juga penuh ancaman.
“Apa anda yang disebut sebagai keturunan pilihan?” tanya Cahaya.
“Aku pikir kau tidak mengetahuinya sama sekali”, Mahesa menoleh keluar jendela, menatap ke arah hutan.
“Ada yang ingin bertemu denganmu”, kata Mahesa tanpa menolehkan tatapannya dari hutan.
“Mahesa...” Cahaya juga mendengar suara itu. Keluar di antara kegelapan hutan.
“Apa kabar Eyang...” Cahaya ikut melihat keluar jendela dan ia kembali Ia tepaku melihat sosok hewan buas terlihat di antara gelapnya hutan. Seekor Harimau jantan yang sangat besar. Harimau itu menelengkan kepalanya dan menatap Cahaya.
“Hai gadis kecil...apa kau makan malamku hari ini?” Harimau itu mengatakannya sambil terkekeh, membuat Cahaya merapatkan tubuhnya pada Mahesa.
“Eyang jangan menggodanya...” Mahesa menepuk pelan punggung Cahaya. Menenangkannya.
“Apa dia Arunima?”
“Benar Eyang, aku ingin Eyang membantuku membuka kunci ingatannya...” Cahaya hanya terpaku, ia tidak mengerti apa maksud ucapannya mereka. Cahaya sebenarnya tahu kalau ia memiliki kemampuan aneh. Namun ia masih tidak terbiasa dan berhadapan dengan harimau sebesar itu membuatnya tidak bisa merasakan apapun selain ketakutan. Cahaya kembali pingsan tak sadarkan diri.
+++
“Amak, Nima ingin ikut ke hutan...” Arunima kecil merengek. Ia melihat kerumunan warga masyarakat yang sedang berkumpul dan melakukan rangkaian upacara penobatan keturunan Cindaku.
Jauh di dalam hutan adat masyarakat Kerinci, masih terdapat kepercayaan setempat tentang kisah penjaga hutan. Perjanjian ini terjadi antara manusia dan harimau di mana manusia pilihan inilah yang di sebut Cindaku. Mereka memiliki kemampuan untuk berubah menjadi harimau dan memiliki tugas menjaga kedamaian hutan dan manusia. Malam ini, jauh di pelosok hutan di lereng Gunung Kerinci, beberapa anak remaja keturunan keluarga Cindaku berkumpul. Mereka sudah dilatih dan belajar memaknai kehidupan sejak kecil, mereka diajari untuk menghormati alam, membaca tanda alam, teliti memaknai artinya dan mengabdi dengan jiwa raganya. Kali ini mereka akan masuk ke hutan. Ujian praktek istilahnya, yang terpilih akan mewarisi kearifan adat dan yang tidak terpilih dan masih hidup mereka akan tetap memiliki tanggungan yang sama untuk memelihara hutan. Siapa yang memilih?
Ia adalah Hyang. Hyang ini merupakan raja hutan, harimau yang dipercaya menjaga hutan dan memiliki kekuatan spiritual yang menjadi nafas kehidupan semua makhluk yang ada di dalam hutan. Tidak ada yang tahu apakah Hyang ini hidup selamanya atau menurunkan kekuatannya pada anak keturunannya.
“Nima dirumah saja sama Amak...”
“Tapi Amak...” Arunima tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena ia tiba-tiba merasakan ada seseorang yang memanggilnya. Bisikan itu berasal dari hutan. Arunima terpaku, ia tidak melihat siapapun di sana, “Amak, kalau gitu Nima ingin melihat dari dekat...” Arunima berbohong.
“Habiskan dulu makan malamnu Nima...” seolah mendapat persetujuan dari Amak, Nima segera mengahabiskan makannanya.
“Nima...” Amak memanggil Arunima yang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Amak mulai mencari Nima di seluruh penjuruh rumahnya namun ia tidak menemukan anak gadisnya. Kemana?
Arunima ternyata sudah berlari masuk ke hutan mengikuti arah suara yang memanggilnya. Gadis itu berlari tanpa menggunakan penerangan apapun. Matanya seoalah-olah memang sudah didesain seperti itu. Ia juga berlari tanpa rasa takut. Nima tidak sempat terheran-heran dengan kemampuannya namun ia justru merasa begitu bahagia. Ia seolah-olah berlari menjemput kebebasannya.
Arunima kini duduk di atas ranting sebuah pohon yang cukup besar. Ia mengatur nafasnya sambil tersenyum menatap sekitar. Ia baru merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Alam seolah memanggilnya, ia kini bahkan bisa dengan mudahnya menaiki pohon yang diameter batangnya melebihi lingkar tangannya. Dari atas sana, dengan jelas ia bisa melihat langit yang cerah di terangi oleh bulan purnama dan juga keseruan di bawah sana.
