“Awww,” pekikku saat lututku tersandung dengan besi berkarat yang berada di dekat pintu masuk bus kota. Di kota ini bus tua berkarat masih saja beroperasi, melaju sangat lambat serasa dia akan menemukan ajalnya beberapa meter di depan. Sambil meringis, aku berjalan pincang menuju bangku yang tersedia. Kota kecil terpencil ini sangat aneh, warganya sibuk dengan pekerjaan dan bersikap anti social. Aku duduk disebelah pria yang juga mengenakan seragam sekolah sepertiku, dia menoleh saat bokongku telah mencapai posisi ternyamannya. Dia tersenyum tipis dan kembali menatap jalanan dari balik jendela.
“Ya tuhan, kenapa bisa luka gini sih?” keluhku saat melihat darah segar mengalir dari lutut. Pria yang duduk disebelahku segera menyodorkan kain putih sepanjang 20cm, tanpa sepatah kata dia memaksaku untuk mengambilnya. Karena darah dari lututku tidak kunjung berhenti, aku pun mengambil kain tersebut.
“Makasih,” ucapku. Dia mengangguk dan kembali pada posisi semula, menatap jalanan yang ramai. Aku membalut lukaku, besi berkarat tadi telah merobek lututku. Setelah selesai, dengan ragu-ragu aku memulai pembicaraan. “Nama kamu siapa?” tanyaku.
“Aldi…,” lirihnya dengan tatapan kosong.
“Nama aku Fifi, siswi baru di SMA Tanjung Permata.” Aku melemparkan senyuman, tapi Aldi tidak membalas senyuman itu.
“Kam—“ Aldi memotong perkataanku, “Lebih baik kamu diam, lihatlah ke jendela ini sampai kita tiba di tujuan.”
Aku tertegun, karena baru pindah ke kota ini aku pun mengikuti ucapan Aldi. Aku ikutan memperhatikan jalanan, dari sini aku bisa melihat jika keadaan diluar berjalan normal seperti kota lamaku. Bunyi klakson yang silih berganti memecah kesunyian jalanan, teriakan tukang parkir mengarahkan mobil pengendara agar parkir tertib, ataupun anak-anak yang berlarian menyebrang jalanan bersama satpam. Keadaan tersebut begitu kontras dengan bus yang aku tumpangi sekarang, lengang tanpa suara dan aku dilarang untuk memperhatikan sekelilingku.
Bus tua berkarat yang aku tumpangi berhenti tepat di halte sekolah, siswa dan siswi begitu ramai memasuki perkarangan. Aku menunggu Aldi turun dari bus, langkahnya sangat pelan. “Kamu kelas berapa?” tanyaku saat bus tua tadi berjalan meninggalkan halte.
“Kelas 12,” jawabnya. Suara Aldi begitu pelan dan saat dia berbicara entah kenapa bulu kudukku selalu berdiri. Aku mengangguk, dengan sabar dia menunggku berjalan tertatih karena luka tadi. Lagi-lagi aku melihat tatapannya kosong namun aura ketampanannya tidak pernah berkurang. Aldi memiliki tinggi sekitar 180 cm, berkulit putih, rambut standar, dan bermata coklat terang. Dia memakai tas selempang berwarna coklat tua.
“Kamu pendiam banget ya.” aku tertawa cekikan, memang humorku terlalu receh kalu diingat-ingat.
Aldi tersenyum, saat itu pula aku melihat sosoknya makin menawan. Langkah kaki kami terhenti di tangga, disebelah gudang. “Aku duluan ya,” pamitnya.
“Hati-hati Kak Aldi,” sorakku. Aku masih kelas sepuluh sedangkan dia sudah ingin lulus jadi pantas saja aku memnaggil dia kakak. Dia mengangguk, melambaikan tangannya kepadaku. Aku kembali berjalan, menuju ruang kepala sekolah untuk meminta agar beliau mengantarkanku ke kelas baru.
Ricuhnya kelas seketika hening saat Bu Heni dan aku memasuki kelas, mereka berbisik-bisik saat aku tersenyum kearah mereka. “Baiklah anak-anak, kita kedatangan murit baru dari kota. Silahkan nak Fifi, perkenalkan dirimu.” Bu Heni mempersilahkan diriku untuk berbicara.
Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskanya, “Halo teman-teman, perkenalkan nama aku Lestari Putri Fifi, kalian bisa memanggilku Fifi. Salam kenal semua,” sapaku, tapi tidak ada satu pun yang menjawab. Bu Heni menyuruhku duduk di bangku paling belakang, kebetulan hanya disana bangku yang kosong.
Pelajaran dimulai, tak satu pun teman-teman yang berniat untuk membalas sapa dan perkenalan diriku. Aku seperti dikucilkan, mungkin mereka tidak suka dengan anak kota karena aku sempat mendengar bisikan mereka tentang kota yang suka mencaci anak sini. Aku mengeluh, menatap papan tulis yang kini penuh dengan rumus tematik. Hariku tak seindah yang aku bayangkan, punya teman baru dan dapat berbagi cerita. Saat istirahat pun, teman sekelasku berhamburan keluar kelas, mereka seperti terburu-buru meninggalkan kelas. Karena merasa canggung dan tidak tahu dimana letak kantin aku pun memutuskan untuk tetap di kelas.
Kak Aldi, sosok sebagai penyelamatku tadi hadir dari balik pintu. Dia melemparkan senyuman mautnya kearahku. “Kamu sendirian?” Tanya duduk disebelahku, kebetulan disebelahku kosong. Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak mau berteman dengan aku kak,” keluhku dengan tampang tidak semangat.
“Nggak apa-apa, ada aku kok.” Kak Aldi kembali tersenyum.
“Kakak juga nggak ada teman ya?” tanyaku.
“Ada sih, tapi susah untuk dijelaskan orang-orang disini suka menindas jadi ya lebih baik kamu tidak dikenal dari pada dikenal tapi tersiksa, kek aku.”
“Ha? Emang kakak diapain?”
“Jangan diingat lah,” wajah Kak Aldi berubah, “Oh iya, luka kamu gimana?” Tanya Kak Aldi.
Aku melihat lukaku, tampak bercak darah pada kain putih pembalutnya, masih terasa perih. “Nanti kamu harus hati-hati ya,” katanya. Aku mengangguk, baru sekali ini aku diperhatikan oleh orang baru yang baik kek Kak Aldi.
Kami terus bercerita, hampir lima menit sekali dia menanyakan bagaimana lukaku. Dia menceritakan kota ini, kota yang katanya adem dan penuh suka cita. dia juga bercerita entah kenapa bisa klop denganku, biasanya tidak tertarik dengan manusia. Eh? Manusia, kata yang membuatku berfikir keras. Kak Aldi pamit pergi saat bel masuk berdentang keras. Bu guru kembali melanjutkan pelajaran, lagi-lagi mereka tidak mengaanggapku ada. Tapi mengingat kata-kata Kak Aldi tadi, aku lega saat tahu kalau teman-teman sekolahku suka menyiksa orang yang menurut mereka lemah.
Sekolahku terlihat mengerikan jika telah turun hujan, pencahayaan disini minim terlebih dibelakang sekolah ada hutan. Aku terpaksa menunggu hujan reda, aku memeluk tubuhku sendiri agar tidak kedinginan. Sekolah sudah sepi, banyak dari murid disini yang sudah sedia payung. Mungkin saja cuaca selalu tak bersahabat pada jam segini. Tiba-tiba ada yang menyelimutiku dengan jaket, aku menoleh kebelakang, ada Kak Aldi dengan senyuman kakunya.
“Kakak,” sorakku kegirangan, ternyata aku tidak sendiri.
“Kamu tidak pulang?” tanyanya memperbaiki posisi jaket di pundakku.
Aku menggeleng dan menatap hujan yang makin deras. “Oh, kota ini memang selalu diguyur hujan ketika memasuki sore hari, lain kali jangan lupa bawa payung ya.” Dia berdiri disamping, menatap damai rintik hujan yang turun.
“Andai jika waktu bisa diputar,” lirihnya. Aku menatap wajah Kak Aldi dari samping, entah kenapa dia makin terlihat pucat. “Kenapa kak?” tanyaku.
Dia menggeleng, tangannya seperti ingin menampung air hujan yang jatuh dari atap tapi dia membatalkan niatnya. “Kamu tidak kedinginankan?” tanyanya. Aku menggeleng, jaket yang diberikan Kak Aldi tadi sudah cukup membuat tubuhku menjadi hangat. “Jangan pernah lihat kebelakang,” lirihnya saat angin mulai bertiup kencang.
“Kenapa kak?” tanyaku penasaran.
“Jangan pernah, lihat saja kedepan sampai hujan mulai reda. Maaf aku tidak bisa mengantarkan kamu,” lirihnya lagi.
