Aku memandang rumah megah yang baru beberapa hari aku tinggali, tepatnya sejak aku menikah dengan suamiku. Aku menikah dengannya karena dijodohkan oleh orang tuaku. Kolot memang, tapi itulah yang terjadi.
Aku dan Niko menikah beberapa hari yang lalu. Kami memilih pisah kamar untuk sementara waktu sampai kami benar-benar siap. Tentunya hal ini kami rahasiakan dari orang tua kami.
Aku keluar dari mobil setelah memarkir mobilku ke dalam garasi. Tak lama, aku sudah berada di dalam kamar. Belum selesai aku mandi, seseorang mengetuk pintu kamar mandi.
“Niko?” teriakku dari dalam kamar mandi. Aku menunggu jawaban Niko, tapi tidak ada suara apapun yang terdengar.
“Niko! Apa itu kamu?” tanyaku lagi dengan bingung sekaligus cemas. Tidak ada tanggapan. Apa aku salah dengar? Suara ketukan terdengar lagi, membuatku yakin bahwa aku tak salah dengar.
“Kenapa? Aku masih mandi,” tanyaku namun tak ada jawaban. Cepat-cepat aku menyelesaikan acara mandiku. Aku langsung mengecek ke luar saat selesai mandi. Tidak ada siapa-siapa. Niko belum pulang dari kantor.
Mendadak terdengar suara barang pecah dari ruang keluarga. Aku terkejut. Foto pernikahanku jatuh pecah di lantai. Jantungku berdebar was-was. Tidak mungkin foto itu jatuh sendiri. Pakunya masih terlihat kuat menopang pigura foto itu. Apa ada penyusup? Aku menatap ke sekelilingku. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di rumah ini. Aku segera membereskan pecahan kaca itu walaupun masih bingung dan was-was. Masih dua jam lagi Niko pulang. Aku jadi tidak sabar ingin dia segera pulang. Sambil menunggunya, aku akan tinggal di kamar. Aku mengunci pintu kamarku, takut kalau ada penyusup yang masuk ke dalam rumah ini.
Satu jam kemudian, perutku berbunyi. Aku lapar. Ini sudah waktunya makan malam. Terpaksa, aku memberanikan diri pergi ke dapur. Aku mengambil rawon dari kulkas dan menghangatkannya. Sambil menunggu, aku menoleh ke samping kiriku. Ada dinding kaca yang membatasi ruang makan dengan halaman belakang. Aku terkejut saat melihat sekelebat wanita bergaun putih. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku tidak mungkin salah lihat. Walaupun hanya sekilas, aku melihat seorang wanita berambut panjang dan bergaun putih di halaman belakang. Sosoknya tak terlihat lagi karena tertutup dinding di sampingnya. Apa itu hantu atau penyusup?
Aku memberanikan diri ke halaman belakang. Sosok yang kulihat tadi sudah tidak ada. Aku membuka pintu toilet dekat taman dan gudang yang ada di sebelahnya. Tidak ada siapapun. Apa aku berhalusinasi? Kenapa mendadak ada kejadian aneh di rumah ini?
Suara klakson mobil membuat aku terkejut namun kemudian tersenyum lega. Niko sudah pulang.
“Masak apa?” tanya Niko saat sudah berada di dapur.
“Rawon yang kemarin. Kamu mau?” Aku mematikan komporku setelah mengaduk isi panci. Kulihat Niko mengamati panci berisi rawon yang aromanya menguar di udara. Niko mengangguk.
“Pigura foto pernikahan kita tiba-tiba jatuh,” ucapku pada Niko.
“Nanti aku pasang lagi.” Niko menjawab santai.
“Kayaknya ada orang yang masuk ke sini,” ujarku pelan setelah menimbang-nimbang.
“Apa?” Niko terbatuk-batuk. Mungkin terkejut dengan ucapanku.
“Ada yang mengetuk pintu waktu aku mandi. Aku juga lihat ada sekelebat perempuan bergaun putih. Waktu aku cek, perempuan itu nggak ada. Pigura foto itu juga mendadak jatuh padahal pakunya masih kuat,” ceritaku. Niko tertawa.
“Mana mungkin? Nggak mungkin ada orang yang bisa masuk kesini.” Aku cemberut kesal.
“Kalau nggak ada orang, nggak mungkin itu semua terjadi,” ujarku kesal.
“Memangnya mau apa perempuan bergaun putih menyusup masuk ke rumah ini?” Niko tertawa lagi. Masa aku berhalusinasi?
Aku kembali mengedarkan pandanganku ke halaman belakang. Lagi-lagi aku melihat wanita bergaun putih. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena minimnya cahaya di halaman belakang.
“Kenapa?” tanya Niko sambil melihat arah pandangku. Sosok misterius itu sudah tidak ada. Aku menggeleng pucat.
“Nggak apa-apa.” Aku berusaha menenangkan pikiranku. Sayangnya, aku tidak bisa tenang. Bayangan wanita bergaun putih tadi terus muncul di otakku, meskipun aku sudah mengalihkan pikiranku pada makanan yang kumakan.