Arunima melihat kakaknya, Mathias. Ia hendak memanggil namanya sampai sesuatu menghentikannya. Sosok makhluk berkaki empat berwanra hitam sedang berhadapan dengan kakaknya. Nima sudah berdiri di atas pohon dan mengamati situasinya, ia mengendap pelan di atas ranting pepohonan. Bahkan Nima berusaha bernafas sepelan mungkin hingga tidak ada yang menyadari keberadaannya.
“Katakan padaku, apa yang membuatmu memiliki kegelisahan dan ketakutan seperti itu...” pertanyaan itu diikuti oleh geraman pelan. Arunima menoleh. Itu bukan suara kakaknya tapi harimau itu.
“Apa yang menjadi ketakutanmu?” tanya harimau itu lagi. Mathias hanya terdiam, ia justru mulai ketakutan dan melangkah mundur. Suara geraman dari harimau itu semakin mengeras.
“Bukankah engkau datang mencariku? Berjanji untuk menjaga hutan ini, menjaga kami, menjaga makhluk dari jenismu sendiri?” harimau itu maju tanpa rasa takut, “lalu kenapa kau ketakutan?”
“Jawablah Mathias, aku di sini untuk menjawab keinginanmu, mengusir keraguanmu, kalau kau takut padaku bagaimana kau akan menjaga kami semua!” suara harimau itu mengeras dan ia menerkam Mathias. Ia menindih kedua bahu Mathias dengan kaki depannya. Menindihnya hingga membuat Mathias tidak bisa bergerak.
“Aku tidak mau! Aku membenci kalian! Kenapa aku harus dilahirkan di keluarga Cindaku! Kalian monster!” sama dengan harimau itu, Arunima juga tertegun di tempatnya.
“Kau pengecut!”
“Diam! Bunuh saja aku! Aku muak dengan semua ini!” Mathias mengayunkan tongkatnya dan membuat harimau itu mundur.
“Aku tidak ditugaskan untuk membunuhmu, aku bisa saja melakukannya...” harimau itu berputar mengelilingi Mathias, “dengar anak muda... kami tidak pernah memaksa apapun. Kau yang datang sendiri ke sini. Kau tidak harus bergabung dengan kami. Tapi ingatlah satu hal anak muda. Tugas dan kewajiban untuk menjaga hutan dan perjanjian itu bukan tugas keluarga Cindaku, tapi semua orang yang hidup, bernafas, dan hidup dari hutan. Apa kau mampu hidup tanpa itu semua?”
“Kau yang memilih, maka pulanglah dengan pilihanmu dan renungkan pertanyaanku tadi....” harimau itu berhenti bergerak dan membiarkan Mathias pergi namun saat Mathias berbalik dan hendak meninggalkan tempatnya, harimau itu tiba-tiba menerkamnya dan membuatnya terlempar jatuh ke lereng yang cukup terjal.
Arunima tersengal melihat kejadian itu. Ia kemudian meloncat dari atas pohon ke arah harimau itu dan menerkamnya dari belakang. Keduanya sama-sama terguling tidak jauh dari sana. Arunima secepat mungkin berdiri di hadapan harimau itu. Tanpa rasa takut sekalipun ia memandang kedua mata harimau itu.
“Ternyata kau keturunan murni itu, Arunima...”
“Kenapa kau bisa tahu namaku?” Arunima heran karena ia juga ikut menggeram.
“Aku bisa melihat hatimu gadis kecil, kemarilah...” harimau itu duduk, membuat Arunima sedikit melonggarkan kewaspadaannya. Arunima berjalan mendekati harimau itu dan menjulurkan tangannya.
Saat harimau hitam itu menyentuh tangan Arunima dengan kepalanya, ia menyadari satu hal. Ia juga bisa melihat hati harimau di hadapannya. Betapa ia mencintai hutan ini, betapa ia tulus dan ikhlas untuk menjalani takdirnya, ia adalah manusia pilihan dengan hati tanpa keraguan. Manusia?
Arunima terkejut dan menarik tangannya. Ia masih menatap harimau itu dengan kebingungan.
“Waktunya kau pulang gadis kecil...” saat itulah, ada suara lain yang muncul dari samping Arunima. Seekor harimau sumatra yang sangat besar. Tiba-tiba hati Arunima bergetar saat menatapnya. Dialah Hyang, raja hutan ini. Arunima tanpa sadar menundukkan kepalanya.
