Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Terlupa
MENU
About Us  

Cahaya remang-remang membuat semua nampak tidak jelas di mata, ruangan ini terasa pengap membekap. Sebuah siluet berhasil membangunkanku dari pejaman mata, aku mengerjap beberapa saat berusaha menyamakan pencahayaan yang masuk ke retina mata.

Kepalaku terasa sedikit pening seolah telah melewati mimpi buruk namun terlupa. Setidaknya aku senang melupakan hal buruk seperti itu sekarang, tak ada manusia yang mau mengingat hal-hal buruk bukan? Namun entah mengapa sesuatu yang kuanggap buruk dan terlupa itu terasa begitu penting sekali.

Suara sesuatu terseret terdengar, aku menoleh mendapati bayangan seorang pria yang menyeret seseorang. Tapi siapa?

"Hey! Apa yang kau lakukan di apartemenku?" sahutku padanya setelah mengingat betul bahwa tempat ini seutuhnya milikku.

Aku mendekat mencoba melihat jelas apa yang terjadi di tengah-tengah ruangan. Semuanya berantakan.

Sofaku berantakan, pecehan bening tergeletak di lantai, karpet berwarna coklat di sana nampak terkena sebuah bercak yang sepertinya berasal dari sirup? Aku tidak tahu. Cahaya redup lilin yang kian mengecil masih terus bertahan.

Pertanyaannya adalah siapa pemuda itu?

"Kau, tidak boleh menyeret seseorang seperti itu!" teriakku kemudian.

Namun diacuhkannya begitu saja, ia berjalan pada sebuah koper yang terbuka tergeletak di lantai.

"Hey!"

Lagi-lagi aku berseru lantang. Lantas mengapa ia tak mendengarkan? Apakah ia tuli?

Wajah pemuda itu ditutupi masker dengan sebuah topi hitam dikenakan, kedua tangannya dibalut sarung tangan putih.
Aku tidak bisa melihat jelas warna matanya karena gelap.

Kakiku mendekat hendak menepuk pundaknya, nampaklah seorang wanita yang ia seret sekuat tenaga. Wajahnya tak kelihatan jelas berkat rambut panjangnya yang menutupi, aku terdiam mengendus sebuah aroma tak asing yang baru kusadari. Amis.

Ceceran berwarna merah memenuhi lantai. Apa itu darah?

Aku tertegun sejenak mundur beberapa langkah ke belakang menciptakan jarak.

Apakah ia seorang pembunuh? Siapa wanita yang baru saja ia bunuh?

"Kau merepotkan," ucapnya memasukkan wanita itu ke dalam koper berwarna hitam.

Tanganku sontak meraih apapun yang ada di samping, untuk menyelamatkan diri jikalau pemuda itu menyadari ada seseorang yang menyaksikan tindak kriminalnya.

Tapi kenapa tidak bisa? Apa yang terjadi? Mengapa benda yang kuraih selalu tak kudapatkan? Aku menembusnya? Yang benar saja! Ini mimpi buruk!

Aku panik seketika, meremas kedua tangan selayaknya kebiasaanku saat tengah bingung.

"Yah, untuk sementara kau tidur di sini dulu."

Asal suara di sana menarik perhatianku, aku tak tahu pasti ekspresi dari balik masker pemuda itu, jika boleh menebak mungkin ia tengah memamerkan senyum lebar terlihat dari lengkung matanya yang menyipit sekilas.

Namun bukan itu yang membuatku semakin ketakutan. Wanita yang dimasukan di koper itu aku mengenalinya. Sangat.

"Selamat malam Ami," katanya terdengar seram.

Ami adalah aku. Wanita di koper sana adalah aku! Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa aku masih bermimpi? Yang benar saja!

"Mari kita pergi dari sini Ami."

"Apa yang kau lakukan!" teriakku kencang.

Ia masih tetap tidak mendengarkan maupun merespon sedikit saja.
Pemuda itu malah sibuk menutup koper dan membereskan barang-barang yang tercecer di lantai.

"Hey! Siapa kau!"

Tolong jangan bilang aku telah mati, jangan bilang kalau aku telah menjadi hantu.

Langkahku melebar mengikutinnya keluar menarik koper, aku memukulnya tapi malah menembus begitu saja. Aku memakinya keras tapi sepertinya tak terdengar.

Ia mengunci pintu lalu pergi setelahnya, tanpa menyadari aku yang terlalu syok memandang pungung tegap yang berlalu di lift begitu saja.

Aku telah mati?

***

Ada beberapa hal yang sanggat dibenci manusia sepertiku di dunia ini, pertama kematian,kedua kemiskinan dan ketiga ketidakadanya cinta.

Dari itu semua aku mau menambahkan satu lagi yang keempat yaitu tidak terlihat.
Menjadi hantu tak pernah kubayangkan sebelumnya, apalagi melihat makhluk sebangsanya.
Lorong apartemen ini selalu sepi hanya beberapa orang yang lewat di jam tertentu saja, tapi siapa sangka kedua anak perempuan bergaun putih penuh bercak darah itu telah sedari tadi mondar-mandir berlarian.
Rupa mereka cukup membuatku untuk mundur beberapa langkah ke belakang karena ketakutan. Belatung mengisi telinga salah satu anak, sayatan menampakan sedikit tulang pipinya, salah satu bola matanya dipegang begitu saja.

"Kejar aku! Kejar aku!" Begitu teriak keduanya bergantian. Jika aku masih hidup mungkin aku telah memuntahkan semua makanan yang masuk di ususku.

Mengingat aku juga makhluk seperti mereka mau tak mau harus memaklumi dan menerima penglihatan tidak menyenangkan ini.

Sedari dua hari lalu aku hanya berdiri mematung depan pintu, menunggu seseorang yang lewat berucap kata tolong dan berakhir sia-sia karena tidak terdengar.
Ini sungguh mengerikan.

Benakku masih melayangkan tanda tanya besar tentang mengapa aku harus dibunuh, dan ke mana jasadku dibawa.

Sekarang aku menyesal hidup sendirian di apartemen tidak mau tinggal di rumah, belum lagi masalah pertengkaran aku dan kedua orangtua yang kunjung tak usai. Akibatnya aku terdampar sendirian dan gilanya mati dibunuh.

"Apa kau bisa membantuku?" Kutepuk bahu seorang pemuda tengah melewati lorong depan apartemenku, ia menoleh.

"Tentu apa ya-"
Matanya membulat lebar mulutnya menganga saat setelah memperhatikan lantai putih di bawahnya, ia terduduk mundur hingga mementur tembok.

"Kau bisa melihatku!" seruku kegirangan.

"Kau bisa membantuku kan?"

Ia nampak kesusahan mengatur napas.
"Kau hantu," ucapnya gugup.
"Memangnya kenapa kalau aku hantu?"

Pemuda itu menelan ludahnya mengelap keringat dingin bercucur di dahinya.
Aku jadi bertanya apa aku terlihat semenyeramkan itu?

"Kau harus membantuku," tekanku.

Ia terdiam.

"Jika kau tak membantuku, aku bersumpah akan menghantuimu sampai mati, tapi jika kau membantuku setelah selesai aku tak akan lagi muncul di hadapanmu, bagaimana?"

Pemuda itu mengerakan bola matanya gelisah.

"Kejar aku! Kejar aku!"

Dua gadis kecil kembali berlarian di lorong, namun sepertinya pemuda ini tidak melihat mereka. Jadi apa ia hanya melihat diriku saja?

"Apa yang bisa kubantu untukmu?"

Setelah beberapa menit diam, ia bersuara. Aku tersenyum semanis mungkin berdiri tegap, menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Gampang kok."

"Apa?" tanyanya lagi mulai tak sabaran.

"Menemukan kembali jasadku."

***

Tidak tahu apapun! Tidak ada petunjuk, dan semuanya membingungkan. Apa yang sebenarnya terjadi tempo hari lalu, aku pusing aku tidak tahu tempat apa yang berpotensi menjadi sarang jasadku selain hutan dekat kota, gedung besar tak berpenghuni dan juga belakang apartemen.

Tempat-tempat itu sudah kukunjungi. Lebih tepatnya kami berdua kunjungi bahkan sampai menanyakan penduduk sekitar, aneh di mana jasadku disimpan?

"Aku mulai lelah!" protesnya gusar mengacak rambut. Taman sepi pengunjung ini menyelamatkan ia sebagai bahan olokan orang gila yang berbicara sendiri. Ia menyepak batu asal guna merendam sedikit amarah.

"Apa kau tidak ingat apapun?" tanyanya yang entah keberapa kali yang selalu kujawab gelengan kepala.

"Aku tidak ingat apapun tentang kejadian hari itu, yang kutahu aku sedang tidur dan tiba-tiba saat bangun aku telah mati." Adalah pengakuan termenyedihkan yang pernah kuucapkan.

"Sudahlah aku ingin beli minuman dulu."

Aku hanya mengidikan bahu tak peduli membiarkannya pergi, terik matahari menyengat kulit manusia.

Aku yang hantu sudah mulai berhenti merasakan semua rasa kepanasan, sentuhan juga kedinginan. Tidak seperti dulu semasa hidup, kakiku tak lagi lelah mau dibawa jalan sampai berapa kilo meter pun, walau sebenarnya aku sudah tidak punya kaki lagi kenyataannya.

Mataku tertarik pada benda berbentuk persegi berwarna coklat di jalan setapak, itu adalah dompet milik Zeno nama pemuda yang mau menolong  menemukan jasadku.
Kondisi dompet yang terbuka membuatku dapat memperhatikan isi di dalamnya yang memiliki sekitar tiga lembar uang seratus, dua kartu ATM dan satu kartu kredit. Tapi bukan itu yang membuatku memandang gugup penuh rasa penasaran, sebuah foto yang tersemat di sana menampilkan sangat jelas wajahku tengah tersenyum memakan eskrim bersamanya di cafe yang sering kukunjungi setiap habis pulang kampus.

Jadi siapa sebenarnya Zeno? Ia mengatahui siapa aku! Yang benar saja.
Mengapa aku tak mengingatnya, apa yang sebanarnya terjadi?

Benakku menciptakan lorong-lorong imajinasi panjang, membawaku pada setiap adegan yang dipajang rapi.

Gelak tawa, senyum ceria serta pelukan hangat.

"Ah, dompetku jatuh di sini."

Suara tak asing itu menyadarkanku dari lamunan lama, Zeno membungkuk memungut dompetnya, memebersihkan sedikit debu yang menempel di sana.

"Zeno."

"Ada apa?"

"Kau pacarku?"

Ia membelalak lebar menatapku seolah tak percaya.

"Ka, kau mengingatku?" gagapnya.