“Nggak usah takut. Hantu itu nggak ada,” kata Niko lalu bangkit berdiri. Ia sudah selesai makan dan pergi ke kamarnya. Aku menghela napas panjang. Mendadak, suara pintu mengejutkanku. Suara itu berasal dari halaman belakang. Lagi-lagi di halaman belakang. Terpaksa, aku menuju ke halaman belakang. Aneh! Pintu gudang terbuka lebar, padahal tadi pintu itu tertutup rapat.
Aku melongok melihat isi gudang setelah menyalakan lampunya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Namun sesuatu di lantai menarik perhatianku. Ada selembar kertas dengan tulisan merah darah. 'Mati! Lain kali, ini darahmu!'
Aku bergidik ngeri. Ini semakin menakutkan. Apa semua ini ulah wanita bergaun putih? Tapi kenapa dan siapa wanita bergaun putih itu?
“Ngapain kamu disitu?” Suara Niko mendadak terdengar di tengah kesunyian. Aku sampai terkejut mendengarnya.
“Pintu gudang terbuka sendiri. Aku juga lihat ada perempuan bergaun putih di sekitar sini.” Niko cemberut. Ia menutup pintu gudang setelah mematikan lampunya.
“Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Hantu itu nggak ada.” Nada suaranya yang naik setengah oktaf, membuatku kesal. Aku menyodorkan kertas tadi pada Niko sebagai bukti.
“Apa maksudmu?” tanya Niko sambil menatap wajahku.
“Ada tulisan ancaman disitu. Aku menemukannya di gudang ini. Kalau bukan hantu, pasti penyusup yang masuk ke rumah ini," ujarku mengadu.
“Kayaknya kamu butuh istirahat. Sebaiknya kamu tidur saja.” Niko mengambil kertas itu dan mendorong tubuhku.
“Aku baik-baik saja kok.” Aku memberontak lalu mengambil kertas itu.
“Kamu berhalusinasi. Nggak ada tulisan apapun di kertas itu.” Ucapan Niko membuatku tak bisa berkata-kata. Jelas-jelas ada tulisan ancaman di kertas yang aku pegang ini. Kenapa Niko tidak melihatnya?
“Aku tahu pernikahan ini memang berat buat kamu. Aku juga begitu. Kalau kamu stres dengan semua ini, lebih baik kamu istirahat saja,” omel Niko. Baru kali ini aku melihatnya marah dan hal itu membuatku sedih. Aku tahu, dia terpaksa menikah denganku, orang yang tidak dia cintai. Aku tahu, pernikahan ini adalah beban untuknya. Niko salah kalau berpikir aku terbebani dengan pernikahan ini. Awalnya mungkin begitu tapi tidak setelah beberapa hari ini. Aku sadar, aku mulai jatuh cinta padanya.
Tanpa sepatah katapun, aku pergi meninggalkan Niko. Di kamar, aku mengamati kertas itu sekali lagi. Tulisan itu masih ada. Tapi kenapa Niko tidak bisa melihatnya? Aku tidak pernah berhalusinasi seperti ini sebelumnya. Apa ini sebuah pertanda? Aku tidak mau kejadian seperti dulu terulang lagi. Kejadian saat aku melihat sosok misterius seperti hantu yang ternyata adalah nenekku sendiri. Beberapa bulan setelah itu, nenekku meninggal saat memakai baju yang sama dengan sosok yang aku lihat itu. Ya, aku bisa melihat sosok orang yang akan meninggal. Bisa dibilang, aku mendapat pertanda kematian orang lain. Sejauh ini, hanya dua orang yang pernah aku lihat pertanda kematiannya. Nenekku dan juga teman kuliahku.
Aku mengambil buku harianku dari laci dan menulis kejadian aneh hari ini. Tak lupa aku menyelipkan kertas yang tadi aku temukan ke dalam buku harianku. Pikiranku masih bertanya-tanya. Apa wanita bergaun putih itu adalah orang yang akan meninggal? Tapi bagaimana kalau ini semua ulah hantu atau penyusup?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku membereskan buku harianku lalu membuka pintu. Niko berdiri di ambang pintu sambil membawakan segelas susu cokelat. Wajahnya tampak penuh penyesalan, membuatnya terlihat imut di mataku.
“Maaf, aku tadi agak kasar. Ini, aku buatkan kamu susu,” ujar Niko canggung. Aku tersenyum dan menerima segelas susu buatannya.
“Iya. Aku ngerti. Makasih.” Aku tersenyum mengerti.
“Diminum ya?” ujarnya sebelum pamit pergi. Tentu saja aku pasti meminumnya. Apalagi karena ini pertama kalinya Niko membuatkan susu untukku, meskipun mungkin karena perasaan bersalahnya padaku. Aku tersenyum sambil meminum susu itu sampai habis tak bersisa.
--
Berkat susu yang dibuatkan Niko untukku, tidurku jadi lebih pulas. Aku bangkit dari ranjang dan merintih nyeri saat kakiku menginjak lantai. Tanpa sengaja aku menginjak pecahan kaca di lantai. Aneh! Kenapa ada pecahan kaca disini? Kemarin tidak ada barang yang pecah.