“Kenapa kau gegabah sekali Kumbang? Kau bisa menghapus ingatannya dengan lebih lembut...”
“Maafkan saya...”
“Bawa mereka pulang...” Hyang kemudian menghilang.
“Ayo Arunima, aku akan mengantarmu pulang...” harimau itu berjalan menuruni lereng terjal dan menarik Mathias, “bisa kau bantu aku untuk mengangkatnya?” Arunima segera berlari dan membantunya untuk menaruh Mathias di punggungnya. Arunima mengikuti harimau itu dalam diam, keluar dari hutan.
“Arunima!” Arunima mengangkat kepalanya dan melihat Amaknya berlari mendekatinya namun sedetik kemudian Amak berhenti, mematung ditempatnya.
“Aaabaak!” Abak yang keluar menyambut teriakan isrtinya ikut terkejut mendapati kedua anaknya pulang bersama seekor harimau berwarna hitam.
Harimau itu kemudian menurunkan Mathias dan menunduk ke arah Abak. Saat ia hendak kembali memasukki hutan, Arunima berlari menyusulnya.
“Siapa namamu?” tanya Arunima. Harimau itu tidak menjawab dan justru meletakkan kepalanya di bahu gadis kecil itu, seolah-olah memeluknya.
“Akan aku beritahu saat kita bertemu lagi, nanti...” saat itulah harimau itu memukul Arunima dan membuatnya tidak sadarkan diri.
“Amak, segera hubungi saudara Amak yang ada di Bandung. Tidak ada yang boleh tahu kejadian ini, Arunima harus pergi dari sini segera...” perintah Abak sambil menggendong Mathias masuk.
“Gadis kecil, Amak...” Amak menggendong Arunima sambil menangis.
“Kumbang sudah menyegel ingatannya malam ini. Amak tahu kan, tidak boleh ada gadis Cindaku di sini?”
Begitulah, Arunima kemudian dikirim ke Bandung. Tinggal jauh dari tanah kelahirannya, keluarganya, dan hidup dengan nama Cahaya.
+++
“Kau sudah bangun? Apa kau sudah bisa mengingatku?”
Cahaya menelengkan kepalanya, “Tidak mungkin kan?”, batinnya.
“Apa yang menurutmu tidak mungkin?” laki-laki itu mengatakannya sambil tersenyum, senyum yang membuat bulu Cahaya meremang. Laki-laki ini bisa membaca pikirannya. Cahaya meremas selimutnya sambil menatap laki-laki dihadapannya ini ciut.
“Apa yang anda inginkan dari saya?” tanya Cahaya.
“Aku ingin kau pulang bersamaku...” Kumbang meraih tangan Cahaya. Cahaya menatap tangan mereka yang bertautan dengan heran. Perlahan ia bisa merasakan kehangatan yang begitu menenangkan, “apa kau tidak rindu Amak dan Abak?”
Rindu? Tentu saja. Cahaya sangat rindu, sudah lama sekali ia tidak mendengar kabar mereka. Cahaya menatap Mahesa sangsi. Apa laki-laki ini bisa di percaya? Amak dan Abak berpesan agar ia hati-hati menyembunyikan identitasnya, asal usulnya.
“Apa kau benar tidak mengingatku?” Mahesa melihat keraguan Cahaya, ia lalu menarik tangan Cahaya dan meletakkanya di dadanya, tepat di jantungnya kemudian menarik Cahaya dalam pelukannya, “rasakan, lihat dengan mata batinmu, jangan dengan keraguanmu...”
“Lepaskan...” Cahaya hendak memberontak namun kekuatan laki-laki ini sangat kuat mendekapnya. Cahaya panik, namun lagi-lagi Mahesa seolah memanipulasi perasaannya. Cahaya tidak bisa menolak. Ia memejamkan matanya, mencoba mengikuti saran Mahesa dan saat itulah.
“Kumbang!” Cahaya mendorong tubuh Mahesa.
“Akhirnya kau mengingatku Arunima...” Mahesa tersenyum.
“Tidak mungkin! Kau bukan manusia! Kau... harimau...yang mencelakakan kakakku malam itu, duapuluh tahun yang lalu, pergi!” Cahaya berteriak, namun ia heran kenapa tidak ada satu orang pun yang mendatanginya.
“Jangan lupakan asal usulmu gadis kecil, ke mana keberanianmu malam itu?” Mahesa semakin mendekat pada Cahaya. Ia sengaja memojokkan gadis itu dan berusaha memancing amarahnya, “apa kota membuatmu lupa asalmu dari mana?”