“Kenapa? Hari sudah mulai gelap kak, tak ada siapa-siapa disini.”
“Ada yang harus aku urus, oh hujan sudah reda ayo cepatan pulang.” Suara Kak Aldi seakan memaksaku pergi, aku menurut saja, dia lebih tahu bagaimana keadaan sekolah ini dari pada aku. “Aku duluan ya kak, jaketnya aku bawa dulu.” Aku berlari meninggalkan Kak Aldi, saat itu bulu kudukku kembali meremang.
Suasana bus yang kunaiki kini sangat berbeda dengan tadi, ramai dan penumpangnya ramah-ramah tidak pelit untuk tersenyum. Aku duduk disebelah wanita tua, beliau membawa banyak sayuran dari pasar. “Baru pulang sekolah nak?” tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum, “Iya bu, nunggu hujan dulu.” Beliau membalas dengan senyuman tipis dan kembali menatap kedepan.
***
aku tinggal bersama ibu dan buyut, alasan aku dan ibu pindah ke kota ini karena harus merawat buyutku yang sudah sangat renta. Umur beliau telah memasuki 120 tahun, ingatannya pun mulai memudar. Anaknya juga sudah tidak ada, dan hanya ibuku sebagai cucunya yang sukarela merawat. Rutinitasku tidak jauh dari sekolah dan membantu ibu merawat buyut, terlebih tubuh buyutku tidak bisa lagi bisa banyak gerak.
Aku pamit ke buyut dan ibu saat mau berangkat ke sekolah, kali ini aku tidak perlu tergesa-gesa karena aku tidak kepagian seperti kemarin. Aku berdiri di halte menunggu bus tua kemarin, siapa tahu aku bisa satu bus lagi dengan Kak Aldi, teman satu-satunya yang aku miliki. Lelah menunggu, akhirnya aku menaiki bus yang terlihat modern. Semua berdesakan masuk, aku terpaksa berdiri karena tidak ada lagi bangku kosong. Aku juga harus menahan perih, lukaku masih belum sembuh tapi kain putih pembalut kemarin sudah aku ganti dengan perban.
Aku berdiri didekat kelas menunggu kedatangan Kak Aldi, tapi mataku tidak menemukan keberadaan dia. Bel masuk akan berdentang 10 menit lagi, karena hawa disini cukup dingin aku tidak bisa menahan keinginanku akan pipis. Berpandu pada petunjuk yang ada aku mencari toilet, sepanjang pencarianku tidak ada yang mau membalas senyumku mereka seakan ketakutan melihatku dan beranjak pergi. Langkahku terhenti saat menemukan tulisan toilet wanita, ah akhirnya.
“Aaaaaaaa,” pekikku saat keluar dari kamar mandi. Ada anak perempuan berlumuran darah berdiri menatapku, tangannya mencengkram tangkai bunga mawar sehingga membuat darah segar menetes ke ubin.
“Pergi, pergi. Jangan ganggu aku, aku mohon pergi!” aku menangis, kedua tanganku menutup mataku agar tidak melihat anak kecil itu lagi.
“Kamu kenapa?” seseorang merangkul bahuku, mendengar suaranya aku bisa pastikan kalau itu Kak Aldi.
“Ada apa?” tanyanya dengan nada cemas.
“Ada hantu kak, hiks aku takut.” Aku merengek ketakutan, baru kali ini aku melihat hantu secara nyata dan menyeramkan.
“Tidak ada kok, ayo tenangkan dirimu dan perlahan-lahan buka matamu,” bujuk Kak Aldi. Aku menarik napasku perlahan, mencoba tenang. Perlahan aku membuka mataku, ada Kak Aldi yang menyambutku dengan senyuman kaku khasnya.
“Aku lihat sendiri kak, ada hantu. Anak kecil megang bunga mawar,” ucapku mencoba mengingat-ingat.
“Ah kamu ngigo ya, nggak mungkin lah. Aku juga baru keluar dari toilet nggak lihat siapa-siapa. Mungkin kamu kelelahan,” ujarnya. Mungkin saja, tadi malam aku hanya tidur selama 4 jam karena harus menemani buyutku yang tidak bisa tidur.
