Sehari sebelum pernikahannya, mempelai laki-laki menghilang. Tidak ada jejak, tidak ada surat peninggalan, hanya kenangan yang ia titipkan. Adista, pasangannya sempat tidak percaya. Ia benar-benar tidak bisa berfikir dengan baik lagi sekarang atau sebut saja dia depresi, sangat dan sangat tertekan.
Ketika dirinya yang sangat benci dengan kekejaman dunia yang ia tempati, namun telah dilupakan oleh bantuan Gilan—dengan berbagai candaan dan lelucon yang menghapus nama kejam di opini Adista. Perlahan rasa itu datang, rasa nyaman. Mereka nyaman dengan satu sama lain hingga memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.
"Ini tidak mungkin, ini hanya mimpi Dista!" perempuan itu terus bergumam, ia selalu menyangkal bahwa ini adalah kenyataan. Semua berkata lain, realita memanglah realita dan dia sedang dalam dunia itu. Kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya, itu kalimat yang mendeskripsikan penyebab salah satu depresinya. Karena sebelum mengenal Gilanpun—Adista memang sudah menderita depresi ringan.
Sampai hari ketiga puluhnya Gilan dinyatakan hilang, Adista tetap tidak mau keluar kamar. Bertemu langit, matahari, maupun bintang saja tidak mau, apalagi bertemu manusia. Ia menghabiskan hari-harinya dengan kumpulan kertas yang ia corat-coret. Memutar habis semua memori kenangan yang pernah terjadi diantara dirinya dan Gilan. Seringkali ia bergumam, "Gilan, kamu sembunyi dimana sih? Kamu tidak rindu denganku gitu?"
Adista selalu beranggapan bahwa dirinya di dunia ini hanya berdua dengan Gilan—tidak ada yang lainnya terkecuali mereka. Walau pada nyatanya Adista adalah makhluk sosial juga, tapi ia tidak pernah mau berteman—tidak, sebatas menyapa orang lain saja tidak pernah mau. Semuanya bergantung pada Gilan, selayaknya Gilan adalah satu-satunya orang yang hidup di bumi ini. Ibu? Ayah? Ibunya hidup, ayahnya sudah berada di dunia lain tapi Adista tidak pernah menganggap ibunya ada. Begitupun sebaliknya, ibunya tidak pernah peduli dengan anaknya sendiri dan selalu memikirkan pekerjaan dibanding darah dagingnya.
"Gilan—aku sangat rindu, aku menyerah didalam sini. Aku akan mencarimu."
Adista berniat mencari Gilan, keluar dari kediamannya dan kembali pada dunia kejam diluar sana.
---
Hari ketiga setelah Adista memutuskan mencari Gilan, kekasihnya itu malah berbanding balik dengan ekspektasinya. Ia terlalu melebih-lebihkan kata-kata orang tentang dunia itu sempit. Nyatanya memang tidak—bahkan cakrawala sendiri tidak memiliki ujung, jadi tidak mungkin bumi ini sempit. Dunia ini terlalu luas dan juga terlalu kejam untuk dideskripsikan itu salah satu pelajaran yang ia dapatkan selain dari Gilan.
Hari ini—nasib yang kurang beruntung menimpa padanya, ia harus bertemu dengan seorang laki-laki yang mengikutinya terus-menerus. Entah itu ilusi atau hanya perasaannya, tapi laki-laki itu memang mengikutinya. Memang benar mereka sempat berkenalan, itupun baru sepihak—ck! Hegi ini kenapa ngikutin aku terus sih. Ya, namanya Hegi. Lebih lengkapnya Hygiea Tarendra dan kesan pertama dari Adista adalah dia terlalu percaya diri. Satu perasaan yang mengganjal saat Adista pertama kali menatapnya, rasanya seperti ia sedang bertatapan dengan Gilan dan jantungnya juga berdetak tidak beraturan. Adista selalu Adista, ia menyangkal keras kalau Hegi mirip dengan Gilan. Nyatanya Hegi dan Gilan dari segi fisik memang berbeda, mereka tak sama.
"Tunggu, kita belum berkenalan layaknya makhluk sosial." lalu kau berkenalan jenis apa? ada ada aja makhluk ini. Sampai sekarang Adista tidak memperdulikan laki-laki itu, ia lebih memilih berkeliling kota ini dibanding meresponnya. Fakta kedua, Hegi sangatlah sabar layaknya Gilan. Namun Adista tidak peduli karena Hegi adalah Hegi dan Gilan adalah Gilan, yang mengikutinya Hegi bukan Gilan.
Matahari mulai tenggelam, hari mulai gelap dan Adista masih belum menemukan keberadaan Gilan. Ia belum menyerah tapi fisiknya mulai melemah. Tak disangka-sangka, Hegi mengikutinya sampai ke depan rumah Adista. Setelah itu Adista menyerah, "Nama gue Adista, sana pulang!" Hegi tersenyum lebar setelah mendengar jawaban perempuan itu, membuatnya ingin mengenal lebih dalam lagi.
