Memakan sepiring mie instan dengan segelas susu merupakan kombinasi yang sempurna untuk menaikan asam lambung di pagi hari. Susah payah Moira coba keluarkan isi perutnya di tempat cuci piring. Ada perasaan tidak enak, sebab Ibram sedang menikmati sarapannya di meja makan yang tentu jaraknya tidak jauh dari tempat Moira yang sedang muntah-muntah.
Tiba-tiba tangan Ibram memijat tengkuk Moira, membantu gadis itu untuk keluarkan semua isi perutnya.
“Mas, gak usah ke sini Moira malu,” ucap Moira tidak enak sambil mencoba menepis tangan Ibram. “Maafin ya, sarapan Mas Ibram jadi keganggu.” Moira masih memuntahkan isi perutnya, matanya kini memerah dan pandangannya sedikit kabur.
Saat cairan kuning yang terasa pahit melewati kerongkongannya dan keluar dari mulutnya, rasa mual itu telah usai. Moira sedikit merasa lega, kemudian ia membalikan tubuhnya dan bersandar pada kitchen set dan berhadapan dengan prianya.
“Sudah kubilang jangan makan mie,” ucap Ibram sambil menyentil kening Moira pelan.
Moira mengusap keningnya yang malang. “Iya maaf, abis kayak kepengin banget,” akunya dengan nada lemah.
Tangan Ibram terangkat lagi dan diarahkan pada kening Moira, tetapi gadis itu dengan gerakan cepat memundurkan kepalanya, sudah berprasangka buruk Ibram akan menyentilnya kembali. Terdengar Ibram mengembuskan nafasnya pelan.
“Aku hanya ingin mengecek suhu tubuhmu.”
“Eh.” Moira tersenyum canggung, menyesal sudah berprasangka. Astaghfirullah.
Ibram mengulang niatnya kembali. Tangan besar itu menempel pada kening Moira hingga buat gadis itu merasakan kenyamanan saat telapak tangan Ibram menyentuhnya.
“Kamu hangat,” gumam Ibram kemudian menarik kembali tangannya. Pandangannya kini beralih pada mata Moira dengan tatapan yang tak terdefinisikan.
Moira melakukan hal yang tadi Ibram lakukan. Keningnya memang sedikit hangat, tetapi agaknya ia tidak merasakan apapun selain rasa mual yang hebat tadi. Ah, ya! Ia merasakan dingin yang tidak nyaman pada suhu tubuhnya. Apa mungkin dirinya meriang? Mie ternyata bukan penyebabnya.
“Kita ke dokter,” putus Ibram setelah beberapa detik berpikir.
Moira menggeleng. “Moira gak apa-apa, kayaknya cuma meriang.”
Ibram tak langsung menjawab. Pandangannya dibiarkan tenggelam beberapa detik pada mata gadis bertudung coklat di hadapannya. “Baiklah, kalau begitu kamu jangan berangkat ke kampus dulu hari ini,” perintahnya.
Tawa Moira lolos, ia merasa sangat lucu atas sikap Ibram yang berlebihan. Yang benar saja hanya karena meriang sampai tidak masuk kuliah!
“Apanya yang lucu?” Ibram mengangkat sebelah alisnya.
Moira menangkap kedua pipi Ibram dengan paksa hingga membuat pria itu sedikit menunduk. Kini kening Ibram juga berkerut tak mengerti tindakan Moira. Ah, jangan-jangan gadisnya itu ingin memberikan ‘kekuatan’ di pagi hari. Senyum Ibram seketika mengembang.
Tak seperti yang dibayangkan, Moira malah menggosok kedua pipi Ibram dengan gemas. “Jangan menganggap segala sesuatu terlalu serius, wajah ini nanti tambah tua!”
Mata Ibram membulat berbarengan dengan aksinya yang singkirkan tangan Moira dari wajahnya. Senyum yang tadi mengembang hilang berganti jengkel yang tidak tertolong. “Oh, jadi aku tua,” ucap Ibram tersinggung. “Kenapa kamu mau menikahi pria tua ini?!”
Moira menganga, mengapa pembahasannya jadi ke sana?
“Kenapa masih tanya? Kita ‘kan dijodohkan.” Moira meniru ucapan Ibram dulu dengan sudut bibir yang tertarik sebelah.
Ibram mendengus, tak suka Moira yang meminjam ucapannya dulu. “Andai bukan denganku, apa kamu mau menerimanya?” Pertanyaan Ibram semakin melebar dari pembahasan. Entah mengapa ia jadi tertarik untuk mengulik. Ralat, untuk mencari masalah tepatnya.
“Moira gak suka berandai-andai.”
“Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Terlepas dari wasiat Ayah.” Lagi, Ibram makin penasaran.
Perjodohan? Sampai dengan saat ini Ibram masih menganggap perjodohan? Mungkin kata-kata itu dulu tak begitu mengganggu Moira, tapi saat ini setelah mereka jalankan pernikahan yang sesungguhnya agaknya tidak pantas pria itu ucapkan demikian.
Moira menunduk, bibir bawahnya ia gigit pelan. Telinganya kembali terngiang ucapan Lala yang terheran bagaimana Ibram bisa dengan cepat melupakan Anindira. Pertanyaan yang seharusnya Moira tanyakan beberapa minggu lalu, tetapi coba ia lupakan dan tidak ambil pusing. Namun, saat ini pertanyaan itu kembali mengganggunya.
Perjodohan. Moira mendengus, bukankah terdengar seperti pria itu belum menerimanya sebagai istri yang ikhlas dia nikahi?
“Kenapa tidak menjawab?” Ibram kembali bersuara dengan nada menuntut.
“Perjodohan,” gumam Moira. Kepala yang sedari tadi tertunduk kini kembali terangkat dan menatap telaga madu di hadapannya yang tengah menatapnya dengan dalam, menanti dirinya untuk membuka suara. “bukankah gak ada pilihan lain selain menerima? Perjodohan dirancang untuk memaksa, bukan memilih.”
“Maksudmu?” tanya Ibram cepat.
Moira mengedikan bahu. “Udah jangan dibahas, Moira mau berangkat sekarang,” ucap Moira seraya melangkahkan kakinya meninggalkan Ibram dengan ribuan pertanyaan.
***
“Fara,” panggil Moira pelan sebab saat ini mereka sedang dalam kelas, Moira takut suaranya terdengar oleh dosen yang sedang mencorat-coret papan tulis dengan angka-angka yang tak Moira mengerti sebab sedari tadi ia melamun dan tak memperhatikan.
Fara yang tengah menulis, menghentikan aktivitasnya dan menengok pada Moira yang tengah menatap lurus ke depan. “Lo manggil gue?” Fara memastikan takut salah dengar.
Moira mengangguk dan kini mengalihkan pandangannya pada Fara. “Kamu pilih mencintai atau dicintai?”
Tawa hampir lolos dari bibir Fara sebab merasa konyol tiba-tiba mendapatkan pertanyaan seperti itu. “Kesambet lo?” ledek Fara.
Moira menggeleng dengan wajah datar. “Jawab,” perintahnya.
Fara diam sejenak dengan pandangan menyelisik. Detik berikutnya Fara menyimpulkan bahwa Moira sedang ada masalah, namun tak mau bercerita secara eksplisit. “Mencintai,” jawab Fara.
“Kenapa? Bukannya mencintai punya risiko besar untuk sakit hati?” Wajah datar Moira berubah menjadi raut penasaran.
“Cinta yang timbulkan sakit hati gak pantes disebut cinta, itu namanya menuntut. Cinta itu sebuah keikhlasan.” terang Fara. “Memilih mencintai karena di dalamnya ada rasa ikhlas dan ketulusan. Kalau dicintai rasanya malah bikin kita berbuat semena-mena, merasa sudah dicintai kita jadi kurang menghargai.”
Moira bertafakur. Apakah dirinya yang memikirkan Ibram mencintainya atau tidak termasuk ke dalam menuntut? Artinya perasaannya ini tidak pantas dikatakan cinta.
Astaghfirullah. Moira memejamkan matanya sejenak, coba netralkan perasaannya. Sungguh ia anggap dirinya ini paling ikhlas. Dengan jemawa ia anggap demikian, padahal nyatanya tidak!
“Jangan mengejar cinta manusia, belajar dari kisah Zulaikha. Ketika ia mengejar cinta Yusuf, semakin jauh Yusuf darinya. Tetapi, ketika ia mengejar cinta Allah, Allah datangkan Yusuf untuknya.” Fara mengingatkan. “Cintailah Allah dulu, maka Allah akan datangkan cinta manusia dengan cara yang mengagumkan.”