Kak Aldi mengantarkanku ke kelas, seisi kelas langsung hening saat aku melangkah masuk. Aku tidak peduli dengan tanggapan mereka, setidaknya aku bahagia dengan adanya Kak Aldi disisiku. Aku hampir saja terperanjat saat menemukan setangkai bunga mawar diatas mejaku, tangan ini pun gemeteran mengambilnya. Tapi seketika aku tersenyum, ada tulisan nama Kak Aldi. Ternyata Kak Aldi romantis juga. Aku menyimpan bunga tersebut dalam tas dan mengikuti pelajaran. Tak apa, selagi aku bisa fokus belajar aku tidak peduli dengan taman-teman kelasku yang tidak menganggap aku ada.
“Aaaaaa,” pekikku, aku terpeleset saat melangkah keluar kelas.
Tapi aku tidak merasakan tubuhku menghantam lantai, lagi-lagi Kak Aldi datang sebagai penyelamat. Dia menangkap tubuhku sebelum terhempas, dia membantuku berdiri dengan normal. Matanya memperhatikan air yang aku injak. “Ada yang tidak suka dengan kamu, ini hal yang disengaja. Lain kali kamu harus hati-hati ya.” Kak Aldi memperingatiku.
“Iya kak, makasih kak sudah tolongin aku.”
Kak Aldi mengangguk, entah kenapa aku makin merasa aneh dengan dirinya. Dia terlihat makin pucat, “Kakak sakit ya?” tanyaku.
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Tapi—“ Kak Aldi memotong perkataanku “Kita pulang yuk,” ajaknya. Aku mengangguk senang, aku berjalan disebalah Kak Aldi sambil senyum-senyum sendiri.
Kak Aldi mengajakku ke taman dekat sekolah, tidak jauh dari halte tempatku naik bus untuk pulang. Kami duduk menatap kolam ikan, aku memperhatikan ikan mas berenang meliuk-liuk. Kak Aldi juga tersenyum tipis, dia meyodorkan bunga kearahku. “Untuk kamu.”
Aku menerima bunga tersebut, “Lho kakak kenapa ngasih aku bunga lagi?” tanyaku heran. “Aku suka aja, apalagi lihat kamu tersenyum,” jawabnya membuatku baper parah.
Pipiku memenas, aku menghirup aroma mawar yang segar. Entah dari mana Kak Aldi mendapatkan bunga mawar, padahal di dekat sini tidak ada bunga mawar. Dia menatap langir biru, bersih tanpa ada setetes pun awan. “Aku bahagia mengenal kamu,” ujarnya.
“Aku juga kak,” jawabku. Kami menghabiskan waktu menatap langit dan kolam. Gemercik air membuat suasana makin syahdu, senyum Kak Aldi sangat manis walaupun kaku. Tak pernah aku melihat cowok seganteng dan sebaik dia. Namun, suasana hatiku berubah saat aku melihat sosok mengerikan melintas di depanku. Tubuhnya besar dan mengerikan.
“Aaaa… aaaa… hantu,” pekikku membuyarkan lamunan Kak Aldi. Dia merangkul tubuhku, mencoba menenangkanku yang terlanjur syok.
“Anggap mereka tidak ada, anggap mereka tidak terlihat oleh kamu. Anggap mereka tidak pernah masuk dalam hidup kamu, aku yakin kamu tidak akan pernah diganggu. Mereka cuman lewat, selagi kamu tidak mengaanggap mereka mereka tidak akan mengganggu,” jelas Kak Aldi membuatku tercengang. Apa maksudnya, apa aku bisa melihat apa yang tidak terlihat?
“Tap…tapi aku takut kak,” ucapku gelagapan.
“Kamu perlu tenang dan perlu waktu untuk membiasakannya. Aku akan ada sama kamu kok, jangan takut.” Perkataan Kak Aldi membuatku tenang, mungkin dia juga bisa melihat apa yang tidak terlihat atau mungkin karena itu dia tidak punya teman. Aku mengangguk, hal-hal aneh mulai terlihat. Aku makin syok, Kak Aldi berusaha menenangkanku dan meyakinkanku jika tidak akan terjadi hal yang membahayakan.
Kak Aldi mengajak aku pergi dari tanam, dia mengantarkanku sampai halte. Aku tak mau pisah dari Kak Aldi karena aku takut makhluk-makhluk aneh kembali terlihat. Tapi lagi-lagi Kak Aldi menolak, ada yang harus dia lakukan di sekolah. Aku tak bisa memaksanya, dia memberikanku sentuhan kecil pada puncak kepalaku, memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebih hangat. Dengan was-was aku memasuki bus, untung saja aku menaiki bus yang penuh dengan ibu-ibu pulang dari pasar. Aku bisa bernapas lega.