---
Hari berjalan seperti biasa, kemarau-hujan-kemarau-hujan. Satu perkembangan yang Adista alami, ia semakin dekat dengan Hegi. Entah betapa hebatnya seorang Hygiea Tarendra yang mampu membujuk Adista untuk hangout bersama. Keadaannya juga sudah tidak terlalu canggung seperti dulu, sekarang jauh lebih penuh dengan pembicaraan yang tidak berguna. Seperti, "Kamu percaya alien nggak?" "Pernah berniat keluar bumi?" "Lebih suka bahagia atau sedih?" Kalau kata orang jaman now itu tidak ada faedahnya.
Kadang juga terlihat seperti sepasang kekasih yang bertengkar, padahal nyatanya tidak begitu. Mereka hanya membantah satu sama lain. Semakin hari dan semakin hari, hubungan mereka membaik. Mungkin sekarang bisa disebut sahabat bagi Adista. Dirinya pun tidak menyangkal jika ia menganggap Hegi adalah sahabatnya. Di beberapa waktu, perilaku Hegi juga diluar batas sahabat. Adista kadang merasa Hegi seperti Gilan dalam wujud yang berbeda. Namun hatinya tetap setia pada Gilan, ia tidak mau berpaling ataupun menganggap Hegi adalah pengganti Gilan. Tidak, tidak sama sekali.
"Kalau boleh tau waktu pertama kali kita ketemu, kamu sebenarnya nyari siapa?" pertanyaan Hegi sukses membuat Adista bungkam. Semua bayang-bayang Gilan muncul didalam pikirannya.
"Gilan." Hegi bingung, siapa Gilan?
"—dia calon suamiku." deg. Hati Hegi terasa disayat-sayat setelah mengetahui orang yang ingin ia jaga selamanya memiliki calon suami. Setelah pertanyaan itu, keduanya canggung. Hegi yang sibuk dengan hatinya yang galau dan Adista yang teringat dengan bayang-bayang Gilan. Tidak ada satupun yang membuka suara, keduanya hening.
Begitupun hingga hari selanjutnya, Hegi sedikit berjaga jarak dengan Adista. Lebih baik jaga jarak, ingat Hegi dia udah ada yang punya. Ia tidak bisa membohongkan dirinya sendiri tentang patah hati yang sungguh mendalam ini. Sekeras mungkin ia merubah pikirannya bahwa dirinya dan Adista hanyalah sahabat dan tidak akan pernah lebih.
"Hegi, kamu baik-baik aja?" Hegi menoleh dengan tatapan bingung. Perasaannya tidak ada yang bermasalah, kecuali hatinya yang diombang-ambing dalam dunia galau.
"Seperti yang kamu liat, ada apa?" Adista menggeleng. Ia merasa ada sesuatu yang menghalang diantara mereka berdua. Hal itulah yang membuat Adista merasa tidak nyaman ketika bersama Hegi.
"Kayak ada sesuatu yang menghalang diantara kita berdua gitu gak sih? Tapi apa?" Gilanmu itu, Dis. Dia yang menghalangi kita berdua. Tidak—lebih tepatnya aku yang menjaga jarak. Aku yang menciptakan dinding besar di pertengahan kita tanpa persetujuan darimu.
"Nggak tuh—buktinya kita masih barengan." maaf, Dis. Aku terpaksa membohongimu dengan ini semua, aku menyadarinya terlebih dahulu yang artinya aku harus mundur duluan juga. Aku sadar kalau aku hanya pengganti dikala ia tidak hadir dalam waktu-waktumu dibumi.
"Yaudah kalau ada apa-apa cerita. Janji ya?" Adista menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Hegi, ia tersenyum sumringah ketika Hegi mengangguk. Aku tidak bisa berjanji, jangan kecewa jika sesuatu terjadi.
Hari itu—Adista dan Hegi memutuskan untuk berkeliling kota, sekedar mencari hiburan karena otak yang jenuh. Sampai sekarang Adista tetap mencari kekasihnya, tak kenal lelah untuk menemukan dia walaupun selalu menghasilkan nihil. Di satu sisi, Adista ingin sekali ke rumah Gilan. Mengingat bahwa Gilan pernah berkata, "Kalau ada apa-apa, jangan ke rumahku, Ta. Nanti ayah bakal ngusir kamu, karena ayah pulang nggak tentu." Kembali pada niatnya untuk berkeliling kota, Adista membatalkan itu semua. Ia lebih memilih pulang daripada mencari Gilan. Tidak, tidak hari ini, tidak sekarang.
Entah seperti ada sesuatu yang menghantui pikiran Adista, membuat Hegi menatapnya bingung.