Aku memplester lukaku lalu membuang pecahan kaca dengan hati-hati. Pikiranku melayang memikirkan kejadian aneh pagi ini. Aku memang tidak mengunci pintu kamarku karena terlanjur ketiduran. Ah, pikirkan saja nanti. Aku harus berangkat ke kantor.
Tak lama kemudian, aku sudah berada di ruang makan. Niko asyik menikmati roti dengan selai kacang kesukaannya. Aku duduk di samping Niko dan ikut menikmati roti. Berbeda dengan Niko, aku lebih menyukai selai cokelat.
“Aku berangkat dulu,” ujar Niko beberapa menit kemudian.
“Kalau kamu masih takut di rumah ini sendirian, kamu bisa jalan-jalan dulu ke tempat lain,” kata Niko sebelum pergi. Aku jadi teringat dengan kejadian kemarin. Semua ini sangat aneh, termasuk pecahan kaca yang bertebaran di lantai kamarku. Sepertinya aku harus menyingkirkan kemungkinan bahwa kejadian kemarin adalah pertanda kematian. Menurutku, wanita bergaun putih itu adalah penyusup yang mau mencelakakanku.
--
Tepat jam setengah lima sore, aku sudah sampai di rumah. Aku langsung memasang kamera pengintai mini di halaman belakang dan di dalam kamarku. Aku membelinya sepulang dari kantor. Jujur saja, aku tidak tenang dan terus memikirkan kejadian aneh di rumah ini.
Setelah pekerjaan memasang-masang itu selesai, aku mencoba mengetes kinerja kamera itu. Aku sedikit lega. Sekarang, aku bisa mengawasi rumahku.
Saat berada di halaman belakang, aku teringat dengan gudang di mana aku menemukan kertas ancaman. Aku memutuskan untuk melihat-lihat isi gudang. Siapa tahu ada orang yang bersembunyi di sana. Aku menarik gagang pintu gudang, tapi pintu itu tak juga terbuka. Berkali-kali aku mencoba membukanya, pintu itu tetap tidak mau membuka. Aku mendengus kesal. Niko pasti mengunci gudang ini.
Aku mencari kunci gudang tapi tidak juga menemukannya. Mungkin Niko menaruh kunci itu di kamarnya yang juga terkunci rapat. Aku menyerah dan masuk ke dalam kamarku. Aku membuka laci, mencari kertas ancaman kemarin. Aneh! Kertas itu sekarang menghilang entah kemana.
Tak lama telepon rumahku berbunyi. Tergopoh-gopoh, aku mengangkat telepon.
“Halo?” sapaku. Terdengar suara kresek-kresek di seberang telepon.
“Halo?” ulangku dengan suara yang lebih keras.
“Mati!” Terdengar suara wanita di telepon. Aku terkejut. Sampai-sampai aku hampir menjatuhkan gagang telepon.
“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Kamu akan mati!” Sambungan telepon mendadak terputus. Tak lama, terdengar suara teriakan wanita dari arah kamar suamiku. Suara teriakan yang mengerikan sehingga membuat jantungku beradu cepat. Aku mendekati pintu kamar Niko dengan was-was. Pintu itu dikunci. Aku sudah mengeceknya tadi. Niko juga belum pulang. Tapi jelas-jelas aku mendengar suara wanita dari kamar ini. Aku yakin, ini semua ulah wanita bergaun putih yang misterius itu. Tapi kenapa dia ada di rumah ini? Sebenarnya siapa dia? Kenapa dia ingin aku mati?
Rasa penasaran sekaligus takut bercampur menjadi satu. Niko tidak mempercayai ucapanku jadi aku tidak mungkin memberitahukan hal ini padanya, kecuali kalau aku punya bukti. Aku tidak sabar ingin mendapatkan bukti fisik keberadaan wanita bergaun putih di rumah ini.
Sambil sibuk berpikir, aku memasak mie instan di dapur. Perutku sudah lapar. Rasanya tenaga dan pikiranku terkuras karena kejadian aneh akhir-akhir ini. Sesekali aku mengedarkan pandanganku ke arah halaman belakang. Aku terkejut saat melihat pintu gudang terbuka sedikit. Jelas-jelas tadi pintu itu terkunci rapat sampai aku tidak bisa membukanya walaupun sudah berusaha. Aku mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju gudang. Gudang itu berbau pengap. Banyak dus-dus yang entah apa isinya, bertumpukan di dalam gudang. Ada juga lemari besar dan meja yang berdebu.
Aku membuka pintu lemari yang ada di sana. Ternyata lemari itu dikunci dan kuncinya entah ada di mana. Mataku beralih ke arah dus-dus yang ditutupi kain. Penasaran, aku membuka isi dus. Ternyata ada boneka beruang, kotak musik, album foto dan kotak perhiasan. Tidak mungkin Niko mempunyai barang perempuan seperti ini.
Aku membuka kotak perhiasan berbentuk hati yang terlihat elegan. Kotak perhiasan itu kosong. Seharusnya ada sepasang cincin di dalamnya. Aku beralih melihat album foto tebal di dalam dus. Ada banyak foto-foto mesra Niko dengan seorang wanita cantik. Wanita ini pastilah pacar Niko dulu. Perasaan cemburu langsung memenuhi hatiku. Niko pasti masih memikirkan wanita itu sampai-sampai dia masih menyimpan barang-barang mantannya.
Aku bangkit berdiri. Sudah tidak ada lagi yang menarik untuk dilihat. Mendadak ponselku berbunyi. Ibu mertuaku menghubungiku.
“Mama mau kesini? Sekarang?” tanyaku terkejut saat ibu mertuaku mengutarakan maksudnya meneleponku.
"Oke. Freya tunggu. Bye!" ucapku mengakhiri panggilan telepon. Aku harus memberitahu Niko agar dia segera pulang. Barang-barang di kamarku harus secepatnya dipindahkan ke kamar Niko. Mereka tidak boleh tahu kalau aku pisah kamar dengan Niko.
--
“Kamu nyamankan tinggal disini?” tanya mama Lilis, ibu mertuaku. Beberapa menit yang lalu, mertuaku datang. Beruntung mereka datang setelah aku dan Niko selesai mengatur semuanya.
“Nyaman kok, ma. Mama tenang saja,” jawabku sambil tersenyum.
“Kapan kamu mau kasih mama cucu, Nik?” tanya mama Lilis, kali ini pada Niko.
“Ya kalau Tuhan sudah ngasih, ma. Mama sabar saja,” kata Niko dengan nada santai.
“Papa dan mama belum makan ya? Kita makan di luar yuk?” ajakku, mengingat sudah jam makan malam sedangkan aku belum sempat memasak makanan.
“Memang kamu nggak masak? Di rumahmu nggak ada makanan?” tanya mama Lilis yang membuatku tersenyum masam.
“Freya belum sempat masak, ma.” Mama Lilis tersenyum mengerti.
“Kamu punya bahan makanan yang bisa dimasak?” tanyanya yang kusambut dengan anggukan. Aku masih menyimpan telur, sosis, bakso dan daging cincang di kulkas.
“Kamu bantuin mama masak saja.” Mama Lilis bangkit berdiri dan menuju dapur. Tanpa disuruh, dia langsung mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas. Aku ikut membantunya.
“Bagaimana hubunganmu dengan Niko?” tanya mama Lilis dengan suara pelan.
“Baik,” ujarku singkat. Mama Lilis menepuk bahuku.
“Kamu harus meluluhkan hatinya. Jangan pernah menyerah pada suamimu sendiri.” Aku mengangguk pelan sambil mengingat apa yang aku temukan di gudang. Bagaimana aku bisa meluluhkan hati Niko kalau Niko masih saja memikirkan mantannya? Perasaan sedih itu muncul kembali.
“Ma, apa sebelumnya Niko punya pacar?” tanyaku setelah menimbang-nimbang antara menanyakan hal ini atau tidak. Wajah mama Lilis berubah sendu.
“Punya. Dulu dia punya pacar bernama Maya. Papa dan mama nggak setuju dengan hubungan mereka jadi kami menjodohkan Niko denganmu,” cerita mama Lilis. Jadi nama mantan Niko adalah Maya. Cocok dengan inisial yang tertulis di depan album foto yang kulihat tadi.
“Kenapa mama nggak setuju?” Aku bertanya penasaran.
“Pecahkan telur disini,” ujar mama Lilis. Aku menurutinya dengan patuh sambil menanti jawaban atas pertanyaanku.
“Perempuan itu terlalu posesif sama Niko. Dia juga pernah gila waktu kuliah.” Aku terkejut mendengarnya.
“Gila?” Mama Lilis mengangguk.
“Iya. Kata teman mama, perempuan itu pernah stres berat karena skripsi sampai hampir gila. Dia pernah telanjang di kampus sampai beritanya heboh. Untung sama dosen langsung ditangani."
“Apa?” seruku terkejut. Aku sama sekali tidak menyangka, Niko mempunyai mantan seperti itu.
“Waktu Niko putus sama dia dan nikah sama Freya, apa dia nggak stres berat dan jadi gila?” tanyaku dengan suara yang lebih pelan dari pada sebelumnya. Sesekali aku melirik ke arah Niko yang sekarang sedang memainkan ponselnya.
“Dia mati bunuh diri.” Kata-kata mama Lilis membuatku terkejut lagi. Jadi mantan Niko itu sudah meninggal? Tentu saja gadis yang rapuh sepertinya tidak akan tahan kalau pacarnya menikah dengan perempuan lain. Kalau aku jadi dia, mungkin aku juga tidak akan tahan walaupun aku tidak akan mau bunuh diri. Sebaliknya, aku akan memberi pelajaran pada pacarku karena menikahi wanita lain. Mendadak sebuah kesadaran muncul di otakku. Apa jangan-jangan wanita bergaun putih yang sering menerorku di rumah ini adalah hantu Maya? Aku bergidik ngeri.