Sesampainya dirumah aku langsung membantu ibu membersihkan tubuh buyut dengan cara melapnya. Pikiranku tidak jauh dari Kak Aldi, senyumannya yang kaku selalu terngiang dibenak ini. Buyut membuyarkan lamunanku dengan mencubit lenganku, “Awww,” pekikku.
“Siapa yang kamu ajak kesini?” tanyanya membuatku tak mengerti.
“Maksud buyut?” tanyaku.
Dia menunjuk ke pintu luar, kamar buyutku berada di kamar paling depan jadi dia bisa melihat tamu yang datang. Aku menoleh ke luar, ternyata ada Kak Aldi. Lho sejak kapan dia tahu rumahku. “Itu Aldi, teman aku buyut.” Aku meloncat dari kasur, dia sangat peka dengan perasaanku.
“Jangan ajak masuk ya Fi.” Buyut mencoba mengingatkanku.
“Lho kenapa?”
“Pokoknya jangan, terima pemberiannya dan katakana kalau buyut tak mengizinkan dia masuk.” Aku mengangguk pasrah, kemudian berlari menyambut Kak Aldi.
Kak Aldi menyambut dengan senyuman saat aku membuka pintu, dia memberikan aku kembali bunga mawar. Tiga tangkai bunga dalam satu hari, lho ada apa? “Untuk aku kak?” tanyaku, dia mengangguk memaksaku mengambilnya. “Makasih kak,” ujarku.
“Jika esok sebuah kebenaran akan terungkap, jangan pernah lupakan aku. Jika kamu masih menerimaku dalam hidupmu, maka bantu aku.” Aku tak mengerti apa yang Kak Aldi katakan. “Hanya bunga mawar yang dapat aku beri sama kamu…,” lirihnya.
“Nggak apa-apa kok kak malah aku senang dapa bunga dari kakak,” ujarku jujur.
Kak Aldi kembali memaksakan senyumnya, dia menatapku dengan sendu. Tangannya mencoba meraih tanganku, “Kamu gadis yang baik dan cantik.” Aku terkejut saat sadar bahwa tangan Kak Aldi begitu dingin. “Kakak sakit?” tanyaku cemas. Dia menggeleng dengan cepat, “Sepertinya buyut kamu tidak menginginkan aku berlama-lama, aku pulang dulu,” pamitnya. Kak Aldi berbalik badan, saat aku ingin mengiringi langkahnya buyut malah memanggilku.
“Fifi, bantu buyut.” Suara buyut terdengar parau, aku berlari menuju kamar buyut. Beliau sudah terjatuh dari ranjangnya. Aku membantu tubuh renta buyut naik ke ranjang, dia mengusap pelan rambutku yang terurai. “Kamu menyukainya?” tanyanya.
Aku tahu kalau yang dimaksud buyutku adalah Kak Aldi, aku bergidik tak tahu. Tapi selama dua hari ini Kak Aldi selalu ada untukku, membantu dan menyelamatkanku. Dia juga menguatkanku saat aku tahu jika aku bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak lihat. “Kamu tahu dia siapa?” Tanya buyut, aku menggeleng tak tahu. Yang aku tahu dia siswa kelas 12 dan korban dari teman-temannya.
Buyut hanya tersenyum, dia memintaku untuk menyuapkan dia makan. Saat aku mengambil bubur didapur, aku melihat sesuatu yang melintas. Namun aku cepat-cepat menyebut nama Allah dan berusaha tidak melihatnya. Aku masih takut, dan menyesali kenapa aku harus melihat mereka. Aku lebih suka hidup seperti dulu, normal tanpa harus merasa terganggu dengan hal-hal gaib. “Fifi,” teriak buyut. Aku kembali berlari menuju kamar buyut, lagi-lagi beliau terjatuh dari ranjangnya. Hufft.
***
Ada yang aneh saat aku sampai disekolah, mereka yang awalnya melihatku langsung kabur kini tersenyum kearahku. Aku membalas senyuman mereka, dan mataku masih mencari-cari keberadaan Kak Aldi. Saat di kelas semua menyambut kehadiranku, padahal dua hari yang lalu mereka seakan tidak mengangap aku ada.
“Hai Fifi, perkenalkan aku Bunga.” Seseorang dengan wajah ayu mendatangi mejaku, dia tersenyum hangat. “Salam kenal Bunga,” balasku.
