Mereka bilang rumahku sangat menyeramkan, beberapa hari lalu tetanggaku bahkan harus dibawa ke rumah sakit karena jatuh pingsan saat melihat sosok aneh dirumahku. Setelah kejadian tersebut banyak rumor menyebar tentang rumahku, banyak dari mereka meyakini kalau rumahku berpenghuni. Padahal yang ku tahu aku hanya tinggal seorang diri.
Rumah hantu.
Begitulah mereka menyebut rumah baruku.
"Dia tinggal seorang diri,"
Itu mereka, tetangga sebelah rumah yang hobi menyebarkan rumor-rumor aneh tentang rumahku.
"Benarkah? Dia sangat berani sekali tinggal di rumah hantu itu!" Jawab seseorang di sebelahnya.
"Mungkin dia salah satu dari pemuja, awas jangan dekati dia."
"Kenapa?"
"Bisa-bisa kau dijadikan tumbal olehnya."
Byuuur!
"Ya ampun! Apa yang kau lakukan?"
Dan itu dia, pria yang tak pernah lari dari sisiku. Yang selalu rela melindungiku, yang berjanji untuk selalu menjagaku dan membuat hidupku bahagia. Rasyid namanya, pria yang setahun lalu menyatakan perasaanya padaku dan kini ia resmi menjadi seorang kekasih untukku.
"Maaf, saya tidak melihat ada orang disana. Apa kalian gak punya kegiatan lain selain berdiri dan bergosip di depan bunga-bunga itu? Sungguh ya kalian itu menghalangi pemandangan sekali!" Ketus Rasyid, aku hanya bisa tersenyum melihatnya.
"Kau ini berani sek-"
"Sudah hentikan! Jangan cari gara-gara dengan mereka, aku tidak mau jadi korban berikutnya. Ayo kita pergi saja!"
Mereka beranjak pergi dengan raut kekesalan yang tercetak jelas di wajah keduanya. Rasyid hanya memandang senang penuh kemenangan sedangkan aku cukup diam ditempat memantau kejadian lucu tersebut.
"Pergi sana! Hush! Awas kalau kembali lagi!" Teriak Rasyid.
Aku mendekatinya, sudah lama aku tak melihat Rasyid sedekat ini. Ah iya, Rasyid baru saja kembali dari luar kota, ia sekarang adalah mahasiswa semester IV. Tidak terasa hampir lima bulan ia pergi meninggalkanku dan sekarang aku senang ia kembali.
"Kenapa kemari? Bukankah kau bilang tak bisa pulang?" Tanyaku ketus.
"Lantas aku harus bagaimana lagi? Kau membuatku rindu sampai mati sih," gombalnya dan aku hanya bisa tertawa.
"Aku juga rindu tapi tidak boleh mati," ujarku sambil melingkarkan kedua lenganku kepinggangnya.
"Jadi rinduku yang paling besar ternyata." Jawaban Rasyid hanya bisa membuatku senyum senang.
"Karena jika aku rindu sampai mati sudah pasti sekarang ini kau hanya melihat mayatku saja, dan aku tidak boleh mati dulu, tidak untuk sekarang ini." Ujarku meyakinkan.
Rasyid tersenyum hambar seorang diri. Pembicaraan ini terlalu berat untuk kami berdua, karena itu aku mengakhirinya sepihak dan mengajak Rasyid masuk kedalam rumah baruku.
Tidak ada yang aneh dengan rumah ini, semua terlihat normal dari manapun. Rumah bernuasa cream dimana terdapat taman bunga di sisi kanan dan bagasi di sisi kiri. Hanya ada tiga kamar tidur, dua kamar tidur dilantai dua dan satunya ada di lantai satu. Sisanya hanya ada ruang kecil tempat aku menyimpan koleksi buku dan ruang keluarga, dapur serta ruang tamu biasa.
Jika dipikir kembali rumah baruku ini memang terlihat luas, untuk tinggal seorang diri dirumah ini butuh nyali yang besar apalagi rumah ini sudah termakan rumor jahat. Namun aku hanya terbiasa, sejak dulu ketika kedua orangtuaku tiada aku terbiasa tinggal seorang diri tanpa siapapun disisiku.
"Kenapa gak nyari yang lain saja?" Rasyid meyeduh teh buatannya sambil menunggu jawaban dariku.
Ku tutup kembali novel yang kubaca dan menatap Rasyid, mengambil teh buatanya dan langsung ku minum untuk menghangatkan tenggorokanku yang terasa kering.
"Untuk apa? Rumah ini disewa murah dari yang lainnya, ruangan yang luas bahkan ada taman di sebelahnya. Kenapa aku harus nyari yang lain?" Jawabku ketus.
"Coba pikir kembali, dengan harga sewa yang murah untuk rumah seperti ini pasti ada sesuatunya." Mataku memandang Rasyid bingung, "Bisa jadi rumor itu benar adanya."
Aku hanya diam sambil menyantap teh ditanganku.
"Kalau kau tidak tinggal sendirian."
Uhuk! Uhuk!
Kata-kata terakhir Rasyid berhasil membuatku terkejut salah tingkah, tidakkah dia tahu dimana dia bicara sekarang.
"Kau gak apa kan? Maaf membuatmu terkejut." Ujar Rasyid khawatir.