“Jangan mendekat kataku! Kau monster!” Cahaya melempar bantal ke arah Mahesa.
“Kalau aku monster lalu kau sendiri apa?” Mahesa membuka bajunya. Awalnya Cahaya ketakutan tapi pandangannya beralih ke arah bahu dan pundak Mahesa. Ia menatap Mahesa ngeri, “apa kau lupa bahwa kau meloncat dari atas pohon dan ‘menerkam’ku malam itu? Ayolah, apa kau lupa kalau kau pemburu yang handal? Aku bahkan tidak tahu kau ada di sana....”
“Kumohon... tinggalkan aku sendiri...” Cahaya kembali mengingatnya. Kumbang telah membuka segel ingatannya, tapi gadis itu begitu takut untuk mengakuinya.
“Kau akan pulang bersamaku, sayang...” Mahesa kembali mendekat, membuat Cahaya terpojok.
“Aku tidak akan pergi!” Cahaya berteriak namun ia kemudian sadar akan satu hal, ia juga mulai menggeram layaknya seekor harimau, “ah...ada apa denganku...”Cahaya menatap tangannya yang gemetar hebat.
“Maafkan aku, tapi kita harus pulang...” Mahesa meraih Cahaya kembali dalam pelukannya. Gadis itu kini menangis dalam pelukan Mahesa. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku takut...” bisik Cahaya, “Abak mengatakan bahwa aku tidak boleh pulang selamanya, ia memintaku untuk pergi...”
“Tidak Arunima, Abak dan Amakmu sangat menyayangimu. Kau pergi demi kebaikanmu...” Mahesa mengusap kepala Cahaya dengan penuh kasih, “kalau kau tetap tinggal di Kerinci, mungkin kau sudah mati.”
“Apa maksudmu?”
“Kau satu-satunya keturunan perempuan Cindaku, akan banyak orang yang mengincarmu. Abak berusaha dengan keras untuk menghilangkan jejakmu...tidak ada yang tahu kalau kau masih hidup Arunima...” jelas Mahesa.
“Lalu kenapa kau tahu?”
“Aku yang membawamu pergi malam itu...” Cahaya termangu, ingatannya begitu berantakan karena ia terlalu berduka, ia benar-benar lupa kalau malam itu bukan Abaknya yang mengantarnya ke Bandung. Tapi seorang laki-laki yang tak dikenalnya. Arunima kecil hanya memeluk leher laki-laki itu sambil menangis persis seperti saat ini. Tangis Cahaya pecah saat itu juga, ia kembali menemukan serpihan kenangannya, serpihan masa lalunya, jati dirinya.
+++
“Pakai ini...” Mahesa mengulurkan sebuah cincin pada Cahaya. Cahaya hanya termangu tidak percaya. Mahesa balas menatap Cahaya dan tersenyum jahil, “apa kau mau menjadi istriku?”
“Ha?” Cahaya membungkam mulutnya.
“Aku bercanda!” Mahesa mendapatkan pukulan akibat candaannya. Biar bagaimanapun juga Mahesa adalah laki-laki pertama yang memperlakukan Cahaya dengan spesial. Tak pelak hati Cahaya pun mulai goyah oleh pesona laki-laki di sampingnya itu, “Pakaliah, cincin ini akan melindungimu, kekuatanmu akan tertutupi oleh energinya. Dan selama kau pulang kau bukan lagi Arunima tapi kau adalah istriku...”
“Anda masih sendiri?” tanya Cahaya ragu.
“Tentu saja”, Mahesa menarik tangan Cahaya dan ia hanya diam saja saat Mahesa memakaikan cincin itu padanya. Sebenarnya hatinya kecewa, namun ia juga tidak berani berharap lebih.
“Jangan kecewa begitu, setelah masalah ini selesai... aku tidak akan mengikatmu dengan apapun, kau bebas, ini semua demi keamananmu”, Mahesa kembali mengalihkan perhatiannya pada tablet yang sedang di pengangnya. Ia membuka beberapa dokumen.
“Kenapa harus aku?” tanya Cahaya untuk kesekian kalinya, Mahesa menatap Cahaya dengan penuh keyakinan.
“Kau pasti membaca berita kan? Konfik antara satwa dan manusia ini sudah tidak bisa ditangani dengan hukum adat. Beberapa kawanan harimau mati, tidak hanya itu, gajah dan ratusan satwa lain terancam...” Mahesa menggenggam tangan Cahaya, “aku membutuhkan bantuanmu di pemerintahan pusat, kita harus mencari akar masalah dari semua ini. Posisiku hanya di badan konservasi, aku tidak bisa leluasa untuk mencari dokumen dan bukti masalah pembalakan liar dan siapa dalang dari semua ini...”