“Kamu benar,” lirih Moira. Mungkin selama ini belum sempurna ia kejar cinta Allah, yang dilakukannya hanya memikirkan bagaimana manusia mencintainya, hingga lupa bagaimana ia mencintai Penciptanya.
Fara berdecak. “Duh, sebenernya gue malu ngomong begitu,” desahnya.
“Lho, kenapa?” Moira terheran.
“Gue ‘kan jomlo maemunah!” ucapnya pura-pura bersedih. “Gimana bisa lo yang udah nikah malah konsultasi ke gue?!”
Moira terkekeh. Benar juga, tetapi Fara memang konsultan terbaik. Tanpa banyak tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, ucapan Fara tak benar-benar menghilangkan kegelisahannya. Dalam rumah tangga tentunya cinta harus merupakan hubungan dua arah bukan?!
***
Tak terasa. Ah, ucapan yang menggambarkan tanda akhir zaman. Namun, memang demikian yang dirasakan. Hari pertunangan Nadin dan Andi yang rasanya baru direncanakan sebulan lalu kini sudah tiba pada masanya.
Semua keluarga tentu hadir, dari pihak perempuan maupun pria. Pertunangan diadakan di sebuah restoran ternama dengan tamu berkisar 50 orang. Yang diundang hanya keluarga dekat dan kerabat.
Di depan sana, seorang dari pihak pria tengah menerangkan maksud dari acara ini, yakni meminang Nadin.
Meski tunangan tidak dikenal dalam islam, tetapi apabila dilakukan sesuai syariat maka diperbolehkan. Seperti tukar cincin, Nadin dan Andi tidak menukar langsung ke jari-jari mereka, akan tetapi diwakilkan oleh ibu masing-masing. Lalu, pernikahan akan dilakukan tiga bulan kemudian sesuai kesepakatan yang telah dilakukan barusan. Pihak pria yang memberi tanggal.
Terlihat Nadin tersenyum semringah, tentu ini adalah kebahagiaan bagi setiap wanita.
Moira yang sedari tadi memainkan telunjuk Ibram kini menghentikan aktivitasnya. Air mukanya berubah, wajahnya tertunduk dalam. Begitu indah proses seseorang untuk menggapai sakinah, iri Moira. Sejurus kemudian hatinya beristigfar tiada henti, kepalanya ia geleng kuat-kuat. Mengapa akhir-akhir ini perasaannya jadi seperti ini?
Ibram yang memperhatikan, tergelitik untuk bertanya tetapi urung dilakukan dan memilih focus ke depan.
Setelah acara pertunangan selesai, selanjutnya adalah acara makan malam. Seporsi sate yang di hadapan Moira yang diambilkan oleh Ibram sungguh menggugah selera, tetapi mengapa rasanya malas untuk menyentuhnya. Kini ia malah merebut sendok Ibram yang berisi mie goreng yang baru saja hendak masuk ke dalam mulut pria itu.
“Kalau mau bilang, jangan main rebut,” protes Ibram yang tak mendapatkan respons apapun dari Moira. Dengan santai gadis itu menyantapnya.
“Ibram,” sapa seseorang yang sontak membuat Ibram menelengkan kepalanya.
“Budhe,” balas Ibram. “Apa kabar?”
Moira ikut menoleh dan mendapati seorang wanita yang sepertinya lebih tua sedikit dari Bunda.
“Baik,” jawab wanita itu. “Ini istri Ibram?” tanyanya sambil memegang pundak Moira.
“Iya, Budhe,” jawab Moira sambil memegang punggung tangan wanita yang dipanggil Budhe itu.
“Pasti kamu enggak kenal, ya?!” tebaknya. “Aku Dian kakaknya Lita yang di Jepara, dulu waktu nikahan kalian enggak dateng,” terangnya.
“Moira, Budhe.” Moira memperkenalkan diri dengan senyum hiasai wajahnya.
“Gimana udah isi belum?” tanya Dian.
Air muka Moira kembali berubah. Tahu betul maksud dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang akan dilontarkan oleh siapapun pada pasangan yang belum memiliki anak. Kini pandangan gadis itu tertuju pada Ibram. Pertanyaan itu kembali mengusik kegelisahannya.