"Dis, kamu kenapa?" tanya Hegi sambil membantu Adista berdiri seimbang. Jalannya seperti orang mabuk, kepalanya menggeleng-geleng. Sesekali ia pukul pucuk kepala dan mengusap pelipisnya. Ia terus bergumam, "Gilan.." Hegi langsung mengantarnya pulang melihat kondisi Adista yang seperti ini. Hatinya sedih ketika mengetahui Adista masih bergantung pada Gilan sementara ada Hegi disampingnya.
"Gilan.. kamu dimana?" Hegi berusaha sekeras mungkin untuk menenangkan Adista. Hegi tidak bisa melihat Adista seperti ini terus-terusan, hatinya sakit.
"Ssttt.. tenang, Dis." setelah merasa Adista sedikit lebih tenang, Hegi tetap menemani Adista. Menjaganya supaya sesuatu tidak terjadi lagi.
"Andai kamu tau Dis kalau Gilan itu—" Hegi baru ingat, ia harus menelpon ibunya.
---
Pernah tidak merasakan kehilangan namun sementara? Tiba-tiba duniamu diisi oleh orang lain yang seperti dirinya?—itulah yang sedang dialami Adista. Entah semakin hari dirinya merasa semakin baik juga, dia sudah tidak terlalu memikirkan Gilan. Aneh, ajaib tapi nyata. Apa mungkin Hegi benar-benar sudah bisa mengisi dunia yang sempat ditempati Gilan? Sebut saja Adista tidak berpikir panjang, harusnya ia trauma atau semacamnya tapi kini ia tidak sama sekali. Awalnya sempat berpikiran negatif tapi semakin hari malah pikiran itu berubah. Ia mulai menerima kenyataan bahwa dirinya dan Hegi memang dekat, semakin hari juga ia sudah jarang membantah.
Mungkin karena Hegi sudah membawa Adista kembali ke dunia luar dan mengubah pikirannya untuk menerima kenyataan. Semua bisa berubah, sesuatu bisa berubah seiring berjalannya waktu—
"Hegi, kamu tunggu sini—"
"Dis kamu mau kemana?!"
Adista berlari terus, ia mengejar seseorang yang baru saja ia tangkap tatapannya. Orang itu tidak lari, ia hanya berjalan tanpa arah layaknya orang kebingungan mencari lokasi.
"Gilan tunggu!"
Laki-laki yang dipanggil itu sama sekali tidak menoleh. Ia terus berjalan bahkan Adista sudah meneriaki namanya berkali-kali. Dengan nafas yang tersengal-sengal, ia memegang bahu laki-laki itu.
"Maaf?" satu kata yang keluar dari bibir laki-laki itu ketika menoleh ke Adista sedangkan perempuan itu menatapnya lekat-lekat dan memeluk dia tanpa basa-basi.
"Gilan, kamu kemana aja? Apa kamu nggak kangen sama Tata-mu ini?" Laki-laki itu memandang Adista heran, ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud perempuan didepannya.
"Maaf, anda siapa?" Adista kaget, Gilan tidak mengingatku? Bagaimana bisa? Sebuah hal yang tak disangka-sangka, ia bingung sebenarnya apa yang terjadi pada Gilan-nya?
"Aku? Aku Adista—Tata-mu, Lan. Kamu lupa?" Laki-laki itu benar-benar tidak mengerti maksud Adista, aku tidak pernah mengenal Adista apalagi Tata. Lantas siapa perempuan ini?
"Sayang—"
"siapa perempuan ini?" seorang perempuan menghampiri mereka berdua. Tatapan tidak suka terpancar dari mata perempuan itu. Adista menatap balik perempuan didepannya dengan tatapan tidak suka juga, berani banget dia ngomong kayak gitu?!
"Aku juga nggak kenal, Liv. Kamu kenal nggak?" sebenarnya apa yang terjadi dengan Gilan-ku?! Bagaimana bisa ia melupakan Tata-nya?! Pikiran Adista kacau, sangat-sangat kacau.
"Kamu aja nggak kenal. Apalagi aku, Sa." Sa? Siapa Sa? Sejak kapan Gilan punya nama lain? Apa yang dimaksud perempuan ini? Apa ia gila?
Tepat sekali waktunya, Hegi datang. "Ayo Dis—" Hegi menarik pergelangan tangan Adista kasar.
"Tunggu, Hegi—"
"Mohon maaf ya, Mbak dan Masnya. Teman saya mabuk soalnya, mohon dimaafkan ya." Hegi menarik Adista keluar dari area itu. Pergi menjauh dari keramaian yang memenuhi tempat itu.
Laki-laki itu memegang pelipisnya, sesuatu terjadi. Maafkan aku, Ta. Aku tidak bermaksud menyakitimu dengan realita yang ada—kamu pantas mendapatkan yang lebih layak daripada aku. Tolong lupakan, Gilanmu itu.
