"Gadis itu akan mati, Ara."
Perempuan ombak tertawa. Sejenak kulit bersisiknya menyusuri pipi seorang anak lelaki. Bau amis dan lendir mengikutinya.
"Mau sampai kapan kau mencurangi aku?"
***
"Berhenti! Jangan dekat-dekat! Jangan dekat-dekat!" teriak Malik.
"Aku cinta kamu."
Malik bersikeras, "Tidak!"
Ia kemudian melompat keluar dari bianglala begitu rodanya berhenti.
Biarpun mata orang-orang memandangnya aneh, Malik tak peduli. Ia lekas hilang di antara kerumunan orang.
"Kenapa sih dia? Fatima 'kan cuma ingin memeluknya saja. Lagipula ini hari kasih sayang," komentar seorang teman.
"Malik terlalu pemalu," komentar teman lainnya.
Elif terdiam. Sejak awal Malik masuk sekolah, pemuda itu memang selalu menjaga jarak.
"Aku akan mencarinya," tukas Elif.
"Hei, Malik milikku. Jangan coba-coba merebutnya, ya."
"Tenang saja. Aku mencarinya untukmu."
"Janji?"
"Janji."
Elif melangkah mundur pelan-pelan. Dia kemudian berlari, tak tega membiarkan Fatima menangis di belakangnya.
Di antara kerumunan manusia, Elif tentu sulit mengejar Malik. Taman hiburan itu pun tak menyisakan satu tempat yang belum didatangi mereka. Mungkin kecuali tempat hewan-hewan melata.
Sejak tadi mereka tak pernah ke sana karena Fatima dan kawan-kawan perempuannya jijik.
Di antara sisa senja, Elif pun melihat siluet seorang pemuda.
"Malik," panggilnya.
"Menjauh dariku," sahut pemuda itu.
"Kau marah?"
Malik menarik napas pekat. Ia lantas menoleh pada seekor ular besar menggeliat.
"Tidak. Aku hanya tak ingin menyusahkan dan menakuti kalian."
"Kau bisa menceritakan masalahmu pada kami. Kami temanmu."
Elif pun membulatkan tekad. Dia lantas melangkah dan meraih tangan Malik hingga pemuda itu menampiknya.
"Sudah kubilang jangan mendekat."
"Maaf ..., aku ...."
Elif terkejut. Ia kemudian mundur beberapa langkah.
"Tanganmu ...," bisik Elif.
Malik balik menatapnya dengan senyum pahit.
"Kau jijik?"
Mata Elif bergetar. Dilihatnya tangan Malik bersisik. Bau amis segera menyeruak. Dan sebelum sempat bertanya, Malik sudah berlari lagi.
Elif tak menyerah. Ia tetap mengikuti pemuda di depannya. Ia pun tak sadar sudah berlari terlalu jauh dari tempatnya semula. Sekarang ia tersesat.
"Malik, kau di mana? Ayo, kita pulang."
Tak ada sahutan.
"Aku tak akan pulang kalau kau tak mau keluar."
Butuh waktu lama untuk menenangkan pikiran Malik. Elif pun terpaksa duduk diam hingga matahari turun sepenuhnya. Ia yakin semua temannya sudah pulang. Lalu ia mengembuskan napas.
"Kenapa kau masih di situ?" tanya Malik.
Pemuda itu tiba-tiba muncul dari semak-semak.
"Aku ... sudah kubilang aku akan menunggumu, kan?"
Malik mendecak. Ia lantas duduk di samping Elif.
"Kau hanya menyusahkan dirimu saja."
"Aku sudah janji pada Fatima untuk membawamu kembali."
Elif melirik sejenak. Gadis itu tak sanggup menatap pemuda di depannya.
"Kau jijik tidak?" bisik Malik. "Kau lihat sisik-sisik tadi, kan?"
Elif mengangguk.
"Ya. Apa kau anak putri duyung atau semacamnya?"
Malik tertawa.
"Bukan. Sejak kecil aku memang punya kelainan kulit seperti itu. Dan makin aku besar, penyakit kulit itu makin menjadi-jadi."
"Itu tak bisa diobati?"
"Tidak. Keluargaku bilang ini kutukan. Aku memang sering mendapat mimpi aneh. Melihat wanita aneh."
"Apa wanita itu hantu?"
"Tak tahu, aku bisa merasakannya dengan jelas. Dia sama seperti kita," Malik terhenti sejenak, "tidak, kupikir aku tak perlu melanjutkan."
"Kenapa?"
"Mengenal perempuan itu akan membuatmu gila."
Malik lantas berdiri.
"Ayo, tak ada gunanya lagi kita di sini. Kita harus pulang."
"Tapi taman bermain ini sudah tutup."
"Belum terlambat. Dengar."
Elif pun melihat baik-baik. Ia masih bisa melihat lampu senter penjaga malam dari kejauhan.
Mereka berdua pun berlari kencang-kencang sebelum penjaga taman hiburan itu pergi.
"Tunggu, Pak! Tunggu!"
Sang penjaga taman hiburan mengernyitkan kening. Dia kemudian menggeleng-geleng.
"Sudah dari tadi kutakan supaya kalian keluar tapi kalian tak mau mendengar."
"Maafkan kami," ucap Malik.
Elif ikut mengangguk.
"Sudah sana."
"Baik, terima kasih, Pak," ujar Malik dan Elif serempak.
Begitu mereka keluar, perhatian Elif segera teralih. Seekor anak kucing tampak berjalan tertatih mendekatinya.
"Kucing kecil?" ujar Elif.
Dia pun segera merengkuh hewan tadi ke dalam gendongannya.