“Pasti Niko sangat sedih dan merasa bersalah ya?” ujarku sambil memikirkan bagaimana perasaan Niko saat orang yang dia cintai meninggal bunuh diri karenanya. Apa mama Lilis juga tidak merasa bersalah karena secara tidak langsung membuat Maya meninggal? Perjodohan ini jadi terasa sangat salah.
“Niko memang merasa begitu tapi hanya awal-awal saja. Sudahlah. Nggak usah dipikirkan lagi. Yang terpenting kamu harus tetap mempertahankan rumah tanggamu dengan Niko. Mama yakin, Niko pasti bisa menerima dan mencintaimu.” Aku tersenyum mengamini ucapan mama Lilis.
--
Selepas kepergian mertuaku, aku masih saja memikirkan cerita Maya, mantan Niko. Apa benar wanita bergaun putih itu adalah mantan Niko yang mati bunuh diri?
“Ini bantalmu,” kata Niko sambil membawa bantalku. Niko tidak mengizinkanku masuk ke dalam kamarnya. Dalam hal ini saja, Niko masih belum mau terbuka. Bagaimana aku bisa mengambil hatinya?
“Kenapa kamu nggak mau aku masuk ke kamarmu? Aku bisa mengambil barang-barangku sendiri dari kamarmu kok,” ujarku kesal.
“Kamarku itu privasiku.” Niko menaruh bantal dan guling ke kamarku. Setelah selesai dengan semuanya itu, aku membaringkan diri di kasur dengan wajah letih. Pandanganku mengarah ke langit-langit kamar. Hari ini aku tidak melihat wanita bergaun putih lagi. Padahal kali ini, aku menanti-nantikan sosok misterius itu.
Aku teringat dengan kamera pengintai yang aku pasang. Cepat-cepat aku melihat isi rekaman kamera yang kupasang. Semoga sudah ada hasil yang menggembirakan. Aku mulai melihat rekaman kamera di halaman belakang. Aku menanti-nanti munculnya wanita bergaun putih di rekaman itu. Selama beberapa menit, tidak ada yang mencurigakan. Aku ingat, pintu gudang mendadak terbuka sendiri. Aku harus melihat, siapa yang membukanya. Saat yang dinanti tiba. Dalam rekaman itu, pintu gudang terbuka pelan. Muncul sosok wanita bergaun putih yang mengintip dari balik pintu gudang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena kualitas kamera yang kubeli ternyata tidaklah bagus. Dari gelagatnya, aku bisa melihat bahwa wanita bergaun putih itu adalah manusia, bukan hantu. Sosok itu terlihat mengamat-amati sekelilingnya. Kemudian, wanita bergaun putih itu masuk kembali ke dalam gudang. Wanita bergaun putih itu pasti Maya. Mungkin saja wanita itu belum mati dan berniat mencelakakanku.
Akhirnya aku mendapatkan bukti keberadaannya. Masalahnya, apa Niko tahu tentang hal ini? Otakku berpikir keras. Dari kejadian tentang kertas ancaman, aku bisa menyimpulkan kalau Niko ikut terlibat. Niko pasti bekerja sama dengan Maya untuk menyingkirkanku. Bagaimana mungkin Niko tidak melihat tulisan di kertas itu? Pasti Niko sengaja berbuat begitu. Sikap Niko memang mencurigakan. Dia tidak mengizinkan aku masuk ke kamarnya bahkan sekedar mengintip ke dalamnya. Niko juga selalu mengunci pintu kamarnya. Pasti Niko menyembunyikan mantannya itu di dalam kamarnya.
Aku meneruskan kembali rekaman kamera di halaman belakang. Aku berharap, ada petunjuk lain yang bisa kutemukan. Setelah menunggu cukup lama, aku melihat sosoknya lagi. Wanita bergaun putih itu mengintip dari balik pintu gudang walaupun hanya sebentar. Sepertinya ia penasaran dengan kedatangan orang tua Niko. Selain rekaman itu, sudah tidak ada lagi penampakan wanita itu. Berarti kunci keberadaannya adalah gudang itu. Wanita bergaun putih itu bersembunyi di gudang. Tapi bagaimana bisa dia betah bersembunyi di gudang kotor selama berjam-jam? Waktu aku mengecek isi gudang, aku juga tidak menemukannya. Apa ada ruang rahasia di dalam gudang itu? Mungkin ada ruangan lain yang tersambung dengan gudang. Besok aku harus menyelidiki gudang itu lagi. Aku juga harus menyelidiki kamar Niko. Itu berarti, aku harus mengambil kunci kamarnya diam-diam.
Aku menguap mengantuk. Sudah waktunya aku tidur. Dua hari ini aku tidur sangat nyenyak sekali. Agak aneh. Aku tidur tanpa terbangun sampai-sampai tidak sadar kalau ada orang yang masuk ke kamarku dan menebarkan pecahan kaca di lantai kamar. Kertas ancaman itu juga diambilnya dariku. Pasti mereka takut kalau aku menunjukan kertas itu pada orang lain dan terbukti orang lain bisa membacanya. Tentu saja hal itu akan menunjukan bahwa Niko sudah berbohong dan aku tidak berhalusinasi.
--
Niko duduk di ruang makan. Dia menaruh tas kerjanya di kursi sebelahnya. Hari ini aku harus berhasil mengambil kunci kamarnya. Saat dia bangkit berdiri, aku sengaja menuangkan susu coklat ke arahnya. Baju dan celananya langsung basah terkena susu.
“Aduh. Maaf,” ujarku dengan wajah penuh penyesalan. Niko menggerutu kesal lalu berjalan menuju kamar mandi. Dengan sigap, aku langsung mengambil kunci dari dalam tas kerjanya yang teronggok di kursi. Aku mengganti kuncinya dengan kunci gudang yang model kuncinya hampir sama. Akhirnya aku berhasil.
Setelah Niko pergi ke kantor, aku langsung beraksi. Aku membuka pintu kamar Niko. Kamar Niko lebih luas dibandingkan kamarku. Kamarnya tampak rapi dan bersih. Bahkan spreinya terlalu rapi sampai aku berpikir, jangan-jangan Niko tidak tidur di kasur ini.
Aku meneliti sekelilingku. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan di kamar ini. Wanita bergaun putih juga tidak ada di kamar ini. Baru saja aku ingin beranjak keluar dari kamar, mendadak aku melihat sekelebat bayangan wanita bergaun putih di cermin. Saat aku melihat lagi, cermin itu hanya menampilkan wajahku, bukan lagi wanita bergaun putih. Aneh!
Aku mendekati cermin yang menempel pada lemari pakaian. Ukuran lemarinya sangat besar. Aku tertarik untuk membuka pintu lemari itu. Sepertinya ada cahaya di balik baju-baju. Aku berusaha menyingkirkan beberapa baju yang tergantung di sana hingga terlihat sebuah ruangan lain. Aku terkejut karena lemari itu rupanya jalan menuju ruangan lain.
Seperti di film narnia, aku masuk ke dalam lemari. Mulutku setengah terbuka, memandangi ruangan yang ada di hadapanku. Ternyata ada sebuah kamar lain yang tersambung dengan kamar Niko. Di kamar itu, ada televisi, kulkas dan microwave. Kali ini terlihat jelas kasur itu baru digunakan tidur. Bahkan microwave juga terlihat baru digunakan. Masih ada bekas-bekas makanan di sana. Aroma mie juga tercium memenuhi udara.
Foto berpigura yang cukup besar terpajang di dinding kamar. Beberapa foto lainnya juga memenuhi kamar itu. Aku mengenali siapa orang yang ada di foto. Niko dan Maya. Di foto itu, Maya mengenakan gaun putih yang selama ini aku lihat. Maya dan Niko memamerkan cincin mereka berdua dalam foto itu. Sepertinya foto itu diambil saat Niko melamar Maya. Apa itu alasan Maya selalu mengenakan gaun putih? Apa karena gaun itu mengingatkannya pada momen romantisnya?
Aku menoleh ke arah meja sebelah tempat tidur. Ada kertas ancaman yang pernah aku temukan di gudang. Ternyata kertas yang menghilang itu ada disini. Niko bilang, tidak ada tulisan apapun di kertas ini. Nyatanya sampai sekarang aku bisa melihat tulisan ancaman itu. Aku menggigit bibir bawahku dengan kesal, sedih dan kecewa. Berbagai perasaan berkecamuk di hatiku. Niko membohongiku.
Aku membuka lemari pakaian yang ada di sana. Lemari pakaian itu dipenuhi dengan gaun putih. Sepertinya Maya tergila-gila dengan gaun berwarna putih.
Mendadak pintu kamar terbuka. Aku memandang terkejut pada sosok wanita bergaun putih yang selama ini aku lihat. Dia adalah Maya.
"Jadi kamu sudah tahu rahasia kami? Ternyata cepat juga," ujarnya sambil tersenyum mengejek.
"Bukannya kamu sudah mati bunuh diri?" tanyaku. Maya tersenyum.
"Aku memang bunuh diri tapi aku nggak mati karena aku nggak rela membiarkan kamu bersama Niko," ujar Maya dengan pandangan benci.
"Apa Niko dan kamu yang sudah merencanakan semua ini?" tanyaku lagi dengan emosi bergemuruh.
“Ya. Ini semua rencanaku dan Niko. Niko sangat mencintaiku jadi dia mau kamu mati! Setelah kamu mati, aku dan Niko akan bersama selamanya." Aku menggeleng tak percaya. Apa Niko memang sejahat itu?
Maya membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Rupanya ada dua jalan menuju kamar rahasia ini. Dari lemari pakaian di kamar Niko dan dari lemari di gudang belakang.
"Aku keluar masuk lewat gudang belakang. Kadang aku juga lewat kamar Niko," ujarnya lalu tertawa cekikikan. Sial! aku menghadapi orang tak waras. Bagaimana mungkin Niko bisa jatuh cinta dengan perempuan gila ini? Apa dia juga sudah gila?
Tiba-tiba Maya meraih pisau buah di dekatnya dan mengarahkannya padaku.
"Kemarin aku menaruh pecahan kaca di kamarmu. Tidurmu pulas banget karena aku sudah menaruh obat tidur di minumanmu. Niko juga membantuku memberi obat tidur itu lewat susu yang dibuatnya. Hebatkan?" Pantas saja aku cepat sekali mengantuk dan tidurku pulas sekali. Mereka berdua benar-benar keterlaluan.
"Sebenarnya Niko nggak setuju aku membunuhmu. Dia cuma mau aku menakut-nakutimu. Tapi karena Niko nggak ada disini, aku bisa membunuhmu sekarang juga," kata gadis gila itu. Ternyata Niko masih mempunyai hati untuk tidak membunuhku.
"Sejak kapan kalian merencanakan semua ini?" tanyaku penasaran. Rasanya hatiku hancur karena Niko sudah mengkhianatiku.
"Sejak dua minggu yang lalu," ujar Maya.
"Awalnya aku cuma ingin memata-matai kamu dan Niko. Aku sengaja masuk ke rumah ini dan menemui Niko. Aku memaksa tinggal bersamanya di rumah ini. Kamipun membuat rencana besar untuk menyingkirkanmu.” Setiap penjelasan yang dilontarkan oleh Maya, membuat hatiku semakin pedih. Teganya Niko merencanakan hal jahat untuk menyingkirkanku.
"Waktu Niko mau menikahimu, aku mengancamnya. Aku mengancam akan bunuh diri di depannya, tapi Niko tetap menikah denganmu hanya karena orang tuanya." Maya berjalan maju mendekatiku. Tangannya mengacung-acungkan pisau, membuat aku mundur teratur.
"Mamaku menyelamatkan nyawaku saat aku bunuh diri. Aku sengaja pura-pura mati supaya Niko merasa bersalah. Niko memang merasa bersalah dan akhirnya kembali padaku. Aku tahu, dia masih mencintaiku." Maya memainkan pisaunya seperti psikopat. Aku harus berani melawannya. Aku tidak mau nyawaku melayang di tangannya.
Dengan cepat dan lihai, aku menjatuhkan pisau yang dipegang Maya. Maya yang tak menyangka aku bergerak secepat itu, berteriak terkejut. Aku mengambil kesempatan itu untuk menendang perutnya keras-keras. Aku mengambil pisau yang jatuh dan mengarahkan padanya. Maya tampak ketakutan. Wajahnya shock, tak menyangka aku bisa melawannya. Dia tidak tahu, aku pernah belajar karate saat duduk di bangku SMA. Demi keselamatan nyawaku, aku menendangnya lagi hingga membuat Maya pingsan. Sebelum dia bangun, aku harus mengikat tubuhnya.
Aku mencari-cari tali atau benda apapun yang bisa digunakan untuk mengikat. Karena tak ada tali, aku menggunakan selimut tipis untuk mengikat tubuh Maya. Aku harus membuatnya diam tak berkutik walaupun dirinya sudah sadar dari pingsannya nanti. Setelah selesai dengan semuanya itu, aku mulai bingung. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana tindakanku selanjutnya. Apa yang harus aku lakukan dengan Niko? Bagaimanapun juga, rencana busuknya sudah ketahuan. Aku juga sudah membuat orang yang dia cintai tergeletak pingsan.
Aku melihat ponsel Maya yang tergeletak di lantai karena pertengkaran kami tadi. Mungkin ada bukti kejahatannya di dalam isi ponselnya. Aku tersenyum saat melihat bukti percakapan yang kutemukan. Di dalam percakapannya dengan Niko, Maya mengutarakan niatnya untuk mencelakakanku bahkan membunuhku tetapi Niko menyuruhnya untuk menakut-nakutiku dan membuatku gila. Bukti ini bisa aku gunakan untuk mengancam Niko. Niko yang sangat menyayangi orang tuanya – bahkan sampai rela menikah denganku karena orang tuanya – pasti tidak mau orang tuanya mengetahui rahasia busuknya ini. Aku memandang Maya yang masih pingsan. Dia selalu menggunakan gaun putih seperti hantu. Mendadak terlintas ide gila di otakku.
==
Harum masakan memenuhi udara. Tidak seperti biasanya, di meja makan penuh dengan makanan enak. Aku duduk tenang sambil mengenakan gaun putih milik Maya. Niko memandangku dengan wajah bingung dan was-was.
“Duduklah. Aku sudah menyiapkan semua ini. Sebentar lagi, papa dan mamamu datang. Aku sudah mengundang mereka,” ujarku sambil tersenyum.
“Gaun siapa yang kamu pakai?” tanya Niko sambil mengamatiku.
“Aku menemukan gaun ini di gudang belakang. Menurutmu, gaun ini punya siapa?” Aku balik bertanya. Niko mengernyitkan alisnya tak segera menjawab.
“Aku ke kamar dulu,” ujarnya lalu pergi ke kamarnya. Tak lama, Niko keluar dari kamar dengan kesal sekaligus gugup. Dia berusaha menghubungi seseorang dari ponselnya. Aku tahu, dia pasti mencoba menghubungi Maya tapi tidak bisa. Pasti Niko sangat mencemaskan pacarnya itu. Aku jadi sedih dan kecewa.