"Ish! Apa-apaan sih? Bicaramu tidak lucu tahu gak!" Aku marah, tentu saja aku harus marah disini. Rasyid tidak lucu sama sekali jika dia bermaksud bercanda pada situasi seperti ini.
"Untuk itulah kenapa kau gak pindah aja? Kita cari yang lebih kecil dengan harga murah atau yang lebih mahal sekalipun gak masalah." Aku menatap Rasyid tidak suka, "Jika ini masalah biaya aku bisa ban-"
"Rasyid! Cukup! Aku tidak mau dengar apapun lagi darimu." Mataku menatapnya nyalang, "Aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini meskipun kau memaksa, mengerti! Sekarang pergilah dari rumahku, aku butuh istirahat sejenak." Ujarku mengusir Rasyid.
Dengan berat hati aku menggerakan langkah menuntun Rasyid keluar rumahku. Raut wajahnya juga tak percaya dengan tindakkanku, semua terasa canggung untuk kami berdua.
Rasyid menghentikan lenganku saat aku hendak masuk kedalam rumah, "Aku hanya khawatir padamu. Namun semua terasa aneh untukku, apa kau sakit?" Rasyid meletakan telapak tangannya ke keningku.
Aku menyentaknya, "Aku tidak apa-apa, sekarang cepat pergilah dari sini. Aku butuh sendiri." Ujarku ketus.
Rasyid masih menatapku bingung, "Kenapa denganmu? Kau tidak seperti Vina yang kukenal."
Mataku membola mendengar penuturan Rasyid. Maksudnya apa? Jadi Vina yang seperti apa yang dikenalnya?.
"Aku lelah, aku tidak mau dengar apapun lagi."
"Vina!"
Teriakan Jaka menyentak atensi ku dan Rasyid.
"Ada sesuatu yang harus aku katakan," Jaka terlihat serius memandangiku dan Rasyid. "Ulfa meninggal Vin! dan matinya sangat mengenaskan." Jaka meyakinkan.
Aku syok tentunya. Dia bilang tadi Ulfa? Tetangga sebelah rumahku yang beberapa hari lalu masih dirawat inap di rumah sakit, namun sekarang dengan mengenaskan Ulfa sudah meninggal? Bagaimana mungkin?.
"Ulfa? Siapa?" Rasyid penasaran. Aku hanya terdiam karena syok.
"Tetangganya Vina. Aku tidak bisa kebayang bagaimana dia bisa mati mengenaskan seperti itu. Kepala dan badan sudah tidak bersatu."
Aku tiba-tiba ingin muntah.
"Cukup! Kau membuatku ingin muntah." Kataku terkejut.
"Vin, sebagai temanmu aku hanya ingin kau meninggalkan rumah ini. Kau tahu sekarang ini seniorku mencurigai dirimu sebagai dalangnya. Kami menyelidiki kematian Ulfa dan bukti ia melihat sesuatu dirumahmu menjadi dasarnya. Banyak yang curiga kalau Ulfa adalah tumbal dan kau pemuja setannya." Jelas Jaka.
Gak masuk akal!
Jaka seorang dektektif swasta, memang tugas dia adalah mencari kebenaran diantara keganjilan. Aku tidak menyalahkannya untuk ini, tapi mencurigaiku tanpa bukti sama sekali itu adalah tindakan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa tersangka hanya karena firasat semata?.
"Vin, sebaiknya kau pergi saja dari rumah ini. Ini sudah kali keberapa kau dicurigai seperti ini Vin? Dan rumah ini memang terlihat tidak normal sama sekali." Rasyid meyendu. Ia sangat khawatir dan itu terlihat jelas di bola matanya.
"Jaka, bilang sama seniormu jika ingin membuatku sebagai tersangka ia harus memiliki bukti terlebih dahulu dan jangan mengandalkan firasatnya saja. Ini sudah kali keberapa dia menuduhku tanpa bukti, selalu menyangkutpautkan kematian warga dengan rumor bahwa mereka adalah tumbal dariku. Khe! Menjengkelkan sekali," Kataku sinis, "Dan kau Jaka! daripada mengurusi masalah gak masuk akal ini sebaiknya kau lekas cari adikku secepatnya!"
Blam!
Pintu ku tutup dengan keras, aku tidak peduli bagaimana tanggapan mereka berdua diluar sana. Dengan kesal langkahku kehentak-hentakan kelantai menuju kamarku dilantai satu.
Sejak setahun yang lalu ketika aku dan keluargaku pindah kerumah ini semua baik-baik saja. Aku hidup normal seperti anak biasa pada umumnya, kami bahagia dan saat-saat seperti itu aku masih bersama adik perempuan ku yang memiliki kelainan jiwa. Adikku dari kecil tidak memiliki teman kecuali diriku, ia selalu menyendiri didalam kamar dan kadang-kadang menangis tanpa sebab. Setiap minggunya dokter jiwa datang kerumah menenangkan adikku, namun saat hari dimana orangtuaku meninggal adikku juga ikut menghilang. Ia pergi dari rumah entah kemana, sudah kucari kemanapun namun hasilnya nihil. Karena itulah aku memohon pada Jaka untuk menemukanya hidup ataupun mati.
Setelah itu aku tinggal sendiri dirumah ini, alasanku enggan pergi dari rumah ini karena banyak kenanganku dengan orangtua dan adik perempuanku yang sangat kucintai. Hari demi hari kulalui seorang diri, sampai beberapa tetangga mengatakan kalau mereka melihat suatu keganjalan di rumahku dan tak lama yang melihat tersebut ditemukan mati mengenaskan. Aku mengabaikan setiap pernyataan yang keluar dari mereka, namun beberapa orang menyatakan hal yang sama dan tak lama mereka meninggal dunia. Hingga rumor bahwa rumahku berhantu menyebar dengan cepat, bahkan aku dianggap sebagai pemujanya. Karena itulah Jaka dan seniornya mencurigaiku selalu, menuduhku dalang dibalik semuanya.
Aku masuk kedalam kamarku merebahkan diriku diatas kasur mencoba memejamkan mataku. Namun telingaku mendengar sesuatu bergerak diatas, seperti suara gesekan kaki tepat diatasku dan itu mengarahkan dikamar lantai dua.
Srek! Srek! Srek!
Suaranya sangat jelas. Aku jengah dengan semuanya, segera ku gerakan kakiku kelantai dua dengan perlahan. Aku berjalan santai hingga diriku tepat didepan pintu kamar itu, perlahan kugerakan tanganku memegang knop pintu bercat putih tersebut. Dengan keberanian ku meyakini diri untuk membuka pintu, namun-
"Mungkin hanya ilusi saja."
Ku urungkan niatku untuk membukanya. Segera ku beralih arah ke sebelah kamar bercat putih tersebut. Tepat disebelahnya adalah ruang privasi ku, ruang buku dimana aku suka menghabiskan waktu.
Aku duduk santai di sofa merah darah membelakangi dinding yang mengarah ke kamar bercat putih tadi. Ku ambil sebuah Novel dan tak lama aku terlarut kedalam isi ceritanya.
Srek! Srek! Srek!
Suara itu terdengar lagi ke telingaku, buyar sudah konsentrasi ku dalam membaca novel ditanganku ini.
Srek! Srek! Srek!
Suara ini berasal dari dinding dibelakangku. Semakin kencang, semakin kencang, semakin kencang, semakin kencang dan-
Berhenti.
"Huh!!" Aku menghela napas panjang. Aku muak dengan semuanya.
Kutatap dinding bercat putih dibelakangku dengan serius. Penasaran kudekati dinding tersebut dan merabanya, hingga ku tempelkan telingaku disana namun tidak ada suara apapun kudengar. Aku menyerah berbalik arah
Srek! Srek! Srek!
Lagi, suara itu ku dengar lagi. Kembali kudekati dinding putih itu dan saat kuperhatikan dengan seksama aku melihat lubang kecil terukir disana. Aku tidak tahu keberanian dari mana yang kupunya, namun aku nekat untuk mendekatinya.
Aku mengintip dibalik lubang kecil yang seukuran pupil mata tersebut. Penasaran dengan apa yang ada di seberang sana, namun yang kulihat hanya putih tanpa apa-apa. Dengan serius aku menatap tapi tidak ada apapun. Namun tiba-tiba mendadak-
Berubah hitam.
Aku pikir mungkin lampu didalalamnya tak berfungsi atau cahaya didalamnya yang berubah. Tapi sejenak aku tersadar kalau-
Hitam tadi berkedip.
"AKKHH!!!!" Jeritku menjauh.
Itu mata?.
¤¤¤
Apa aku pemberani? Tentu saja tidak!. Aku sangat takut, ketakutan hingga aku rasa aku ingin mati saja. ini pertama kalinya, sosok aneh ada didalam rumahku. Entah bagaimana bentuk rupanya aku tidak tahu dan tidak ingin tahu, bagaimana mungkin? Apa rumor tersebut benar? Kalau rumah yang kutinggali hampir setahun ini ternyata berhantu.
Setelah kejadian tersebut aku sadar, kalau aku tak pernah tinggal sendirian.
"Ada apa denganmu? Setelah mengusirku dari rumah ini kau jatuh sakit berhari-hari." Rasyid mengkhawatirkanku.
Aku enggan mengeluarkan kata dari mulutku, bukan karena aku marah padanya hanya saja aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan atau dari mana aku mulai becerita. Aku lebih memilih bungkam menutupi kejadian aneh tersebut.
"Sudah kuduga kau pasti sakit karena itu kau bertingkah aneh sejak kemarin. Apa kita pergi ke suatu tempat agar kau bisa beristirahat?" Tanya Rasyid.
Aku tetap diam merasakan hawa dingin fentilasi jendela kamarku. Baru kusadari hari mulai menggelap, awan kelabu bermunculan. Mungkin malam ini akan turun hujan.
"Rasyid benar, pergilah berlibur." Ujar Jaka.
Aku baru menyadari ternyata dia sedari tadi berdiri diambang pintu kamarku.
"Berlibur? Agar kau dan seniormu bisa menggeledah tempat ini?" Kataku sinis pada Jaka.
Ia hanya mendecih tak suka.
Hujan mulai turun dengan derasnya, Jaka dan Rasyid masih menungguiku dikamar sementara aku hanya diam memandang keluar.
Rasyid duduk di kasur dekatku, ia memeluk diriku dan membelai rambutku. Entah apa yang ia rasakan pada situasi hening seperti ini, namun yang ku tahu ia hanya mencoba menenagkan diriku.
"Ada aku disini, jangan khawatir." Ujarnya lembut.
Srek! Srek! Srek!
Lagi!, suara itu terdengar lagi. Aku bergetar ketakutan, ku peluk Rasyid sekuat mungkin agar dia tak pergi dari sisiku.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Suara apa itu?" Tanya Rasyid penasaran.
Bunyinya terlalu keras hingga mengalahkan suara hujan diluar.
"Entahlah, mungkin tikus dirumah ini." Jawab Jaka tenang.
"Kau pernah bilang tidak ada tikus dirumah ini kan?" Rasyid memandangku penasaran, "Apa ada sesuatu diatas?" Aku menggelengkan kepala lemah.
Ku peluk Rasyid sekuat mungkin, "Tidak ada apapun, ku mohon jangan kemana-mana dan tetaplah bersamaku, tolong!" Pintaku melemah.
Rasyid bingung melihat tingkahku, ia memandang Jaka minta penjelasan.
"Dia hanya ketakutan, mungkin." Jawab Jaka datar.
Duaaaagh!
Atapku begetar karena suara itu, entah apapun yang jatuh tapi ku yakin benda itu sangat besar hingga membuat atap kamarku begetar.
Tiba-tiba Rasyid melepas pelukanku, "Dimana suara itu berasal? Tidak mungkin tikus kan? Katakan, apa mungkin dari kamar lantai dua?" Aku menggeleng lemah dan begetar ketakutan. "Akan ku pastikan sendiri!"
Aku menahan lengan Rasyid, "Kumohon jangan pergi, aku takut."
"Jaka akan menjagamu, tetaplah disini dan akan kupastikan sendiri."
Rasyid hendak keluar dari kamarku lalu tiba-tiba aku mengejarnya, aku mencegahnya kembali.
"Baiklah! Aku akan jujur," kupandangi Rasyid dan Jaka bergantian, "Ru-Rumor i-itu benar, a-aku pemuja se-setan! Dan dia ada di kamar lantai dua menunggumu. Dia menginginkan mu Rasyid! Jangan pergi! Atau kau akan jadi korban selanjutnya!"
Rasyid membolakan matanya terkejut, dia pasti tak mempercayai ini semua.
"Jangan bicara omong kosong Vin!" Bentak Rasyid marah, "Ini bukan situasi yang tepat jika kau mau bercanda seperti-"
"Aku tidak bohong!" Aku memekik kasar, "Aku tidak mau kehilanganmu jadi jangan pergi!" Ku peluk Rasyid kembali.
Jaka mendecih tak suka, ia berlalu pergi meninggalkan kami.
"Kau mau kemana!" Bentakku padanya. Jaka menoleh kearahku begitu juga Rasyid.
"Aku yang akan pastikan sendiri jika itu memang benar."
Aku melepaskan pelukan ku pada Rasyid dan berlari kearah Jaka. Ku cengkeram kerah jaketnya kuat-kuat.
"Sudah ku katakan kalau aku pemuja setan! Apa kau mau mati?! Beri aku waktu lagi!." Bentakku marah.
"Ini adalah waktunya! Jangan coba-coba mundur atau kau akan tahu akibat dari ini semua!" Pekik Jaka marah.
Ia menghempaskan tanganku hingga aku tersungkur jatuh dan ia berlalu pergi begitu saja. Rasyid memandang bingung kearah kami berdua.
"Aku akan mengejar Jaka, tetaplah disini apapun yang terjadi." Tak lama Rasyid pun pergi mengikuti Jaka.
Aku sedih, hatiku terasa tercabik-cabik. Mataku mulai memanas, air berjatuhan dari kedua mataku.
"Akkkhhh! Hiks... hikss... hiksss..., Akhhhh!" Jeritku pasrah.
Ku hancurkan apa yang ada di dalam kamarku tanpa sisa seperti orang depresi. Sungguh aku frustrasi saat ini.
"Maafkan aku! Akhhhh! Hikss... hiksss ..!"
Beberapa menit kemudian aku masih menunggu kedatangan Jaka atau Rasyid ke kamarku, namun mereka tak kunjung datang. Ku termenung dengan mata membengkak menunggu dipojok ruangan, tak lama tetesan air jatuh dari atasku.
Kupandangi atap kamarku yang mengeluarkan air tersebut, ku raba air itu. Tenyata itu bukanlah air berwarna bening, tapi air itu sudah memiliki bau anyir dan berwarna merah.
Ini darah.
Segera aku bangkit dari duduk dan bergegas menghadapi apapun yang harus kuhadapi. Ku ambil pisau daging dari dapur dan berjalan cepat menuju lantai dua.
Masih dengan hidung memerah, mata membengkak dan tetesan air mata masih jatuh dari kedua pupilku. Ku cengkeram kuat pisau tersebut, siap menghadapi apapun yang ada didalam kamar itu. Dengan kekuatan yang kupunya di saat-saat seperti ini kuberanikan diri menggengam knop pintu bercat putih itu kuat-kuat dan membukanya, namun-
¤¤¤
Terlihat dua orang berpelukan didekat jendela kamar bernuansa putih itu. Ah iya, seharusnya itu bernuansa putih namun sudah termakan noda sehingga warna putih itu tak lagi terlihat.
Kedua orang berjenis kelamin berbeda tersebut saling berpelukan melepas semua kerinduan, sang wanita yang bergaun putih terlihat sangat berantakan dengan mata sembab dimana gaun dan tanganyat banyak bercak darah.
Sementara si pria hanya terisak haru, ini momen yang tak bisa ku bayangkan. Rasyid dan wanita itu masih bisa melepas rindu sementara Jaka terbujur kaku dengan berlinang darah. Ahh! Bahkan kepala sudah tak lagi menyatu dari badannya.
"Kau yang membunuh Jaka?" Aku murka, "Apa kau yang membunuhnya?!" Bentak ku marah.
Rasyid memandangku benci, ia mengarahkan wanita itu ke belakang punggungnya seakan-akan berusaha melindungi wanita tersebut dariku.
Aku berlari ke arah mayat Jaka. Tangan yang memegang sebilah pisau ku cengkeram kuat. Aku ingin menyiksa seseorang, tepatnya ia yang dibelakang Rasyid.
"Aku membencimu Vin! Kau tidak menepati janjimu!" Aku sangat marah dan ingin segera membunuh wanita itu secepatnya.
"Hentikan ini Vani!" Bentakan Rasyid menghentikan langkah kaki ku seketika. "Cukup sampai disini! Bagaimana mungkin kau tidak menyadari kejahatan mu sendiri? Vina ini adalah kakakmu, Saudara kembarmu Van!"
Ck! Kejahatan? Saudara kembar? Sungguh aku muak dengan semuanya.
"Kau tidak paham apapun Rasyid! Berhenti melindungi dia dan biarkan aku membunuhnya!" Aku murka.
"Vani cukup! Vina sudah menceritakan semuanya!" Pekik Rasyid murka.
"Cerita? Apapun yang diceritakan olehnya kau percaya? Kau sangat brengsek Rasyid!"
Aku berlari kearah keduanya, ku coba meraih Vina untuk mengakhiri hidupnya. Namun Rasyid selalu menghalangi, ia mencoba melindungi Vina dari amukan ku. Hingga tanpa sadar aku menyayat sedikit lengan Rasyid.
Aku terkejut, sejenak hilang fokus. Rasyid mengambil kesempatan mengubah arah. Ia memojokkan ku ke arah jendela dan membalikan arah pisau ke leherku.
Aku pasrah.
"Hentikan ini Van! Kenapa kau lakukan ini semua? Ini salah dan jalanmu sangat salah."
Aku memandangi wajah Rasyid sedekat ini, ini adalah kali pertama untukku. Wajahnya terlihat jelas dengan cahaya bulan yang menerangi malam ini serta kebisingan hujan diantara kami. Sedikit kuabaikan Vina dibelakangnya, hanya untuk kali ini. Aku meneteskan air mata haru tanpa sadar.
"Apa yang salah dengan jalanku, hiks.. hiks.. hiks!" Ujarku lemah.
"Semuanya!" Perlahan Rasyid menjauhkan diri, ia melempar pisau ke sembarang arah. "Kau dan Vina adalah saudara kembar, aku tahu kau punya penyakit mental namun bagaimana itu bisa menjadi alasan untukmu menjadi psikopat Van? setahun yang lalu kau membunuh kedua orang tuamu, mengurung Vina di kamar ini dan mencoba menyamar sebagai dirinya untuk menutupi keburukan mu. Kau juga yang membunuh beberapa warga termasuk Ulfa karena dia mengusik kehidupanmu, ini tidak benar Van. Perbuataunmu adalah keselahan!"
Aku menatap Vina, ia hanya menunduk mengalihkan wajah.
"Ck! Apa Vina yang menceritakan padamu?" Rasyid hanya mengangguk. "Dia jugalah yang membunuh Jaka?"
"Dia hanya melindungi diri karena Jaka mencoba membunuhnya!" Rasyid mencengkeram kedua bahuku, matanya menyenduh. "Kita hentikan ini Van, kau adalah adik Vina yang sudah kuanggap sebagai keluarga juga. Akui perbuatan mu dan kita bisa hidup sebagai satu keluarga seperti dulu."
Vina mendongakkan kepalanya, ia memandangku haru. Vina mengucapkan kata tanpa suara dan aku paham maksudnya.
Ku cengkeram kerah baju Rasyid kuat-kuat. "Kak Rasyid!" Ku pandangi ia seksama, "Apapun yang terjadi jangan percaya pada siapa pun kecuali pada dirimu sendiri,"
Ku dekatkan wajahku ke telinga Rasyid, "Maafkan aku yang mencintaimu hingga aku ingin mati karenanya," bisik ku padanya.
Rasyid membolakan matanya terkejut, ia menatapku bingung. Aku kembali mendekatkan wajahku pada telinganya.
"Vina bukan Vani dan Vani bukan Vina!"
Setelah itu aku mendorong tubuh Rasyid jauh-jauh dan menjatuhkan diriku dari jendela kamar ini.
Kupejamkan mata ini kuat-kuat menyentuh jantungku yang berdegup kencang, ku ingat kembali kata-kata Vina.
Mati.
'Aku mencintaimu, kak Rasyid.'
°°°
Seminggu kemudian.
Warga dikejutkan dengan kejadian mengenaskan di rumah hantu tersebut. Kematian Vani dan Jaka dirumah itu menjawab pertanyaan warga tentang sosok misterius yang tinggal di sana.
Vina sang kakak dari Vani yang mereka lihat seperti sesosok hantu dirumah, nyatanya ia hanya gadis malang yang dikurung oleh Vani yang dikenal dengan penyakit mentalnya.
Hari ini Rudi senior dari Jaka kembali mendatangi Vina dan Rasyid untuk dimintai keterangan tentang kejadian beberapa hari lalu. Ia menemui keduanya di rumah itu, sekaligus meminta Vina untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Di ruang makan mereka bertiga duduk saling berhadapan satu sama lain. Vina masih trauma dan syok berat untuk mengatakan apapun yang terjadi, ia ketakutan hingga mencengkeram baju Rasyid disampingnya kuat-kuat.
"Tidak apa, kau bisa ceritakan padanya." Ujar Rasyid menenangkan.
Vina memandangi Rudi dengan seksama dan ia siap untuk bercerita. "Setahun lalu aku baru pulang dari belanja. Saat aku baru membuka pintu aku melihat tetesan darah dari arah tangga, aku berlari sekencang mungkin namun yang kulihat hanya tubuh kedua orangtuaku tanpa kepala. Aku ingin menjerit tapi tidak bisa saat Vani mendatangiku dengan sebilah pisau ditangannya yang berlumuran darah. Aku mendekat dan mencoba menenangkannya, ia memandangiku dan menangis di pelukanku, setelahnya aku dibuat pingsan. Ketika aku sadar aku sudah berada dikamar lantai dua dengan keadaan sekujur tubuhku terikat. Vani dan Jaka mendatangiku, ia mengancam ku untuk tidak keluar kamar atau aku akan mati saat itu juga. Vani menyamar menjadi diriku dan mulai mendekati Rasyid karena ia iri padaku yang berpacaran dengan Rasyid, Vani juga selalu mengancamku dan menjadikan Rasyid sebagai bahan ancamannya. Karena itu aku tidak bisa keluar dari rencana busuk mereka."
Rasyid menggenggam tangan Vina kuat untuk menenangkannya.
"Alasan kenapa mereka menjadi seorang psikopat apakah kau tahu?" Tanya Rudi penasaran.
"Aku tidak tahu, yang ku ketahui adalah Jaka sering mendatangi Vani dan merencanakan pembunuhan pada siapa pun yang terlihat mengancam rencana mereka. Suatu hari Ulfa tetangga kami melihatku mencoba kabur dari rumah dengan keadaan mengenaskan akibat ulah Vani, aku berteriak minta tolong dan Ulfa hanya menjerit ketakutan sampai pingsan. Vani datang bersama Jaka, ia hendak membunuh Ulfa saat itu juga namun beberapa warga yang mendengar teriakannya datang. Vani dan Jaka memilih kabur dan membawaku kembali ke kamar lantai dua. Setelahnya aku disiksa dengan sadis hingga aku tidak bisa menceritakannya."
Vina terisak, Rasyid memeluknya untuk kembali menenangkan Vina. Cerita Vina berhenti sampai disitu, setelahnya Vina diantar ke kamarnya di lantai dua untuk istirahat. Rasyid mengantarkan Rudi kembali ke ruang depan. Rasyid juga meminta kepada Rudi untuk tidak memaksakan sesuatu pada Vina karena kondisinya.
Mereka berbincang sebentar sebelum Rudi pergi dari rumah itu.
"Rasyid!" Rasyid menoleh ke arah Rudi, hanya ada mereka berdua di sana sementara Vina masih di kamar tidurnya. "Aku tidak berhak mengatakan ini padamu karena aku takut akan sesuatu, namun kau berhak tahu apa yang ada dalam pikiranku." Ujar Rudi.
"Apa itu bang? Katakanlah jika itu penting untukku?" Rasyid penasaran.
"Setelah aku dan anak buahku menyelidki, kami menemukan dua buah pisau di TKP. Satu adalah pisau yang dipegang Vani untuk menyerang mu namun satunya lagi adalah pisau yang digunakan Vina untuk menyerang Jaka." Rasyid mengerutkan dahinya bingung. "Aku hanya tidak tahu kenapa pisau itu bisa ada ditangan Vina, seperti ia sudah paham dengan situasinya. Ia dibebaskan karena percobaan melindungi diri, tapi mayat Jaka dengan mayat Ulfa sangat mirip seakan-akan yang membunuh keduanya adalah orang yang sama."
"Apa maksud Abang? Aku tidak mengerti, jangan bilang maksud Abang Vina bukan korban?" Tanya Rasyid penasaran.
"Aku juga tidak bisa memahami situasinya, masih ada yang ganjal disini. Aku memang tidak mengenal Jaka selain dia anak yang sangat keras kepala. Ku akui Jaka memang sering menemui Vani dan Jaka juga terlihat menutupi sesuatu, dari cerita Vina itu sangat masuk akal. Hanya saja aku sulit percaya kenyataan ini, aku sulit percaya Jaka seperti itu."
Rasyid masih bungkam dengan kata-kata Rudi. Ia bukan tak paham hanya saja ia tak mau mengerti.
"Sudahlah, aku akan berhenti dari sini. Aku tidak mau membahas ini lagi, karena ini sangat menakutkan." Rudi menyerahkan sebuah buku catatan pada Rasyid. "Aku menemukan ini di kamar Vani, aku tidak ingin membukanya karena keputusan ku sudah bulat untuk menutupi kasus ini. Tapi kau berhak tahu, karena aku yakin didalamnya adalah kebenaran. Entah itu baik atau pahit sekalipun kau harus bisa menerimanya, Rasyid jaga dirimu."
Setelah itu Rudi pergi dari rumah itu. Tinggal Rasyid sendiri duduk di ruang tamu dengan buku kecil ditangannya. Rasyid masih mengingat kata-kata Vani sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Vina bukan Vani dan Vani bukan Vina.
Dengan keberanian yang dimiliki Rasyid, ia akhirnya memutuskan untuk membuka buku catatan kecil itu. Membaca setiap kata yang tertulis didalamnya.
Maret 2015
Hari ini dokter Hady datang menemui ku memeriksa setiap denyut nadi yang ku punya, menyuntikan aku sesuatu yang katanya sebagai penenang. Dokter Hady memberikanku obat-obatan yang katanya untuk menyembuhkan ku, tapi apakah aku harus percaya padanya sedangkan dia tak percaya padaku? Aku tidak sakit dan aku tidak gila.
Lembar berikutnya dibuka Rasyid.
Juni 2016
Aku ingin sekolah seperti kak Vina, dengan nekat aku mencuri baju seragamnya dan duduk di taman dekat sekolahnya. Tiba-tiba seorang pria menyapaku, ia terlihat seperti pria yang suka membuat onar di mataku. "Kamu bolos juga?" Tanyanya dan aku hanya diam ditempat. Pria itu mendekatiku dan memberikanku coklat sisa ditangannya, "Ini untukmu. Senang mengenalmu Vina." Ujar pria itu membaca nametag di seragamku sambil berlalu pergi menjauh dengan senyum senang mengambang di wajahnya. Aku sempat membaca namanya di nametag seragamnya, namun aku tidak sempat mengucapkan terimakasih padanya. "Terima kasih, kak Rasyid".
Aku tidak tahu kalau aku mulai menyukainya.
Lembar berikutnya kembali dibuka.
Februari 2017.
Kak Vina mengatakan jika Rasyid menyatakan perasaan padanya. "Itu kau kan? Yang disukai Rasyid dan yang ditemuinya waktu itu?" Kak Vina menatapku sinis.
"Kau menyamar menjadi diriku? Kau mempermainkannya?" Aku sedikit marah pada kak Vina.
"Kaulah yang menyamar sebagai diriku. Kau tahu aku paling tidak suka punya saudara kembar seperti dirimu!" Kak Vina membentak ku marah, ia mengambil sebuah pisau dan mencoba melukaiku seperti sebelumnya. Pada akhirnya dokter Hady datang untuk memberikan pertolongan pertama padaku, dokter Hady berkata bahwa tindakan ku menyayat nadi tidaklah benar. Ini bukan aku, sungguh aku tidak sebodoh itu.
Rasyid masih fokus pada setiap kata yang ada dialam catatan, tanpa sadar seseorang memantaunya dari kejauhan.
Agustus 2018.
Keluarga ku berniat pindah dari rumah lama ke tempat yang baru. Rumor tidak sedap menyerang keluargaku yang mengatakan bahwa kami adalah keluarga psikopat. Di tempat baru aku tidak terlalu suka, banyak tetangga menyudutkan kami. Disinilah aku bertemu Jaka, ia adalah sahabat sekaligus keluarga yang mengerti aku. Hari itu, aku melihat darah berceceran di tangga. Aku ketakutan dan ingin pergi dari rumah, kak Vina menghampiriku dengan raut murka dan pisau ditangannya. Aku berniat pergi namun ia mencegahku dan berusaha melukaiku. Saat itu Jaka datang menyelamatkanku, dengan usaha terbesar kami berhasil membuat kak Vina pingsan dan mengurungnya dikamarnya. Rumor itu benar, kaluargaku adalah psikopat.
Rasyid terkejut, ia tak ingin melanjutkan namun ia harus. Seseorang yang memantau tersebut perlahan berjalan menjauh, menuju lantai dua.
Januari 2019
Aku dan Jaka membuat skenario kami. Demi menyelamatkan kak Vina aku harus berpura-pura menjadi dia, sementara Jaka berusaha menyembunyikan kejahatan kak Vina. Malam itu kak Vina datang dengan tangan penuh darah, Jaka menghalau dia untuk mendekatiku. "Seseorang sudah melihatnya, aku harus membunuhnya." Aku membungkam mulut terkejut. Kak Vina berjalan santai ke lantai dua meninggalkan aku dan Jaka. "Kenapa kita harus seperti ini? Kau bisa terbunuh kapanpun itu," Tanya Jaka. "Sejak dulu ayah, ibu dan kak Vina seorang pemuja setan!" Jaka diam karena dia sudah tahu keadaanku sebenarnya, "Aku dan kak Vina memiliki jiwa yang sama, jika dia membunuhku maka ia akan mati juga. Kecuali aku yang memilih mengakhiri nyawaku sendiri, artinya aku membebaskan Kak Vina dari keterikatan kami." Jaka menatapku bingung. "Seseorang mati karena ini, dan ini sudah kesekian kalinya! Sementara aku harus menutupi ini dari bang Rudi." Jaka bimbang, ia mulai goyah.