"Apa yang akan kau lakukan dengan hewan itu?"
"Sepertinya aku akan memeliharanya. Dia tampak kesakitan. Kakinya terluka."
Malik menarik napas.
"Kalau begitu aku akan mengantarmu dan kucing kecil itu sampai ke rumah."
"Ah? Tak perlu, tak perlu, nanti kau memutar terlalu jauh dari apartemenmu," pinta Elif.
Malik cepat-cepat menggandeng Elif.
"Tak apa. Kalau jalan sendirian saat malam, kau tak akan aman."
Pipi Elif pun memerah di antara dingin malam.
Malik mengembuskan napas. Lalu ia pun berbisik di samping telinga Elif.
"Soal ceritaku tadi ... lupakan saja. Itu kukatakan supaya kau sedikit hati-hati. Perempuan itu ada di kota ini."
***
"Apa yang kau lakukan dengan Malik kemarin? Kau mengkhianatiku."
Elif terperenyak.
"Fatima, sepertinya kau salah paham. Dia hanya mengantarku pulang kemarin."
"Masa? Kau menciumnya, 'kan? Mereka lihat sendiri, kau menciumnya."
Teman-teman yang lain pun ikut mengerumuni Elif.
"Kau jangan rebut pacar temanmu dong."
"Aku tak melakukannya," sahut Elif.
Ia mulai putus asa. Sulit baginya meyakinkan orang lain.
Kedatangan Malik saat itu pun hanya membuat suasana makin dingin.
"Baik kalau begitu. Kau bukan temanku lagi," cetus Fatima.
Melihat itu, Malik hanya mengawasi dari kejauhan. Bukannya tak peduli--ia sama sekali tak mau menyusahkan Elif atau juga mengaitkan gadis itu dengannya.
"Hasna, kau masih percaya padaku, kan?" Elif memohon.
Hasna menarik napas pekat. Dia lantas membalik badan.
"Maaf, aku tak bisa menolongmu kali ini."
Berbeda dari hari-hari lainnya, malam itu Elif berjalan sendirian di antara gelap. Ia baru bisa pulang setelah penjaga sekolah menemukannya terkunci di kamar mandi. Fatima dan teman-temannya yang melakukan itu.
Di jalan sepi, bau amis pun pelan-pelan mulai menyapa hidung Elif. Lalu begitu ia menoleh, bayang-bayang perempuan bermata biru tampak olehnya. Hanya wajah perempuan itu yang terlihat. Bagian tubuhnya yang lain terselubung tudung hitam.
"Gutyeleh omidi ou kheli govati .... Bezgam let garboni zalum chaporta ...," lagunya.
"Hantu ...," bisik Elif.
Gadis itu ingin lari tapi kakinya tercekat.
Sambil bersenandung, wanita bermata biru itu pun melayang mengitari Elif.
"Ara hanya milikku seorang. Siapa nama gadis itu ..., Fatima?" suara wanita bermata biru. "Dia harus kuberi pelajaran."
Wanita itu kemudian lenyap di antara kabut. Tapi Elif mendengar suara teriakan di apartemen dekat sana.
"Itu apartemen ... Fatima? Gawat."
Elif pun segera berlari ke arah apartemen itu tanpa takut. Ia bahkan berani mengetuk pintu apartemen Fatima.
"Fatima! Fatima!" panggil Elif.
Fatima tak menyahut. Begitu pintunya dapat terbuka, Elif pun melihat wanita bermata biru tadi dengan pisau di tangannya.
Wanita itu berlumur darah. Bibirnya tersenyum memerah ke arah Elif.
"Apa yang telah kau lakukan, Elif? Kau membunuh temanmu sendiri," bisik wanita bermata biru.
Elif terkejut. Cipratan darah itu ternyata ada di bajunya sendiri. Bibirnya pun memerah oleh cairan asin. Tangannya menggenggam belati.
"Itu tak benar! Bukan aku yang melakukannya."
"Bagaimana mungkin? Lihat baik-baik. Aku ini kau. Kau itu aku."
"Tidak."
Terlambat bagi Elif.
Dengan cepat, kerumunan orang segera melihatnya. Namun sebelum mereka sempat menyentuh Elif, seorang pemuda dengan mata tajam segera membawanya pergi.
"Selalu menyusahkan," bisik pemuda itu.
"Kau siapa?"
"Kau tak perlu tahu. Cepat pulang saja."
Elif pun terkesiap. Begitu sadar, ia sudah sendirian di jalan. Ia pun segera lari, tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan diri.
Napas Elif terengah-engah begitu sampai di depan apartemennya. Tapi dibalik semua kengerian itu, tiba-tiba ia tersenyum. Ia merasakan cairan merah itu tengah mengental manis di pipinya.
***
Sudah sebulan sejak kejadian aneh itu menimpaku. Kulit bersisik Malik, perempuan bermata biru, lelaki misterius yang tiba-tiba datang menyelamatkanku. Tak satu pun di antara mereka kumengerti.
Malik, sejak kecil aku selalu menyukainya. Tapi hal yang menimpaku sekarang membuatku tak ingin dekat dengannya. Apalagi masuk sekolah.
Aku kotor.
Tiap pagi aku bangun dengan pakaian bebercak merah. Dalam keadaan pintu masih terkunci, jendela tertutup rapat, bagaimana mungkin aku bangun seperti seorang pembunuh? Apa aku berjalan dalam tidur dan membunuh orang-orang?
Aku tak tahu.
Badanku terhuyung bangun. Kutengok dan kudengar jalanan dari balkon kamarku. Sejak bulan lalu, sirene mobil polisi selalu meraung di kota ini. Mereka mencari perempuan jahat yang membunuh Fatima, tiga orang lelaki, dan tiga orang perempuan lainnya.