“Kenapa mendadak kamu mengundang papa dan mama untuk makan malam? Apa sebenarnya yang kamu rencanakan?” tanya Niko dengan nada menuduh.
“Aku mau memberitahu mereka kabar mengejutkan tentang kita,” ujarku santai.
“Kabar apa?” Niko mengernyitkan alisnya, menatapku dengan penuh selidik.
“Kabar kalau kamu dan selingkuhanmu mau menakut-nakutiku bahkan membunuhku. Pasti orang tuamu shock dan kecewa berat kalau tahu semua perbuatan busukmu.” Niko terkejut mendengar ucapanku. Terlebih lagi saat aku mengeluarkan ponsel Maya.
“Ponsel ini bisa menjadi buktinya. Oh ya, beberapa menit lagi mereka sampai.” Aku tersenyum penuh kemenangan. Niko mendekatiku, ingin mengambil ponsel itu. Aku dengan sigap, berjalan mundur.
“Kalau kamu maju, aku akan telepon mereka sekarang juga.” Aku mengancam Niko.
“Sekarang apa maumu? Aku akan mengabulkan semuanya asalkan kamu nggak kasih tahu orang tuaku,” kata Niko dengan nada cemas.
“Kamu bahkan nggak tanya, dimana dan bagaimana kondisi Maya. Kamu cuma peduli dengan dirimu sendiri. Apa memang benar, kamu mencintai gadis gila itu? Apa kamu nggak malu punya pacar gila sepertinya?” tanyaku kesal.
“Freya, aku cuma mau kamu serahin ponsel itu. Aku janji, aku nggak akan menyakiti kamu. Aku nggak peduli sama Maya. Dia memang cewek gila. Dia terlalu terobsesi denganku,” ujarnya membela diri. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Aku menoleh ke arah kamarku. Semua ucapan Niko pasti juga didengar oleh Maya yang aku sembunyikan di kamarku. Aku tahu, Niko lebih menyayangi orang tuanya dibandingkan Maya. Tak heran, Niko rela menikah denganku karena didesak orang tuanya. Niko yang melihat arah pandangku, langsung bergerak menuju ke kamarku.
“Ya. Kamu memang lebih menyayangi orang tuamu dari pada Maya,” ujarku memperjelas.
Niko membuka kamarku dan menemukan Maya terikat di kamarku. Mulutnya tertutup dengan plakban sehingga Maya tidak bisa bicara. Niko ingin membebaskan Maya, tapi kemudian dia berhenti setelah mendengar ucapanku.
“Sebentar lagi papa dan mama datang. Apa kamu mau Maya membunuh mereka? Dia bahkan mau membunuhku demi kamu. Apa nggak berarti, dia juga akan membunuh orang tuamu demi mendapatkan kamu?” Rupanya kalimatku memang ampuh. Niko justru mengunci Maya di kamarku. Maya pasti berusaha membebaskan diri. Suara gumam tak jelas terdengar keluar dari mulutnya.
“Ucapanmu memang benar. Aku memang nggak mau orang tuaku tahu semuanya. Aku sangat menyayangi mereka. Kita perbaiki hubungan kita mulai saat ini ya?” Niko mendekatiku lalu bersujud di hadapanku. Aku terkejut dan menyuruhnya bangkit berdiri. Namun mendadak tubuhku diangkat hingga ponsel Maya terjatuh di lantai. Tak lama Maya keluar dari kamarku. Ternyata Niko tidak mengunci pintunya. Dia hanya berpura-pura mengunci pintunya. Dan entah bagaimana Maya bisa lolos dari ikatanku. Mungkin Niko diam-diam membebaskan Maya dari ikatannya dan aku tidak bisa melihatnya karena keterbatasan jarak.
Niko membopong tubuhku menaiki tangga lantai dua. Di lantai dua, hanya ada gudang dan tempat jemuran baju. Maya mengikuti Niko sampai ke puncak tangga. Aku meronta sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Aku tidak mau mati.
“Sudah saatnya kita menjalani rencana kita,” ujar Maya pada Niko. Niko mengangguk. Dia menurunkan tubuhku di puncak tangga. Kedua tanganku masih dipegangnya erat-erat.
“Yang mereka tahu, kamu mati karena nggak sengaja jatuh dari tangga.” Suara Niko bagaikan suara kematian bagiku karena bersamaan dengan itu, Niko dan Maya mendorongku keras-keras menuju bawah tangga. Tubuhku serasa melayang, meluncur ke bawah. Mendadak aku teringat dengan wanita bergaun putih yang aku lihat di cermin tadi pagi. Wanita bergaun putih itu mirip sepertiku. Aku juga mengenakan gaun putih yang sama seperti yang dikenakannya. Baru aku sadari, ternyata akulah wanita bergaun putih yang tampak di cermin. Sosok itu adalah pertanda atas kematianku sendiri dan aku terlambat menyadarinya.
=THE END=
bagus ceritanya, jika berkenan tolong Like ceritaku juga ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575
terima kasih , smoga sukses selalu :)