Cahaya tidak tahu bagaimana Mahesa bisa memutasinya dari Bandung ke Jambi. Ketika selesai acara outing itu, Cahaya mendapatkan surat tugas untuk bekerja di departemen kehutanan yang ada di Jambi. Jujur, wilayah itu adalah yang paling dihindari karena banyak sekali masalah baik dari kebakaran hutan, pembalakan liar, pembukaan hutan liar, dan juga konflik antar penduduk atau satwa. Tentu saja saat Mahesa meminta mutasi ini dilakukan prosesnya sangat cepat dan mudah.
Sebenarnya Cahaya sudah mencari beberapa dokumen terkait dengan masalah ini ketika Bandung. Hatinya begitu terkoyak ketika mendengar ada beberapa orang yang menjadi korban harimau sumatra di perkebunan mereka. Lebih dari itu, Cahaya tahu masalah ini tidak akan selesai dengan mudah.
+++
“Ah Amak...” Cahaya meremas lengan Mahesa saat ia melihat orang tuanya datang menghampiri mereka berdua. Akhirnya setelah tiga bulan Cahaya di kantor pusa, ia pulang ke kampung halamannya di Kerinci.
“Kenalkan Amak Abak, ini istri Kumbang, namanya Cahaya...” Cahaya mengulurkan tangannya yang disambut oleh Amaknya. Amaknya bahkan berpura-pura tidak mengenalinya.
“Se..senang bertemu dengan Anda...”
“Panggil aku Amak, Kumbang ini sudah aku anggap sebagai anaku, jadi kau juga anak Amak, Cahaya... aduh, kamu cantik sekali...” Amak menyentuh wajah Cahaya dengan penuh kasih.
“Ah iya, ini Abak kau juga dan ini kakakmu, Mathias dan istrinya...” Cahaya hanya tersenyum saat memandang keduanya. Entah apa yang dilakuakan Mahesa, namun Cahaya bisa langsung mengenali orang desanya hanya dalam sekali lihat. Tubuh Cahaya meremang saat ia merasakan hawa dingin yang begitu asing muncul dari hutan dan dari kerumunan warga. Aura mereka berbeda, inilah keturunan Cindaku yang sebenarnya. Cahaya semakin mengeratkan pegangannya di lengan Mahesa.
“Ayolah kawan-kawan, jangan membuatnya gelisah. Dia milikku, jangan ragukan hatinya...” bisik Mahesa.
“Kami tidak bisa melihatnya...”
“Kenapa kau menikah dengan orang diluar suku kita?”
Aku bisa mendengar ucapan mereka, sekitar belasan keturunan Cindaku ada di antara kami, entah di mana. Mahesa hanya mendesah pelan yang diikuti oleh geraman lainnya dari berbagai sisi. Cahaya belum terbiasa dengan semua ini.
“Malam ini kalian akan menginap di rumah Amak kan?” tanya Amak antusias.
“Iya Amak...” jawab Mahesa, Cahaya menatapnya terkejut. Seingat Cahaya Mathias juga seoang Cindaku, bagaimana kalau ia bisa mengenalinya?
“Tenangkan dirimu...” Mahesa menggenggam tangan Cahaya, “ia tidak bisa mendengarmu...”
“Apa maksudnya? Bukankah dia...” Mahesa hanya menggeleng pelan. Bagaimana mungkin? Bukankah kakaknya juga ikut dalam penobatan itu?
Mahesa hanya diam dan menuntun Cahaya masuk ke dalam rumah dan kamarnya. Kamar yang semasa kecil di tempatinya. Ia juga berkeliling rumah bersama Amak. Jujur, Cahaya rindu sekali dengan Amaknya.
“Sebenarnya ada apa dengan dirimu?” Cahaya bisa mendengarkan suara Mathias samar-samar dari bilik kamarnya.
“Ada apa bagaimana maksudnya?” tanya Mahesa.
“Kenapa kau tiba-tiba pergi begitu saja dan pulang membawa seorang istri jawa?” Mathias bertanya dengan nada yang begitu arogan.
“Aku mencintainya...”
“Cinta kepalamu! Dia itu orang luar, kau nggak takut kalau dia bakal merusak adat kita?”
“Bukannya kau yang merusaknya?” ucapan Mahesa membuat Cahaya juga terkejut.