"Kau tidak akan tahu seberapa menyeramkannya apa yang mereka puja! Kita harus bertahan jika ingin hidup!" Aku juga mulai goyah, ini sangat menyeramkan.
Dia, sosok itu berada di lantai dua.
Duaaagh!
Rasyid terkejut, suara itu berasal dari lantai dua. Tanpa pikir panjang ia menutup buku tersebut dan berlari ke lantai dua. Rasyid khawatir jika sesuatu terjadi pada Vina.
"Vina! Kau dimana?!" Teriak Rasyid.
Lampu padam seketika, dengan sigap Rasyid mengambil handphonenya dan menyalakan senter disana. Rasyid tidak menemukan Vina dikamarnya, segera Rasyid mencari kesegala arah tapi nihil sudah.
Pintu bercat hitam sebelah perpustakaan Vani terbuka, cahaya lilin menyala dari dalam sana.
"Vina? Apakah itu kau?" Tanya Rasyid tapi tidak ada jawaban.
Rasyid mengecek ruangan tersebut. Cahaya lilin menyebar ke seluruh ruangan, ia melihat jelas isi dari dalam kamar tersebut. Rasyid memasukinya, di sekitar dinding banyak tulisan aneh dan ukiran-ukiran yang tidak bisa dimengerti Rasyid. Didepannya ada banyak lilin berjejer dengan boneka menyeramkan membentuk sebuah pola. Juga ada beberapa sesajen berjejeran disana.
"Ini? Tempat ini?"
Blam!
Pintu tertutup kencang, seseorang berdiri di depan pintu dengan jubah hitam dan tebal menutupi tubuhnya.
"Vina? Itu kau?" Tanya Rasyid.
Sosok tersebut membuka tudung kepalanya, memperlihatkan rambut hitam dan lebat serta wajah yang sudah dipoles dengan makeup setebal mungkin. Vina masih setia mematung menghadap Rasyid, ia terlihat berbeda dari Vina yang sebelumnya lembut dan malu-malu. Ini seperti Vina yang ada di catatan Vani.
"Vina, ada apa dengan semua ini?" Rasyid berdebar cepat, ia menolak mengakui ketakutannya saat ini.
Vina membuka jubahnya, ia menggenggam sebuah pisau yang berlumuran darah. "Rasyid! Akan tiba dimana kau juga harus berkorban."
Rasyid mundur, "Kau gila! Hentikan ini Vina!"
"Vina bukan Vani dan Vani bukan Vina. Kau salah dan mempercayai yang salah," Vina semakin mendekat.
"Hentikan Vina!" Teriak Rasyid bergetar ketakutan.
"Yang berhak menghentikan ini bukan aku tapi dia." Tunjuk Vina pada sosok dibelakang Rasyid.
Rasyid menoleh, melihat arah tunjuk Vina. Ia membolakan matanya terkejut, sosok itu ia melihatnya. Itu adalah dia, sosok yang dipuja dan ditakuti yang mengharapkan korban dari pemujanya. Dia si sosok yang menyeramkan.
Tiba-tiba,
Sraaaak!
Darah berlumuran merubah warna lantai. Angin berhembus kencang dan hujan mendadak turun dari langit.
Buku kecil terhempas keluar dari tempat persembunyian, hembusan angin membukanya memperlihatkan apa didalam buku tersebut.
Juni 2019
Aku melihat sosok itu dari lubang kecil di ruang baca. Aku ketakutan dan berteriak kencang, kak Vina datang menghampiriku. "Ia meminta mayat Rasyid. Serahkan Rasyid padaku malam ini." Pinta kak Vina. Aku terpaku diam, ini tidak mungkin. "Kau menyukainya kak! Bagaimana bisa kau mengorbankan dia!" Aku marah dan murka, "Kau sudah melihatnya bukan, dia lebih tidak bisa di tolak dari pada perasaan ini. Sejujurnya kaulah yang menyukai dia bukan aku. Aku lebih mengutamakan tuanku." Kak Vina duduk bersimpuh, sosok tersebut menghilang dari bayang-bayang. "Baiklah! Aku, aku akan menggantikan kak Rasyid. Aku akan membebaskan mu dari ikatan kita, sebagai balasannya kau harus melepaskan kak Rasyid." Kak Vina menatapku dan tersenyum iblis, lalu ia pergi begitu saja.
Aku mencintaimu kak Rasyid.
Aku akan mati untukmu membawa perasaanku seorang diri.
Jangan percaya pada siapapun selain dirimu sendiri kak.
Karena Vina bukan Vani dan Vani bukan Vina.
Tanpa kau sadari mungkin ada sosok yang memantaumu, memperhatikan setiap kegiatanmu. Bahkan ikut bersamamu membaca cerita ini.
Karena kau tidak sendirian.
End
Keren kak