“Maafin kami sekelas ya nggak berani nyapa kamu selama dua hari kemarin,” ujarnya. “Lho kenapa, aku kira teman-teman nggak menganggap aku ada?” keluhku.
“Kami melihat ada yang ngikutin kamu, dan makin anehnya kami sering lihat kamu bicara sendiri. Kami takut,” jelasnya membuatku tercengang. “Apa lagi kemarin, meja kamu penuh melati, kami kan takut.”
Aku makin tak percaya, melati? Bukannya kemarin diatas mejaku ada mawar? “Apa?” tanyaku kaget. Sekilas aku melihat ada yang melintas di balik jendela, sangat mirip dengan Kak Aldi. Dia tersenyum, senyumnya tidak lagi kaku tapi perlahan aku melihat wajahnya penuh darah.
“Aaaaaaaaaaaa,” teriakku dan semua terasa gelap. Tubuhku tak lagi bertenaga. Tuhan, sebenarnya siapa Kak Aldi itu?
***
Aku mengejap-ngejapkan mataku, kini aku sudah berada di ruang serba putih dengan bau menyengat. Kepalaku terasa pusing, kakiku juga terasa sangat perih. Ruangan ini sangat sunyi, hanya terdengar suara monitor. Tubuhku penuh dengan alat-alat medis, dan terasa amat kaku. “Alhamdulillah, ya Tuhan. Dokter anak saya sudah sadar,” teriak seseorang saat melihatku kebingungan.
Dokter datang, dia memeriksa tubuhku. Aku masih tidak mengerti, ada apa ini apa yang terjadi dengan aku sebelumnya. “Alhamdulillah tubuh nak Fifi merespon dengan cepat,” ujar Dokter. Aku bisa melihat ruangan ini dipenuhi dengan keluargaku, ada ayah, ibu, kakak, adik, dan buyut. Mereka semua mencemaskan keadaanku. Satu persatu mereka mencium keningku, tubuhku yang kaku tidak bisa berbuat banyak selain pasrah.
“Kamu mengalami kecelakan saat menuju kampung, dan kamu sudah koma 1 bulan sayang,” jelas ibu yang dapat membaca ekspresiku. What? Jadi Kak Aldi itu, semua hanya ilusiku dalam koma?
Aku mencoba melupakan mimpi itu, mencoba memulihkan tubuhku dari koma. Ibu bercerita banyak tentang kecelakaanku, bahkan ibu dibuat bingung dengan kedatangan pria yang bernama Aldi. Ibu mencoba mengingat-ingat ciri-ciri orang tersebut, persis seperti yang aku lihat dalam mimpi hanya saja Aldi tersebut tidak pucat. Aku tertegun, apa maksud semua ini, teka-teki yang membuatku pusing.
Ibu menyodorkan surat berwarna merah, “Ini dari nak Aldi, dia titip ini saat dia berkunjung.”
Aku menerima surat itu dengan gemeteran, perlahan aku membukanya ada bercak merah disudut kanan atas.
Jika kamu masih menerimaku dalam hidupmu, maka bantu aku.
Aku menelan air liurku yang kini pahit, kata ini persis sama dengan kata terakhir yang Kak Aldi ucapkan dalam mimpiku. Aku menangis, aku tak mengerti dengan semua ini, siapa Kak Aldi itu apa dia nyata atau hanya ilusiku semata. Tapi kenapa dia mengirimkan surat ini kepadaku, dan bagaimana aku akan membantunya. Ibu memeluk tubuhku yang mulai mengurus, dia membelai lembut rambutku, “Jangan dipikirkan sayang, dia hanya orang asing. Bahkan ibu tidak pernah melihatnya sebelum ini. Mungkin dia salah orang,” ujar ibu berusaha menenangkanku. Aku tidak menjawab, aku tidak mungkin menjelaskan semua ini pada ibu karena aku tidak tahu apakah yang aku alami nyata atau tidak.
***
Aku membiarkan oksigen masuk keseluruh tubuhku, udara disini begitu segar dan sejuk. Aku merentangkan kedua tanganku sambil tersenyum, begitu luar biasanya nikmat sehat yang diberikan tuhan. Ini kota yang masuk dalam mimpiku saat koma, kota kelahiran buyut dan nenek-nenekku. Aku dan keluarga hanya liburan selama 1 minggu disini, dan aku juga berniat untuk menyelusuri sekolah yang ada dimimpiku itu.
Aku pamit kepada kedua orang tua dan buyutku, aku beralasan ingin melihat-lihat kota kecil ini lebih dekat. Mereka mengizinkannya, karena kota buyutku ini terkenal dengan keamanannya. Aku berjalan menuju halte, ternyata tidak ada bus yang tua seperti dalam mimpiku. semua telah maju dan modern bahkan disini terdapat kereta listrik. Aku memberhentikan bus sembarangan, sebab aku juga tidak tahu alamat sekolah yang akan kutuju.
“Awww,” pekikku. Aku seakan terkena dejavu, lututku berdarah karena sudut besi bus. Seseorang pria tua membantuku untuk berjalan, untung saja aku tidak menaiki bus hantu seperti dalam mimpiku. Beliau menyuruhku duduk pada bangku kosong, sebelah pria yang mengunakan kaos persis berwana coklat seperti dressku.
“Lutut lo berdarah, ini gue bawa P3K.” pria tersebut menyodorkan kotak P3K.
“Astagfirullah, Aldi?” pekikku histeris.
Semua yang ada didalam bus menoleh kearahku, bibirku pucat saat melihat siapa yang ada disampingku. “Ada apa nak?” Tanya bapak yang membantuku tadi.
“Tidak ada apa-apa pak, maaf sudah menganggu kenyamanannya pak.” Aku merasa tidak enak. Beliau mengangguk dan kembali ke tempat duduknya.
Sosok yang aku sebut Aldi tadi menatap tajam mataku, dia tak berkedip selama beberapa detik. “Lo kenal Aldi?” Tanyanya dengan kening berkerut.
“Ka…kam…kamu aldi kan?” tanyaku gelagapan, perih luka tadi seakan hilang.
Dia menggeleng, “Lo ada waktu luang?” aku menggeleng. “Bagus, ada yang mesti gue omongin. Tapi sekarang luka lo harus diobati, takut infeksi lho.” Dia mengeluarkan obat kuning dan membersihkan lututku yang berdarah, “Maaf.” Aku hanya mengangguk memperhatikan wajahnya, 99% mirip Aldi.
Setelah bersih dan ditutup dengan plester luka dia menyimpan kotak P3K dalam tas yang sama persis dengan Aldi pakai dalam mimpiku. Dia memberhentikan bus dihalte yang tidak asing bagiku, dengan sabar dia membantuku berjalan dan menuruni bus. Sebenarnya dia siapa? Batinku terus bertanya-tanya. Aku dibawa ke taman, duduk di depan kolam ikan yang berisi banyak ikan mas.
“Gue Aldo, kembaran Aldi.” Saat itu juga aku merasa waktu berhenti tuk sesaat. Ini benar-benar nyata. “Aku fifi.”
“Gue dan Aldi terpisah cukup lama. Gue di Jakarta dia disini bareng nyokap, dua tahun berlalu tiba-tiba Aldi hilang. Polisi juga sudah ikut dalam pencarian, tapi tidak menemukan hasil. Mereka mengira kalau Aldi terjatuh ke dalam jurang.” Aldo menjelaskan tanpa menunggu aku meminta keterangan.
“Ha? Ta…pii. Aku dapat surat ini,” ujarku menyodorkan surat yang ibu kasih saat dirumah sakit. Aku menjelaskan semua yang ada dalam mimpi kepada Aldo. Saat setelah selesai dia memelukku, pelukannya begitu erat sehingga menyesakan.
“Bantu aku cari Aldi…,” lirihnya memohon.
Aku mengguk, meminta dia untuk melepas pelukan itu. Aldo terlihat sangat senang, dia mendekap kertas tersebut, entah kenapa dia begitu percaya dengan mimpiku dan dia mengartikan kalau Aldi telah meminta bantuan untuk mencari jasadnya yang hilang. Aldo membimbingku untuk berjalan menuju sekolah yang ada dalam mimpiku. Aku tidak yakin jika semua ini benar.
Bulu kudukku berdiri saat berada didepan pagar sekolah, sama persisi dengan mimpiku. Aldo begitu sabar membantu, tapi aku curiga dengan dia apa dia benar-benar manusia atau hantu yang menyamar? Entahlah, tujuan aku kali ini untuk membantu Kak Aldi. Aku tidak tahu harus kemana, tapi Aldo mengajakku kelantai dua, kelas Kak Aldi sebelumnya. Saat kami masuk kedalam suasana terasa mencekam.
