Selamat Membaca π
***
“Mas, gak usah lembur aja...”
Ibram menghembuskan napasnya perlahan kala mendengar suara sendu Moira. Matanya menatap wajah Moira yang terlihat murung, sementara focus istrinya itu tetap pada aktivitasnya yang sedang mengancingkan kemeja Ibram.
Tangan Ibram terulur untuk menangkup wajah Moira dan mendongakannya dengan gerakan lembut agar mereka bertemu pandang. Sontak aktivitas Moira terhenti.
“Aku cuma sampe jam 2,” terang Ibram. “Lagian, kamu juga mau pergi ‘kan sekarang? Nanti aku jemput, ya.”
Bibir Moira mengerucut. Rasanya enggan melepas Ibram untuk lembur di hari sabtu ini. Namun, mau bagaimana lagi toh Ibram sudah menandatangani lembur tersebut dan lagi dirinya pun ada janji bersama kawan sekelompok untuk makan-makan merayakan final project mereka yang sudah rampung yang merupakan salah satu tugas pengganti UAS yang membebani.
“Ah, ya, ingat!” Ibram menunjuk wajah Moira dengan telunjuk kanannya. “Jangan dekat-dekat dengan Akmal!”
“Dia gak ikut kok.”
“Kok kamu tahu? Kamu WA-an sama dia?” tuduh Ibram dengan mata yang menyorot Moira tajam. Membayangkan itu membuat urat sarafnya tegang.
“Dia WA ke grup, Mas,” jelas Moira malas. “Kalo gak percaya cek aja HP Moira.”
Seketika air muka Ibram kembali normal. Tidak perlu mengecek ponsel Moira sebab sepenuhnya Ibram percaya pada istrinya. Ibram merupakan tipe pria yang menghargai privasi. Oleh sebab itu, Ibram tidak pernah mengecek ponsel Moira, begitupun sebaliknya walau Moira gemas sekali ingin memeriksa ponsel Ibram.
“Kamu mau berangkat bareng sekarang?” Ibram melirik arloji yang melingkar dipergelangan tangannya yang jarum panjangnya baru menunjukkan pukul 7.30. “Tidak terlalu pagi?”
Moira menggeleng pelan. “Anterin ke rumah Fara aja, Mas. Moira lagi males naik ojol.”
“Yah, padahal rencananya hari ini aku mau pake motor. Udaranya lagi bersahabat.” Ibram menunjuk keluar jendela dengan dagunya. Terlihat langit mendung khas bulan Desember.
“Kalo sama Mas Ibram naik motornya, Moira sih enggak males,” ujar Moira sambil memeluk Ibram dengan senyum yang cerah berlawanan dengan cuaca di luar sana.
“Aku yang males sama kamu−” Ibram mencubit hidung kecil Moira dengan gemas. “−kalau naik motor suka tak mau peluk!”
“Aduh, sakit!” pekik Moira sambil mencoba singkirkan tangan nakal Ibram pada hidungnya. “Geli tahu nempel-nempel gitu ke punggung orang.”
“Orang?!” Giliran Ibram yang memekik.
“Maksudnya−ah, gitulah pokonya geli aja!” kesal Moira sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Ibram.
“Geli apa enak?!” goda Ibram dengan tatapan jenaka, sementara bibirnya tengah tersenyum dengan bibir bawah yang ia gigit.
Moira mengernyitkan hidungnya, sementara pipinya sudah memerah tahu betul maksud dari perkataan prianya. Sejurus kemudian tangannya tidak tinggal diam, ia cubit pinggang Ibram dengan kuat hingga pria itu menggeliat kesakitan.
“Mulutnya mulai nakal!” semprot Moira.
***
“Mas, buka dulu helm-nya,” pinta Moira setelah sampai di depan gerbang rumah milik Fara, setelah terlebih dulu turun dari kuda besi Ibram.
Ibram menurut tanpa protes, ia buka helm full face yang tadi melindungi kepalanya. Baru saja pria itu melepas helm-nya secara tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pipinya membuat dirinya terperangah untuk sepersekian detik.
“Lihat, siapa yang mulutnya nakal sekarang,” ujar Ibram yang kini tengah tersenyum miring memandang istrinya yang sedang tersenyum tertahan karena malu oleh perbuatannya sendiri.
Moira tak membalas perkataan Ibram. Salah tingkah, dirinya buru-buru meraih tangan kanan Ibram dan menciumnya. Kemudian dengan gerakan cepat langsung mengucap salam dan lari begitu saja meninggalkan Ibram yang sekali lagi terperangah karena sikapnya.
Ibram menggeleng kecil dengan senyum yang tak lepas kala melihat Moira yang kini sudah masuk ke dalam gerbang berwarna hitam yang berjarak 2 meter dari tempat Ibram berada.
Moira, Moira. Pria mana yang bakal tidak luluh karena tingkahmu?!
Dalam hati Ibram bersyukur orang seperti Moira memeluk iman yang teguh dan mengenakan kain tudung untuknya agar mengerti batasan hingga istrinya itu tahu kepada siapa dia harus bertingkah yang demikian.