Jelas itu aku, meski tak sadar.
Aku pun lekas-lekas masuk ke apartemenku lagi. Barangkali mandi dengan sabun sebanyak mungkin akan mengurangi rasa bersalahku.
Dengan handuk masih melekat di tubuhku, aku pun kembali melamun.
"Hei, gadis aneh," suara ketuk pintu.
Bersama suara samarnya, kucingku mengeong. Mungkin nenek di kamar sebelah ingin minta sedikit bantuan dariku. Tentu aku harus membantu.
Aku lekas-lekas berganti pakaian.
"Sebentar," sahutku.
Ketika pintu kubuka, ternyata pria misterius itu yang datang--pria yang menyelamatkanku dari tuduhan pembunuhan Fatima.
"Mereka belum menangkapmu, ya?" tanyanya.
Matanya menyasar apartemenku yang berantakan. Baju dengan bercak-bercak merah tertumpuk di satu sudutnya. Di sudut lain majalah usang dan video game yang sudah ketinggalan zaman.
Pria misterius itu lantas mendengus pelan. Ia masuk tanpa kuminta. Lalu menyudutkanku di dinding.
"Kalau kau waras, kau akan menyerahkan diri pada polisi. Tapi karena tidak, biar aku yang menghabisimu," ancam pria itu.
"Hentikan!" suara seorang yang tak asing di telingaku.
Satu orang lagi masuk ke dalam apartemenku sesukanya.
"Berhenti, Kakak," pinta pemuda itu.
Setelah kulihat-lihat, ternyata itu Malik.
Aku malu. Dia melihatku seperti ini. Dia melihat dosa-dosaku.
"Apa lagi yang bisa kau lakukan?" tanya sang kakak.
Malik menggeleng. "Dia bukan pelakunya."
"Kau memang sudah buta."
Kakak Malik pun mengempaskan badanku. Aku tak peduli bila aku jatuh, tapi Malik segera menampaku.
"Kau tak apa?"
"Ya," sahutku, lirih.
"Perempuan jahat itu bangkit dari neraka karena dia," tuduh kakak Malik.
Aku dan Malik saling menatap. Bibirku bergetar sejenak, tak siap bicara.
Malik cukup mengangguk. Dia kemudian menatap kakaknya lekat.
"Tak mungkin Elif melakukan semua itu."
"Kau akan membuat keputusan yang salah."
"Tidak," Malik bersikeras, "beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua ini."
Sang kakak pun mendecak dan tertawa remeh. Dia lantas memperlihatkan seluruh lengannya yang telah ditutupi sisik.
"Pintar sekali, Adikku, kau menungguku mati."
Pria itu lantas berdiri dan berlalu pergi. Di belakangnya, kucingku mengikuti. Aku melihat kakak Malik menendangnya.
"Pergi kau," kira-kira begitu yang dikatakannya.
Semua perbuatannya itu tentu menumbuhkan kebencian dalam hatiku. Tapi sebelum aku bisa menyatakan apa pun, Malik menenangkanku.
"Maafkan kakakku Karim. Dia memang seperti itu. Tapi aku janji, aku tak akan seperti dia."
Aku mengangguk. Malik pun mengusap kepalaku lembut.
"Kau mau memaafkannya, 'kan?"
"Ya," cetusku.
Perlahan Malik pun membantuku berdiri.
"Sabtu nanti, maukah kau jalan-jalan denganku? Ada banyak hal yang perlu kuceritakan padamu. Tentangku, Kakak, dan beberapa orang lainnya."
Aku terkejut. Rautku tersipu, meski aku tahu arah pembicaraan Malik serius.
"Boleh saja ...."
Hanya itu satu-satunya kalimat yang dapat kuucapkan.
***
"Sang Ratu telah kembali dari neraka. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. Kalau kita tak menyelesaikan takdir ini, kita tak akan lepas," ujar pria berjas hitam.
"Bunuh saja dia," sahut pria di sebelahnya.
"Kupikir kita harus memilih cara yang lebih halus," suara seorang perempuan.
"Cara lebih halus macam mana?"
"Mencintainya."
"Aku tak mau. Kau enak saja karena terlahir jadi perempuan sekarang. Kau membebankan kewajibanmu pada kami."
Terowongan gelap itu sejenak menggaung lengang. Langkah gontai seseorang menghentikan pembicaraan kelima orang tadi. Seorang pemuda muncul di hadapan mereka.
"Kau sudah membunuhnya, Karim?" tanya si perempuan.
Dia langsung menghambur begitu kakak Malik datang. Tangannya menggamit lengan pria di depannya erat-erat.
"Tidak. Adikku yang berengsek itu sedang ingin jadi pahlawan."
"Syukurlah," sahut perempuan tadi.
"Kau bersyukur untuk itu?"
"Tentu. Kami di sini sedang memikirkan cara untuk menghentikan dia, tapi tidak dengan membunuhnya."
"Hanya Selma yang berpikir begitu. Aku tidak."
Tiga lelaki lainnya turut gelisah.
"Apa Malik akan berusaha mencintainya?" desak Selma.
"Aku tak tahu," sahut Karim.
"Dia tak akan berhasil. Kita ditakdirkan untuk membencinya."
"Tapi kalau kita membunuhnya, dia akan terlahir lagi dalam diri bayi perempuan lain. Dan kejadian seperti ini akan menimpa kita lagi."
"Itu masih belasan tahun lagi. Serahkan dan salahkan saja diri kita di masa depan."