“Apa maksud kau Kumbang?” Mathias menaikkan suaranya, “kau ingin memfitnah aku kan?”
“Anak-anak melihatnya, aku juga melihat kau menerima uang mereka...” bisik Mahesa putus asa, “tolonglah Mathias, ini yang terakhir, kasihilah Abak dan Amak kau, kalau tidak untuk anak-anak kau nanti...”
“Lagaknya kau sudah gila semenjak kau kerja di luar...”
“Aku kerja di luar supaya bisa melihat yang di dalam”, Mahesa menatap Mathias dengan tatapan buas, “atau anak-anak akan bekerja dengan hukum alamnya sendiri?”
“Aku tau kau yang membunuh orang-orang itu!”
“Bukan aku, alam yang membunuhnya, aku jelas-jelas sudah memperingatkan mereka dengan cara yang manusiawi, aku sudah membuat aturan untuk tidak memasukki hutan kami, tapi mereka yang atas ijinmu bisa masuk ke sana. Kau yang membunuhnya...”
“Kumbang...” Cahaya memanggil Mahesa, membuat keduanya sama-sama terkejut. Mahesa berdiri dan menghampiri Cahaya, ia masih terkejut dengan kemampuan mengintai Cahaya hingga ia tidak menyadari keberadaannya.
Begitu masuk ke kamar, Mahesa langsung terkejut karena Cahaya menamparnya, “Kau sudah tahu semuanya kan? Aku baru saja menemukan kalau ada yang tidak beres dengan rantai pembalakan itu, tapi kau sudah tahu sejak awal kan? Kau tahu kalau ada orang dalam yang berkerja untuk mereka dan orang itu adalah Mathias?”
“Maafkan aku, tapi kau satu-satunya yang bisa mencari buktinya. Aku hanya tahu melalui naluriku tapi naluriku tidak bisa dijadikan bukti untuk menghukum mereka semua...”
“Katakan bukan kau yang membunuh orang-orang itu...”
“Aku tidak bisa mengatakan kalau aku tidak terlibat...” Mahesa mengatakannya dengan jujur. Ia tidak akan berbohong apalagi dengan Cahaya. Ia bagian dari kawanan mereka. Mahesa bisa melihat sorot kekecewaan dari mata Cahaya.
“Apa yang akan kau lakukan jika Mathias tidak menyerahkan dirinya?” tanya Cahaya setelah ia menenangkan dirinya.
“Kami akan berburu...”
“Apa maksudnya...” Mahesa tidak menjawab pertanyaan Cahaya dan tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan.
“Aku akan tidur di luar malam ini...” dan Mahesa menghilang ditengah kegelapan hutan.
+++
“Ukh...ukh...” Cahaya menggeliat dalam kegelapan. Ia tidak tahu dia ada di mana dan apa yang terjadi padanya. Seolah ada yang menyumpal mulutnya, ia tidak bisa berteriak ataupun bersuara.
“Sudah sadar sepertinya... apa yang akan kita lakukan Pak?” Cahaya jelas bisa memastikan bahwa itu adalah suara Mathias. Ada apa ini?
“Aku sebenarnya ingin dia hilang begitu saja di hutan sana di makan hewan buas, tapi sepertinya akan lebih seru jika dia kita jadikan umpan...” terdengar suara orang lain, suara yang tidak asing bagi Cahaya tiga bulan ini. Benar dia adalah atasnya.
Cahaya tidak bisa melihat apapun, sesuatu menghalangi penglihatannya, “ini akan menarik kalau bualan kau itu benar, aku ingin sekali membuktikan bahwa sukumu itu bisa berubah menjadi harimau. Ini akan menjadi tontonan yang luar biasa. Aku bahkan sudah menyiapkan kamera. Begitu Kumbang masuk ke ruangan ini dengan kawanannya, kita bantai habis semuanya. Mereka semua monster, kita akan jadi pahlawan karena telah mengabisi mereka. Hahahaha!”
Cahaya bergidik ngeri mendengar semuanya. Ia masih tidak percaya bahwa kakaknya sendirilah yang menjadi dalang dari semua kekacauan di negerinya, tanah kelahirannya. Bagaimana mungkin seorang yang hidup dari belas kasih alam begitu kejam? Ia tidak percaya pada Mahesa dan memutuskan untuk kembali ke kota sendiri, namun ditengah perjalanan, mobil yang ia kendarai tiba-tiba tertabrak oleh sesuatu dan menyebabkan Cahaya kehilangan kesadarannya.
