Selamat membaca π
ΫΫΫ
Seberapa besar ujianmu? Sebesar itulah kualitasmu. Allah memang seromantis itu. Seperti dalam ayat cinta-Nya, bahwa Dia tak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Lalu untuk apa Allah kasih ujian? Untuk mengajarkanmu kesabaran. Mungkin semua orang bisa menegakan shalat, tetapi tak banyak orang yang bisa bersabar.
Moira pun sedang belajar menerima semua takdir yang Allah berikan kepadanya dengan sabar. Sebab, daun gugur saja atas izin Allah, apalagi dirinya makhluk paling sempurna yang Allah ciptakan.
Siapa pun orang yang masuk ke dalam hidup Moira, sekecil atau sebesar apapun perannya, sudah Allah tuliskan. Apapun perkara yang menimpa hidupnya, sepenting atau seremeh apapun, sudah Allah tuliskan juga. Lalu, untuk apa dirinya merasa khawatir? Sedang Allah sudah perintahkan untuk sabar dan shalat sebagai penolongnya.
Untuk itu, Moira tak akan menyerah meraih Ibram yang tak tergapai. Menyentuh Ibram yang tak terlihat. Memeluk Ibram yang berduri.
Masa lalumu adalah milikmu. Sedangkan masa depanmu adalah milikku. Ikrar Moira sebagai seorang istri yang ingin mempertahankan pernikahannya.
***
Mulut yang ingin terbuka memanggil nama suaminya itu urung dilakukan. Ia hendak mengajak suaminya makan malam. Dilihatnya sang suami tengah berlari dengan panik keluar dari kamarnya. Moira mematung dalam posisinya yang tengah keheranan sambil mengerutkan dahi.
Detik berikutnya Ibram kembali ke atas. Lalu, tanpa aba-aba dulu pria itu menarik tangan Moira hingga membuat tubuh kecilnya seperti melayang.
“Eh, Mas Ibram hati-hati!” protes Moira sambil berusaha mengimbangi Ibram yang mengajaknya berlari. “Kalau Moira jatuh gimana?!” teriaknya lagi sambil menuruni tangga.
“Mama masuk rumah sakit!” pekiknya dengan nafas memburu.
“Innalillahi!” ujar Moira terkaget. “Ayo Mas Ibram cepet!” Kali ini Moira yang mendahului Ibram kala kakinya menginjak anak tangga terakhir.
Baru beberapa langkah kaki Moira mendahului Ibram. Tiba-tiba pria itu berhenti membuat Moira yang menggandeng tangannya tertarik ke belakang. “Tunggu dulu!” teriaknya.
“Kenapa, Mas?” jawab Moira cepat dengan nafas yang terengah-engah.
“Kamu belum kerudungan!” Tangan Moira refleks memegang rambutnya.
“Astaghfirullah!” Sejurus kemudian Moira berlari menyingkirkan Ibram yang menghalangi langkahnya.
Dengan langkah kaki seribu Moira menggunakan jaket agar menutupi baju pendeknya, lalu menggunakan khimar kecil. Dilihat bawahannya, dan dia rasa aman sebab tengah menggunakan celana kulot.
Kemudian dia berlari lagi menuju bawah kala suaminya meneriaki namanya tak sabaran.
“Ayo cepet, Mas!” ucap Moira tepat saat bokongnya menyentuh jok penumpang.
Dalam hati Moira terus berdoa, semoga Bunda tidak kenapa-kenapa. Karena terlalu panik Ibram sendiri tidak tahu oleh sebab apa Bunda bisa masuk rumah sakit. Saat menerima telepon dari Abi, baru saja Abi bilang ‘Bunda masuk rumah sakit Harapan’ suaminya itu langsung mematikan telepon secara sepihak.
***
Sesampainya di rumah sakit, Ibram dan Moira terlebih dulu menghampiri resepsionis untuk mengetahui di ruangan mana Bunda di rawat. Setelah mengetahuinya, mereka kembali berlari sambil bergandengan. Ibram tak mau Moira ketinggalan di belakang dan nanti malah merepotkannya.