"Hegi kamu apa-apaan sih?!" bentak Adista tak suka, ia menepis kasar tangan Hegi. Ia paling benci dipaksa, sangat benci. Seumur-umur setiap ia dipaksa, pelakunya akan dibenci habis-habisan olehnya. Sama dengan Ibunya yang sering memaksa Adista untuk segera menikah saja daripada menyusahkan dirinya. Itulah sebabnya kenapa Adista begitu membenci Ibunya sendiri.
"Dia bukan Gilan, Dis. Kamu nggak liat itu pacarnya tadi?"
"Nggak, Hegi! Dia Gilan, Gilanku! Perempuan itu—" Adista tersungkur lemas, kakinya jatuh ke tanah. Ia meneteskan air matanya setetes demi setetes. Sakit rasanya ketika kekasihnya itu dipanggil 'sayang' oleh orang lain.
"Dia bukan Gilan, Adista. Besok kita cari Gilan lagi ya?" Hegi mengelus rambut Adista lembut, membisikkan dengan kata-kata yang bisa menenangkan perempuan itu.
Ajaibnya dalam sekejap, Adista tidak menangis lagi. Dirinya berubah menjadi biasa saja, layaknya tidak ada yang terjadi. Hegi sendiripun bingung kenapa Adista bisa berubah seperti itu.
"Dis, kamu baik-baik aja kan?" Adista mengangguk kemudian ia bangkit berdiri.
---
Perempuan itu sedang menghirup udara segar dipinggiran danau. Ia sesekali menoleh ke sebelah laki-laki yang sedang asyik tidur dengan alas karpet yang mereka bawa. Ia menatap lekat-lekat wajah laki-laki yang sedang tertidur itu. Tak jarang pula ia mengusap rambutnya halus.
"Kalau aku tidur di sebelahmu, kita bakal masuk ke dalam dunia mimpi yang sama nggak?" gumam Adista sambil mengusap rambut laki-laki itu. Ia membaringkan tubuhnya tepat disebelah keranjang makanan. Menatap langit, awan, matahari dan kawanan lainnya.
"Andai kita bisa hidup selamanya begini, Lan. Berdua, cukup berdua aja." lanjutnya lagi. Ia genggam tangan laki-laki disampingnya itu, tatapannya tak lepas dari manusia tersebut.
Jika bisa dibuat sebagai permintaan, mungkin segala permintaan Adista akan bertuju pada Gilan. Yang ingin tinggal di dunia hanya bersama Gilan, menciptakan kebahagiaan berdua tanpa melibatkan orang lain, intinya meninggalkan dunia kejam dan beralih ke dunia baru yang ia tempati dengan kekasihnya itu.
"Tapi—tidak, tidak akan. Kita tidak akan berpisah kan? Kita pasti akan selamanya dan itu memang takdir. Tidak ada yang bisa memisahkan kecuali maut." mungkin jika diliat orang lain, Adista akan dianggap orang gila karena berbicara dengan orang yang sedang tidur. Siapa yang akan merespon? Rumput? Pohon? Air? Awan? Matahari?
"Ayo kita hidup berdua tanpa melibatkan orang lain, hidupku akan jauh lebih bahagia ketika kita hanya berdua kemudian diisi dengan canda-tawa didalamnya." jika ditanyakan berapa banyak harapan yang sudah ia buat untuk Gilan—maka jawabannya lebih banyak dari isi bumi, bahkan sangat dan sangat banyak. Tidak terhitung berapa banyaknya, yang pasti ia telah menanam harapan itu pada semesta. Memastikan bahwa harapannya tidak pernah layu dengan selalu mendoakannya sebagai satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan.
---
"Kamu jangan lupa makan."
"Jangan lupa istirahat yang cukup."
"Jangan banyak pikiran terus."
"Iya-iya, udah sana pulang." semenjak Adista jatuh sakit, Hegi selalu menjaga dan merawatnya. Ketika ia dinyatakan jatuh sakit, Hegi sangat panik bahkan diluar terkejutnya Adista ketika melihat reaksi sahabatnya itu. Sebenarnya Adista sedikit tidak nyaman ketika Hegi terlalu perhatian dengan dirinya, mengingat bahwa Hegi adalah sebatas sahabat tapi ia pernah bilang, "Sahabat juga boleh bertindak layaknya pacar, Adista." ia hanya mampu menerima kata-kata itu dan berusaha membiarkan Hegi memberikan perhatian lebih padanya.
"Nggak, aku mau jaga kamu." Hegi daritadi tetap bersikeras untuk menjaga Adista, padahal Adista sekarang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Adista hanya bisa mendegus pelan melihat kelakuan Hegi, ia menerima saja daripada harus beradu mulut terus hingga subuh. Ia lebih mementingkan kondisi tubuhnya daripada risih yang ia rasakan.