“Mahesa...” Cahaya berteriak dengan hatinya, ia menajamkan inderanya. Ia tidak tahu seberapa jauh kekuatannya untuk bisa mencapai Mahesa tapi ia yakin laki-laki itu sedang mencarinya.
“Mahesa, kumohon...” Cahaya melepaskan cincin di jarinya kemudian kembali mencoba untuk memanggil Mahesa.
“Kumbang ada yang memanggilmu, seseorang memanggilmu...”
“Kumohon, siapa saja, jangan kemari, jangan ke sini, ini jebakan, pergilah...” dengan panik Cahaya segera memerintahkan siapa yang mendengarkan suaranya untuk pergi memperingatkan yang lain.
“Siapa kau? Kenapa kau bisa berbicara dengan kami?” tanya suara itu lagi.
“Kumohon pergilah, bawa Mahesa pergi!” Cahaya mulai tergugu.
“Apa apa?” suara Mahesa terdengar samar.
“Ada yang menyuruh kawanan menjauh Tuan. Seorang wanita!”
“Mahesa, pergilah!”
“Arunima! Tenangkan dirimu...” suara Mahesa diikuti oleh gelombang menenangkan yang tak asing bagi Cahaya. Cahaya merasakan Mahasa semakin dekat dengan dirinya, hal ini membuat hati Cahaya semakin pilu.
“Arunima katamu?”
“Bukankah dia sudah mati”
“Kalian semua tenanglah...”
“Dengarkan aku baik-baik, kalian semua harus pergi dari sini. Ini jebakan, mereka sudah menyiapkan semuanya, ada belasan pemburu di sini, dan mereka siap menghabisi kalian. Apa kalian ingin mengorbankan kawanan?” keheningan yang menyakitkan. Cahaya menyadari itu.
“Ada apa dengannya?” salah seorang dari mereka mendorong kepala Cahaya. Tiba-tiba saja Cahaya menggeram diluar kesadarannya.
“Tenangkan dirimu Arunima...” suara Mahesa kembali memenuhi semua indera Cahaya, “baiklah, Ribut, kau pimpin kawanan untuk pergi...”
“Apa yang akan Tuan lakukan?”
“Aku akan melihat situasinya terlebih dahulu, kalau ada apa-apa jaga kawanan dengan baik...” perintah Mahesa begitu tenang namun penuh ketegasan.
“Apa yang akan kau lakukan...” tanya Cahaya, ia mulai panik saat tidak mendengarkan lagi suara Mahesa. Cahaya berusaha untuk berteriak dan melepaskan ikatannya.
“Apa dia sudah mulai gila?” seseorang menendang Cahaya dan hal ini membuatnya kalap. Tiba-tiba saja ikatan di tangan Cahaya terlepas dan secepat kilat tangan Cahaya menyambar kaki yang ada disampingnya. Teriakan seketika memenuhi ruangan.
Cahaya kini sudah berdiri tegak di tengah ruangan, ia sudah melepaskan ikatan di kakinya dan juga kain yang menutupi wajahnya. Ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang berkilat tajam. Cahaya menggerak-gerakkan jarinya yang ditumbuhi kuku tajam, walau terasa asing namun ia bisa tahu kalau ini adalah bagian dari dirinya. Ia lantas menatap Mathias yang berdiri ngeri di samping atasan Cahaya.
“Lama tidak berjumpa, kakakku sayang...” Cahaya berjalan pelan mendekati Mathias.
“Jangan mendekat!” teriak Mathias.
“Apa kau tidak rindu dengan ku? Arunimamu?” begitu Cahaya menyebutkan nama kecilnya, Mathias jatuh terduduk. Ia menatap Cahaya tidak percaya. Ia ingat benar sosok Arunima malam ini persis malam penobatan duapuluh tahun yang lalu.
“Kau sudah mati. Monster!”
“Benar, aku lah moster itu...” secepat kilat Cahaya meraih leher atasannya dan mencengkramkan kukunya, “dan kalian adalah iblis...”
Dor!
Satu tembakan dilepaskan, namun yang kehilangan nyawa justru orang yang ada dicengkraman Cahaya. Hanya berberapa senti dari kepala Cahaya. Ia melempar tubuh itu dan menyeringai, “kau yang pertama...” dan srrett dada laki-laki itu sobek terkena kuku-kuku Cahaya.