Kalau tidak, bisa dipastikan suaminya bukan yang pertama yang diperlakukan seperti itu. Na’udzubillahi min dzalik! Ibram menggelengkan kepalanya kuat-kuat memikirkan hal yang iya-iya seperti itu.
***
Moira sedang berusaha memuntahkan isi perutnya dengan Fara yang sedang membantu memijat tengkuknya. Rasa mual ini luar biasa mencekik kerongkongan Moira. Perutnya benar-benar menolak makanan penutup yang tadi begitu menggoda indera penciumannya.
“Lagian sih lo udah tahu gak doyan duren masih aja maksa pengen makan,” gerutu Fara entah yang keberapa kali Moira tidak hitung, namun yang pasti sahabatnya itu terus mengulang-ulang kalimatnya itu.
“Es krimnya keliatan enak, baunya juga kayak yang enak,” terang Moira yang sudah berhasil memuntahkan isi perutnya meski rasa mual masih dirasakannya.
Moira menyenderkan punggungnya pada tembok, tenaganya seperti terkuras habis. Napasnya bahkan tersengal dan keringat dingin keluar dari pori-porinya.
Fara terdiam sejenak ragu untuk suarakan pikirannya yang datang secara tiba-tiba. Tetapi, melihat kondisi Moira yang sekarang dan beberapa hari ke belakang rasanya perlu ia utarakan dugaannya tersebut.
“Moira…,” panggil Fara. “Lo… gak pake kontrasepsi?”
“Kon−apa?” Moira balik bertanya tidak mengerti, sementara tangannya masih memegang perutnya yang masih mual.
“Kontrasepsi.” Fara kembali mengulang.
“Iya apa itu?!” tanya Moira penasaran.
“Lo gak tahu?!” Kini Fara terheran suaranya lebih tinggi dari sebelumnya dengan mata yang membulat sempurna.
Moira langsung menggeleng dengan dahi yang berkerut. Merasa aneh pada Fara yang bersikap berlebihan barusan.
Fara berdecak sambil menggelengkan kepalanya dramatis. “Gue bingung kenapa masih bocah begini udah kawin sih!” Fara menghampiri Moira. “Itu tuh buat mencegah kehamilan kayak suntik KB gitu misalnya.”
Moira kemudian ber-oh ria, tetapi detik berikutnya tubuh Moira menegang dan menyambar lengan Fara lalu mencengkeramnya. Bahkan, kini matanya membola, kemudian memekik, “Ya Allah, Fara!”
“Eh, kenapa lo?” Fara balas memekik melihat ekspresi Moira seperti itu membuatnya menjadi gusar.
Moira melepas cengkeramannya pada Fara dan kini menutup wajahnya dengan satu tangan. “Kok Moira bloon, ya?!” desahnya.
“Emang,” sahut Fara santai. “Kapan lo terakhir datang bulan?”
“Itu dia, Moira enggak inget!” Tangan Moira turun hingga kini terlihat wajahnya yang kebingungan.
“Allahu, Moira! Ogeb emang gratis tapi gak usah diborong gitu napa. Ya udah kita ke dokter aja periksa langsung,” usul Fara.
***
Tahu bagaimana rasanya ketika akan membuka surat kelulusan sekolah?
Tahu bagaimana rasanya ketika menanti pengumuman SNMPTN/SBMPTN/SMMPTN?
Atau, tahu bagaiamana rasanya ketika calon suami mengucapkan akad?
Seperti itulah perasaan Moira saat ini ketika sedang mencoba untuk mengetahui apakah ada nyawa didalam rahimnya. Ketika rasa cemas, gelisah, sedih, haru, dan gembira bercampur menjadi satu. Tangannya berubah menjadi dingin dan berkeringat, berulang kali Moira meremas celana kulotnya sekadar menghilangkan kegugupannya namun tak kunjung berhasil.
Bahkan, jantungnya saat ini berdebar lebih cepat dari biasanya sementara Fara hanya berdiam diri dengan santai sebab sudah yakin dengan dugaannya. Sementara Moira, takut kemungkinan rasa kecewa yang didapat.
Moira dan Fara memutuskan untuk pamit lebih dulu pada kawan kelompoknya yang lain. Tahu kondisi Moira mereka mengijinkan dengan mudah meski ada nada kecewa sebab belum puas menghabiskan waktu bersama.
Bersamaan dengan perasaan gelisah Moira tiba-tiba netranya menangkap sosok yang familier dikejauhan yang perlahan mendekat.
“Eh, lo di sini.” Suaranya mengudara kala tiba di hadapan Moira dan Fara.
“Ngapain lo ke sini?” Fara yang bertanya pada Akmal.
“Nganter kakak gue yang sekarang kayaknya lagi di dalem,” terangnya.
Fara mengangguk-anggukan kepala sebagai balasan. Sementara Moira hanya berdiam diri bahkan sebisa mungkin tidak kontak mata dengan laki-laki itu teringat pesan Ibram tadi pagi.
“Moira yang mau periksa?” Suara Akmal kembali terdengar.
“Ya kali gue.” Fara yang kembali menimpali.
“Kali aja kan lu busung lapar mesti di USG,” jawab Akmal dengan mata yang tertuju pada Moira yang tak kunjung bersuara. “Moira, lu lagi sakit gigi?”
Moira sontak menggeleng. “Enggak,” jawabnya singkat.
“Kirain,” gumam Akmal.
Laki-laki itu kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Moira. Moira ingin menghindar tetapi sebisa mungkin ia bersikap biasa saja tidak ingin terlalu kentara meski di mata Akmal sangat kentara sekali.
Setelah percakapan barusan hening berkepanjangan hingga Fara memutuskan untuk ke toilet pamit pada Moira. Awalnya Moira ingin ikut tetapi urung dilakukan karena sebentar lagi merupakan gilirannya.
“Lo hamil?” tanya Akmal membuka percakapan kembali.
“Aamiin,” jawab Moira pelan.
“Eh, gue nanya bukan lagi doa.” Akmal protes.
“Belum tahu makanya ini mau periksa.”
“Bahagia lo ama dia?”
Moira sontak menoleh dengan sorot tajam. “Alhamdulillah,” jawab Moira yang malah disambut tawa sumbang Akmal.
“Udah enggak selingkuh lagi?”
“Alhamdulillah.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Moira.
Mendengar kata selingkuh sejujurnya membuat Moira terganggu, luka di hatinya seperti siap menganga kembali. Tetapi, kemudian ia singkirkan jauh-jauh pikiran itu sebab rasanya saat ini Ibram sudah mencintainya dan tak akan mengkhianatinya lagi. Meski sejujurnya bukan Moira saja yang terkhianati.
Akmal tentu masih teringat kejadian di mal kala itu yang memergoki Ibram bergandengan tangan dengan wanita lain. Rasanya masih tidak rela mengetahui fakta Moira masih bertahan hingga saat ini dengan pria seperti itu. Bahkan, sekarang akan memeriksa kandungannya.
Ponsel Moira berdering, terlihat nama suaminya terpampang di layar ponselnya tengah mengajaknya video call. Akmal yang melihat dengan ekor matanya sontak merapatakn duduknya lebih dekat pada Moira yang bersamaan dengan itu Moira menerima panggilan video dari suaminya.
Wajah Akmal yang ikut tampil di layar ponsel Moira sontak mengejutkan Moira dan Ibram. Dengan gerakan cepat Moira memutuskan sambungan dan menoleh pada Akmal dengan tatapan marah.
“Akmal apaan sih!”
Akmal hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh seolah kejadian barusan tidak berarti apa-apa baginya. Darah Moira berdesir, ingin rasanya memaki laki-laki di hadapannya sekarang juga tetapi kemudian terdengar namanya dipanggil.
Moira menarik napasnya mencoba meredam emosi dan mengabaikan ponselnya yang kembali berdering. Merasa terganggu oleh deringan ponselnya, Moira memutuskan untuk mematikan ponselnya dan akan menjelaskan pada Ibram setelah keluar dari ruang pemeriksaan.
Rasa gusarnya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Pikirannya jadi bercabang. Memikirkan bagaimana marahnya Ibram nanti.
Allahumma laa sahla illaa maa ja’altahu sahlaa wa anta taj’alul hazna idza syi’ta sahlaa (Ya Allah, tidak ada kemudahan yang Engkau buat mudah. Dan Engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah) (HR. Ibnu Hibban).
***
Sementara diwaktu yang sama dilain tempat, seorang pria tengah berdiri dengan gusar. Dirinya beberapa kali memaki terlebih mengetahui fakta bahwa ponsel Moira yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi.
Pikirannya sudah ke mana-mana, apalagi terpampang wajah bocah yang selama ini dibencinya berada di layar yang sama dengan Moira. Wajah yang tadi pagi diwanti-wanti olehnya untuk Moira jauhi.
Ibram tidak bisa berpikir. Kemudian dengan kasar ia meraih kunci sepeda motornya dan meninggalkan tempat kerjanya dua jam lebih awal. Sang atasan yang melihat tak bisa mencegah sebab melihat api kemarahan yang menguar dari Ibram.
Saking kalutnya, Ibram menarik gasnya melebihi batas normal. Ia melesat dalam kecepatan 120km/jam.
Sepanjang jalan, pikirannya dijejali oleh prasangka buruk. Akal sehatnya sudah hilang digantikan dengan kebencian yang berapi-api. Ban motornya melibas jalanan dengan tidak hati-hati.
Perjalanan di siang hari sedikit lenggang hingga Ibram lupa menarik remnya kala traffic light di atas sana menunjukan warna merah. Suara klakson dari mobil besar tak menghentikan kuda besinya yang melaju cepat hingga tepat di persimpangan, kuda besinya menyentuh bagian depan mobil yang bermuatan beton itu sehingga membuatnya terpental berkilo-kilo meter jauhnya.
Sakit luar biasa menjalar tubuhnya hingga matanya tidak kuat menahan dan kemudian gelap menyelimutinya.
***
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan