Ia menarik napas pelan. Sebuah pintu besar berwarna cokelat gelap dengan ukiran-ukiran menawan berdiri dengan angkuh di depan mata. Menjadi pintu gerbang untuk masuk ke dalam rumah yang begitu megah dan terkesan hangat.
Ia mendesah. Mengguyar rambut panjangnya ke belakang. Kembali berpikir, haruskah ia melewati pintu itu? namun, ia tak mendapat jawaban lain selain kata iya. Kalau dirinya terlahir sebagai seorang penyihir, ia mungkin akan membuat pintu ini menjadi sebuah batu besar yang tidak bisa digerakkan. Tentu agar dia punya alasan untuk tak masuk.
Jemari lentiknya baru saja menyentuh permukaan kenop pintu. Namun, telinganya sudah cukup peka untuk mendengar keributan di dalam sana. Seketika, ia melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Pukul lima sore. Pantas.
Kembali ia menarik napas. Kini, beberapa kali. Meyakinkan diri kembali sekaligus mencari cara agar tak terseret masuk ke dalam masalah yang begitu membingungkan baginya. Tak masuk akal sekaligus menyebalkan.
Pintu ia dorong hingga terbuka. Menampakkan ruangan yang kosong dan didominasi oleh warna putih gading dan cokelat lembut. Ia kembali menutup pintu dengan begitu pelan. Berharap taka da suara yang timbul dari pergerakannya. Setelahnya, ia berusaha secepat mungkin menyeberangi ruang tamu. Mencoba menaiki tangga tanpa bersuara.
Namun, saat ia mencapai tiga anak tangga teratas, ia merasa semua usahanya sangat sia-sia. Mendengar ocehan itu sangat memuakkan. Kalau ia tak takut dikutuk, sudah ia lempar sneakers bersol terbal miliknya.
“Tuh, liat anakmu! Jam segini baru pulang. Ngapain lagi coba?”
Ia hanya bisa memutar bola mata. Mendengus lalu tak lama memilih beranjak diiringi balasan yang tak kalah keras. “Ini baru jam enam, Mas. Apanya yang salah sih? Mungkin dia ada ekstrakulikuler atau ada tugas kelompok.”
“Alah! Ibu sama anak enggak ada bedanya. Sama-sama enggak tau diri. Murahan!”
Mendengar perkataan itu, ia langsung membanting pintu kamar dengan begitu keras. Mungkin kalau engselnya sudah rapuh dan pintu itu tidak dibuat dari kayu kualitas tinggi, pintu itu akan rontok seketika. Tak lama, rumah itu kembali hening. Seolah sudah menyadari kesalahannya.
Tas telah ia buang. Entah ke sudut mana. Ia langsung melempar tubuhnya yang masih berbalut seragam putih abu beserta kaus kaki yang membungkus kakinya rapat. Kalau seandainya bisa, ia akan memasukkan kepalanya dalam-dalam ke dalam tempat tidur. Ia ingin menghilang secepat yang ia bisa.
Sambil mendesah panjang, ia membalik tubuh. Kini matanya memandang langit-langit. Seolah tengah menelusuri tiap inchi di sana. Seperti tengah mencari sesautu yang tersembunyi. Namun, akhirnya ia kembali memejamkan mata.
Tak lama, telinganya menangkap suara ketukan pintu yang begitu lembut. Dengan suara parau, ia membalas ketukan itu. “Masuk.”
Sepersekian detik kemudian, seorang wanita paruh baya tampak di ambang pintu. Mengangguk hormat kemudia melangkah masuk perlahan. Gadis itu langsung bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Menatap wanita itu penuh telisik. “Kenapa, Bi?” tanyanya.
“Tadi Bibi diminta sama Ibu ke sini. Apa Non laper? Kalo iya, nanti Bibi buatin makanan. Spesial deh,” ujar wanita itu. Kini, ia terdengar lebih luwes.
Gadis itu membawa matanya ke atas. Menatap langit-langit sembari berpikir. “Boleh deh. Tapi, Bi. Tolong masakin yang banyak, ya. Aku enggak mau ikut makan malam,” putusnya tanpa ragu.
Wanita itu menatap penuh telisik. Ada beribu tanda tanya muncul di matanya. “Lagi enggak pengen aja, Bi. Capek juga. Jadinya pengen di kamar dulu,” jelas gadis itu dengan cepat setelah memahami arti tatapan asisten rumah tangganya.
Wanita itu hanya menganggk paham tanpa niat untuk kembali bertanya lebih jauh. Baginya, itu bukan urusannya. Tidak seharusnya ia bertanya hal-hal dengan detail. Setelahnya ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan.
Gadis itu kembali membaringkan tubuh. Menutup wajah dengan kedua tangan, lalu mengusapnya kasar. Ia selalu ingin merutuk. Kenapa juga hidupnya begini? Kenapa ia harus terlahir dalam keluarga seperti ini? Kenapa ia tak pernah punya kuasa untuk berlari menjauh? Ia hanya ingin lari.
Aku baca cerita ini, cukup mnarik. Cuma kalau bokeh saran, ini prolog, kan?
Comment on chapter PrologAgak kepanjangan. Baiknya dibuat singkat aja, bagian yg buat pnasaran. Supaya pmbca lbih tergoda.
Mampir2 juga k critaku, untuk krisan, judulnya."Story About three boys and a man"