Karim mengembuskan napas pelan. Dia tampak menahan nyeri.
"Sudah berapa banyak sisikmu?" tanya salah satu lelaki di sana pada Karim, "kau bau sekali."
Karim mengerling. "Hampir memenuhi seluruh badanku."
"Itu karena kau menolak cintanya. Padahal kau yang paling diinginkannya. Ini semua salahmu."
Karim mendecak. "Itu perbuatan Ara, bukan aku."
"Tapi Ara hidup kembali di dalam dirimu."
"Dan di dalam dirimu Nimrod? Terserah kalau kau mau menerimanya. Tapi aku akan menentukan takdirku sendiri."
"Keras kepala," celetuk pria berkacamata tadi.
"Hmm," desau Karim.
Ia pun langsung membalik badan dan berlalu pergi.
"Karim," panggil Selma.
"Apa lagi?"
"Berjanjilah padaku untuk tak membunuh gadis itu."
"Aku tak bisa berjanji."
Selma menarik napas pekat. Ia lantas meletakkan tangan di depan dada dan mengepalkannya erat-erat. Matanya mengikuti kepergian Karim.
"Kau masih diikuti kucing ke mana-mana?" tanyanya.
Selma masih berusaha keras menahan kepergian Karim.
"Begitulah. Mereka tak mau pergi dariku."
Selma tertawa.
"Tak apa. Gadis itu akan memeliharanya untukmu."
"Hah?"
"Gadis yang kau tolong bulan lalu. Kulihat dia mengambil kucing yang kau tendang di taman hiburan."
***
Minggu berikutnya, Malik benar-benar mengajakku kencan.
Baru pertama kali ini aku merasakan duduk berdua di restoran terbuka. Sejoli terkutuk duduk berhadapan. Tiada seorang pun peduli. Padahal aku adalah yang mereka cari.
Malik mungkin orang yang tak suka basa-basi. Tapi kali ini ia kelihatan sabar.
"Kau ingat 'kan kalau aku mau menjelaskan tentang kami?"
"Tentu aku ingat."
"Jadi ... aku mulai dari mana, ya? Aha ... aku membawa sesuatu."
Malik pun mengeluarkan sebuah buku.
"Shamiram?" tanyaku.
Malik mengangguk. "Kau pernah dengar?"
"Ya. Ratu Asyur itu, 'kan?"
"Benar."
Percakapan kami terhenti sejenak saat makanan pesanan kami datang.
Setelah pelayan tadi berlalu, baru kami berani bertatap lagi.
"Kau adalah Shamiram."
"Bagaimana kau tahu? Bagaimana bisa?"
"Dia memilihmu."
Aku tahu Shamiram adalah ratu berkuasa di Timur Tengah kuno. Dia terkenal karena kecantikannya dan betapa banyak pasangannya. Putri dari dewi lautan itu, bagian mana dari diriku yang menyerupai perempuan itu?
"Tak mungkin."
Malik menggeleng. Dia mulai mengeluarkan buku lain. Itu buku tulis biasa, tapi penuh dengan artikel surat kabar yang dipotong dan ditempel rapi.
"Kita mungkin tak tahu, tapi puluhan tahun lalu hal ini sudah pernah terjadi."
Aku memerhatikan berbagai macam berita di sana. Mulai dari pembunuhan biasa sampai yang mengerikan. Satu hal yang kuamati, di salah satu potongan berita itu ada sebuah legenda urban tentang perempuan bermata sebiru lautan dan air mata semerah darah.
Aku teringat akan perempuan bermata biru yang kulihat.
"Itu semua ... perbuatan Shamiram?"
"Benar. Sejatinya Shamiram tak mungkin melakukan itu karena ia sudah tak terikat dunia. Tapi orang-orang tertentu membuatnya bisa kembali ke dunia untuk ...."
"Membalas dendam?"
"Tidak. Ia tak pernah mendendam. Ia hanya cemburu."
Aku mulai membalik-balik halaman lainnya. Sungguh aku tak mengerti apa pun.
"Kau adalah rantai penghubung dunianya dan dunia kita. Itulah sebabnya kau selalu bangun dalam keadaan penuh darah. Kau ada di dalam dia, dan dia di dalammu."
Aku menarik napas pekat. Di antara kegamanganku, tanganku cepat-cepat mengambil buku Shamiram yang hanya kulihat judulnya tadi.
"Cara satu-satunya menghentikan semua ini adalah dengan mencintai dan menenangkan Shamiram. Seperti yang dilakukan perempuan ini dua puluh tahun lalu. Ia menemukan cinta sejatinya," jelas Malik.
Malik menunjukkan sebuah foto usang padaku. Gambarnya sudah pudar. Tapi entah kenapa bau amis di sana masih sesekali menyeruak.
"Kalau tidak?" celetukku.
"Kalau tidak, satu per satu dari kami akan mati dengan sisik memenuhi seluruh badan. Yang pertama kali akan mati adalah ... tebak."
"Tak tahu."
"Kakakku. Sisiknya yang paling banyak karena sejak mula-mula ia telah menolak cinta Shamiram."
Tiba-tiba aku tergelitik.
"Aku akan mencoba menolongnya karena ia sudah menolongku."
"Dia menolongmu? Kapan?"
"Saat aku ada di apartemen Fatima, orang-orang hampir menangkapku. Lalu datang kakakmu membantuku kabur."
"Oh?"
Malik tampak terpukau.
"Dia tak pernah melakukan itu pada perempuan mana pun. Ini harapan bagus untukmu, Elif."
Aku merebahkan badan sejenak. Kucicip makanan di hadapanku yang sama sekali belum tersentuh.