"Kamu tidur aja, kalau ada apa-apa panggil aku." Hegi keluar dari kamar Adista. Perempuan itu menatap sekeliling kamarnya yang dulu sering ia jadikan dunianya dengan Gilan. Ia melihat meja belajar, terputarlah memorinya ketika belajar bersama Gilan. Pindah ke sofa kecil disamping meja tidur, mereka bercanda-tawa sambil sesekali Adista memukul lengan Gilan karena candaannya yang berlebihan.
"Betapa indahnya waktu masih ada kamu, Lan." Adista menutup matanya kemudian mulai masuk ke dalam dunia mimpi.
---
"Tidak, Yah! Byas punya pilihan Byas sendiri. Apalagi Nadine sama Byas itu belum resmi pacaran." Adista sedang berniat mengelilingi komplek rumahnya malah berujung melihat pertengkaran ayah dan anaknya. Eh itu bukannya Gilan? Kenapa ngaku-ngaku jadi Byas dia? Adista masih berdiri kaku ditempatnya.
"Byas, itu wasiat dari kakek kamu. Beliau mau cucunya menikah dengan orang yang beliau percaya." Bukan, Adista. Dia Byas bukan Gilan, kamu salah. Aneh dan ajaib, hati Adista berkata seperti itu. Tadinya Adista berniat untuk pergi dari sana namun matanya berkontak mata dengan Byas.
Laki-laki itu langsung menarik tangan Adista dan membawa ke depan ayahnya. Apa-apaan ini?! Apa yang akan ia lakukan?! Aku harus apa?! Sekeras mungkin Adista berpikir, ia tak menemukan jawaban sama sekali.
"Ini, Yah. Dia pilihan Byas." eh apa ini? Maksudnya apa? Aku tidak mengenalnya, bagaimana bisa ia bilang seperti itu? Adista hampir gelagapan, ia langsung menunduk.
"Siapa dia?" Adista segera membungkukkan tubuhnya lalu menunduk lagi, "Nama saya Adista, om." ia bersumpah setelah ini tidak mau berurusan lagi dengan laki-laki disampingnya, kalau bisa pergi ke Neptunus.
Ayah Byas menghela nafas kasar, "Terserah kamu, Byas. Biar ibu yang memutuskan nanti." Adista membungkukkan tubuhnya lagi lalu membalikkan badannya dan menghela nafas. Mereka berduapun pergi dari hadapan ayah Byas. Pikiran Adista kacau, entah mau melanjutkan jalan ataupun pulang ke rumah.
"Kamu perempuan yang kemarin manggil aku Gi—apa?" Adista menatap tajam Byas, ingin sekali ia menendang laki-laki itu hingga ke matahari. Ia mendegus kesal lalu memutar bola matanya malas.
"Iya, kamu bukan Gilan kan? Maaf kemarin aku salah orang." cicit Adista. Laki-laki itu hanya tersenyum ramah kemudian menatap kedua manik mata Adista, masih sama setelah tidak bertatap mata lebih dari dua tahun.
Ia menjulurkan tangannya, "Nama aku Byas, kamu Adista?" perempuan itu membalas juluran tangannya lalu mengangguk pelan. Perjalanan tanpa arah itu berubah hening karena tidak ada satupun yang memiliki topik pembicaraan. Adista ingin sekali bertanya lebih tentang Byas, barangkali Byas benar-benar mirip dengan Gilan.
"Eum.. Byas, kalau boleh tau yang kemarin itu pacar kamu ya?" akhirnya keheningan dipecahkan oleh Adista. Perlu nyali yang cukup besar untuk bertanya seperti itu.
"Bukan, itu bukan pacarku. Dia temanku dari kecil." benar, dia bukan Gilan. Dia sendiri tidak pernah menceritakan teman-temannya selain Galuh. Adista mengangguk mengerti, sedetik kemudian keadaan berubah hening lagi.
"Byas—rumahku di blok ini, kamu mau mampir?" Byas menggeleng lalu tersenyum. "Itu ada pacarmu nunggu didepan, aku duluan." Byas pergi dari hadapan Adista. Pacarku? Siapa? Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Hegi yang berdiri didepan pintu rumahnya dengan tatapan datar.
"Sudah puas pacarannya?"
---
Setelah kejadian kemarin, Hegi sebenarnya tidak marah. Ia hanya ingin Adista untuk tetap beristirahat dirumah karena kondisinya yang belum baik sepenuhnya. Jika ia pingsan bagaimana? Siapa yang akan menolongnya? Sebut saja Hegi terlalu posesif tapi ia memang tidak menginginkan hal itu terjadi pada Adista. Dan juga setelah hari pertama bertemu Byas, Adista belum pernah berpapasan lagi dengannya. Byas benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Setiap ia lewat didepan rumah Byas, hanya ada seorang wanita disana. Tidak ada Byas maupun ayahnya.