"Aku hanya ingat kau adalah pacarku," Jawabku jujur.

Maniknya menyendu, ia terduduk di kursi taman memandang rumput di bawahnya pilu, ada sedikit senyum kecut di bibir tipisnya.

"Aku senang kau mengingatku Ami."
Adalah kalimat yang keluar setelah sekian lama ia terdiam.

Aku duduk di sampingnya memandang sengatan matahari yang tak lagi terasa silau terkena mataku.

"Aku merindukan suaramu, kau mengagetkanku hari itu. Kau tahu?"

Aku menoleh padanya mendapati manik matanya menatapku dalam.

"Aku terlalu kaget melihatmu seperti itu."

Ternyata ia masih seperti biasanya ya? Pemuda yang selalu datang tiba-tiba membawa sesuatu yang tak pernah dikira sebelumnya. Aku masih ingat di mendung pagi buta ia menjemputku untuk ke kampus, mengendarai motor kesayangan berwarna hijau.

Lewat kaca spion dengan hanya lirikan mata di antara kami kedua, ia berucap di antara desir angin lewat.

"Ami, aku tahu ini tidak romantis. Sejujurnya aku tidak tahu seperti apa itu romantis, tapi sekali ini saja jika boleh kabulkan permintaanku. Maukan kau menjadi pacarku?"

Teriakannya mengema bahkan sampai mengusik pengendaraan lain.

"Tentu saja aku mau," kataku kala itu memeluk pingangnya erat sebelum hujan deras menguyur kami berdua. 

Sepertinya dulu aku teramat mencintainya, sampai-sampai sekarang aku masih mengingat debaran kencang semasa hidup saat ia memberiku sebuket besar bunga mawar di tepi senja.

"Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sebelumnya hingga sekarang malah menjadi hantu seperti ini."

Diam hingga beberapa waktu kemudian aku kembali menyelam pada masa lampau. Di masa semua terlihat begitu indah sekali.
Selalu mengengam tangan ke mana pun kita berdua pergi.

Bahkan di hari itu saat kedua orangtuaku tak sejalan dengan apa yang kuinginkan untuk menjadi seorang pianis, ia mendukung begitu banyak, menguatkanku untuk terus bertahan dengan mimpi yang tergengam. Membantuku mencari tempat tinggal baru setelah aku diusir dari rumah.

Baru kusadari ia telah begitu banyak membantuku sampai di sini, lancang sekali aku telah melupakannya.

"Aku senang kau mengingatku sebagai pacarmu Ami."

Aku tersenyum padanya. Kami memang tak lagi bisa mengengan tangan satu sama lain, hanya bisa melihat satu sama lain, hanya bisa berucap dan mendengarkan. Tapi itu sudah cukup membuat rasa bahagia menguap begitu saja.

Jadi apakah ini memori penting yang aku lupakan setelah meninggal? Sepertinya begitu. Aku masih penasaran dengan siapa pembunuhku malam itu, siluet hitam serta postur tubuh tidak begitu asing di mata.

"Apa kau rindu padaku, sampai-sampai mau menjemputku ke apartemenku segala?" Godaku padanya.

"Aku bahkan hampir gila tidak mendengar suaramu beberapa hari! Bahkan telponmu tak lagi mengangkat panggilanku."

Zeno memasang wajah gusar, mengacak lagi rambutnya hingga sangat berantakan, aku tertawa melihatnya.

Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala, bahwa aku telah menjadi hantu bukan? Aku bukan manusia selayaknya Zeno lagi. Itu artinya kami tak bisa lagi bersatu seperti dulu? Benar bukan?

Ini ya? Yang namanya rasa sakit patah hati? Meski aku lebih takut dilupakan begitu saja.

Ibu, Ayah tidak tahu aku sudah meninggal, apa mereka akan peduli padaku? Apa mereka akan mencariku juga? Kenapa hidupku terasa tragis seperti ini? Padahal dulu rasanya baik-baik saja.
Aku takut dilupakan, aku takut menghilang dalam pikiran mereka. Bagaimana kalau mereka tidak lagi mau mengingatku atau tidak lagi mengangapku sebagai anak mereka.
Aku belum mengucapkan permintaan maaf telah membuat keduanya kecewa sampai-sampai peegi dari rumah.
Apa aku salah ya? Mengejar mimpi yang kuidamkan sejak lama? Aku belum mengatakan sesuatu pada dia.

Aku takut. Pasti mereka sakit melihat anak tak berguna ini tak berbakti.

"Zeno, kau akan membantuku, kan?"

Entah untuk keberapa kalinya kalimat barusan aku ucapkan.

"Tentu saja,begitu bukan? Aku akan selalu ada untukmu."

Senyumku menciut.

"Tolong bantu aku mencari jasadku kembali."

Sungguh aku tidak peduli bahwa tubuhku telah mengering, membusuk, hancur dan penuh ulat. Aku hanya ingin jasadku kembali bukan berada pada tempat yang salah, setidaknya kembalikan lagi ke apartemenku agar keluargaku menemukannya. Semoga saja jasadku tidak ditemukan orang yang salah. Dan mudah-mudahan orang yang membunuhku itu akan kutemukan. Aku ingin mencari tahu mengapa ia membunuhku begitu.

"Ami, apa kau masih mencintaiku?"

Ada sesuatu yang menyelusup sela hatiku seketika, tidak tahu kenapa rasa tidak enak itu menguar memenuhi dada, barangkali karena kami tidak akan bersatu atau memang ada sesuatu yang telah menghilang hingga menjadikannya begitu hampa.

