Read More >>"> Superhero yang Kuno
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Superhero yang Kuno
MENU
About Us  

            

             “Mau siapa pun presidennya, sehebat apa pun...percuma, sama saja! Negeri kita tak akan maju kalau rakyatnya belum mau bergerak dan malah bermalas-malasan. Sibuk mengurusi hal-hal tak berarti!”

             “Iya, Ayah. Semua juga tahu itu...” Aku menatap ayahku yang sekarang sedang berdiri di depan pintu kamarku.

             “Ya, semua tahu. Tapi hanya beberapa yang benar-benar melakukan sesuatu.”

             Aku merasakan tatapan Ayahku yang tajam seolah menyindirku. Tapi aku tetap tak mau kalah.

             “Semuanya juga sudah berusaha! Hanya saja karena pemimpinnya begitu, umm...gerak rakyat jadi lambat?”

             “Gerakan selambat siput pun, jika memang berarti, akan tetap memiliki arti. Memangnya kau pikir perubahan itu bisa dilakukan dengan instan dalam sehari? Sadar! Segala sesuatu yang instan tak pernah baik. Kau tahu kosmetik yang bisa memutihkan dalam hanya hitungan hari? Yang muncul di iklan-iklan itu? Gila! Konyol sekali, seakan itu benar dan tak berbahaya saja. Lagipula untuk apa mengubah warna kulit? Kenapa tidak bersyukur dengan apa yang dimiliki saja? Ibumu tak pernah berlebihan menggunakan ini-itu, tetapi kecantikannya luar biasa! Terpampang jelas dengan segala keanggunannya yang sederhana dan kepribadiannya yang mempesona.”

             Bla-bla-bla-bla-bla-bla-bla-bla......
 

             Aku diam saja sambil menutup telinga. Jujur saja nasihat-nasihat ayah bagaikan desis radio rusak di telingaku. Ah―durhaka kah aku? Tapi aku masih muda, pikirku. Bukankah ini saat yang tepat untuk melakukan hal-hal biasa yang tidak terlampau rumit? Yah, hal-hal yang sering dilakukan oleh remaja pada umumnya...seperti misalnya...nonton film terbaru, atau mengunjungi kafe yang baru dibuka? Ah, manisnya. Tapi hal-hal manis itu dianggap dangkal oleh ayahku. Ayahku yang kuno!

             “Pokoknya. Mulai besok Ayah tidak mau melihatmu bermalas-malasan lagi. Memangnya sudah berapa hari liburanmu dilewatkan dengan bermalas-malasan tanpa melakukan hal yang berarti?”
 

             Baru seminggu, Yah...aku masih belum puas beristirahat melepas penat...

            
             Sebenarnya aku ingin membalas ucapan ayah lagi. Tapi kuurungkan niat itu. Kalimat penyangkalan hanya kuucapkan dalam hati karena aku tak ingin membuat Ayah menjadi lebih kesal.

             “Jika itu masih terjadi, Ayah akan mempertimbangkan untuk mengusirmu dari rumah. Sekian.”

             “Hah? Apa? Ayah tidak serius kan?”

             Aku benar-benar kaget. Ayahku adalah orang yang serius. Tapi kali ini, ia pasti sedang bercanda...pasti...pasti?

             Ayah diam. Raut wajahnya masam. Namun, kata yang akan mengalir selanjutnya adalah kata-kata penuh kelembutan yang menenangkan.

             “Sekarang ayo kita makan. Ayah sudah menyiapkan makan malam.”

             Aku menghela napas lega. Di balik topeng dirinya yang keras seperti tembok besi berlapis baja, ia adalah pribadi yang demikian lembutnya.

             “Tapi sebelum makan kau harus mandi! Ayah tau kau bahkan belum mandi sama sekali dua hari ini!”

             Aku mengangguk malas sambil bergumam tak jelas. Pintu berderit pelan sekali dan tak lama kemudian menutup.

             Percakapan tidak jelas itu menjadi penutup debat kami di senja yang jingga ini. Aku menarik kasar tirai jendela kamarku sambil menghela napas dalam. Hah...Ayah memang selalu begitu. Tak mau kalah. Hal-hal kecil diubah menjadi hal besar, dan hanya karena aku bermalas-malasan sebentar, percakapan sudah ngalor ngidul kesana kemari. Ke pemerintahan, ke kepemimpinan, duh...lelah sekali rasanya!

             Hmm...mungkin aku juga salah karena menyalahkan segala sesuatunya ke tampuk pemerintahan tadi. Ayah berkata bahwa kemalasan adalah awal penghancur bangsa, dan aku, sebagai bagian dari bangsa, harus menghindari sifat buruk itu. Tapi aku bersikeras kemajuan bangsa ada pada kendali pemimpinnya.

             Ayahku adalah seorang pekerja keras. Ia bekerja begitu giat tanpa mengeluh. Prinsipnya kuat dan sejak aku kecil, Ayah yang populer di kalangan teman-temanku sudah mendapat julukan dari mereka. Julukan yang kurasa sangat pas―Paman Besi. Aku yang sudah menyukai Bahasa Inggris sedari dulu juga ikut memberikan julukan yang tak kalah kerennya―Iron Dad. Sebenarnya julukan ini terinspirasi dari buku tulisku saat SD dulu. Yaitu buku tulis bergambar Iron Man, tokoh superhero yang terkenal itu. Dulu aku tak pernah tau apa itu Iron Man, namun aku yakin dia pastilah memiliki setidaknya beberapa kemiripan dengan Iron Dad. Atau jangan-jangan ayahku adalah tokoh superhero yang legendaris itu sendiri.