"Siapa yang akan mencintai orang sepertiku?" gumamku.
Malik menunduk pelan.
"Sebenarnya, kami yang harus mencintaimu. Tapi takdir juga menentukan agar kami bertujuh membencimu, ini rumit."
"Bertujuh?"
Malik mengangguk.
"Ya, ada tujuh orang di antara kami yang lahir dengan sisik. Kau harus mencoba menjalin cinta dengan salah satu dari kami. Lebih baik lagi jika kau mencintai yang mengetahui siapa diri mereka di masa lalu."
Aku mengerling. Sebenarnya aku tak mengerti arah percakapan Malik.
Aku beringsut di tempat dudukku. Dengan pipi bersemu merah, aku memberanikan diri bertanya.
"Kau? Apa kau tahu siapa dirimu dulu, Malik?"
Pemuda di depanku mengembus kecewa.
"Aku belum tahu siapa diriku dulu. Itu karena tak semua pasangan Shamiram dicatat dalam sejarah."
Aku ikut kecewa.
"Bagaimana dengan enam orang lainnya?"
Malik berpikir sejenak.
"Mmm ... seorang di antara kami memiliki memori dari raja kota Niniwe, yang lain Shamsi-Adad, Nimrod, dan Ara. Sayangnya pemilik memori Shamsi-Adad perempuan, namanya Selma. Jadi kau tak bisa memilihnya."
Aku meneguk minuman cepat-cepat.
"Kau pasti tak serius soal ini," cetusku.
"Aku serius."
"Terlalu berat untukku, Malik."
"Tak apa. Aku tahu kau belum biasa. Tapi kumohon bantu aku. Aku sudah menjadwalkanmu untuk bertemu mereka."
"Siapa?"
"Rafiq dan Zahir. Kencan dadakan."
***
Selma tak seperti yang kubayangkan. Dia perempuan lembut dengan bibir merah muda.
Pertemuanku dengannya pun bukan tanpa alasan. Malik ingin agar Selma mendandaniku.
Lampu terang, cermin besar, satu setelan bedak dan kosmetik warna-warni. Semua tersuguh di hadapanku begitu Selma tiba.
"Hai, perkenalkan. Namaku Selma," ucapnya.
Meski sederhana, perkataannya sama sekali tak bermaksud basa-basi.
"Namaku Elif," sambutku.
"Elif ...," bisik Selma.
Tampaknya dia berusaha meresapi namaku.
"Berikan dia riasan terbaikmu," pinta Malik.
"Tenang saja."
Selma menguraikan rambutku begitu saja. Dia lantas menangkup pipiku.
"Wajahnya mudah dirias. Dia akan terlihat cantik di hadapan Rafiq."
Malik tersenyum. Aku membalasnya dengan tawa.
Rafiq yang mereka bicarakan ini ternyata seorang pengusaha kaya. Begitu aku tiba di kantornya, semua pegawainya menyambut berlebihan. Padahal aku sama sekali belum mengenal Rafiq.
Di ruangan pribadinya, ada dua orang sekretaris. Dibandingkan dua perempuan itu, aku tentu tak ada apa-apanya. Tak cantik sama sekali. Tapi Rafiq berusaha mengajakku bicara.
"Malik sudah memberitahumu rahasia tentang kami?"
"Ya," anggukku canggung.
Daripada mengagumi wajah kebapakan Rafiq, aku malah sibuk mengatur posisi kakiku yang tak nyaman di atas stiletto.
Rafiq pun tertawa.
"Siapa yang memberimu sepatu dan riasan itu? Kupikir kau tak perlu tampil sedewasa ini."
"Malik dan Selma," sahutku.
Rafiq pun tertawa terbahak-bahak.
"Berapa usiamu?"
"Tujuh belas tahun."
"Mmm ... usia kita terpaut jauh," Rafiq berdiri, "aku tak bisa memberi jaminan kalau aku akan mencintaimu."
"Tak apa."
"Beri aku waktu untuk berpikir. Karena selama ini pun aku tak bisa hanya mencintai satu perempuan. Terlalu berat untukku."
"Itu juga tak masalah."
Waktu yang dimaksud oleh Rafiq ternyata hanya dua minggu. Setelah itu, dia menolakku.
"Semangat, Elif. Kita tak boleh putus asa," hibur Selma.
"Ya. Kita masih punya kesempatan dengan Zahir."
Berbeda dari Rafiq, Zahir orang yang pintar. Malik membelikanku banyak sekali buku. Itu supaya aku tak terlihat bodoh di depannya. Zahir seorang dokter.
"Berapakah kebutuhan cairan manusia per hari?"
"Dua liter?"
Malik dan Selma menepuk dahi bersama-sama.
"Tidak, Elif. Kubilang jumlahnya bergantung pada aktivitas dan berat badan masing-masing."
Mereka berdua lantas menggeleng. Saat itu juga aku sadar kalau Zahir pasti akan menolakku.
Ya, memang itu yang terjadi lima minggu kemudian. Kuakui Zahir cukup sabar. Tapi memang dunianya terlalu sulit kupahami.
Setelah Zahir menolakku, aku pun berjalan setengah hati di lorong-lorong kota nan sepi. Putus asa, cintaku ditolak lagi. Yang kuinginkan sekarang hanya sendirian.
Lucunya di kota seperti ini hal semacam itu sulit didapatkan.
Di ujung lorong dekat pasar, seorang pria berjaket lengan panjang menghadangku. Sarung tangannya hitam. Wajahnya disembunyikan di balik topi. Seekor kucing kecil menemani di sebelahnya.