Terlihat orang-orang yang lalu-lalang memperhatikan mereka dengan kebingungan. Tetapi tak diindahkan pandangan orang-orang itu oleh Ibram dan Moira. Fokusnya saat ini ingin segera sampai ke ruangan Bunda.
Ibram mengetukkan kakinya pada lantai lift tak sabaran. Rasanya menunggu pintu lift terbuka di lantai 3 seperti menunggu pintu terbuka di lantai 20. Lamban.
Di dalam lift hanya mereka berdua. Moira sama tak sabarannya dengan Ibram, bedanya gadis itu memilih untuk terus berdoa. Merasa terganggu akan suara ketukan kaki Ibram, pandangan Moira jatuh pada sumber suara. Lalu sejurus kemudian ia membungkam mulut dengan tangannya. Di waktu yang sama pintu lift terbuka.
Tangan yang sedang menutupi mulutnya itu ditarik paksa oleh Ibram. Saatnya lari kembali tapi kaki Mas Ibram gimana? Bathinnya.
Tak susah menemukan kamar tempat Bunda di rawat. Tempatnya tepat di sebelah kanan lift. Hal itu membuat Ibram dan Moira sedikit bernafas lega, walau rasa panik masih lebih besar.
Ibram mendorong pintu dengan gerakan cepat hingga membuat yang di dalam kamar terkesiap dibuatnya. Terlihat Bunda sedang memegang remot televisi seperti hendak mengganti saluran, namun urung dilakukan sebab melihat putra dan menantunya di ambang pintu dengan posisi membatu. Sementara Abi tampak sedang menikmati jus jeruk ditangannya.
Melihat hal tersebut Ibram menghembuskan nafasnya dalam seperti hendak mengeluarkan beton dalam tubuhnya. Hal sama pun dilakukan oleh Moira. Rasa panik yang menyelimuti tiba-tiba hilang tak berbekas, yang ada kini rasa jengkel yang menguasai Ibram.
Ibram berjalan gontai menghampiri Bunda, lelah rasanya setelah berlarian tadi. Moira mengekori di belakangnya.
“Bunda gak tahu apa bagaimana paniknya Ibram?” tanya Ibram memelas.
“Tahu,” sahut Abi. “Tuh, sampai-sampai gak bener pake alas kaki!” lanjutnya yang kemudian disusul oleh tawa Moira yang meledak. Moira paham betul maksud dari Abi, sedari tadi Moira menahannya dengan sabar. Hah, lega rasanya bagai mengeluarkan kentut yang terpenjara.
Moira tidak sendirian, Abi dan Bunda pun ikut terbahak bersama. Sementara Ibram tengah kesal mengetahui fakta bahwa dirinya mengenakan sandal jepit di sebelah kiri dan sepatu di sebelah kanan.
Ibram mendelik pada Moira yang tengah terbahak seraya memegangi perutnya. Menyadari ditatap seperti itu, Moira sontak menghentikan tawanya dan menatap Ibram takut-takut.
“Ibram. Ibram. Padahal Bunda cuma asam lambung aja, paniknya udah kayak Bunda kena penyakit serius aja,” ujar Bunda masih terkekeh.
“Makanya kalau orang belum selesai bicara jangan main putuskan telepon begitu aja.” Kini giliran Abi yang protes.
“Wajarlah Ibram kaget, soalnya kemarin-kemarin Bunda baik-baik aja,” protes Ibram membela diri. Ibram menghampiri ibundanya lalu ia cium kening sang Bunda penuh sayang, setelahnya ia duduk di tepi ranjang di samping Bunda. “Makanya jangan kebanyakan makan pedes!” sambungnya gemas.
Tak terasa otot wajah Moira tertarik menjadi sebuah senyuman. Walau Ibram terlihat dingin di luar, ternyata pria itu punya sisi hangat di dalamnya.
“Moira duduk, Nak,” pinta Abi. “Jangan berdiri terus di situ.”
“Eh, iya, Bi,” ucap Moira seraya mengampiri ayah mertuanya untuk bersalaman. Lalu kemudian mendekat pada Bunda dan menyalaminya. “Bunda, makan apa emang sampai dibawa ke rumah sakit gini?” tanyanya.
“Nanti aja ya Bunda ceritainnya soalnya ada Ibram, nanti dia marah,” ucap Bunda berbisik, walau suaranya itu masih terdengar jelas oleh telinga Ibram. Pria itu hanya memutar bola matanya.
“Sip deh, Bunda,” balas Moira sambil terkekeh.
Malam itu mereka habiskan dengan mengobrol menemani Bunda yang tidak bisa tidur. Ibram lebih memilih mengobrol dengan Abi, sedang Moira bersama Bunda.
Bunda menceritakan sakitnya ini pada Moira setelah dirasa Ibram tidak dapat menjangkau suaranya.
“Asam lambung Bunda kambuh pas tadi siang makan rujak pedes banget,” cerita Bunda. “Abis itu perut Bunda rasanya melilit sakit gak karuan sampe badan panas banget. Akhirnya Abi bawa Bunda ke sini.”
“Makanya Bunda kalau punya asam lambung jangan makan sembarangan,” nasihat Moira. “Oh, iya buat sekarang jangan makan roti sama susu dulu, Bun, nanti sakitnya bisa kambuh lagi.”
Malam ini Moira diberi tugas untuk menjaga Bunda. Masalah kuliah dirinya meyakinkan kepada Ibram kalau jadwalnya bisa ikut di kelas lain. Abi dan Ibram besok harus bekerja dan tentunya tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka.
“Aku pulang dulu,” pamit Ibram seraya memegang puncak kepala Moira. Hati Moira bergetar sebab baru kali ini ia diperlakukan demikian. “Jaga diri, aku titip Bunda.” Setelah itu Ibram ke luar kamar menyusul Abi.
Moira menghela nafasnya seraya tersenyum. Ia anggap ini sebagai baktinya kepada seorang ibu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
***
Moira tengah mengusap lengan Bunda yang pegal karena suntikan antibiotik. Bunda terlihat tengah meringis dan itu membuat Moira merasa khawatir. Cairan berwarna sedikit kuning itu memang menyebalkan.
“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba suara perempuan menginterupsi Moira dan Bunda.
Moira menolehkan kepalanya kepada empunya suara, lalu ia mendapati seorang perempuan berkerudung dengan pakaian modis berdiri di ambang pintu. Kalau boleh membandingkan, perempuan itu mirip dengan selebgram bernama Hamidah. Cantik sekali.
“Wa’alaikumsalam, Nadin!” seru Bunda. Moira mengerutkan dahinya tampak berpikir, sepertinya ia pernah mendengar nama itu.
Moira berdiri untuk menyambut perempuan itu yang tengah berjalan mendekat.
“Gimana keadaan Bunda sekarang?” tanyanya seraya menyalami Bunda.
“Udah mendingan kok,” terang Bunda. “Cuman panasnya masih naik turun, sama perut kadang suka masih sakit,” imbuhnya.
Perempuan itu tampak mengangguk. Lalu pandangannya teralih pada Moira yang kini sedang tersenyum manis padanya. Dilihatnya Moira dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan tak suka. Moira terlihat tak nyaman dipandang demikian.
“Kok gak salim sih? Dia kakak iparmu.” Moira terkesiap mendengar ucapan Bunda barusan. Jadi dia adiknya Mas Ibram! Pantas saja merasa tidak asing dengan namanya. Lalu wajahnya terlihat lebih dewasa dari foto yang Moira lihat di rumah Bunda.
Tangan Moira terulur untuk menyalami adik iparnya itu. “Moira,” ucapnya mengenalkan diri.
Dengan rasa enggan yang tercetak jelas di wajah, perempuan itu menyentuh tangan Moira sekilas. “Nadin,” ucapnya ketus.
Moira menggigit bibirnya. Kalau boleh berprasangka buruk, Moira pikir adik iparnya itu tidak menyukainya. Sangat jelas sekali terlihat dari wajah ketusnya itu.
“Moira baru lihat, ya? Dulu dinikahan dia gak dateng gara-gara sibuk,” ucap Bunda mengalihkan perhatian Moira. “Maklum mahasiwi kedokteran katanya,” ucap Bunda menyindir Nadin.
“Emang sibuk Bunda,” terang Nadin.
“Nadin juga seumuran sama Moira. Tapi keliatan tua, ya?!” canda Bunda yang lagi-lagi menyindir putri bungsunya karena memakai riasan yang terlalu mencolok. Moira hanya tersenyum kecil, takut-takut adik iparnya itu tersinggung.
“Nadin kuliah di mana?” tanya Moira membuka obrolan untuk menghilangkan rasa kikuk di antara mereka.
“Malang,” jawabnya singkat dan juga ketus.
Memang betul dia adik Mas Ibram pikir Moira. Ketus dan juteknya sangat mirip. Moira jadi sedikit berpikir, kedua anak Bunda dan Abi mengapa bisa demikian? Sebab dirasanya Bunda dan Abi begitu ramah dan menyenangkan.
“Masjid sebelah mana, ya?” tanya Nadin kemudian mengingat dirinya belum shalat zuhur.
“Ayo barengan, kebetulan Moira belum shalat,” terang Moira. “Bunda gak apa ‘kan ditinggal dulu sebentar?”
“Enggak, kalian pergi saja,” ucap Bunda sambil tersenyum.
Nadin berjalan lebih dulu meninggalkan Moira, lalu Moira melangkahkan kakinya cepat takut-takut adiknya nyasar.
Ditengah perjalanan tak sedikit pun obrolan tercipta. Moira sih ingin saja mengajak adik iparnya itu mengobrol, tapi setiap melihat wajah juteknya itu langsung menciutkan niatnya.
“Moira.” mendengar namanya disebut membuat hati Moira sedikit senang. Akhirnya Nadin membuka mulutnya dan hendak mengajaknya mengobrol. “Beraninya lo rebut abang gue dari Kak Dira.”
Moira bagai diangkat ke langit ke-7 lalu dihempaskan ke jurang paling dalam. Apa katanya barusan?
“Ma-maksud kamu?” jawab Moira terbata.
“Lo tahu ‘kan kalau Kak Ibram itu punya Kak Dira, Anindira?”
Tidak. Mas Ibram hanya punya Moira. Miliknya. Teriak Moira egois dalam hati.
“Sampai kapanpun gue gak akan pernah ngakuin lo sebagai kakak ipar gue. Bagi gue Kak Dira yang lebih pantes jadi istrinya Mas Ibram,” pungkas Nadin sambil berlalu ke tempat wudhu.
Hati Moira rasanya tengah menganga lebar. Walau rasanya ia tidak perlu pengakuan adik iparnya itu sebab dirinya sudah di akui secara agama dan hukum atas pernikahannya dengan Ibram. Tetapi tetap saja, menyakitkan.
***
“Makan yang banyak,” ucap Ibram seraya menyodorkan sepiring nasi dan ayam bakar pada Moira. Dirinya melihat Moira begitu lesu hari ini. Mungkin istrinya lelah karena menjaga Bundanya.
Tanpa Ibram tahu, Moira lesu bukan sebab itu. Tetapi karena perempuan yang kini sedang duduk berseberangan dengan mereka yang tengah menyantap sepiring bakso begitu lahapnya.
“Makasih, Mas,” jawab Moira dengan senyum yang dipaksakan.
Sejujurnya Moira sedang tidak nafsu makan sebab telinganya terus terngiang-ngiang akan ucapan Nadin tadi siang. Otaknya terus berpikir, apakah dirinya betul-betul tidak pantas bersanding dengan Mas Ibram?
Jawaban jujurnya memang tidak pantas. Sebab Ibram saja tidak menginginkan kehadirannya. Pun tak mencintainya. Lalu pantaskah dirinya terus berjuang?
“Kak Dira!” teriak Nadin tiba-tiba. “Kak Anindira!” Moira melihat Nadin sedang melambaikan tangannya pada wanita yang tadi diteriakinya.
Rasa lapar Moira kian menghilang digantikan rasa mual tak tertahan. Moira menoleh pada Ibram dan mendapati pria itu sedang focus pada makanannya seolah tak memedulikan nama wanitanya di sebut. Bahu Moira kian mengendur.
“Nadin!” teriak wanita yang tak ingin Moira lihat saat ini. “Kapan kamu ke sini?” tanyanya antusias.
“Tadi siang,” terang Nadin dengan senyum yang merekah.