             Aku sengaja tidak segera mandi dan malah menghidupkan TV. Kali ini aku tak ingin makan bersama Ayah. Siapa tahu Ayahku itu belum benar-benar selesai marah. Sejam, dua jam, lama-lama aku bosan juga dan bergerak ke arah ruang makan. Betapa terkejutnya diriku, ayah masih disana. Beliau bahkan belum menyentuh makanannya sama sekali.

             “Lama sekali! Ini sudah lewat waktu biasa kita makan malam! Dan kau bahkan belum mandi?!! Anindyaaa!”

             Aku tak tahu harus berbuat apa.

             “Duduk dan cepat makan!”

             Kulakukan seperti apa yang diperintahkan ayah dan membuka tudung saji kecil yang menutup makananku. Makanan yang telah disiapkan ayah adalah nasi goreng sayur kesukaanku. Sebenarnya kurang tepat disebut nasi goreng. Nasi ini sedikit berkuah. Tidak biasa memang, tapi aku sangat menyukainya. Sambil menyendokkan makanan lezat itu ke mulutku, aku berpikir untuk mengatakan sesuatu agar sepi yang membuatku ngeri ini bisa pecah.

             “Ayah? Kenapa menungguku?”

             Ayah pasti masih belum puas marah jadi sengaja menungguku, hatiku berbisik jahat.

            
             “Berdua saja sudah sepi, kau masih mau makan sendiri?”

             Aku tersedak.

             “Pokoknya selama Ayah masih ada, Ayah tak akan membiarkanmu makan malam sendirian saja. Karena pada malam hari lah kita bisa benar-benar berbicara sebenar-benarnya. Ah, jangan salahkan Ayah kalau nasinya sudah dingin. Salahmu sendiri datang lama sekali.”

             Tanpa sadar mataku berkaca-kaca.

 

             Ayah begitu peduli padaku. Ya. Kami memang hanya berdua. Ibuku sudah pergi untuk selamanya beberapa tahun lalu. Sejak saat itu ayah berubah profesi menjadi tak hanya karyawan teladan, tetapi juga ayah rumah tangga. Pagi hari, Ayah bekerja. Kemudian segera setelah pulang di sore hari, ayah akan melakukan pekerjaan rumah tangga yang belum sempat dilakukannya subuh-subuh.

             Ah―Ayahku yang kuno. Begitu keras kepala, prinsipnya sekeras baja. Kegiatannya terorganisir begitu rapi, dan ia memanfaatkan setiap detik waktunya melakukan hal yang berarti. Selera musiknya adalah musik-musik zaman baheula. Ia suka sekali bernostalgia. Dan, ia begitu peduli padaku. Juga pada anak-anak lain. Karena itu, meski tak banyak bicara, ia sangat populer di kalangan anak-anak. Anak-anak itu suka padanya karena ia tak segan-segan memberikan mangga ranum kami meski mereka sudah ketahuan memanjat pohon untuk mencuri mangga. Ia juga begitu pemaaf. Hatinya lembut, tak seperti cover dirinya yang keras seperti baja. Ayah yang kusayangi, kukagumi, meski terkadang membuatku kesal setengah mati.

             Aku menunduk, menyesal. Kalau dipikir-pikir, memang aku lah yang salah. Meski ini liburan, tak semestinya aku hanya bermalas-malasan. Dan memang, meski aku tidak bisa mengatur jadwal dengan begitu teliti seperti ayah, setidaknya aku bisa mencoba...untuk melakukan sesuatu. Sesuatu di luar rutinitas kemalasanku. Sesuatu selain menatap layar smartphone, tv, atau pc berjam-jam. Sesuatu yang berguna!

             Tapi aku masih muda...

             Justru karena aku masih muda!

             Aku harus berkarya! Tak boleh ada waktu yang kubuang percuma lagi...hidup ini hanya sekali.

            

             Aku mengangkat kepala dan lurus memandangnya. Ah, Ayahku yang kukagumi. Ayahku yang bagaikan superhero! Superhero ku yang kuno! Sejak kapan rambutnya yang legam mulai beruban? Sejak kapan wajahnya yang bersinar mulai terlihat lelah dan renta?

             “....Ayah.”

             “Kenapa?”

             Aku menggeleng pelan. Dalam hati aku berujar....
 

             Ayah, maafkan aku. Mulai besok, aku tak akan mengecewakanmu.

 

                                                                                                
 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HIRI
121      95     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?
Kuliah atau Kerja
473      263     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?
Kepak Sayap yang Hilang
77      72     0     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
3869      1574     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
Mama Tersayang
351      266     2     
Short Story
Anya, gadis remaja yang ditinggalkan oleh ayah yang amat dicintainya, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan. Kini, ia harus hidup berdua dengan ibu yang tak terlalu dekat dengannya. Senang atau tidak, Anya harus terus melanjutkan hidup tanpa ayah. Yang Anya tidak sadari, bukan hanya ia yang kehilangan ayahnya, ibunya pun kehilangan suami, dan teramat mencintai dia, Anya, putri satu-sa...
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1000      539     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...
Gadis Kopi Hitam
1039      728     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
Amor Vincit Omnia
544      393     1     
Short Story
\'Cinta menaklukkan segalanya\'. Umpama darah yang mengalir ke seluruh tubuh, cinta telah menaklukkan rasa benci yang bagai melekat dengan tulang dan daging. Jika hujan mampu sampaikan pesan pada ibu, maka ia akan berkata, “Aku sungguh mencintainya. Dan aku berjanji akan menjaganya hingga berakhir tugasku di dunia.”
Meruntuhkan Keraguan
1162      746     3     
Inspirational
Dengan usaha kita bisa berjalan menuju tempat yang diinginkan. Namun, jika disertai dengan doa, maka kita bisa berlari sangat cepat ke tempat tersebut.
Because We Are Family
383      289     0     
Short Story