Aku baru sadar, mungkin kucing-kucing selalu mengikuti Karim karena pemuda itu berbau ikan.
"Kau belum berhasil?" tanya Karim.
Aku mengangguk.
"Menyedihkan, ya?" balasku.
Kedua tanganku lantas merengkuh kucing di samping Karim. Dia enggan berpisah dari si pemuda, tapi itu lebih baik baginya karena aku tahu Karim akan menyakitinya.
"Menyedihkan," tukas Karim.
Sekejap kemudian dia pergi dengan raut putus asa.
Pria itu sepertinya mulai peduli. Sejak kapan dia peduli? Mungkin akhirnya ia sadar ini menyangkut nyawanya. Mungkin karena ia tak ingin mati.
Di apartemen Malik, Karim sama sekali tak bisa menahan kesalnya lagi.
"Rencana kalian tak berhasil," Karim membuka percakapan.
"Ya. Rencanaku dan Selma benar-benar kacau," Malik mengaku.
Karim mengerling.
"Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?"
"Mungkin kau bisa mencoba mencintainya."
Sang kakak mendecak.
"Tak mau."
"Jadi lebih baik bagimu kalau kau seperti ini terus?" desak Malik. "Sisik itu bahkan sudah tumbuh di wajahmu."
Karim melipat tangan.
"Itu urusanku sendiri, aku yang akan menanggungnya sendiri," dengusnya.
"Memang benar. Tapi kupikir ... Elif hanya berusaha menolongmu."
Karim termenung sejenak. Kepalan tangannya pun pelan-pelan terbuka.
"Kau sudah beri tahu tiga rahasia tentang kita?"
"Sudah, Kakak. Pertama, Ratu Shamiram tak pernah berhenti cemburu dan tak segan menghabisi orang yang merebut cintanya. Kedua, bila salah satu di antara kita berhasil mencintainya maka ia akan pergi dengan tenang. Yang kedua tak pernah terjadi."
"Apa kau juga memberi tahu rahasia terakhirnya?" tanya Karim.
Langkahnya kian mendekati Malik.
"Tidak."
***
Kesempatan terakhirku menjalin hubungan adalah dengan Karim. Tak dapat kupungkiri, aku takut menghadapi lelaki itu. Malik sampai membantuku mencari obrolan dengan kakaknya.
Sayangnya Karim langsung menghardikku begitu kami bertemu di taman.
"Kenapa kau selalu memelihara kucing-kucing yang mengikutiku?"
Malik melirik padaku. Dari pandangan matanya, kelihatannya aku harus jujur.
"Karena aku dan mereka sama, dibenci olehmu. Padahal kami hanya berusaha perhatian padamu."
Karim terperenyak. Ia cepat-cepat membuang muka.
"Jangan bertingkah sok baik. Aku tau siapa kau sebenarnya, wanita penyihir."
Kuraih tangan Karim. Sama seperti Malik saat itu, dia menampikku keras-keras. Sayangnya aku berhasil menyingkirkan sarung tangannya. Aku melihat sisik-sisik sudah tumbuh di sana.
"Kau ini," keluh Karim.
Wajahnya kesal. Napasnya kembang kempis. Mata tajamnya menyasarku. Hatiku membeku.
Meski begitu, aku tetap berusaha menghangatkan suasana.
"Sayang sekali aku tak bisa berteman denganmu, ya? Padahal aku ingin sekali mengenal kakak dari anak lelaki yang selalu menolongku waktu kecil."
Malik menoleh padaku. Kelihatannya dia lupa pada semua perbuatan baiknya dulu.
"Siapa?"
"Kau, Malik. Kau sering menolongku dulu, saat aku masih tinggal di rumah. Kita tetangga."
"Ya, aku tahu. Tapi kapan aku pernah menolongmu?"
Aku tertawa pelan. Tak apa, Malik yang lupa pada perbuatan baiknya manis bagiku.
"Kau pasti lupa."
Karim mengembuskan napas panjang.
"Kau ini mau kencan denganku atau Malik?" singgungnya.
Aku terkesiap dan beringsut menjauhi Malik.
"Tentu aku ingin kencan denganmu. Tapi aku tak mengerti kau, jadi aku butuh bantuan Malik."
Karim tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh? Kalau begitu, tanyakan saja semua yang ingin kau tahu tentangku sekarang."
"Mmm," aku berpikir, "kenapa kalian selalu menampik tangan perempuan?"
Karim memiringkan topinya sedikit untuk menutupi wajahnya.
"Karena bila perempuan menyentuhku, sisikku akan makin banyak. Kecuali kau."
"Kenapa aku?"
"Kau ... penyihir jahat itu, dia tak pernah ingin orang yang dicintainya membagi hati dengan orang lain."
***
Aku berjalan lunglai di gang-gang kota. Semua orang menjauhiku kecuali beberapa orang pria. Mereka menghadangku, menawariku obat-obatan yang katanya bisa membuatku bahagia.
Aku menyingkirkan mereka semua dengan mudah. Tapi itu membuat mereka makin menggangguku.
"Hei, Sayang, kau mau ke mana di malam gelap seperti ini? Kemarilah ke pelukanku."
Aku hanya tertawa pelan. Lalu kutampar ia sampai jatuh.
"Hahaha ...," tawaku lirih.
Kekuatan ini terasa menyenangkan, seperti kekuatan ribuan orang. Aku cuma perlu menggerakkan tangan, mendorong dengan sedikit tenaga, lalu para pengganggu itu luluh lantak.
Wanita bermata biru itu pun masih menungguku di ujung jalan. Entah ke mana ia ingin membawaku. Semua orang yang menghalangi pertemuanku dengannya harus menyingkir. Aku harus bersama perempuan itu. Aku ingin menemuinya, bicara dengannya.
Langkahku pun membawaku ke tempat terbuka dengan suara ombak bergulung. Di sana tak ada siapa-siapa. Hanya aku sendiri dan bayangan perempuan bermata biru yang menungguku.
Begitu aku sampai di ujung pantai, perempuan itu pun menghilang. Aku hanya ditemani debur ombak. Dia tak ada di mana-mana lagi.
Aku tiba-tiba merasa geli. Kulihat bola bulu kecil berdiri dekat kakiku.
Ternyata seekor kucing. Kucing itu kelihatan basah dan kedinginan. Ia tak punya tenaga untuk bersuara.
"Kau sendirian, kucing kecil?"
Hewan mungil itu pun mengeong saat aku menggendongnya.
"Kita sama."
***
"Malik! Malik!" ketuk Rafiq.
"Apa?" sahut si pemuda.
Malik mengusap-usap matanya sambil membuka pintu.
"Kenapa kau membangunkanku tengah malam begini?" protes Malik.
"Sisikku makin banyak! Lakukan sesuatu!" pekik Rafiq.
Malik terkejut. Dilihatnya sisik di badannya juga makin banyak.
"Kebangkitan Shamiram akan terjadi sebentar lagi. Kejar gadis itu. Lakukan apa pun untuk menyelamatkan kita. Sekarang!"
Malik tak pikir panjang. Dia pun langsung berlari, mencari ke apartemenku. Tentu aku sudah tak ada di sana.
Setelah satu jam lamanya barulah ia menemukanku di tepi pantai.
Dia menatapku dengan keringat bercucuran.
Aku tersenyum pahit ke arahnya.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Malik.
"Aku harus bersatu dengan Ratu. Dia memanggilku."
Malik langsung menggapai tanganku. Kucing kecil yang kugendong melompat pergi.
"Sadar, Elif. Kumohon jangan jawab permintaan Shamiram. Cintai kakakku saja, dia harapan terakhirmu. Harapan terakhir kita."
"Tak bisa. Aku tak bisa mencintai kakakmu."
Malik menggeleng. Dia lantas menekap pipiku pelan-pelan.
"Kalau begitu cintai aku saja. Setidaknya kau mencintai salah satu dari kami."
Pipiku dinginku pun mulai bersemu merah. Malik kemudian menggenggam erat tanganku.
"Kau mau menerimaku, 'kan?" tanya Malik, memastikan.
Aku makin tersipu. Air mataku menetes.
"Ya, kalau kau juga menerimaku."
"Tentu aku menerimamu. Kau masih percaya padaku, kan?"
Aku mendongak sejenak. Tak perlu banyak berpikir. Wajah tenang Malik memang menenteramkan hatiku.
"Ya," jawabku.
Saat itu, detik itu, Malik telah menjadi alasan terakhirku untuk percaya pada dunia.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Malik.
"Boleh."
Pelan-pelan hatiku pun berbunga. Akhirnya ada juga seseorang yang menerimaku.
Di antara deru angin aku pun menghapus air mataku. Kuikuti Malik menuju tepi pantai.
"Airnya sedang hangat."
Malik membawaku makin ke tengah hingga air laut mencapai pinggang kami. Ini romantis. Aku mulai tenteram. Kami pun pelan-pelan berpelukan. Hanya aku dan dia, begitu lekat.
Tapi tunggu.
Kenapa yang kurasa sekarang hanya nyeri?
Ini ....
"Malik," bisikku.
"Ya?"
Begitu kulepas pelukanku dari Malik, aku baru sadar. Dia telah menusukku. Pisau itu dicabutnya hingga darahku bercucuran di lautan. Lalu ia mengempaskan aku ke dalam ombak.
Tak bisa bernapas. Nyeri. Sesak. Perih. Mati. Aku mati.
Ombak menggulungku ke lautan dan tak seorang pun menangkap tanganku.
"Malik!" teriakku, "Malik!"
Dia tak mau menolong. Dia membiarkanku tenggelam. Bayang-bayang Malik hilang bersama masuknya air ke paru-paruku.
"Malik!"
Untuk terakhir kali kupanggil namanya.
"Malik."
Lama kelamaan aku pun tak bisa lagi merasakan tangan atau kakiku karena terlalu dingin. Ditambah lagi satu makhluk bersisik mulai menggangguku. Dia berenang mengitariku. Entah apa dia.
Meski dia tampak berusaha mendekatiku, tapi aku terlanjur jatuh makin dalam di lautan ini.
"Kembali padaku," suara lainnya.
Sayup-sayup suara lembut perempuan mencapai telingaku, menarikku.
Aku pun membuka mata, meski semua yang kulihat akan buram.
"Siapa kau?" tanyaku.
"Aku ada di dalammu. Kau ada di dalamku."
"Ratu Shamiram?"
Jemari putihnya terus menerus mengajakku mendekatinya, memeluknya, merengkuhnya. Indah, dia terlalu indah untuk kutolak.
"Ya, anakku. Kembalilah padaku," bisiknya.
Aku pun merentangkan tangan untuk menggapai wajahnya, memeluk tubuhnya. Tapi lagi-lagi makhluk bersisik itu mengganggu perjumpaan kami.
"Pergi kau," usirku.
Sedikit lagi aku mencapai ratuku. Tapi makhluk bersisik menjijikkan itu pun ikut merengkuh tanganku.
"Kemari, Sayang."
"Ya ... ya ... Ratuku."
Lalu semua pandanganku gelap.
***
"Ratu Shamiram," gumamku.