Terkadang Adista berpikir lagi, sebenarnya aku hanya halusinasi saja atau bagaimana sih? Ia masih sibuk memikirkan itu realita atau ilusi saja. Disebelahnya ia berharap kalau itu bukan realita, supaya kenyataan yang nantinya lebih baik daripada saat ini. Tapi yang satunya lagi, ia juga berharap kalau Byas itu Gilan dan kemarin adalah Gilan yang sebenarnya. Sungguh tidak masuk akal, tapi begitulah yang ia pikirkan.
"Jangan banyak pikiran, Dis." ucapan Hegi membuyarkan lamunan Adista, cepat-cepat ia menyangkal kata-kata Hegi. "Aku lagi diam bukan berpikir." Hegi duduk disebelah Adista lalu menatapnya dalam.
"Dia Gilan?" dua kata yang keluar dari mulut Hegi mampu membuat pikiran Adista berjalan cepat. Ia masih tidak yakin bahwa Byas adalah manusia nyata atau tidak. Byas juga kelihatannya bukan Gilan, entah feelingnya merasa seperti itu. Di satu sisi ia tetap merasa Byas itu Gilan, walaupun sebesar apapun hatinya membantah.
"A—Aku nggak tau."
"Yaudah, gak usah dipikirin. Fokus dulu sama kondisi tubuh kamu, ngerti?" Adista mengangguk paham, tanpa disuruhpun aku memang nggak mau begini. Dunia ini terlalu menekan dirinya, menjadi sesuatu yang diinginkan orang lain bukan dirinya sendiri. Terkadang, saran orang lain memang penting. Namun jika bertabrakan dengan pemikiran diri sendiri, ujung-ujungnya seseorang akan tertekan.
---Hari ke 735 setelah ditinggalkan Gilan.
Terhitung sudah dua tahun lamanya, Adista ditinggalkan Gilan tanpa alasan dan satupun jejak. Perlahan ia sudah bisa menerima dunia yang kejam ini karena Hegi. Laki-laki itu mengajari banyak pada Adista tentang dunia luar sana yang memiliki sisi baik juga. "Tidak selamanya seseorang akan jahat, Dis. Penyesalan bisa merubah semuanya." atau juga tentang "Anggap saja kita ditugaskan ke dunia, dibebaskan dan diberi hak untuk menjadi apa peran kita di dunia ini. Setidaknya kita punya hal mengesankan sebelum pulang, benarkan?"
Dari sana Adista belajar—memang benar perkataan Hegi, ada sebagian dari dunia ini yang baik juga. Supaya bisa menyeimbangkan mana yang baik dan mana yang jahat, inilah hidup. Kalau tidak ada kejahatan, hidup pasti membosankan. Kalau tidak ada kebaikan, siapa yang akan menolong sesamanya?
Disitu juga Adista menemukan letak perbedaan Gilan dengan Hegi—jika Gilan akan melakukan semuanya yang terbaik untuk Adista, bahkan sekalipun permintaan Adista untuk hidup berdua di dunia ini. Berbanding dengan Hegi, justru Hegi selalu mengajak Adista untuk mengeksplor dunia luar. Ia tidak mau perempuan itu terus-terusan mengurung dirinya didalam rumah. Dia selalu mencari hal baru, hal yang jarang sekali diminati orang lain.
"Hari ini kemana?"
"Museum nasional!" jawab Hegi semangat, Adistapun ikut semangat dan tersenyum lebar, "Ayo!"
Sebenarnya Adista masih membenci keramaian tapi ini satu-satunya cara agar cepat sampai ditujuan. Dengan haruslah ia pergi naik bis bersama Hegi, laki-laki itu tidak perlu ditanyakan. Pastinya ia akan tenang, duduk, dan mendengarkan lagu dari earphonenya. Berbanding balik dengan Adista, ia lebih memilih untuk memandang jalanan diluar. Kadang pula mereka dijebak macet, padahal ini sudah rute tercepat.
"Mau coba dengar?" Hegi menyodorkan earphone sebelahnya, Adista menerimanya dengan senang hati.
"The Power of Love?" Hegi mengangguk. Ini lagu kesukaan ayahnya dulu, sehari bisa diputar hingga 10 kali. Adista sampai hafal dengan liriknya. Lagu yang tentang cinta tidak memandang siapapun untuk dicintai.
"Kamu suka lagu ini?" Adista mengangguk, "Aku dan ayah suka lagu ini." Hegi tersenyum, Jangan tersenyum huhu! Pengen aku simpen terus bawa pulang jadinya. Adista menikmati lagu itu sepanjang perjalanan hingga tak sadar ternyata sebentar lagi mereka sampai.
Hegi menarik tangan Adista untuk turun dari bis, suasana bising memenuhi sekitar jalanan disana. Hatinya juga berdetak tak karuan, entah karena suara bising atau tangannya yang sedang digenggam sekarang. Tidak boleh, tidak. Hegi sahabatmu, Ta. Ingat itu!
"Anggap aku pacarmu, sebentar saja oke?" tanpa persetujuan dari Adista, Hegi segera memeluknya. Adista diam, tak mengerti apa yang terjadi ia hanya bisa menyetujuinya saja. Selang beberapa menit, Hegi melepaskan pelukannya.
"Huff.."
"Ada siapa?" tanya Adista bingung. Hegi menatap Adista dengan tatapan yang sulit diartikan, entah bingung juga atau bagaimana.
"O—Oh, nggak itu. Mantanku." jawabnya sambil tersenyum miris.
"Kamu pernah punya pacar ya?" raut wajah Hegi berubah sedih, "—eh maaf aku nggak bermaksud."
"Nggak kok, nggak apa-apa. Itu memang mantanku, dia—"
"Nggak perlu dijelasin, nanti kamu sedih disini." Adista segera menggenggam tangan Hegi dan lanjut jalan ke tempat yang dituju, Museum Nasional.
---
"He—eh ada Byas! Hegi tunggu ya." Adista langsung berlari ke arah laki-laki yang tampaknya sedang menunggu seseorang.
"Byas!" pemilik nama tersebut menoleh ke sumber suara, mendapati Adista yang terdiam dengan nafas yang tersengal-sengal. Byaspun mendekati Adista dan memberinya sebotol air mineral.
"Diminum dulu." Adista segera meneguk setengah botol air mineral itu, "M—Makasih, Byas. Maaf ngerepotin." Byas tersenyum hangat.
"Kamu sendirian atau sama pacarmu?" tanya Byas, Adista segera menggeleng cepat.
"Itu bukan pacarku Byas, dia sahabatku." jelas Adista, tiba-tiba saja Byas menghela nafasnya. Adista berniat menanyakan dengan siapa ia kesini, tapi seorang wanita tua dengan keranjang yang ia genggam di tangan kirinya menghampiri Byas.
"Nak—eh ini temanmu, Byas?" wanita itu tersenyum hangat kepada Adista begitupun sebaliknya. Byas mengangguk, terselip rasa senang didalam hati ini.
Adista berjabat tangan dengan ibu Byas, "Saya Adista, Bu. Temannya Byas." ibu Byas mengangguk, "Cantik ya kamu, Nak." Adista hanya bisa tersenyum kikuk.
"Sudah-sudah, jangan dilanjutkan. Nanti kamu tambah baper." ibu Byas terkekeh pelan, "Yasudah, ibu tidak ikut-ikutan urusan anak muda." kemudian beliau meninggalkan mereka berdua dan kembali ke dalam restoran tadi.
"Mau bicara sebentar?" Adista menatap Byas tidak paham. Kok suasana berubah serius? Kenapa?
---
Sudah setengah jam Byas dan Adista berkeliling taman. Byas yang belum membuka pembicaraan dan Adista yang pikirannya dimakan rasa bingung. Sampai kapan begini terus? Adista kadang tidak suka keheningan yang memisahkan dirinya dengan orang yang harusnya mengajak ia bicara. Aku yang tidak sabar atau dia yang terlalu lama mengumpulkan topik?
"Kamu mau bicara apa, Byas?" sampailah mereka disebuah kursi taman. Suasananya sangat tenang, tidak ada kendaraan yang lewat. Pohon-pohon bertiupan dari arah timur. Burung-burung berlalu lalang dari pohon satu ke pohon lainnya.
Byas terlihat ragu untuk menjawab, "Jangan marah, janji?" Adista tampak bingung dengan maksud Byas, tapi ia hanya bisa menyetujukannya dan mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Byas.
Namun..
"Eh sebentar, earphoneku jatuh." Adista berusaha mencarinya di bawah kursi, tangannya tak dapat menggapai benda itu sampai—
Seseorang menjulurkan tangannya untuk mengambil benda tali itu dan memberinya ke Adista, "Terima kasih, gimana—"
Adista speechless. Ia tidak bisa berkata apa-apa, dia bingung. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. Satu yang ia harapkan, pergi dari tempat itu.
"G—Gilan?" laki-laki itu yang mengambilkan earphone Adista yang terjatuh tadi.
"Byas Gilan kalian?" Adista menga-nga, lalu ia menutup mulutnya dengan satu tangan. Ia menggeleng-geleng tidak percaya, "Kalian kembar?" mereka berdua serempak mengangguk sembari tersenyum.
"Kamu sudah janji untuk tidak marah, Ta." peringat Byas, tanpa diperingati juga aku tidak akan marah tapi—ia terlalu terkejut, ia tidak bisa membayangkan mana yang realita mana yang sebenarnya ilusi. Ia menganggap ini ilusi tapi realita berkata memang Gilan dan Byas itu kembar.
"Dia Gilan yang sebenarnya." laki-laki yang disangka Gilan oleh Adista malah menunjuk Byas. "Dia bukannya Byas?" laki-laki itu menggeleng kemudian menunjuk dirinya sendiri.
"Aku Byas yang sebenarnya, sisanya Gilan yang menjelaskan. Aku duluan." Byas pergi dari pandangan mereka, entah kemana.
Adista segera memeluk Gilan erat seolah-olah tak mau kehilangan untuk kedua kalinya lagi. Dalam pelukan itu, Adista terisak keras. Ia menangis, menyalurkan semua rasa yang tertahan dalam hatinya seperti didalam penjara. Gilan hanya bisa mengelus rambut Adista lembut. Sesekali mencium pucuk kepala perempuan yang ia sayangi itu.
Gilan memegang kedua pipi Adista, "Ta, tatap aku." ia melakukan perintah itu.
"Kamu mau tau alasan aku pergi?" Adista mengangguk.
"Aku harus menggantikan Byas yang sudah—" Gilan memberi jeda kalimatnya, raut wajahnya berubah sedih.
"meninggal." deg. lalu yang tadi itu?
"Kamu bercanda kan, Lan? Yang tadi itu siapa?" Adista terkejut bukan main, kedua kalinya ia terkejut karena sebelumnya ia mengetahui bahwa Gilan dan Byas adalah kembar.
"Dia—memang arwah Byas. Dia sering menunjukkan dirinya ke orang tertentu dan aku bisa melihatnya."
Bulu kuduk Adista merinding. Ia kembali memeluk Gilan erat, ia takut untuk menoleh ke belakang ataupun ke samping. "Tidak perlu takut, Ta. Byas itu baik kok."
Satu hal yang mendominasi perasaan dihatinya, Gilanku kembali.
---
"Setelah ini kamu harus berjanji lagi." kalimat yang diucapkan Gilan barusan membuat Adista berhenti. Seakan-akan seluruhnya berhenti, waktupun ikut. Maksudnya apalagi ini?
"Maksudmu?" tanya Adista, terpapar jelas raut wajahnya marah. Ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi diantara mereka. Tidak boleh ada yang memisahkan kita lagi, Gilan!
"Turuti saja, kamu harus berjanji." dengan terpaksa Adista menerimanya, ia menyerah. Apapun yang terjadi pasti yang terbaik untuk dirinya dan Gilan, tiba-tiba ia mengingat kata-kata Hegi. Oh iya Hegi! Aduh aku kenapa baru ingat?!
"Gilan—aku harus kembali." Gilan mengerutkan keningnya. "Kembali kemana?" tanyanya.
"Hegi. Aku meninggalkannya di restoran dekat tempat tadi." Adista segera menarik tangan Gilan untuk berlari secepat mungkin. Dengan rasa bersalah ia pergi kembali untuk mencari Hegi. Maaf Hegi, harusnya aku tidak egois. Ia takut Hegi pulang dengan keadaan marah. Ia takut sesuatu terjadi pada Hegi apalagi tadi ia sempat bertemu—
"Adista!" sekarang aku merasa bersalah, ternyata dia masih disini. "Kamu habis darimana—oh sama Gilan?" tidak, Hegi tidak marah. Hegi tersenyum lalu menghela nafasnya.
"Aku kira kamu diculik." Adista masih mengatur nafasnya, Hegi segera memberi minumnya untuk Adista. Sesakit ini ngeliat dia jalan sama yang lain? Jangan Hegi, gak boleh egois. Dia memang punya Gilan. Dimata Adista tetep aja Hegi cuma sahabatnya. Tapi sebentar, bagaimana Hegi bisa tau kalau Byas itu Gilan?
"Kok kamu tau—"
"Iya—tadi saya culik dia sebentar. Ini mau dipulangin ke pemiliknya." pemilik? Maksud Gilan apa? Bukannya aku milik Gilan? Kenapa jadi Hegi?
Hegipun begitu, ia bingung maksud dari kata Gilan. "Hegi, saya percaya sama kamu. Kamu pasti bisa menjaga Adista lebih dari yang saya pernah lakukan. Tolong buat dia bahagia, itu pesan saya—"
"—dan Adista, maaf. Maaf aku gak bisa nepatin janji aku untuk hidup berdua selamanya. Kamu harus bahagia sama Hegi, karena dia jauh lebih baik dari aku." Gilan tersenyum, padahal dibalik semuanya hatinya hancur. Ia tidak bisa melepaskan perempuan yang ia sayang setengah hidup untuk orang lain, tapi mau tidak mau ia harus melakukannya.
"Kamu bisa berubah, Ta. Kalau sama dia.
Jangan mengenang hubungan kita, anggap saja itu bagian awal dari bukumu. Dan dirinya adalah bagian selanjutnya dari buku yang akan kamu tulis lagi nanti."