"Iya," ucapku terasa berat keluar dari kerongkongan.

Ini sungguh menyakitkan.

***

Manusia tidak peduli dengan banyak sekali cobaan serta halangan menghadang, ia akan tetap terus hidup selama mimpi dan harapan masih digengam erat.
Itu yang dikatakan seseorang padaku dulu, saat kakiku masih bisa menapak tanah. Kalimat yang tertanam begitu dalam di otakku.
Senyap hutan dengan berbagai jenis pohon tumbuh sudah sedari tadi kami tempuh, melewati jalanan setapak yang sedikit becek akibat hujan menguyur kemarin. Semakin lama semakin gelap yang terlihat. Aku tidak tahu ke mana Zeno akan membawaku pergi, aku hanya mengikutinya saja ke sini. Katanya ia ingin menunjukan sesuatu.

Ini bukanlah hutan kami kunjungi minggu lalu, tapi hutan plosok di dekat desa dengan jarak 5 jam perjalanan dari kota.

Bayang-bayang menakutkan sedari tadi berlari menyelusup pohon, suara-suara aneh sepanjang perjanan mengangu pendengaran. Beberapa dahan pohon besar kutemui tadi menampakan seseorang yang bergelantungan menjulurkan lidah, mata terbelalak, bibir membiru dan kepala menyangkuti tali tambang.
Aku hanya meringsut cepat pada Zeno saat mata mereka bertemu dengan mataku kala itu. Tak sampai di situ saja, seorang nenek membawa tongkat tanpa kepala mengendong kayu bakar juga telah kutemui tadi.

Tangisan anak kecil meraung menyeret satu kakinya keluar dari hutan lalu kembali lagi mondar-mandir menampilkan darah dari bola matanya.
Tempat ini sangat menyeramkan dari film hantu pernah kutonton.

Zeno tak bersuara ia hanya fokus ke depan menyelusuri jalan kecil ini.
Gemersik dedaunan berjatuhan karena angin, udara mungkin sudah terasa sangat dingin. Mengingat langit yang bisa dilihat sedikit menyelinap di lebat hutan telah mulai mengantungkan awan kelabu. Aku jadi penasaran akan apa yang ditunjukan Zeno kepadaku selanjutnya. Apakah ini akan seperti satu tahun lalu, di mana ia berhasil membawaku menonton senja atas bukit yang indah, berpegangan tangan bawah jingga langit memandang hamparan indah perdesaan di balik pegunungan serta sebuah danau yang terlihat.

Suasana romatis itu kuabadikan dalam sebuah album foto menampakan siluet kami berdua yang bergandeng tangan.

Ke mana ia akan membawaku pergi? Sangat menyedihkan mengingat kembali bahwa aku telah mati, ditambah tidak tahu kesalahanku sehingga dibunuh seperti itu. Dendam apa yang tersimpan sehingga kematianku adalah bayaran tepat melegakan hatinya? Kesalahan besar apa yang telah kuperbuat sehingga ia semurka itu.

"Zeno apa belum sampai?"

Ia menoleh sejenak mengeleng pelan.

"Sebentar lagi, bersabarlah. Kita akan mengakhiri semua ini."

Rasa ingin tahuku menguar tentang apa yang ingin ia tunjukan.

"Zeno, mengapa kau mencintaiku?" tanyaku menyingkirkan keheningan.

"Aku mencintaimu tanpa alasan. Begitu saja, tiba-tiba hatiku bilang aku telah jatuh cinta kepadamu."

Ia adalah pemuda paling manis pernah kutemui. Seseorang yang berhasil menumbuhkan bunga-bunga di hatiku dan juga menerbangkan banyak kupu-kupu dari perutku.

"Apa yang kau tahu tentangku?"

Zeno tersenyum merangkai lagi kata.

"Yang kutahu tentangmu adalah kau gadis yang harus kujaga untukku."

Kami sampai pada sebuah rumah kecil tengah hutan, catnya usang dihiasi beberapa sarang laba-laba. Pagar kayu depannya mengalami kerusakan dengan beberapa kayu telah lapuk disapa hujan dan terik matahari setiap hari.

Mengapa Zeno membawaku ke sini ya?

Ia membuka pagar menyuruhku mengikutinya masuk, semak-semak meyebar halaman, jendela depannya penuh debu. Kami berdiri di depan pintu rumah yang digembok, Zeno nampak mencari sesuatu dalam saku namun tak kunjung menemukannya, ia membuka ransel hitam yang ia gendong sepanjang perjalanan, mengeluarkan palu dari sana. Ada suara mesin pembangkit listrik samping rumah, aku tak terlalu memperdulikannya.

Dalam satu kali hentakan kencang, gembok rusak pintu terbuka lebar, Zeno masuk lebih dulu meraba-raba tembok menghidupkan seklar lampu. Rumah yang tadinya gelap gulita menerang tepat setelahnya hujan turun dengan begitu derasnya membasahi bumi. Ia menyuruhku masuk lalu menutup lagi pintu. Aroma kopi menyeruak indra penciuman.

Rumah itu kecil, hanya memliki satu ruangan saja, ada sofa panjang dekat jendela beserta meja terbuat dari kayu jati, sebuah rak buku yang penuh, karpet coklat terbentang pada lantai kayu, rak sepatu di samping pintu, lemari pakaian serta sebuah kulkas besar di ujung ruangan.

Tidak kelihatan seperti luarnya yang tidak terawat, dari dalamnya tak ada satu pun debu yang kutemui saat mataku menjelajah sekitar, ruangan ini terasa sedikit nyaman, namun memiliki aura yang sedikit mencengkam mungkin faktor sudah tidak ditinggali. Hanya ada dua jendela di sini, jendela di dekat sofa  dan jendela di sebelah rak buku.

Zeno duduk di sofa menyandarkan punggungnya, ia kelihatan lelah setelah berjalan lama. Saat menengok langit ruangan, kudapati ac yang sudah menyala.

"Tempat ini punya kakekku," jawabnya tanpa kutanya.

Ia menatapku lekat-lekat. Menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya,menyuruhku duduk.

"Akhir-akhir ini aku merawatnya lagi," ucapnya setelah aku duduk.

"Aku pernah tinggal di sini waktu kecil, sayangnya kasur serta benda kakekku sudah kupindahkan setelah dia meninggal."

Ia berdiri menyingkap sebentar tirai jendela di belakang kami, melihat rintik hujan yang menitik kaca jendela.

Suara titik air itu terdengar sangat deras seakan memberi tahu sebentar lagi akan ada badai besar,angin kencang tak mau ketinggalan menyapa.

"Ami, kau mencintaiku bukan?"
Suaranya tiba-tiba saja terdengar menyeramkan, aku hanya tersenyum kaku membalasnya.

Zeno berjalan pelan membuka laci di meja kayu, mengeluarkan sebuah kunci.
Mendekat pada kulkas yang baru kusadari terkunci.

"Kau mau minum apa?" tanyanya.

"Anu, Zeno aku-"

"Maafkan aku." Cepat-cepat ia menghentikan perkataannya. Ia menghentikan aktifitas membuka kunci kulkas, menghadapku tersandar di sana, sorot matanya meredup.

"Aku selalu tak ingat bahwa kau sudah tidak ada," katanya melorot jatuh ke lantai, mengusap kasar wajahnya gusar.

"Aku selalu ingin kau ada di sampingku Ami, aku sangat mencintaimu. Benar-benar sangat-sangat mencintaimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi jika kau tidak akan ada lagi di sampingku."

Ia memeluk kedua lututnya menyembunyikan wajahnya di sana, aku terenyuh mendengarkan.

Apa sesakit itu?

"Sudahlah, Zeno. Jangan bersedih seperti itu. Ayo bangun, kau hauskan tadi?"

Menghiburnya bukanlah ide bagus ya?

"Aku tidak sedih," ujarnya mengusap airmata, sebelum menatapku tajam seperti biasanya.

Ia kembali berdiri, menghirup banyak oksigen, kembali berdiri membuka lagi kulkasnya untuk mengambil air minum dari sana.

"Aku tidak sedih, Ami. Karena sekarang kamu tetap akan bersamaku, kan?"

Ia membuka kulkas lebar, mengambil sekaleng minuman dari dalamnya.

"Kau masih mencintaiku, kan, Ami? Tolong katakan 'iya' Ami. Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu."

***

Aku menghening, bulu kudukku terasa meremang seketika. Zeno membuka kaleng sodanya bersandar samping kulkas tersenyum manis padaku.

Ctarr!
Petir menyambar kencang mengangetkan, listrik mati tiba-tiba.
"Ah, bensinnya habis," gumam Zeno dalam kegelapan.
Aku dapat mendengar suara tangannya yang tengah mengacak mencari sesuatu.
Menghidupkan korek api untuk lilin.
"Tenang saja Ami."
Aku merinding ketakutan mundur ke belakang, memori otakku terlempar pada beberapa hari lalu saat lilin juga menjadi saksi bisunya.
"Kau tidak akan apa-apa."
Cahaya remang-remang lilin memperlihatkan wajah menyeramkannya, ia tersenyum lebar meletakan lilin di atas kulkas. Tangannya mulai mengeluarkan sebuah kursi roda dari dalam benda persegi empat besar itu. Iya, sebuah kursi roda.
Aroma kopi kian menyengat bercampur akan aroma balsem menjadi satu, meskipun kenyataannya aku telah menjadi hantu, tetap saja kondisi ini amat menyeramkan untuk dirasakan.
"Ami, kau sangat cantik."
Kilatan petir di luar sana kembali menyambar keras memekakan telinga, deras hujan kian menjadi. Gelap malam telah menjalar sedari tadi.
Dan aku baru menyadari, melupakan adalah hal fatal yang pernah kualami.
"Lihat, cantik bukan?"
Bila tak ingat ini berada di tengah hutan belantara yang penuh akan penghuni menyeramkan, aku mungkin telah berlari menjauh secepat mungkin untuk pulang. Lebih memilih untuk berharap oranglain akan mencariku.
Zeno menghidupkan lagi lilin-lilin, meletakannya di beberapa tempat seakan-akan hendak melakukan sebuah ritual.
"Aku tak mungkin keluar di tengah hujan mencari bensin, sayang," ujarnya manis namun terdengar mistis.
Suara atap yang beradu akan air ikut memengap pendengaran, aku membisu mengali-mengali dan terus mengali pada waktu masa itu.
Saat masa semuanya berubah terbalik 90 derajat, hanya karena hal yang amat sepele.

***

 

"Aku tak suka kau berdekatan dengan lelaki lain!" teriaknya begitu lantang.