“Eh, kalian ada di sini ngapain?” tanya Anindira heran. Matanya lalu jatuh pada Moira seiring dengan senyumnya yang memudar.
“Bunda dirawat,” jelas Nadin yang langsung mendapatkan respons terkesiap dari Anindira.
“Innalillahi,” ucapnya seraya memegang dada. “Boleh aku jenguk ke sana?” tanya Anindira yang kini matanya teralih pada Ibram yang terus focus pada makanannya.
“Bolehlah,” jawab Nadin penuh penekanan seraya menyeringai pada Moira. “Tapi makan dulu Kak, duduk sini,” pinta Nadin.
Anindira menganggukan kepalanya setuju. Nadin bergeser memberi tempat duduk kepada Aninidra. Kini Nadin berseberangan dengan Moira, sedang Anindira dengan Ibram.
“Ibram kok kamu gak kasih tahu aku?” tanya Anindira berusaha mengalihkan perhatian Ibram.
“Aku lupa,” jawab Ibram singkat.
“Lain kali kamu kasih kabar kalau ada apa-apa sama keluarga,” protes Anindira begitu terlihat sangat memedulikan keluarga Ibram.
Anindira memang mengenal keluarga Ibram, tetapi tidak cukup dekat. Yang dekat dengannya hanya Nadin. Sejak kecil Nadin sudah dekat dengan Anindira. Saking dekatnya, sampai alasan Nadin berkuliah kedokteran pun karena Anindira.
Bagi Nadin, Anindira itu sosok wanita kuat yang patut dijadikan panutan.
“Tau nih Mas Ibram, masa gak ngabarin pacarnya sendiri,” ucap Nadin begitu menohok Moira.
Rasanya Moira ingin menjadi bakso yang berada di garpu Nadin sekarang. Dikunyah, ditelan, lalu lenyap dari bumi.
Harga dirinya sebagai seorang istri sungguh tengah dipermalukan di meja ini. Matanya memanas, air matanya seolah meronta ingin dikeluarkan. Moira memutuskan untuk pergi saja meninggalkan meja ini. Moira hendak berdiri tetapi urung ia lakukan sebab Ibram menarik lengan Moira.
Tangan besar Ibram lalu turun pada punggung tangan Moira. Dielusnya tangan Moira dengan lembut bermaksud memberikan energi kesabaran kepada istrinya tersebut. Lalu, Moira membalikan telapak tangannya untuk menggenggam tangan Ibram.
Lihat, dirinya tidak betul-betul tidak diinginkan kehadirannya kan?! Moira meyakinkan dalam hati, walau sudut hatinya menjawab tidak dengan keras.
***
Mata coklat bak telaga madu itu tak sejengkal pun luput dari wajah manis yang tengah tertidur pulas. Terdengar dengkuran halus yang membuatnya tersenyum. Diusapnya puncak kepala gadis itu dengan pelan takut-takut ia mengganggu tidurnya.
Wajahnya begitu letih karena menjaga Bunda seharian. Lalu tanpa sadar kepalanya ia condongkan mendekat pada gadis itu, menghilangkan jarak di antara mereka. Bibirnya terasa lembut kala bersentuhan. Hatinya tersenyum sekaligus malu tak habis pikir apa yang baru saja dia lakukan.
“Mas Ibram.” Tiba-tiba sebuah suara menghancurkan suasana hatinya.
“Apa?” desah Ibram.
“Nadin mau ngomong sesuatu,” jawabnya ketus. “Ayo keluar.”
Dengan berat hati Ibram menuruti permintaan adiknya itu. Sebelum pergi, Ibram membetulkan selimut Moira yang tengah tertidur di sofa. Malam ini dia jaga lagi menjadi suster Bunda.
“Ngomong apa?” tanya Ibram tak sabaran setelah ia mendaratkan bokongnya di samping Nadin.
“Nadin tahu caranya Mas Ibram biar cerai dari Moira.”
***
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak, jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza π
Jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran ^^
22 Juni 2019,
Arney
@itsarney akunku yurriansan. klo kmu mau mampir dluan boleh, aku bksln lmbat feedbacknya. krena klo wattpad bsanya buka pke lptop, aku gk dnload aplikasinya. dan lptopku lg d service
Comment on chapter BAB 1: Keputusasaan