Tanganku berusaha mencapai sesuatu walau hanya angin yang kutangkap.
Tidak.
Aku tak lagi ada di lautan.
Aku tak lagi bersama ratuku.
"Kau sudah bangun?" tanya seseorang.
Suaranya mengusikku.
Aku pun membuka mata. Kenapa yang tampak di hadapanku bukan ratu cantik?
Dia hanya seorang pemuda bergaya malas. Dua tangannya di belakang kepala. Pandangannya kosong ke luar jendela.
Pemuda itu Karim, kakak Malik. Ia tak berusaha menatapku sama sekali.
"Hal pertama yang perlu kau katakan padaku adalah terima kasih," ujarnya.
Karim berusaha mengguruiku.
Kuraba perutku. Memang ada bekas jahitan. Yang kualami saat itu nyata. Cinta sejatiku, Malik, telah membunuhku.
Tubuhku pun kuentakkan kuat-kuat untuk bangun.
"Kau yang menyelamatkanku?" tanyaku.
Karim mengangguk.
Aku tak terima.
"Kenapa kau tak membiarkanku mati saja? Kau telah menolakku. Adikmu telah membunuhku."
Karim mulai berdiri. Pandangannya lantas tercekat pada seekor burung yang mematuk-matuk kusen jendela.
"Aku memilih percaya padamu, terlepas siapa yang ada dalam dirimu atau kutuk apa yang telah menimpa kita."
Apa yang membuatnya berubah? Aku tak berani bertanya. Untunglah ia menjawab tepat setelah kupikirkan.
"Aku benci kucing-kucing itu, tapi kau malah merawat mereka. Perbuatanmu membuka pikiranku. Bagaimana mungkin kau menerima sesuatu yang bagiku benar-benar kutuk? Itu karena kau orang baik."
"Benarkah?"
Karim merentangkan kedua tangannya dan membalik badan.
"Kita sama. Kau ingin membuktikan kalau kau bukan si ratu jahat. Aku pun bukan raja yang menolak ratu itu."
Aku ingin menghindar saat Karim duduk di tempat tidurku.
Tapi dia terlanjur menggenggam tanganku.
"Kukatakan rahasia terakhir yang tak pernah diberitahukan Malik padamu."
"Rahasia terakhir?"
Karim tersenyum simpul.
"Ya. Ada tiga rahasia yang kami jaga. Malik baru memberi tahu dua padamu."
Aku termenung sejenak.
"Jadi apa yang ketiga? Kenapa dia tak memberitahuku?"
Karim mengembuskan napas pelan hingga semua udara di paru-parunya habis.
"Yang ketiga ... hanya tujuh orang terkutuk yang dapat membunuh Ratu Shamiram ... juga kau. Kami sudah merencanakan pembunuhanmu sejak awal."
Aku terperenyak.
"Mustahil."
Karim mengerut heran.
"Malik sebenarnya tak setuju. Ia ingin menuruti permintaan Selma untuk mencintaimu, tapi sepertinya ia putus asa. Dia sudah berniat membunuhmu sejak minggu lalu."
"Tidak. Itu ... itu mengerikan."
Karim langsung melipat tangan.
"Begitulah cara kami bertahan hidup selama ribuan tahun. Gadis Shamiram sebelumnya tak pernah menemukan cinta sejatinya. Ayah Rafiq telah membunuhnya," bisik Karim.
Aku mengerling. Wajah Karim yang terlalu dekat membuatku memerhatikan sisik-sisiknya yang --mulai hilang?
"Sisikmu ...," kataku.
Karim menyentuh pipinya. Sisik-sisik itu pun berjatuhan di tangannya dan meninggalkan gurat-gurat merah.
Aku mencoba melihat sekali lagi. Sisik di tangannya pun perlahan-lahan terlepas. Apa kutuk itu telah lenyap?
"Ini .... Aku bebas! Aku bebas!" pekik Karim.
Ia lebih terkejut dariku. Dia sampai menggendongku dan berputar-putar senang tanpa sadar.
Dia kemudian menurunkan aku perlahan.
"Maaf, maaf," ujarnya, "aku tak percaya ini akan terjadi."
Karim berusaha mengatur napasnya. Kalau tidak sepertinya ia akan pingsan karena terlalu bahagia.
"Aku juga. Aku juga senang," ucapku.
Karim pun tersenyum. Dia kemudian duduk di sofa lagi.
"Ada satu lagi rahasia yang perlu kau tahu selain itu."
"Apa?"
"Kau masih ingat perkataanmu waktu itu, tentang teman istimewa di masa kecilmu?"
"Ya."
"Aku juga punya."
Aku beringsut penasaran.
"Aku boleh tahu?"
Tiba-tiba pandangan Karim tampak melembut. Ekor matanya menyipit.
"Itu kau, Elif. Kau yang selalu menyusahkanku, 'kan?"
Aku pun teringat akan anak lelaki yang menolongku saat aku terjatuh. Anak lelaki yang membantuku menuruni pohon ceri setelah kupetik buahnya. Anak lelaki yang meminjamkan sepatunya saat sol sepatuku lepas.
"Bukan Malik yang menolongku menuruni pohon ceri? Atau yang menolongku saat aku jatuh?"
Karim menggeleng.
"Itu aku. Wajah kami mirip saat kecil."
Aku pun mengembuskan napas lega.
"Syukurlah itu kau."
Entah kenapa semua ketidakberuntunganku selalu membawaku pada Karim. Tidak, ini keberuntungan. Cinta itu ada tepat di hadapanku. Di ujung jalan tergelap dalam hidupku, ia selalu menunggu dan akhirnya memelukku. Seutuhnya. []