"Memang kenapa? Apa masalahmu? Kau tak berhak mengatur hidupku!"

Ruangan tamu apartement kecil ini mengalami masalah pada bohlam lampu yang pecah, akibatnya cahaya tamaram dari lilin di atas meja menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini. Tidak terlalu buruk juga untukku yang telah terbiasa tidur di dalam gelap. Mataku bahkan tak akan memejam jika terang melanda.

"Aku ini pacarmu!"

Aku tertawa hambar, mengeleng-geleng kepala tak habis pikir. Apa pemuda di depan ini sedang amnesia? Atau sebenarnya sudah gila? Kami sudah putus kemarin, aku meneriakan kata itu dengan kencang di keramaian kantin kampus yang sesak, tepat pada hari Rabu pukul 12 siang lewat 30 menit. Aku saja masih mengingat jam itu dengan tepat.

"Kita telah berakhir kemarin!"

Lelah rasanya harus berada di dekat pemuda sinting satu ini, memang salahku yang dulu terlalu terbuai dengan rayuan manis dan seluruh bantuannya kepadaku.
Cih, aku membencinya lebih dari apapun.
Gara-garanya lagu yang kubuat dua minggu penuh bersama rekan sekelompokku hilang begitu saja tanpa dilirik sedikit pun oleh dosen.

Kerja kerasku selama dua minggu penuh, hilang karena rasa cemburu katanya, cemburu pada teman sekelasku. Yang benar saja! Kami hanya bersama saat di kampus untuk mengerjakan tugas, mengobrol mengenai tugas, dan Zeno dengan entengnya datang merobek kertas penuh nada yang kami susun untuk sebuah rasa cemburu.

"Kau yang mengakhirinya dengan sepihak!"

Sejujurnya aku sunguh-sunguh sudah muak, tak terhitung lagi berapa banyak maaf yang kuberikan untuknya namun ia malah makin besar kepala saja.
Memangnya ia siapa? Orangtuaku saja tak bisa mengatur hidupku, dan Zeno yang notabenya seorang pacar walaupun sekarang tidak lagi  pacarku malah datang seenaknya untuk mengekangku.

"Aku muak denganmu!"

Apa enaknya punya pacar protektif? Romatis katamu? Omong kosong! Ia seolah menjadi mata-mata ke mana pun aku pergi, menguntitku, melarangku untuk berbicara pada pemuda lain bahkan kepada ayahku sendiri. Ia lebih mirip seorang pasien sakit jiwa yang bagian luarnya saja terlihat keren.

"Kau mencintaiku dan aku mencintaimu, itu cukup adil. Dan kita tidak punya alasan untuk berpisah."

"Kau gila!" pekikku geram.

"Aku gila karenamu sayang."

Dan dimulai dari sana kata sayang terdengar begitu menjijikan di telingaku,seolah kata itu adalah kata terkonyol yang pernah diucapkan manusia.

"Pergi kau dari sini! Kita telah berakhir, aku tidak lagi mencintaimu, tidak lagi. Dan kau tidak berhak mengaturku untuk berdekatan dengan lelaki siapapun, karena itu urusanku."

"Kau bercanda? Itu terdengar tidak lucu, Ami," ujarnya santai.

Darahku berdesir naik, bisa kurasakan wajahku memerah masam. Bagaimana lagi aku harus menjelaskan ini semua kepadanya? Apa aku harus membenturkan kepalanya terlebih dahulu sehingga ia akan sadar?

"Keluar! Kita bukan siapa-siapa aku tidak lagi mencintaimu."

"Kau meremehkanku, Ami? Kau akan selalu bersamaku dan itu pasti."

Wajahnya terlihat meyakinkan, dari balik remang cahaya lilin ia tersenyum miring.

"Kau bukan siapa-siapaku lagi."

"Baiklah kita buat ini menjadi mudah saja."

Jarak kami yang tadinya beberapa meter kini tinggal beberapa langkah saja, aku mundur ketakutan tidak tahu apa yang akan dilakukan Zeno kepadaku selanjutnya.

"Apa yang kau lakukan!" teriakku panik.

"Diamlah, percuma kau teriak jika tidak ada yang mendengar?"

Aku mengatur napas yang semakin memburu udara terasa amat panas, aku gemetaran ketakutan.

"Kita akan melakukan hal yang mudah, jika kau tidak akan menjadi milikku maka tidak akan ada yang akan menjadikanmu milik orang lain."

Ia tersenyum manis, mengeluarkan pisau lipat dari balik saku celana. Aku mundur ke belakang membentur tembok.

"Kau gila!"

"Sudahku bilang, aku gila karenamu sayang."

Ayunan pertama berhasil kuhindari namun sebagai gantinya jari tengah dan manisku terpotong jatuh kelantai, aku histeris melihat darah bercucuran, rasa sakit yang teramat serta bau amis menyengat.

"Kau membuatku repot,buat ini menjadi mudah, Ami!"

Kakiku gemetar hebat, kuraih vas bunga terdekat melemparkan asal ke arahnya lalu berlari cepat menorobos menuju pintu.

"Hey, kau mau ke mana?"

Aku membeku, pintunya terkunci.
Detik berikutnya, semua terasa begitu cepat. Punggungku nyeri, sesuatu yang hangat membasahi pakaian yang kukenakan, aku terbatuk beberapa kali mengeluarkan darah. Bola mataku terbelalak merasakan sakit yang amat luar biasa menyakitkannyan.

"Kau akan menjadi milikku selamanya, Ami."
Dan semuanya menjadi benar-benar gelap.

 

***

 

Gaun biru pernikahan itu memang nampak sangat anggun dipandang, sekaligus memberi rasa ngeri mengelitik perut.

"Lihat aku telah menjahit kembali jarimu," katanya mengengam tangan jasadku.

Jasadku terduduk pada kursi roda, mengenakan gaun biru pernikahan indah dan sepatu hak tinggi manis.
Tak nampak lagi wajah pucat akibat make-up tebal menutupi, rambut sepugungku digelung rapi ke belakang, dihiasi sebuah mahkota cantik.
Kuku-kuku itu telah dicat berwarna senada gaun.

"Kau yang membunuhku." Suaraku terasa begitu gemetar ketakutan meski kenyataannya yang menjadi hantunya di sini adalah aku.

"Setidaknya kita bisa hidup bersama, sayang."

Telingaku terasa berdengung mendengar kalimat barusan, ada sebuah gejolak naik hendak melontarkan sesuatu.

"Kita telah berakhir."

"Kita tidak berakhir." Tekannya menoleh kepadaku tajam.

"Aku senang menemukanmu, meski sangat mengejutkan, Ami."

Ia mengelus pipi jasadku pelan, terlihat sangat lembut sekali. Siapa yang sangka gadis yang tengah duduk di kursi roda itu telah mati beberapa hari lalu.

Hampir saja aku berteriak kencang tatkala tanpa sengaja mataku mendapati seorang kakek-kakek mengenakan baju lusuh memiliki noda darah di ujungnya menatap kami berdua melotot, aku dapat menyaksikan senyum lebar menyeramkannya di tengah temaram.

Reflek aku memejam mata beberapa saat, memgingat Zeno hanya bisa melihatku saja tidak dengan hantu-hantu lain di sekitarnya. Sungguh berada di dua alam seperti ini sangat tidak menyengkan sama sekali.

Lilin-lilin diletakan pada tempat-tempat berbeda terasa menambah nuansa horor, hujan di luar sana kian menjadi bersama kilatan petir menyambar.
Aku tak berani bergerak seinci pun apalagi menoleh ke belakang tepat pada sofa di mana sang kakek itu berada.

"Aku sangat mencintaimu, kalau kau tidak bersama lelaki itu, mungkin kita akan bisa saling bergengaman tangan lama."

"Apa maksudmu?" cicitku takut.

"Apa maksudku? Aku melihatmu di bendara waktu itu berpelukan dan mencium pipi lelaki asing di sana! Dan kau menanyakan apa maksudku? Kau gila!"
Sebuah pisau melayang menembus kepalaku, untung saja aku telah lama mati, tidak terbayang jika itu terjadi saat aku bukanlah arwah.

Pisau tadi menancap tepat di samping pintu keluar, Zeno ternyata masih menyimpan pisau di saku celana yang satu lagi, ia menyeringai lebar selayaknya psikopat.

 

***

 

Ini adalah hari bahagia untukku, mulai dari dering telpon pagi tadi dari seorang pemuda yang sangat kusayangi menyambut pagiku dengan begitu indahnya. Berkatnya senyum tak lepas dari bibirku hingga siang, sesuai perjanjian untuk menemuinya pada tempat yang sudah ditetapkan.

Gaun selutut berwarna kream menjadi gaun terbaik yang kukenakan. Sepatu hak tinggiku berdecit keras berlari menapaki lantai bandara besar itu, saking senangnya beberapa kali hampir terjatuh karena terburu-buru.
Hatiku terlalu bahagia bertemu dengan dia lagi, demi apapun! Aku benar-benar merindukannya. Amat-amat merindukannya.

 

"Ami!" sahutan itu menarik duniaku.
Dia berdiri di sana dengan kemeja kotak-kotak dan kaos hitam, menyeret sebuah koper besar tersenyum manis.
Aku berlari berhamburan dalam pelukannya yang ia balas sama seperti dulu. Hangat.

Sudah sangat lama kami tidak lagi bertemu, detik memisahkan kami terlalu lama. Pemuda ini jadi sangat tinggi sekarang, padahal dulu seingatku ia hanya setinggi telingga ibuku saja, tapi sekarang malah tumbuh menjulang bagai bambu.

"Aku kangen," ujarku masih terus bergelayutan manja.

"Dasar, kau tidak berubah. Masih terlihat kecil seperti dulu."

Aku memanyunkan bibir kesal.

"Tapi, aku juga kangen kepadamu."

Senyumku kembali merekah, mendekati kopernya lalu berdiri di atas benda itu.

"Lihat aku lebih tinggi darimu sekarang."

"Hey! Kau bisa jatuh."

Pasang-pasang mata menatap kami penasaran, ia mendekat memegang tanganku.

"Turun, atau aku yang harus menurunkanmu?"

"Baiklah, turunkan aku."

Kulipat kedua tangan di depan dada memesang wajah jahil selayaknya dulu saat kami masih kecil.

Ia mengendongku ke bawah, dan menjadikanku seperti karung beras tanpa berniat menurunkan begitu saja, ia menyeret koper membawaku pergi begitu, wajahku memerah malu.

"Hei, turunkan aku!"

"Lho? Kenapa?"

"Aku malu tahu!"

Ia tertawa keras menuruti perkataanku.
Rasanya sudah lama sekali aku tak mendengarkan suara tawanya.
Ia membungkuk sedikit mesenjajarkan mata kami berdua.

"Kau itu ya, kapan berubahnya?"

Aku mengernyit tersenyum lebar, mencium pipinya dalam sekejap. Ia nampak terkejut atas kejadian barusan. Sambil tesenyum bangga aku mendahuluinya keluar dari sana.

"Itu adalah sebuah hukuman untukmu," kataku kemudian.

Kami lebih dari dua orang sahabat akrab, atau dua orang teman masa kecil. Berada di dekatnya selalu menjadi favoritku, meskipun tindakan jahilnya kadang membuatku pulang menangis mengadu pada Ibu. Ia tetap menjadi orang termenyenangkan yang aku punya.
Kami adalah dua orang yang sulit sekali dipisahkan, bahkan di saat waktu hendak tidur sekalipun. Alhasil, kami berdua akan tidur bersama, berbagi selimut dan saling berpelukan.
Masa kecilku terlalu indah untuk dikenang.

 

Berlari di taman menjadi permainan yang sering sekali kami mainkan. Ya walau pun ia lebih tua setahun dariku, ia tetap mau bermain bersamaku dan rela pulang daripada bermain dengan teman sebayanya yang lain.

Karena suatu alasan, ia harus melanjutkan sekolahnya keluar negeri. Awalnya kami saring terhubung melalui media sosial, namun kesibukan-kesibukannya tidak menginginkan itu.
Karena itulah, mengapa hari ini menjadi hari bahagiaku bertemu dengannya lagi, karena ternyata ia adalah satu-satunya orang yang mau mengerti aku.
Ada banyak sekali cerita yang ingin kuceritakan kepadanya. Semuanya.

 

***

 

"Aku cemburu. Kau tahu itu."
Aku tersenyum miris, mengengam kedua tanganku. Merendam rasa sakit teramat sangat yang menghantam dada, menyesakan segala rasa yang pernah kurasakan.
"Kau cemburu?" tanyaku sekali lagi padanya yang sibuk mengelus pipi jasadku.
"Iya."

Tuhan, tolong hilangkan saja aku dari sini. Jangan biarkan aku terus menentap dalam dunia yang seharusnya aku tidak lagi ada di dalamnya.
Tuhan, tolong bawa aku pergi.
Aku sakit. Aku terlalu sakit hati mendengarnya. Apa kau setega itu padaku sehingga membuat takdir ini terasa kejam untukku?

"Aku cemburu, Ami. Sayangku."
Aku ingin lenyap mengetahui fakta ini semua. Seharusnya aku tidak mengenal cinta saja sekalian, agar hidupku tidak berakhir setragis ini.
"Kau cemburu pada lelaki di bandara itu?"
"Iya! Kau mencium pipinya. Yang benar saja! Aku sakit hati melihatnya, padahal aku mencintaimu dan kau mencintaiku."
Airmata mengaliri pipiku, maaf tapi ini terlalu menyakitkan.

"Kau cemburu."
Aku mengulangi kata itu lalu tertawa hambar setelahnya.

"Ami!" teriaknya melempar pisau lagi memecahkan kaca jendela, membawa angin kencang menerpa tirai, memadamkan semua lilin-lilin yang tadinya menyala menghasilkan cahaya. Semua menjadi gelap gulita.

"Kau cemburu pada kakak kandungku, yang benar saja."

Aku menarik napas dalam menatap sendu Zeno yang tengah marah besar dalam kegelapan.

Kakek tua berpakaian lusuh di sana tertawa amat kencang. Melotot padaku, lalu berucap serak.

"Kau tahu? Dia, cucuku. Dia juga membunuhku beberapa tahun lalu. Dia terlalu mencintai sampai-sampai tidak sanggup untuk kehilangan."

 

End

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SOLITUDE
1712      677     2     
Mystery
Lelaki tampan, atau gentleman? Cecilia tidak pernah menyangka keduanya menyimpan rahasia dibalik koma lima tahunnya. Siapa yang harus Cecilia percaya?
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
465      356     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
Hug Me Once
8761      1973     7     
Inspirational
Jika kalian mencari cerita berteman kisah cinta ala negeri dongeng, maaf, aku tidak bisa memberikannya. Tapi, jika kalian mencari cerita bertema keluarga, kalian bisa membaca cerita ini. Ini adalah kisah dimana kakak beradik yang tadinya saling menyayangi dapat berubah menjadi saling membenci hanya karena kesalahpahaman
The pythonissam
386      302     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
Story of time
2378      938     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
Love Dribble
10635      2056     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
One Step Closer
2366      990     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
That Day
372      264     1     
Short Story
Hari itu benar-benar hari penyesalan terbesarnya. Jika saja dia mengatakan sejujurnya pada Sena, maka mungkin dia bisa mencegah Sena pergi. Hari-hari dia berdoa dan memohon agar dapat memutar ulang waktu atau setidaknya mendapatkan Sena kembali, namun keajaiban tetaplah sebuah keajaiban.
Ghost Hunter
3156      1418     2     
Horror
sekelompok pemuda masih berstatus mahasiswa yang menyukai kegiatan mistis, kerap melakukan penelusuran tiap malam Selasa dan malam Jumat Kliwon. Mereka ditemani oleh Mbah Susilo sang sesepuh desa yang mempunyai kemampuan yang tak biasa.
Dear Groom
508      361     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"