“Kita pergi yuk,” ajakku.
Kak Aldo mengangguk, dia kembali membantuku berjalan. Saat keluar dari kelas aku melihat sosok Kak Aldi berjalan menuju tangga. Tempat perpisahan kami saat pertama kali jumpa. Aku sedikit syok melihat apa yang baru terjadi, tapi aku mencoba meyakini hati ini kalau tujuan aku benar.
“Kak kita ke tangga sana yuk kak!” ajakku.
Kak Aldo menurut, dia mengantarkanku pada tangga yang dipenuhi oleh meja dan kursi bekas. Sangat berbeda dengan mimpiku. “Katanya tangga ini angker, karena itu di sini dijadiin gudang.” Sepertinya Kak Aldo mengetahui lebih banyak tentang tangga ini.
Aku tersentak kaget, saat melihat Kak Aldi duduk diantara meja-meja tersebut. “Kamu kenapa fi?” Tanya Aldo cemas, bibirku pucat saat Kak Aldi tersenyum kearahku.
“Kak Aldi disini kak…,” lirihku dengan air mata yang membasahi pipi.
Aldo menelpon seseorang dan memintanya untuk kesini. Aku masih terdiam, ternyata mimpiku nyata bukan ilusi. Sosoknya yang begitu baik membuat hatiku teriris. Kak Aldi masih memandangku dengan senyum kaku khasnya, wajahnya masih pucat. Tak lama seorang bapak datang, dia datang dengan wajah tegang.
“Apa benar jasad Aldi ada disini?” tanyanya.
“Kayaknya iya mang, teman aku lihat Aldi disini.” Aldo terlihat begitu yakin. Pria tadi penjaga sekolah, Mang Kris namanya dia sudah puluhan tahun tinggal dibelakang sekolah. Dia menelfon polisi dan meminta kami untuk duduk terlebih dahulu. Setengah jam kemudian sekitar 7 orang aparat polisi datang, Mang Kris berkata kalau kita tidak akan bisa membongkar tangga tersebut karena terdapat puluhan meja dan kursi rusak. Saat polisi datang saat itu juga Kak Aldi menghilang dari padanganku.
Aku hanya duduk memperhatikan polisi, Mang Kris, dan Aldo membongkar tangga. Mereka tidak pernah curiga dengan tangga ini karena memang sangat jarang dikunjungi. Satu jam membongkarnya, akhirnya yang kami cari ditemui. Aku dapat melihat kaki Aldo melemah, dia tersungkur ke lantai. Bau menyengat merusak suasana, aku menangis melihat apa yang ada didepan mataku. Jasad yang masih utuh tergeletak di bawah tumpukan meja, di bajunya terdapat bekas darah dan bisa dipastikan dia meninggal karena ditikam disebelah kanan perutnya.
“Kak Aldi…,” lirihku terisak. Aldo berlari kearahku meski dia harus terjatuh berulang kali. Dia menangis dalam pelukanku, “Makasih Fi, makasih. Adik gue bisa tidur dengan tenang disana. Hiks, makasih.”
Aku tak tahu harus jawab apa, aku merasa begitu kehilangan meski tidak mengenal siapa sebenarnya Aldi dan Aldo. Polisi membawa jasad Kak Aldi untuk diotopsi. Mereka juga mengantarkanku pulang, sebagai tanda terima kasih Aldo memberikanku sebuah tas yang dia bawa dari rumah. Tas yang selalu Kak Aldi sandang dalam mimpiku. Aku lega bisa memecahkan teka-teki mimpiku selama koma.
4 hari berlalu, Aldo mengajakku ikut dalam pemakaman Kak Aldi. Disana aku bisa melihat betapa bahagianya keluarga Kak Aldi dapat memakamkannya secara layak. Saat pemakaman telah selesai, aku menaburkan bunga diatas gundukan tanah tersebut. Mengirimkan doa agar dia diterima disisi-Nya dan bisa beristirahat dengan tenang. Aldo, kembar identic Aldi menyodorkan kepadaku bunga mawar.
“Tadi malam gue mimpi, Aldi nyuruh gue buat ngasihin bunga mawar buat lo.” Kalimat yang berasal dari mulut Aldo membuat tangisku pecah, aku kembali memeluk tubuh Aldo yang sudah lemah menahan tangis. “Thanks do…,” lirihku.
Mantaap👍👍😁