Gudang itu kemudian dihujani oleh peluru dari segala penjuru. Cahaya masih sigap dalam pelariannya sambil menyambar pemburu itu satu persatu sampai akhirnya satu tembakan membuatnya terhenti. Sesuatu menabraknya hingga Cahaya terlempar menjauh. Seekor harimau dewasa berwarna hitam tertembak perutnya. Seketika itu kesadarannya pulih, ia mendekap harimau itu, “Mahesa, tidak...” Cahaya hanya bisa menatap Mathias pias. Ia tak percaya kakakknya berniat membunuhnya.
“Kau dan hutan sialan itu! Aku membenci suku kita, keluarga kita! Aku membenci semuanya! Kenapa aku harus terlahir dalam tradisi sialan itu! Apa kalian bahagia hidup ditengah kemiskinan ini! Aku ingin mengubah suku kita agar kita kaya dan tidak sengsara, tapi lagi-lagi tradisi itu membuat kalian bodoh!” Mathias berteriak kalap. Ia masih mengacungkan pistolnya pada Cahaya.
“Kami tidak pernah memaksa kau untuk tinggal, kau atau siapapun itu bisa pergi...”
“Persetan dengan kata-kata bijakmu itu Kumbang! Kau sengaja menyimpan seluruh kekayaan hutan itu kan? Kalau aku pergi kau akan senang kan? Mana sudi aku memberikannya!”
“Dan akhirnya kau pun tak bisa hidup tanpa alam, tanpa hutan. Picik sekali, kau pikir hanya kau saja yang akan hidup di dunia ini?”
“Kau harus ke rumah sakit sekarang, aku mohon...” Cahaya kembali tergugu sambil memeluk Kumbang.
“Katamu, jika kau harus mati setelah membunuh merekapun kau tidak akan menyesal Arunima...” Mahesa masih bisa terkekeh saat mengatakannya.
“Baiklah...” Cahaya berdiri dan menyongsong Mathias, “kita semua akan mati kalau begitu!”
“Arunima!” auman Kumbang memenuhi ruangan. Tembakan kembali terdengar, Cahaya menyambar lengan Mathias beberapa detik setelah ia melepaskan tembakannya. Lengan Mathias melayang dan jatuh beberapa meter di sampingnya, teriakan Mathias diikuti oleh Cahaya yang juga ambruk terkena oleh tembakan.
“Kawan-kawan!” Mahesa memanggil kawanannya. Gudang itu telah sepi, para pemburu telah melarikan diri saat melihat Cahaya yang beringas menghabisi teman-temannya.
+++
“Arunima...” Cahaya tersenyum, suara Amaknya terdengar begitu lembut di telinganya.
“Arunima sudah sadar Apak!” begitu mendengar teriakan Amaknya, Cahaya membuka matanya dan mendapati Amaknya sedang menggengam tangannya.
“Syukurlah...” Apaknya terduduk lemas dikursinya. Wajahnya terlihat begitu lega.
“Mahesa Amak, Mahesa...” bisik Cahaya, tiba-tiba air matanya mengalir, ia masih hidup. Lalu bagaimana dengan Mahesa?
“Mahesa baik-baik saja Nak, semuanya sudah berlalu, tenangkan dirimu...” Cahaya menangis, ia menggengam erat tangan Amaknya.
Cahaya merasakan kekosongan di dalam hatinya, ia masih ingat sekali dengan mimpinya, “terimakasih telah menjagaku, aku pergi sekarang. Mungkin aku tidak lagi bersamamu, namun jiwaku masih tetap hidup dan abadi di dalam hutan, nafasku akan menyertai langkahmu di ibu pertiwi, dan kehidupanku akan mengalir abadi dalam darahmu, darah anak keturunanmu, terimakasih Arunima...”
“Ada apa dengan kau Nak?” Amak tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat anaknya yang terisak memegangi dadanya.
“Tidak apa-apa Mak, tak apa...” Apak seolah mengerti apa yang dirasakan Cahaya.
Mahesa yang baru kembali memanggil dokter lantas berjalan mendekati Cahaya dan memeluknya, “tidak apa-apa sayang, menangislah, dia pergi untuk kebaikan...”
“Sebenarnya ada apa ini Apak?” tanya Amak pelan.
“Bukan apa-apa, hanya siklus alam...” Apak kembali tersenyum.
Masalah pembalakan liar serta konflik satwa dan manusia itu terselesaikan dengan jalur hukum. Mereka yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal, mereka yang mati benar-benar meninggalkan belang. Namun, tidak berati mata rantai masalah ini selesai saat ini. Entah kapan, siklus itu akan terulang, mungkin tidak di tempat Mahesa dan Cahaya tinggal tapi di wilayah lain waktu yang lain. Begitulah siklus alam.
@aiana wow legend ya. semoga menang :D