Moira ingat betul ia pernah berkata ingin mempunyai anak dari Ibram, tetapi dengan otomatis ia izinkan Ibram menikah kembali. Apakah itu masih berlaku? Naudzubillah, Moira tidak ingin!
“Doakan, Budhe,” ucap Ibram kala Moira tak kunjung bersuara.
Moira terus pandangi telaga madu itu. Prasangka buruk terus menghantuinya, apakah ucapan Ibram itu mengindikasikan bahwa ia betul-betul menginginkan seorang anak atau inginkan izin Moira?
Ibram kini menatap penuh tanya pada Moira yang tengah tenggelam dalam kegelisahannya.
***
Tubuh Ibram tersentak saat gelas hampir saja mengenai bibirnya. Kehadiran Moira yang tiba-tiba memeluknya dari belakang mengagetkannya. Ibram pikir gadis itu tidak mengikutinya ke dapur dan pergi ke kamar. Dua menit yang lalu mereka baru tiba di rumah selepas dari acara pertunangan Nadin.
Jika Moira melakukan ini maka sudah dipastikan ada yang mengganggu pikirannya, tebak Ibram.
“Selain cemburu ternyata hobimu yang lain adalah menggoda, ya?!” canda Ibram basa-basi yang tak mendapatkan respons apapun. “Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Ibram kemudian.
Moira yang tenggelamkan wajah di punggung Ibram kini mendongak, apakah Ibram sudah bisa membaca pikirannya?
“Soal anak−”
“Kamu tidak perlu memikirkannya,” potong Ibram. “Kalau sudah saatnya nanti pasti dikasih. Lagi pula aku tidak menuntutmu, bukan?”
Moira menggeleng. “Bukan itu,” lirih Moira. “Moira takut.”
Ibram menelengkan wajahnya meski hal itu tak membuatnya dapat melihat Moira. “Apa yang membuatmu takut?”
“Mas Ibram,” jawab Moira langsung.
Ibram tertawa pelan. “Takut kok meluk? Bukankah harusnya aku yang berkata demikian. Kamu seperti rubah kecil.”
Moira sama sekali tak ada niatan untuk membalas candaan Ibram. Ada sesuatu yang sangat ingin ia bahas. Tangannya semakin erat memeluk Ibram. “Kalau Moira punya anak, apa Mas Ibram akan menikah lagi?”
Tubuh Ibram sedikit menegang, dari mana Moira dapatkan pertanyaan itu?
Tangan Ibram coba lepaskan jeratan Moira, tetapi tidak berhasil sebab gadis itu makin menjeratnya. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
Mata Moira dibiarkan terpejam sejenak, kemudian ia telan salivanya sebelum berkata, “Masih ingat dulu perjanjian kita?”
Ibram menautkan kedua alisnya, matanya diarahkan ke atas kanan coba mengingat. Sejurus kemudian ingatan itu datang. Tangannya sekuat tenaga lepaskan jeratan Moira. Kini mereka berdua saling berhadapan. Ibram menatap tajam Moira yang saat ini tengah tertunduk.
“Moira perjanjian itu sudah batal!” desis Ibram seraya mencengkeram bahu Moira.
“Tapi….” Moira mendongak, menatap mata elang itu. “Apa Mas Ibram punya perasaan pada Moira, seperti perasaan Mas Ibram pada Anindira?”
Cengkeraman Ibram mengendur. Ibram bertanya pada dirinya sendiri, apa demikian? Tetapi rasanya tidak. Perasaannya pada Moira, sungguh berbeda dengan apa yang dia rasakan pada Anindira dulu.
Ibram hendak merengkuh tubuh Moira, namun gadis itu menahan lengan kekar itu.
“Kepastian bagi seorang perempuan tak hanya dibuktikan dengan perilaku, tetapi juga dengan lisan.” Malam ini Moira menjadi penuntut. “Mas Ibram jawab iya atau tidak, Mas Ibram punya perasaan pada Moira seperti perasaan Mas Ibram sama Anindira?!”
“Moira, aku−”
“Jawab!”
“Tidak.” Akhirnya pertanyaan Moira terjawab dengan kecewa.
***
Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan