"Aku suka rambutmu kalau panjang, Olv. Bagus sekali, aku bahkan sampai iri," celetuk gadis berkuncir dua itu. Jemari kecilnya menarik sejumput rambut hitam Oliver lembut. Hendak mengepangnya. Embusan angin musim semi menerbangkan rambut Oliver, membawa aroma sampo yang digunakan anak laki-laki tersebut. Atoma bunga yang agak unik untuk ukuran anak laki-laki berusia dua belas. Ah, seharusnya Oliver mulai menggunakan sampo yang berkesan sedikit maskulin. Namun, gadis itu nampaknya masih ingin berbagi sampo yang sama dengannya. Terkadang gaun musim panas gadis tersebut, bando, atau jepitan rambut..
"Kenapa?" Oliver bergeming di tempatnya, agak menegang karena tubuh mereka berdua beberapa kali bergesekan. Gadis itu mungkin masih terlihat kekananakan. Namun pubertas lebih dulu sampai pada si gadis. Membuat tubuhnya mulai menunjukkan fase matangnya. Oliver merasakan pipinya menghangat tatkala punggungnya bersentuhan dengan tubuh bagian atas si gadis yang mulai tumbuh.
"Karena aku bisa mengepang rambutmu setiap hari. Itu menyenangkan. Rasanya seperti punya adik perempuan sendiri." Gadis itu telah menatap bangga hasil kepangannya. Ia beranjak dari tempatny, agak berlari menuju meja rias. Ia membuka laci, beberapa saat terbengong menatap bagian dalamnya.
Oliver mengulas senyum tipis. Pastilah gadis itu heran dengan isi lacinya yang beraneka rupa dan bercampur seperti habis terkena angin ribut, "Apa yang kaucari?"
"Aku mencari pita warna hijau tosca hadiahmu padaku dulu." Gadis itu masih mengacak-acak lacinya. Tak lama setelah itu ia menjerit senang. Pita berwarna hijau pucat dengan hiasan renda teracung di udara. Gadis itu menutup lacinya terburu-buru. Ia bahkan nyaris tersandung kakinya sendiri saat berlari menghampiri Oliver.
"Aku heran sendiri, kenapa kau selalu ingin membuatku jadi seperti anak perempuan. Aku ini anak laki-laki," protes Oliver saat gadis itu mengikatkan pita pada ujung kepangan rambut Oliver. Agak kencang, sampai kepala Oliver tertarik ke belakang.
"Karena aku mau adik perempuan. Tapi Ayah dan Ibu sudah tak mau memberikanku adik perempuan. Mereka malah memberikanku adik laki-laki. Untung sekali kau datang ke sini." Gadis itu beranjak lagi. Kakinya bergerak dengan lincah seperti rusa. Oliver sangat heran dengan kelincahannya. Gadis itu kembali kepada Oliver, membawa kamera polaroid di tangan.
"Karena sekarang kita sama-sama mengepang rambut dan memakai gaun musim panas. Ayo kita berfoto bersama!" Gadis itu mengacungkan kamera di depan badan. Oliver tak berpose, hanya duduk di bangkunya sambil mengulas senyum tipis
Mereka berdua berbaring di atas ranjang, menyaksikan foto-foto cetakan mereka dengan arah yang berbeda. Konyol sebenarnya, "Kau puas membuat kita kedinginan? Ini musim semi yang belum sepenuhnya hangat dan kau malah memaksakan diri mengenakan gaun musim panas yang pendek dan tipis," omel Oliver sembari menatap wajah gadis itu lembut.
"Aku suka pakai gaun musim panas dan musim panasnya juga," sahut gadis itu lantas menguap. "Bangunkan aku kalau musim panas sungguhan sudah datang." Gadis itu berbalik memunggungi Oliver. Tak butuh waktu lama hingga gadis itu mendengkur halus.
Oliver menopang tubuhnya dengan siku yang terbenam kasur. Ia meragu saat menatap wajah damai gadis itu, tetapi ia pun menunduk pelan. Bibirnya ---.
"Olivia!"
Mata wanita itu terbuka, hamparan pohon cemara yang menjulang lewat jendela mobil segera menyapa. Ia melirik pria berkacamata yang tengah mengemudi dengan tatapan mengantuk. "Apa kita sudah sampai di Portland, Nick?" tanya wanita itu lantas menguap.
"Iya, kakakku tersayang. Mungkin lima menit lagi kita sampai di rumah Samantha," ujar pria yang lebih muda tersebut.
Oliver, ah bukan. Olivia. Ia sedang dalam perjuangan dalam menggunakan nama tersebut dan sedang dalam proses untuk mengangkat benda yang menonjol di sela pahanya. Benda itu masih sering terlihat ketika ia mengenakan rok ketat atau celana jeans. Olivia menggigit telunjuknya gelisah, ada sebagian dari dirinya yang merasa tak nyaman ketika kembali ke kampung halaman. Masa kecilnya tak sepenuhnya menyenangkan. Kekerasan yang sering dilakukan mendiang ayah kandungnya, ibunya yang harus mengambil banyak pekerjaan untuk menyambung hidup, dan sahabat masa kecil yang terlalu menuntut.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Bagaimana rasanya hendak bertemu anak kandungmu?" Nick melirik sebentar, ludahnya sulit tertelan ketika menyelesaikan kata-katanya barusan.
"Entahlah, Nick. Aku bahkan tak pernah bertemu sejak kelahiran mereka delapan tahun silam. Hanya foto-foto yang dibagikan Samantha di akun media sosialnya yang membuatku mengenali wajah mereka. Kau tahu sendiri kalau suaminya itu tak terlalu suka padaku." Olivia bergerak gelisah di atas jok, membayangkan pria bermata elang itu membuat perutnya seakan ditonjok.
"Koreksi, almarhum. Aku baru saja baca berita bahwa Kyle telah meninggal, kira-kira lima menit yang lalu. Pantas untuk seorang pria yang mengkasari istri dan anaknya," imbuh Nick lantas berdecih. Olivia tak memberikan respons, ia mengulum bibirnya gelisah. Ia belum memiliki keberanian untuk menemui sepasang anak lelaki yang lahir dari benihnya tersebut.
Perjalanan mereka kembali diringi sunyi. Mobil Nick lantas berhenti di sebuah rumah besar yang dikelilingi tembok dan dihiasi pagar besar di bagian depan. Olivia melepas mantel yang tengah ia kenakan. Matanya menyelidik setiap jengkal rumah. Tak banyak hal yang berubah sebenarnya sejak pertama kali ia meninggalkan Portland.
"Nona Olivia Copper. Senang bertemu dengan Anda, saya Jim Borton," sapa seorang pria berjaket kulit dan berkepala plontos. Lencana polisi yang terpasang di jaket kulitnya berkilau terkena sinar matahari. "Sebaiknya kita bicara di tempat yang lebih pribadi sebelum bertemu Nyonya Morris, saat ini kondisi mentalnya masih tidak stabil."
Olivia dan Nick mengekori pria tersebut menuju pintu belakang. Beberapa orang yang juga mengenakan seragam yang sama menyambut di dapur. Kantung mata yang menghitam dan gurat lelah menghiasi wajah mereka. Jim mempersilakan Olivia dan Nick duduk, tiga buah cangkir kopi yang mengepul dan sekotak donat menengahi posisi Olivia dengan Jim. Pria yang kelihatannya berkepala empat itu lantas menghela napas lelah.
"Maaf karena kami harus memanggil Anda kemari. Padahal persiapan peragaan busana Anda tinggal menghitung minggu. Namun, Nyonya Morris bersikeras meminta Anda datang. Dia beralasan Anda bisa membantu menemukan Vernon, salah satu dari putra kembarnya yang hilang. Pun putra kembarnya yang lain, Aaron sedang dirawat di rumah sakit setelah Tuan Morris berusaha menenggelamkannya di sungai," jelas Jim.
Olivia membeku di atas kursi, "Lalu, bagaimana keadaan Samantha sekarang? Apakah aku sudah bisa bertemu dengannya?"
"Dia hanya ingin bertemu dengan Anda. Bahkan dia menolak kedatangan dokter atau pelayan pribadinya, padahal ia masih harus mendapat perawatan untuk luka-lukanya. Anda juga tahu kalau ia dipukuli lalu dikunci di dalam lemari bukan?"
Olivia mengangguk berat, matanya basah.
"Bawa aku bertemu dengannya."
***
Rasanya sudah sangat lama sekali sejak mendengar namanya disebut.
"Oliver."
Mendengar bagaimana nama lama itu meluncur dari bibir Samantha, membuat Olivia merinding. Samantha bukannya tak mengetahui nama barunya. Bahkan nama barunya lebih sering terdengar daripada nama itu, Oliver. Samantha bukannya bodoh bukan? Jemarinya yang berayun di atas papan ketik sering menulis Olivia, Olv, atau nama panggilan sayang lain. Samantha akan menuliskan kata-kata penyemangat pada kolom komentar untuk setiap foto unggahan Olivia di media sosial.
"Oliver, apakah kau tak mendengar jeritan meminta tolong Vernon? Anak itu sedang berada di luar sana. Meminta bantuan," racau Samantha sembari menggigiti kuku jarinya.
"Dia akan baik-baik saja, Samantha. Untuk saat ini, kau sendiri juga harus dirawat," balas Olivia lantas meraih jari-jari Samantha yang masuk ke celah bibir. Banyak luka yang membiru dan beberapa sobekan ringan yang darahnya telah mengering.
Untuk sesaat Olivia bergeming menatap jemari Samantha yang padat, tak seperti milik Olivia yang lentik.
"Oliver, aku iri dengan jari-jarimu yang panjang dan lentik. Lihat jari-jariku yang tebal dan besar," gumam Samantha sambil menatap tangannya yang digenggam Olivia.
"Samantha, kau benar-benar butuh istirahat. Jangan seperti ini, oke? Katakan padaku apa yang kau mau, tetapi sebagai gantinya kau harus membiarkan dokter merawat lukamu." Olivia menyentuh tulang pipi Samantha yang berdarah.
"Kau janji padaku, 'kan? Aku takut kau akan ingkar janji."
Olivia mengangguk, ia mengusap pipi Samantha lembut. Ada sebaris ingatan yang tiba-tiba berkelebat tentang masa kecil mereka. Mungkin hanya Olivia yang tahu, karena pada saat itu Samantha telah dibuai alam mimpi. Sepotong ingatan tentang mimpi yang belum sempat Olivia tandaskan. Ia mengecup bibir Samantha.
"Aku janji Samantha, apa pun untukmu."
"Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon."
Olivia merinding mendengar nama lamanya lagi-lagi disebut. Apalagi ini tentang Vernon. Nama itu adalah pilihan Olivia. Sore yang damai di Portland. Rumah mewah milik keluarga Samantha dan senja adalah hal yang membawa nostalgia. Ketika cahaya senja menerobos gorden. Samantha dan Olivia yang malas menyalakan lampu sedang menonton tayangan ulang drama sabun.
"Kau yang memberi nama untuk anak yang lahir awal," ujar Samantha sembari mengeluh perutnya yang membesar.
"Kenapa?" Olivia menatap wajah Samantha lekat-lekat.
"Karena dia anak kita." Samantha lantas tersenyum. "Ya, memang nama ayah mereka di akta kelahiran adalah Kyle, tetapi kau tetap ayah kandung mereka. Secara biologis, mereka anak kita berdua walau bukan dari hubungan badan. Jadi, kau berhak memberikan salah satu dari mereka nama."
Olivia mengurut keningnya sambil mencondongkan bibir. Ia memang tak memiliki hubungan yang baik dengan Kyle Morris. Mengingat Kyle bukan orang yang ramah pada kaum LGBT. Ada pertengkaran yang terjadi antara Samantha dan Kyle saat mereka hendak memilih donatur sperma. Robin mandul. Itulah yang membuat mereka berdua memilih untuk menempuh jalur medis untuk mendapat keturunan.
"Kau tahu sendiri kalau aku dan dia tidak terlalu baik. Dia akan marah kalau tahu aku juga ikut memberikan nama pada mereka."
"Tentu saja akan aku rahasiakan. Nama itu dariku, kau tak perlu khawatir. Kapan lagi kau bisa memberikan nama pada anakmu sendiri?" Samantha kembali mengelus perutnya penuh kasih. Tiba-tiba saja ia mengaduh. Salah satu tangan memegangi bagian bawah perutnya, sedangkan yang lain mencengkeram lengan kursi.
"Ada apa, Samantha?" Olivia beranjak dari kursinya, bergegas mendekati Samantha diliputi wajah cemas.
Samantha meringis, tetapi ia tak mampu menyembunyikan wajah senangnya. "Salah satu dari mereka menendang. Kau harus merasakannya."
Olivia berjongkok lantas menempelkan pipinya pada perut buncit Samantha. Tak butuh waktu lama sampai wanita itu ikut memekik senang. Sebuah tendangan kecil mengenai pipinya. Mereka berdua tertawa. Olivia bahkan mengecup sayang perut buncit sang sahabat.
"Aku akan menamainya Vernon," putus Olivia.
"Kenapa Vernon?"
"Tak ada alasan, aku suka saja."
Olivia mengangguk pelan. Membawa Samantha ke dalam pelukan lantas mengecup puncak kepala sahabat lamanya sambil menahan tangis. "Aku akan berusaha. Ia adalah anak kita," tandas Olivia. Tiba-tiba saja tubuh Samantha lemas, ia kehilangan kesadaran dalam dekapan Olivia.
***
"Ia dehidrasi, tetapi kalian tak perlu khawatir. Justru karena dia pingsan, luka-lukanya jadi bisa dirawat. Untuk saat ini dia tak bisa diganggu lebih dulu. Oleh karena itu, ada baiknya Anda berdua beristirahat." Jim baru saja keluar dari kamar utama.
"Apa tidak ada anggota keluarga yang menjenguk? Bahkan setelah apa yang terjadi pada Samantha, Kyle, dan anak-anak mereka?" tanya Nick.
"Sayang sekali, hubungan keluarga mereka memang tak baik sejak beberapa bulan yang lalu. Karena krisis keuangan yang dialami Tuan Morris, ia berhutang ke keluarganya. Namun sayang sekali, ia justru juga ikut menjual aset keluarganya sendiri. Itu membuat keluarga Tuan Morris berang. Keluarga Tuan Morris pindah keluar negeri, tepatnya Kanada di mana mereka semua awalnya berasal. Mereka akan mengambil jenazah Tuan Morris dalam minggu-minggu ini. Semoga mereka juga datang menjenguk Nyonya Samantha dan putranya," imbuh Jim.
"Lalu, di mana si bungsu Aaron dirawat. Aku harus melihat keadaannya," timpal Samantha.
"Sebenarnya ada kabar baik. Aaron akan dibawa pulang sore ini karena kondisinya telah membaik. Saya butuh Anda untuk berada di sisi Aaron karena kondisi ibunya sedang tidak memungkinkan," jelas Jim.
"Ada satu masalah Tuan Jim, kami sama sekali tidak akrab. Ini adalah kali pertamaku berjumpa dengannya setelah delapan tahun lamanya," sanggah Olivia.
Jim melumat bibirnya resah. Namun, ia akhirnya menepuk bahu Olivia.
"Manfaatkan waktu ini untuk lebih dekat dengannya. Ada kemungkinan Anda akan jadi wali resmi bagi mereka jika kondisi Nyonya Morris masih belum membaik." Jim melenggang pergi. Meninggalkan Olivia dan Nick yang saling berpandangan dengan tatapan tak dapat diartikan.
"Ini tak bagus, Olivia. Bagaimana dengan peragaan busanamu? Kita tak bisa meninggalkannya lebih lama. Kalau begitu kita terpaksa harus mengundurnya lebih dulu," ujar Nick sambil mengernyit.
"Kita harus menundanya. Dengan keadaan yang seperti ini, aku tak bisa meninggalkan Samantha dan Aaron. Jika benar-benar terpaksa, kau pulanglah hari ini. Kembalilah ke New York ketika Aaron telah kembali."
"Kau yakin?" Nick makin mengernyit. Tatapannya menyipit, seakan menemukan hal yang janggal.
"Ada apa dengan tatapanmu itu?" protes Olivia.
Nick memutar bola matanya bosan. Ia lantas menghela napas dengan wajah seakan mengejek.
"Ini seperti bukan dirimu, Olivia. Peragaan busana, model, semua yang berhubungan dengan mode adalah duniamu yang tidak bisa diganggu gugat. Kau bahkan tak pernah menunda-nunda apapun yang berhubungan dengan duniamu. Itulah yang membuatmu bisa jadi desainer ternama. Kau tak pernah menjadi orang yang lemah," ujar Nick.
Olivia balas memutar mata, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Bicaramu berputar-putar. Katakan langsung padaku apa yang membuatmu merasa aneh."
"Kau mencintai Samantha bukan?"
Olivia menurunkan kedua tangannya, kini meletakkannya di pinggang. Wajahnya menyiratkan akan datangnya bencana jika Nick meneruskan pembicaraan ini lebih jauh.
"Apa yang membuatmu bicara begitu? Tidakkah kau lupa kalau aku ini wanita?"
Nick mendecih, "Aku bisa membacamu dengan jelas Olivia. Tatapanmu pada Samantha adalah salah satu hal yang tak bisa kausembunyikan. Apa yang terpancar dari tatapanmu itu adalah rasa seseorang yang mendamba cinta."
"Oke, Nick. Kau sudah terlalu banyak bicara. Lebih baik sekarang kita sudah pembicaraan ini!" Olivia mengangkat tangan, menerobos tubuh Nick. Berusaha menyudahi obrolan.
"Oliver," panggil Nick.
Olivia berbalik dengan mata yang melotot. Ia tak percaya adiknya sendiri ikut-ikutan menyebut nama lamanya.
"Jika yang kuajak bicara Oliver, dia pasti akan sangat senang jika membicarakan Samantha. Sejak dulu, Samantha adalah dunianya. Ia selalu menjadi anak laki-laki yang seperti itu dan akan terus seperti itu. Namun, semuanya berubah saat Samantha dijodohkan secara dini dengan laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua. Oliver yang merasa kehilangan tetap mengenakan gaun-gaun Samantha yang kekecilan untuk mencuri perhatian Samantha. Namun sayang, ia justru terkekang dalam gaun itu, berharap agar Samantha peduli padanya. Kau tahu sendiri kelanjutannya." Pria berkaca mata itu menepuk pundak Olivia, lantas melewati tubuh kakaknya tanpa menoleh. Mungkin ia akan tertawa terbahak jika menoleh, karena wajah Olivia persis seperti pencuri yang sedang tertangkap basah sedang melakukan aksinya.
Ah, kalau mendengarnya dari orang lain, maka Olivia sudah tak bisa lagi menyangkal. Ia memang terhanyut terlalu dalam kepura-puraan.
"Oh, Samantha. Apakah aku harus terus menyembunyikan ini darimu?"
"Oliver, kaupakai gaun Samantha lagi?" tanya Nick kecil yang sejenak melupakan permainan balok susunnya. Ia menatap kakaknya agak tak suka.
"Ya, kau tahu sendiri kalau Samantha suka sekali membuatku mengenakan pakaian-pakaian lamanya. Dia kan gampang sekali menggemuk, sedangkan aku sulit sekali bertambah gemuk. Bulankah itu terdengar serasi di telingamu?" Oliver mematutkan diri di depan cermin. Sebenarnya cermin di kamar mereka tak cukup bersih.
Maklum saja, itu adalah cermin pemberian keluarga Samantha. Usianya mungkin lebih tua daripada ibu Oliver. Kalau bukan karena ibu Oliver bekerja sebagai pembantu di sana, Oliver tak mungkin bisa lebih dekat dengan Samantha.
"Sebaiknya kau berhenti Olv. Atau orang-orang akan mengira kau berencana jadi perempuan sungguhan." Nick kembali sibuk dengan mainan baloknya---yang juga mainan bekas milik Samantha.
Oliver mendelik. "Apa maksudku dengan itu?"
"Kau ingat Paman Jacob Copper?" tanya Nick balik.
"Maksudmu paman kaya yang membelikan Ibu gaun baru dan buku-buku untuk kita?" terka Oliver.
"Iya, dia orangnya. Hari ini dia berkunjung lagi untuk menemui Ibu. Dia juga memberikan hadiah untuk kita. Aku diberikan mainan roket, sedangkan hadiah untukmu beda lagi. Coba tebak?" Nick bangun, beranjak mendekati lemari.
"Mungkin buku cerita lagi? Aku suka cerita tentang Sungai Willamette itu, bahkan bukunya sudah kupinjamkan pada Samantha," terka Oliver lagi.
"Bukan Bodoh! Dia membelikanmu alat untuk menjahit dan merajut. Itu karena kau selalu mengenakan pakaian-pakaian perempuan!" gerutu Nick.
"Bagus kalau aku dapat alat merajut, Samantha sedang menginginkan syal baru," balas Oliver masa bodo.
"Tidakkah kau menyadari perbuatanmu? Orang-orang telah mengira kau ingin jadi perempuan. Bahkan Paman Jacob sudah salah menduga. Seharusnya kau berhenti, Oliver. Sebelum namamu berubah jadi Olivia!"
"Tak apa jika mereka benar-benar menganggapku seperti itu. Asalkan aku bisa lebih dekat dengannya."
***
"Tuan Aaron, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," ujar seorang pelayan sembari mengetuk pintu kamar. Perempuan muda itu lantas menoleh pada Olivia, memberikan isyarat masuk. Olivia mengangguk, walau sebenarnya ia sendiri belum memiliki kepastian untuk bertemu dengan salah satu putranya.
"Halo Aaron," sapa Olivia saat memasuki kamar bernuansa sporty dengan dominasi warna biru tersebut. Ada beberapa bola dan sebuah sarung tangan bisbol yang tercecer di lantai. Sementara di sudut lain kamar ada dua buah meja belajar. Ada beberapa hasil gambar yang digantung di dinding. Olivia menangkap beberapa gambar gadis yang mengenakan gaun.
"Itu gambaran Vernon. Dia benar-benar ingin sekali jadi sepertimu," ujar Aaron yang masih terbaring di atas ranjang. Ada kantung infus yang tergantung tak jauh dari ranjang Aaron.
"Dia tahu tentang diriku? Padahal aku dan Kyle sudah membicarakan ini, kami berdua tak ingin kalian tahu tentang diriku." Olivia mendekati ranjang Aaron.
"Tapi, dia sudah terlanjur tahu tentangmu. Begitu juga dengan diriku," ujar Aaron lagi.
"Bisakah kita jangan membicarakan tentang hal ini? Kenapa kita tidak bicara tentang hal-hal yang menyenangkan? Ah, aku lupa. Kita belum berkenalan. Namamu Aaron bukan? Kau bisa panggil aku Olivia atau Bibi."
Aaron menggeleng lemah, "Ibu bilang kau Ayah kami. Maka seharusnya kami juga memanggilmu begitu. Walau sebenarnya Ayah kami juga tidak suka jika kami menyebut tentang dirimu."
Olivia melumat bibir. Ia merasa tak nyaman dengan atmosfer ini.
"Aku tak ingin kau merasa tertekan, panggilan aku sesukamu. Boleh kutemani kau tidur malam ini?"
Alih-alih menjawab, Aaron justru menunjuk kembali hasil gambar Vernon di dinding.
"Dia bilang padaku bahwa dia ingin jadi sepertimu. Dalam artian ingin jadi desainer handal. Tetapi Ayah salah tangkap, dia berpikir Vernon ingin jadi perempuan seperti dirimu. Itulah yang membuat Ayah marah. Maka hari itu dia menyeret Vernon memasuki mobil, aku bisa mendengar Ibu menangis keras, meminta agar Ayah tak menyakiti Vernon. Tetapi Ayah justru memukul dan mengunci Ibu di dalam lemari. Dia tidak kembali bersama Vernon, tapi dia bilang akan membuatku bisa bertemu dengannya. Maka hari itu dia mengajakku ke Sungai Willamette. Dia mencoba menenggelamkan diriku di sana."
Olivia menatap Aaron tidak percaya. Ia lantas mendekap anak itu sembari menahan tangis.
"Tolong temukan dia, kupikir sekarang dia sedang kedinginan."
Olivia tak mampu menahan tangisnya saat mendengar kata-kata Aaron. Anak yang malang.
"Aku akan temukan dia, aku akan pastikan dia baik-baik saja. Kalian berdua beserta Ibu kalian aman bersamaku," pungkas Olivia.
"Terima kasih, Ayah."
Langkah besar dan terburu-buru seorang pria tiba-tiba saja terdengar sepanjang koridor menuju kamar Aaron. Langkah itu seketika berhenti di depan kamar. Olivia dapat mendengar napas tersengal seseorang di luar sana. Dan benar saja. Setelah pintu diketuk, Jim melongok ke dalam kamar sambil mencoba mengatur napas.
"Tampaknya kami membutuhkan bantuanmu lagi," ujar pria itu.
"Kondisi Samantha kembali tidak stabil. Baru-baru ini setelah tersadar, ia bertingkah tak jelas. Bahkan dokter dan beberapa anggotaku dibuat kewalahan olehnya. Kau lihat salah satu pria yang wajahnya diplester tadi? Itu karena ia dicakar oleh Samantha," jelas Jim sementara mereka berdua menuju kamar utama.
"Lalu apa yang kalian lakukan padanya? Kalian tidak mengikatnya bukan?"
Jim tersenyum kikuk, ia mengedikkan bahu. Namun, Olivia bisa menerka. Mereka benar-benar mengikat Samantha di ranjangnya. Olivia agak terkejut dengan kondisi kamar Samantha yang kacau balau, seperti habis terkena tornado. Sungguh aneh, karena Olivia sama sekali tak mendengar keributan dari kamar utama. Banyak buku dan kertas yang berceceran di lantai.
"Jika kau melihat rekaman yang kami pasang di kamar ini, kau lebih tidak akan percaya. Kami yang melihat ini merinding. Seperti habis menonton Paranormal Activity secara langsung dan nyata," imbuh Jim selanjutnya.
Pria berperut buncit itu lantas mengajak Jim menuju dapur. Ia mengajak Olivia menuju salah satu meja tempat komputer menyimpan hasil rekaman hari itu. Jim memutar hasil rekaman di kamar Samantha beberapa menit silam. Alangkah terkejutnya ia saat melihat hasil rekaman itu memuat kejadian yang tak bisa dijelaskan oleh nalar manusia. Samantha telah bangun, sementara dokter dan beberapa perawat sedang merawat lukanya, tiba-tiba saja rak buku bergetar, buku-buku di dalam rak berjatuhan satu per satu dengan lambat.
Tak sampai di situ, meja kerja di sudut ruang ikut bergetar. Kertas-kertas yang semula tertata rapi di meja tiba-tiba saja berhamburan ke udara. Hal itu membuat dokter dan perawat yang berada di sana terkejut bukan main. Namun, Samantha. Ia menunjukkan keanehan. Ia menunjukkan gelagat kedinginan. Tak berselang lama, tubuh Samantha bergetar. Dia lantas membuka mulut, tetapi tidak kunjung bersuara. Tubuh Samantha bergetar makin hebat, dokter hendak memberikan Samantha suntikan obat penenang. Butuh lebih dari dua orang untuk menahan tubuh Samantha, bahkan tubuh Samantha harus diikat agar bisa menyuntikkan obat penenang.
"Itu yang terjadi, sama sekali tak bisa disebut masuk akal." Jim mengusap tengkuk lehernya tak nyaman.
"Aku akan ke sana lagi, mungkin ada yang bisa kutemukan di sana," ujar Olivia.
"Silakan. Aku bahkan tak menyuruh anggotaku agar tak menyentuh apapun yang tertinggal di sana. Dengan begitu kau mungkin bisa menemukan sesuatu. Aku yakin sekali ada sesuatu yang membuatmu bisa mendapatkan sesuatu. Mungkin ada sesuatu yang mengantarmu pada sesuatu itu, mungkin petunjuk mengenai keberadaan Vernon."
"Apa sesuatu yang kaumaksud itu adalah roh halus? Apa kaupikir Vernon sudah meninggal?" Olivia menatap Jim sendu. Jujur, ia tak ingin mendengar hal yang tak menyenangkan tentang putranya.
"Maafkan aku, Nona. Tapi kami pikir sepertinya memang begitu. Beberapa rekaman kamera pengawas sekitar Sungai Willamette memang menunjukkan tersangka membuang tubuh seorang anak ke dalam sungai. Begitu mendapatkan rekaman itu tadi pagi kami segera melakukan pencarian ke seluruh sungai. Namun sampai saat ini sejumlah pencarian di sana tidak membuahkan hasil."
"Apa kaupikir dengan kedatanganku bisa membuat kita menemukan Vernon?" tanya Olivia ragu.
"Tak ada yang tahu selain Anda sendiri," pungkas Jim.
Olivia pergi menuju kamar utama. Dokter dan perawat Samantha masih berjaga, sementara Samantha terlelap. Efek obat penenang. Kondisi kamar masih sama seperti terakhir kali ditinggalkan. Berantakan. Meja kerja yang berantakan itu tak meninggalkan apapun. Sedangkan rak buku yang tadi bergetar hanya menyisakan sebuah buku dan Olivia sangat familier dengan buku tersebut. Itu adalah buku yang pernah ia pinjamkan kepada Samantha.
Buku fiksi yang menceritakan tentang Sungai Willamette yang dulu dipenuhi sampah. Di mana di sungai itu sering kali ditemukan bermacam sampah. Bahkan orang-orang tidak berani berenang di sana. Hanya mayat yang mau berenang di sungai itu. Sebuah bagian dalam buku itu seketika membuat nyali Olivia mencit, ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Vernon meninggal.
Olivia mengambil buku itu, membuka halamannya yang telah menua. Sebuah kertas tiba-tiba saja meluncur jatuh. Kertas itu pun juga pasti telah lama. Lipatannya bahkan telah menguning. Olivia dapat mencium aroma khas kertas lama. Tulisan dalam kertas itu membuat jantung darah Olivia berdesir.
Aku ingin berenang bersama Oliver di sini.
Itu adalah tulisan lama Samantha, Olivia dapat menahan diri. Namun tulisan di bawahnya yang membuat Olivia tak mampu menahan tangis.
Aku kedinginan di sini, Ayah.
Ditulis dengan tulisan khas anak-anak. Olivia juga mengenali tulisan tangan itu seperti tulisan tangan Vernon yang tergantung di dinding kamar anak.
"Ayah akan datang padamu, Nak."
***
Olivia menangis sejadi-jadinya di bahu Nick saat melihat tubuh yang dibungkus dengan kantung jenazah dibawa menjauhi Sungai Willamette. Pencarian selama sehari penuh yang tidak membuahkan hasil tiba-tiba saja berubah menjadi sangat mudah. Seperti mencari makanan ringan di swalayan. Ketika Olivia tiba bersama Jim di tepian sungai, belum ada hasil. Namun, tak berselang lama, seorang anggota SAR berteriak. Ia menemukan tubuh seorang bocah yang telah dicari-cari.
Kondisi jenazahnya masih bagus, tak membengkak. Seakan ia ingin dikenali terakhir kalinya oleh Olivia. Pun Olivia yang menyambut tubuh Vernon dengan pelukan dan kecupan. Tangis Olivia tak berhenti bahkan ketika Nick dan beberapa anggota polisi yang lain ikut menenangkan.
"Aku Ayah yang tak berguna, Nick. Aku bukan Ayah yang baik," gumam Olivia.
"Sudahlah, ini semua bukan salahmu. Apapun yang terjadi sekarang, kau harus tetap kuat. Kau harus melindungi Samantha dan Aaron mulai sekarang. Sehabis ini kau akan ditetapkan sebagai wali resmi bagi mereka berdua. Samantha masih dalam kondisi yang buruk, sedangkan Aaron butuh sosok yang bisa menjaganya," ujar Nick sembari mengelus punggung Olivia lembut.
"Nick, mungkin seharusnya aku membatalkannya," putus Olivia tiba-tiba.
"Tunggu, membatalkan apa? Apa maksdmu peragaan busana itu? Olivia, kau---"
"Aku akan membatalkan operasi itu. Operasi pengangkatan kelaminku."
"Tunggu, Olivia. Apa maksudmu dengan itu, apa itu juga berarti kau---"
"Mulai sekarang panggil aku Oliver lagi."
***
Portland lima tahun kemudian, bukanlah hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus Olivia, ah Oliver lakukan dari awal. Bahkan termasuk identitasnya. Nyatanya tak semua orang mendukungnya ketika ia berusaha menjadi Olivia. Pun hal yang sama ketika ia memutuskan kembali menjadi Oliver. Kecuali bagian di mana perannya di dunia mode masih sangat diakui. Kendati ia tak lagi menjadi Olivia yang merupakan desainer luar biasa. Oliver kini menjadi guru sekolah mode yang baru dibangun di Portland. Dan menjadi Ayah yang luar biasa.
"Ayah! Lihat Paman Nick membelikanku sepatu bola baru!" ujar Aaron sambil memamerkan sepatu bola yang melekat di kakinya.
"Sudah kubilang dia cocok sekali dengan bola sepak daripada bisbol!" Nick mengekor di belakang Aaron sambil menenteng bola sepak.
"Terserah kalian saja. Asal jangan pecahkan kaca jendela lagi." Oliver bergegas masuk, berjalan dengan mengendap menuju kamar. Namun langkahnya telah diketahui.
"Dia sudah lama tidur, kau tak perlu mengendap-endap seperti itu," ujar Samantha sembari menunjuk boks tidur putri kecil mereka, Valerie.
"Padahal aku ingin sekali mengejutkan kalian," balas Oliver lantas memberikan kecupan pada istri dan putrinya.
Samantha menatap Oliver dengan datar. Tak suka dengan perkataan Oliver barusan.
"Oke, aku tak akan melakukannya."
"Hei Oliver, mau melakukan hal yang menyenangkan?" tanya Samantha sembari menyilangkan kedua tangan di dada. Sebuah kode yang membuat Oliver tiba-tiba saja merasa tenaganya kembali terisi penuh.
"Di siang hari seperti ini?"
"Ya, aku hanya ingin mengepang rambutmu saja. Hei, apa kau salah mengira? Apa kaupikir aku mengajakmu untuk... astaga. Dasar mesum!"
Oliver harus menelan kekecewaan saat Samantha justru mengajaknya ke teras belakang. Mengepang rambut Oliver seperti saat kecil.
"Kau tahu Olv, aku sangat senang mengepang rambutmu seperti ini, " ujar Samantha.
"Kalau kau suka, lakukan saja seumur hidupmu denganku."
"Tentu saja, akan kulakukan. Lalu untuk peringatan kematian Vernon, apa yang akan kita lakukan tahun ini?" tanya Samantha.
"Aku ingin pergi ke panti asuhan, lalu membuat mereka merasa bahagia dengan memiliki orang tua sesungguhnya walau hanya sehari. Bagaimana menurutmu?"
"Ya, aku setuju."
Embusan angin musim semi membelai kulit Oliver dan Samantha, membawa aroma musim semi yang manis.
END
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)