Aku mengetahuinya. Jadwal tidurmu, makanan kesukaanmu, tempat favoritmu, segala tentangmu. Aku tahu kamu tak langsung tidur setelah meneleponku malam-malam. Aku tahu perjuanganmu menghabiskan tumis kangkung buatan ibuku walau kamu tak sedikit pun menyukainya. Aku pun tahu saat ini kamu bersembunyi di balik lemari, tergesa-gesa mengetik pesan di ponselmu. Begitu banyak hal yang kutahu tentangmu hingga kamu pun berniat mengkhianatiku. Iya, kan?
Aku tahu kamu panik. Ketika pintu kamarmu kuketuk-ketuk, jantungmu meletup sesaat. Ketika buku-buku di rak kamarmu kujatuhkan, napasmu mulai tak keruan. Ketika nyala lampu kamarmu kupermainkan, langkahmu bergegas mengambil ponsel dan mencari tempat persembunyian. Apa menurutmu, ponsel itu bisa mengusirku darimu?
Dua menit berselang, kamu masih saja duduk bersandar di belakang lemari. Tanganmu masih berkutat di ponsel itu. Siapa orang yang ingin kauhubungi? Apa orang itu sangat penting hingga mengabaikan kekasihmu yang kini di dekatmu? Ah, benar juga. Kamu tak akan bisa melihatku yang kaubunuh tiga jam lalu. Iya, kan?
Ketika langkahku mendekat, kamu bergidik. Jarimu yang makin cepat mengetuk layar membuatku risih melihatnya. Aku menendang ponsel itu, mengusirmu yang tunggang langgang keluar kamar, terpincang-pincang menyuruk ke ruang tamu. Ketika kukejar lajumu, kupandangi tubuhmu gemetar menggigil. Sekarang, mati kutu kamu jadinya, kan?
Lagi pula, sejak awal ini salahmu. Aku tak ingin menyakitimu, hanya ingin penjelasanmu. Aku ingin tahu kilahmu. Hanya itu yang tidak kutahu darimu. Alasan penting apa yang mengharuskanmu membuang tunanganmu sendiri dari hidupmu? Kalau alasan itu memang ada, maka tak ada lagi sebabku menghantuimu. Tak ada lagi dasarku bergentayangan di dunia fana ini. Sekarang, apa kamu punya alasan itu?
Aku pikir tidak.
Kamu hanya diam di sana, meringkuk menutup kepala setelah tak mampu membuka pintu rumahmu yang kusembunyikan kuncinya. Apa sebegini saja pembelaanmu atas kejadian tiga jam lalu? Hei, jawab aku! Apa rasa takut membuatmu tuli?
Berkat ketakutanmu, kita membeku bagai patung maneken. Aku menanti jawabanmu, sedang kamu meromok setengah mati. Ketika guci di sampingmu kujungkirbalikkan, barulah wajah pucatmu mendongak ke arahku, memancarkan gelisah yang justru membuatku iba. Jujur saja, Ted, aku memang tak cakap menakuti orang. Kamu pun harusnya tahu itu.
Tapi aku tetap butuh jawabanmu.
Aku beranjak ke sakelar lampu, mempermainkan nyalanya untuk menghidupkan debar jantungmu lagi. Aku tahu kedap-kedip lampu membuatmu risau tak keruan. Dengan ini, kuharap kamu bisa bangkit dan menceritakan semuanya padaku. Namun kemudian, kamu berdiri dengan kengerian yang tak berubah, berjalan sesaat sebelum akhirnya berlari histeris ke pintu belakang rumah. Sampai kapan kamu ingin lari?
Jujur saja, Ted. Aku tak paham pola pikirmu. Aku memang menyelinap ke rumahmu dan memasuki ruang rahasia yang kaularang itu. Tak ada yang menarik di sana kecuali kotak kayu tua di atas meja yang tak menyimpan apa pun selain buku yang menyebutkan bahwa Eddie Martin, yang kuduga adalah ayahmu, menumbalkan seluruh anggota keluarganya untuk bersekutu dengan iblis—hanya kamu yang berhasil lari.
Lalu apa? Apa hanya itu alasanmu menyingkirkanku dan mengoyak isi perutku, lalu membuang mayatku jauh-jauh dari tanganmu?
Aku tak paham. Itu bukan salahmu. Sama sekali tak tebersit di hatiku untuk meninggalkanmu hanya karena itu. Tapi kamu, tanpa pikir panjang lagi, menghunus pisau dingin itu padaku dengan wajah yang tak kalah dinginnya. Tanpa rasa dosa, kamu diam saja setelahnya, memandangiku yang kehabisan darah dengan usus terburai berceceran. Apa ini yang kauinginkan?
Sekarang lihat akibatnya, Ted. Melihatku pun kamu tidak bisa. Apa kamu membunuhku hanya karena khawatir aku akan menyebar aib yang sama sekali tak kupermasalahkan itu? Atau karena sebab lain—ada perempuan lain yang membuatmu jatuh hati, misalnya? Ceritakan padaku. Aku tak menjamin akan memaafkanmu setelahnya, tapi dengan begitu kupikir jiwa ini akan lepas dari sini. Kamu pun tak akan dihantui lagi setelahnya.
Jika kamu terus lari begini, aku pun tak punya pilihan lain selain mengejarmu. Derap langkahku terasa berat mengejarmu ke pintu belakang rumah—kamu juga pasti muak dengan kejar-kejaran ini. Jadi mengapa? Untuk apa lari lagi?
Dan jika kamu ingin bersembunyi, aku pun sudah tahu seluk beluk lingkungan rumahmu. Baik depan maupun belakang rumah ini dibatasi jalan raya yang tak jarang dilewati kendaraan berat, sehingga tak banyak tempatmu untuk sembunyi dariku. Kalaupun kamu tetap memaksa, sampai lubang tikus pun kamu tetap kucari.
Tidak, aku tak ingin membunuhmu, hanya ingin jawabanmu.
Ketika kususul dirimu yang terkadung mamang, kulihat ragamu terkapar di seberang jalan. Sebuah mobil terhenti di sampingmu, tampaknya telah menabrakmu. Ketika sopirnya panik dan keluar memeriksamu, kutahu kamu baik-baik saja. Percekcokan pecah di seberang sana. Sopir itu terus meneriakimu, sementara kamu menarik lengan bajunya dengan teriakan histeris. “Hantu! Hantu!” Berulang kali kudengar itu darimu.
Kelihatannya kamu tidak tertabrak, hanya terpelanting tepat di depan mobilnya. Lucu sekali karena kalau tidak salah, kejadian ini mirip saat kita bertemu dulu. Kamu kan, yang dulu hampir menabrak Denis hingga menangis? Bukan hanya Denis, kamu juga ikut menangis. Saat itu, ibuku heran melihat kalian menangis di teras rumah. Ibu langsung menarik tangan anak bungsunya sembari melihat wajahmu yang merah dan basah. Rasa bersalah tampaknya membuatmu mengantar Denis pulang ke rumahnya. Ibu memintamu masuk, berat hati melihat pemuda dua puluh tahunan yang tak dikenalnya menangis usai keluar dari rumah. Malu dilihat tetangga, mungkin begitu pikirnya.
Saat itu, aku tak menaruh perhatian padamu. Aku melihatmu sebagai orang asing yang entah mengapa disukai Denis dan orang tuaku, terlebih saat mereka tahu hidupmu yang sepi sejak ayahmu tewas dalam penjara. Setelah tahu itu, keluargaku mulai menganggapmu bagian dari mereka. Kupikir itu aneh, tapi tak selintas pun aku peduli tentang itu. Keluargaku hanya terbawa perasaan, itu saja yang ada di benakku.
Sejak saat itu pula, Denis selalu punya teman main di rumah. Gaya bicara membuatmu cepat berbaur dengan anak-anak kecil, dan itulah yang ibuku suka darimu. Tak seperti Ayah, kamu tidak suka mengotak-atik kendaraan, sehingga jarak secara alami muncul di antara dirimu dengannya. Kupikir kamu sama sekali tak tahu tentang otomotif, sehingga nyalimu segan saat bertemu ayahku yang tak jarang memodifikasi motornya di depan rumah. Nyatanya, ketidaktahuanmu itulah yang membuatmu banyak bertanya dan malah jadi dekat dengannya. Saat Ayah tahu kualitas suara dan kepiawaianmu dalam bermusik, tambah senang dia saat kamu datang ke rumah.
Pada akhirnya, perhatianku mulai tertuju padamu. Ketersediaanmu mengantarkanku saat tak ada tumpangan memperkenalkan karaktermu padaku, sedang kecakapan jemarimu memetik senar gitar menggugah citaku. Bagai benang yang menyambung dua cari kain, waktu pun perlahan mendekatkan kita berdua. Duh… masih kuingat tingkah bodohmu saat melamarku dulu. Mimpiku dilamar oleh pria tampan di atas kapal pesiar jatuh bebas saat kamu mengutarakan perasaanmu di meja makan keluargaku. Dengan kecanggungan yang tak jauh beda, aku juga mengiyakan proposalmu tanpa pikir panjang lagi. Bodohnya….
Saat itu, Denis masih enam tahun. Dunia masih indah kala itu. Kamu pun masih menjadi laki-laki baik hati dan jujur, setidaknya mau mengakui kesalahanmu sendiri. Penampilanmu saja membuatku yakin kamu ditindas habis-habisan oleh lelaki lain saat sekolah dasar, tapi itulah yang kusuka darimu. Makin lama, keluargaku makin tertarik denganmu. Namun layaknya waktu yang mendekatkan kita, waktu pulalah yang mengubahmu, menciptakan jarak antara kita berdua. Waktu membuatmu berubah terlalu cepat. Meskipun, yah, kurasa aku pun perlu bersyukur karena belum menikah denganmu.
Maksudku, lihat dirimu yang sekarang. Seorang pengecut. Usai dibentak sopir itu habis-habisan, rengekmu justru memintanya memberi tumpangan padamu. Aku memasuki kursi belakang mobil sang sopir sembari melihatmu dalam kondisi yang terlanjur memalukan. Kamu menarik lengan sopir itu dengan histeris, namun dia kukuh menolakmu. Bincang-bincang dramatis terjadi di tengah jalan, sebelum akhirnya serbuan klakson dari barisan mobil di belakang sopir itu memaksanya menarikmu masuk. Tampaknya, kamu berhasil membujuknya.
Setelah kamu berhasil mendapat tumpangan, lalu apa? Apa kaupikir mobil ini bisa membuatku menyerah? Pikir itu sekali lagi, Ted. Sampai ujung dunia pun akan kukejar jawabanmu itu.
Karena itulah tujuanku. Iya, kan? Arwah gentayangan tak akan pergi sampai ia berhasil melepas rasa penasarannya. Jujur saja, aku juga ingin ini cepat selesai. Hidup tanpa bisa dilihat atau menyentuh siapa pun itu bukan hidup namanya, tahu? Sejak sadar tadi hanya gagang pintu dan benda mati lainnya yang mampu kujamah, sedang tubuhmu seolah menembus raihan tanganku. Kamu pun tak merespons sahutanku berkali-kali. Saat kucoba menjerit di sini, tetap saja kupingmu tuli. Reaksi yang sama ditunjukkan si sopir, bapak tua itu tampak tak acuh. Sepanjang perjalanan, ia terus berceloteh bahwa hantu atau setan tak akan mau menampakkan diri sebagai makhluk halus. Dari ucapannya, aku tahu kamu sudah cerita banyak tentangku di tengah jalan tadi. Apa kamu juga sudah menceritakan adegan pembunuhannya? Atau kamu ingin aku yang cerita? Sayang sekali, kan, kalau tidak beberkan semuanya?
“Kalaupun mereka mau, ya pasti mereka nyamar jadi manusia dulu, lah! Setan itu nggak kayak di film-film yang nakut-nakutin nggak jelas tanpa alasan,” lanjut celotehan sinis si sopir dengan nada kebapak-bapakannya, namun sepanjang apa pun ia mengoceh, kamu terus saja bergeming. Dengan kepala yang lesu bersandar di kaca mobil seperti itu, tampaknya kamu sudah merasa tenang bisa lari dariku. Benar, kan?
Omong-omong, apa yang kaulihat di luar jendela sana?
Saat kualihkan mataku ke luar jendela mobil, lampu lalu lintas dan lampu jalan yang digantung di atas pohon besar langsung menarik perhatianku. Lampu-lampu itu memang tidak wajar. Siapa pun tahu lampu lalu lintas harusnya ditopang tiang dan bukan pohon besar, tapi konon, barisan pohon di sepanjang jalan ini tidak bisa ditebang sejak puluhan tahun lalu. Karena sukar ditebang dan memakan banyak tempat, orang-orang memilih melilitkan kabel lampu di dahan-dahannya sebagai media penerangan dan pengatur lalu lintas. Sepanjang pengetahuanku, hanya ada satu tempat unik semacam ini di sekitar sini.
Jadi, mau apa ke rumahku, Ted?
Tentu saja aku tahu tempat ini. Ini jalan tercepat dari rumahmu menuju rumahku. Selain karena rutenya yang terlalu berkelok-kelok, jalan ini juga jarang dilewati orang karena banyaknya isu angker yang beredar. Barisan pohon yang dianggap keramat di sini seolah mengamini hal itu. Sebagai orang tua yang menganggap enteng hal-hal gaib, tentu saja si sopir memilih mengantarmu lewat sini. Lagian, rumahku kira-kira hanya berjarak tiga ratus meter dari ujung jalan ini. Sudah pasti rumahku yang jadi tujuanmu, kan?
Jadi, Ted, hal apa yang ingin kaulakukan di rumahku?
Jika kamu ingin membicarakan tragedi ini pada keluargaku, tentu saja kusambut baik niatmu itu. Aku tak tahu persis bagaimana reaksi mereka nantinya, tapi Ayah pasti marah besar padamu. Polisi akan jadi solusi, tentunya. Karena kamu sendiri yang mengakuinya, penjara mungkin akan menemani sisa hidupmu.
Tapi aku tidak sejahat itu. Kalau bisa, aku pun ingin menemanimu. Aku ingin membelamu karena keinginanmu mengakui perbuatanmu sendiri. Korban yang membela pelaku mungkin terdengar aneh, tapi bagaimanapun juga, kamu pernah, dan masih ada di hatiku. Kalau saja aku tidak melihatmu yang memegang pisau waktu itu, sampai sekarang pun aku tak akan percaya kamu pelakunya. Kalau aku bisa tenang tanpa melewati fase antara hidup dan mati ini, sampai kapan pun aku tak akan pernah menghantuimu. Kurasa ketidakpercayaanku bahwa kamu seorang pembunuhlah yang membuatku bangkit lagi ke dunia ini.
Tapi nyatanya, semua itu terjadi. Kamu membunuhku, dan kini giliranku menghantuimu.
Maksudku, melihatku saja sekarang kamu tidak bisa. Ini… apa kaurasakan itu? Aku baru saja menarik telingamu, tapi tak sedikit pun respons kauberikan. Biasanya tubuhmu menggeliat geli saat kuraba telingamu seperti ini, tapi hanya geming yang kini kauberikan. Kamu terus saja merenung di sana, entah memandang apa ke luar jendela. Hei, apa aku kalah menarik dengan yang di luar sana, Ted?
Lihat aku di sini. Tunanganmu merindukan bayangmu. Tawa canggungmu, logat kakumu, gelagap konyol saat kusembunyikan kacamatamu… ke mana semua itu pergi? Ini bukan kamu yang dulu. Teddy yang dulu tak mungkin membuat mataku sembab begini. Kalau air mataku jatuh di bahumu sekarang, apa kamu bis—"Berhenti di sini, Pak!"
Tunggu… apa?
Ke mana kamu pergi? Rumahku mungkin masih dua ratus meter lagi dari persimpangan di depan sana. Apa tujuanmu berhenti di sini?
Selagi menghentikan mobilnya, sopir tua itu menadahkan tangan di depan wajahmu bagai sopir asli meminta upahnya. Aku bergerak keluar mobil saat melihatmu menepis tangannya. Mataku menerawang sudut-sudut jalan, berkeliling mencari sesuatu yang menarik perhatianmu. Ke mana tujuanmu yang sebenarnya? Apa yang membuatmu ingin berhenti di sini? Selama ini, berapa banyak yang kausembunyikan dariku dan keluargaku, Ted?
Omong-omong, apa Ibu dan Denis mencemaskanku yang belum pulang, ya? Tidak, mereka pasti mengira aku masih ada di rumahmu, bermain hingga larut malam sebelum akhirnya kaumemulangkanku kembali ke kamarku. Begitu kan, yang biasa kita lakukan? Mereka percaya padamu, tapi kamu justru mengkhianatinya. Bodoh.
Saat langkahku kembali ke mobil, kudengar cekcok kembali pecah dari mulut sopir itu denganmu. Bapak tua itu berjalan keluar mobil, membukakan pintu untukmu, menarik lenganmu, dan mencampakkanmu keluar mobil. Saat aku keluar menyusulmu dan sang sopir, kujumpai matamu sudah memar sebelah. Bapak tua itu kembali ke mobilnya, berteriak memakimu, sebelum akhirnya meneruskan lajunya entah ke mana. "Awas mati, lo!" serunya sebelum pergi.
Sekarang bagaimana, Ted?
Bukannya hiraukan sopir itu, kamu malah lanjut berjalan dengan mata yang benar-benar kosong. Berkat ini, aku ragu akan keinginan mengakui perbuatanmu sore tadi. Bisa saja kamu pergi ke sini untuk bersiap menghabisi Denis dan yang lainnya agar bisa lari sepenuhnya dariku—tidak… tidak mungkin. Teddy yang kukenal mana mungkin jadi pembunuh berantai. Tapi apa, Ted? Apa sesuai dugaanku, ada perempuan lain yang mencemari pikiranmu sekarang?
Hei! Jawab, dong!
Kalau aku berjalan mundur di depanmu begini sembari berharap kamu bisa melihatku, apa mungkin harapan itu bisa terkabul? Orang-orang di film bisa melihat hantu kekas—Ah, kurasa itu juga mustahil. Bagaimanapun juga, kamulah yang membunuhku. Kurasa kita bahkan tak bisa disebut kekasih lagi sekarang.
Lagian, kamu terus saja berjalan sempoyongan bak orang linglung tanpa menyadari kehadiranku di hadapanmu. Tatapanmu kosong, seolah tak ada hal menarik di hadapanmu. Apa aku benar-benar tak tampak di matamu, Ted? Atau aku memang tak menarik lagi sehingga kamu bahkan tak menganggapku ada di hadapanmu?
Dasar aku. Bicara sendiri begini tak akan menyelesaikan masalah. Iya, kan, Ted?
Lagi-lagi aku bicara sendirian.
Tapi mau bagaimana lagi? Kamu juga tak mau menjawabku. Sepanjang perjalananku mengikutimu, aku hanya mengoceh ke arahmu tanpa sedikit pun balasan kuterima. Saking tak acuhnya, persimpangan yang menjadi perbatasan jalan ini tak terasa sudah di depan mata. Dari sana, kita belok kiri, kan?
Kenapa malah berhenti?
Saat sampai di persimpangan, langkah sempoyonganmu berhenti seiring munculnya seorang wanita yang tampak cemas di ujung jalan. Kamu tampak mengenalnya—sepertinya aku pun begitu. Sosoknya begitu kukenal sampai aku tak percaya pernah mengenalnya dalam hidupku. Bagai sepasang kekasih, kamu berlari dan mendekap perempuan itu, meninggalkanku di persimpangan seorang diri. Saat ia melepaskan pelukanmu, barulah kusadari bahwa aku salah menilaimu.
Tidak, Ted. Dia bukan aku.
Keparat di pelukanmu itu benar-benar meniru tubuh asliku.
Ayolah! Dia mungkin tampak sepertiku, tapi tentu bukan aku. Bagaimana mungkin kamu memeluk orang hanya karena wujudnya yang mirip denganku?
Coba lihat wajahnya! Itu bukan ekspresi yang biasa kutampakkan padamu, bukan? Maksudku, ayolah! Aku tak pernah melepaskan pelukanmu secepat itu, bukan? Kamulah yang biasanya melepaskannya duluan karena aku tak pernah ingin lepas darimu. Tapi dia… dia melemparmu begitu saja. Tak lama berselang, peniru itu mengalihkan pandangannya padaku sebelum akhirnya berlari dengan mata terbelalak ke arahku.
Ini gila… apa dia bisa melihatku?
Ayolah, Ted! Apa kamu tidak heran melihatku melepas pelukanmu hanya untuk mengejar sesuatu yang tak bisa kaulihat? Ia mengulur tangannya, mencoba menggapaiku yang sebisa mungkin menjaga jarak darinya. Di matamu, ia tampak seperti memburu angin, kan? Apa itu tak cukup mengherankan buatmu?
Langkahnya terus mengganas seiring upayanya memojokkanku ke dinding di sisi jalan. Aku menepis lengannya, melempar tubuhnya sejauh mungkin dariku. Si palsu itu terbanting ke trotoar, memberiku kesempatan untuk lari darinya.
Aku tak paham apa pun lagi. Semua ini sudah jauh di luar nalarku. Ketika ia mencoba bangkit, ragaku bergerak cepat menjauh darinya. Tanganku gemetar seiring gegas langkahku sembunyi di rumahku. Aku tak tahu apa kamu paham situasinya, tapi aku pun sadar bahwa kamu tak dapat mendengarku. Ini gila…. Ted, jika kausadar bahwa dia bukan diriku, berjanjilah untuk menemuiku di rumah. Aku tak tahu bagaimana caranya membuatmu sadar akan situasi ini, tapi aku tak punya pilihan lain selain sembunyi. Ayolah, Ted! Cepat sadar dan temui aku di rumah! Dia bukan aku, ingat itu!
Tanpa berpikir dua kali, langkah membabi butaku menyeruduk langsung ke arah rumah. Saat kusambangi rumah, kutemukan gerbangnya terbuka lebar-lebar. Kenapa lampu rumah masih menyala malam-malam begini? Aku tak tahu apa yang Ibu masak malam ini, tapi bau amis tercium bahkan dari sudut pekarangan rumah. Apa Denis dan lainnya masih belum tidur? Sedang makan apa mereka di dalam? Ah, dasar. Beraninya orang tuaku makan tanpa mengajak anak sulungnya. Ataukah… mereka makan-makan sembari menungguku pulang?
Jujur saja, aku yakin mereka sudah bertemu plagiat itu. Tapi keluargaku tidak sepertimu, Ted. Iya, itu pasti! Aku yakin mereka menyadari si palsu itu lalu mengusirnya keluar rumah. Aku yakin Ibu menungguku di rumah sembari menanti Ayah yang masih—Sial.
Sopir itu benar. Setan tidak menampakkan dirinya terang-terangan.
Darah yang mengecap di kakiku ini sudah jadi saksi bisunya. Aku tak percaya semua hal gila ini terjadi dalam sehari saja. Aku mati dan bergentayangan, bertemu peniru diriku, lalu menyaksikan keluargaku tewas tepat di hadapanku.
Tunggu sebentar, ini pasti mimpi, kan?
Tubuh ayah yang terbujur kaku di ruang tamu memaksaku terduduk lunglai di sofa. Darahnya mengalir jauh ke pintu depan. Saat kuhadapkan mata ke dalam rumah, terlihat kepala Denis mengintip di balik lemari dengan noda darah membekas keluar dari mulutnya.
Ibu… bagaimana dengan Ibu? Aku tak tahu lagi… Tekadku terlalu lemah untuk masuk lebih jauh ke dalam. Lagi pula, kondisiku yang sekarang kasat mata ini tak akan mungkin membantu. Tragedi di depan mata ini sudah berhasil menguras energiku dalam-dalam. Jujur saja, setan betina itu tak pantas lagi disebut setan. Ia lebih buruk dari itu. Saat Ayah dan lainnya sadar kejanggalan sifatnya, si setan itu pasti tak punya pilihan lain selain menutup mulut mereka rapat-rapat.
Tapi… untuk apa? Aku tak paham lagi. Pemandangan ini membuatku tak bisa berpikir jernih sedikit pun. Andai saja aku bisa kembali ke masa semuanya baik-baik saja dan—Tunggu, memangnya sejak kapan mimpi buruk ini terjadi padaku?
Kupikir semuanya baik-baik saja pagi tadi. Aku bangun tidur, membantu Ibu masak, lalu pergi ke rumahmu. Harusnya tidak ada yang aneh, kan? Kamu pun masih mengirim salam manis padaku tadi pagi, Ted. Kalaupun ada sesuatu yang beda yang kulakukan hari ini, maka itu adalah saat aku menyelinap, dan memasuki ruang terlarang itu.
Ruangan itulah awal semuanya.
Kotak itu! Pasti kotak itu penyebabnya. Kotak yang berisi buku aneh yang baru kulihat halaman depannya saja sudah tertulis pengorbanan pada iblis. Nama orang yang punya nama keluarga yang sama denganmu juga tertulis di dalamnya, tapi sebelum aku selesai membaca semuanya, kamu datang dan membunuhku dalam sekali tusuk.
Kalau saja kamu bisa menahan diri, semua ini tak akan terjadi. Kalau aku bisa membaca buku itu dengan penuh, maka tragedi ini hanya bunga tidur yang terlupakan keesokan harinya. Harusnya kamu tanya dulu untuk alasan apa aku masuk ke rumahmu tanpa izin, bukannya malah menuduhku lalu… sebentar.
Ted, sejak kapan kamu ada di rumah? Hari ini Senin, kan? Harusnya kamu masih bekerja di jam segitu. Karena itulah aku berani menyelinap sebelum… kamu datang.
Ah, bodohnya.
Sekali lagi, aku melakukan kesalahan yang sama. Kenapa aku benar-benar tolol sampai tak menyadari hal sesederhana itu, ya, Ted? Kotak itu tak hanya menyimpan buku. Si setan keparat itu juga pasti terkurung di dalamnya. Seperti yang tertulis di sana, orang yang tertulis di buku itu gagal menumbalkan seluruh anggota keluarganya karena ada satu orang yang berhasil lolos dari tragedi itu. Kamu orangnya, kan, Ted?
Iblis yang telah lama menunggumu itu pasti mengiraku sebagai tumbal terakhir untuknya, tapi mungkin karena darahku berbeda dengan pemuja setan itu, ia sadar bahwa tumbal sesungguhnya masih berkeliaran di luar sana.
Tapi… kenapa ia mengincarku dibanding tumbal yang sudah ada di depan matanya?
Benar, kan, Ted? Tadi ia melepas pelukanmu lalu mengejarku yang harusnya sama sekali tak bisa menganggunya. Ketika ia hampir berhasil menangkapku, aku menepisnya lalu… tunggu dulu.
Iblis itu sama sekali tidak meniruku. Ia mengambil alih tubuhku agar bisa dekat denganmu, menunggu dirimu lengah sebelum akhirnya mengakhiri hidupmu sebagai tumbal. Itu tubuhku, karena itulah aku bisa menepis tangannya. Alasanku hidup gentayangan begini bukan karena dendam ataupun penasaran padamu. Selama tubuhku itu masih hidup, jiwaku ini tak punya alasan untuk pergi begitu saja dari dunia ini.
Semuanya sudah jelas sekarang.
Astaga… bagaimana bisa aku baru sadar sekarang? Kalau begini jadinya, tindakanku menghantuimu tadi sore sama saja mempermudahnya bertemu denganmu. Ah, tolol! Kenapa aku terus menuduhmu merusak hubungan kita, padahal akulah yang melakukannya? Apa orang yang kaucoba hubungi saat aku menghantuimu tadi adalah aku? Karena ia mengambil alih tubuhku, maka setan itulah yang justru kauhubungi. Ia pasti memintamu datang agak jauh dari rumah agar darah bekas pembantaiannya tak tercium bagimu. Kalau sudah begitu, kamu tak akan curiga saat datang menemuinya. Iya, kan?
Ini memalukan. Jadi sejak awal, semua ini salahku. Bagaimana bisa aku menatapmu saat kembali ke tubuh asliku nanti?
Omong-omong, kenapa kamu belum ke sini juga?
Ini terlalu lama, kuyakin sudah sepuluh menit lebih. Di mana dirimu? Aku tak akan mampu lagi menolong keluargaku. Tubuh dingin Ayah kini bisa kusentuh langsung, tanda nyawanya sudah pergi tinggalkan raga. Jadi kini hanya kamu satu-satunya yang tersisa. Kalau kamu bernasib sama dengan Denis dan orang tuaku, lalu bagaimana denganku yang tak jelas hidup-matinya ini?
Ted, apa kamu benar-benar tidak bisa membedakanku dengannya?
Saat aku bangkit ke pekarangan rumah, tak sedikit pun kutemukan batang hidungmu mendekat kemari. Apa kamu belum menyadarinya juga, Ted? Harusnya itu mudah bagimu. Tindakannya tadi harusnya sudah membuatmu mengangkat alis. Ataukah… kamu terlambat menyadarinya?
Tidak.
Jangan mati dulu. Kalau kubilang jangan, ya jangan. Aku belum minta maaf padamu. Kalau saja aku tidak bertindak bodoh hingga menyelinap ke rumahmu, semua ini tak akan pernah terjadi. Sejak awal semua ini salahku. Aku yang bodoh. Jadi tolong, Ted, jangan mati, oke?
Kalau aku menjemputmu kembali di sana, berjanjilah kamu sudah menang dan mengikat setan itu kencang-kencang. Jangan terlalu kencang, karena bisa saja itu memang tubuh asliku. Aku ingin semuanya kembali. Kalaupun keluargaku tak mampu kuselamatkan, setidaknya masih ada kamu yang kutolong. Kamu keluargaku juga, kan? Setelah semua ini selesai, aku ingin kita berdua pergi jauh-jauh dari sini lalu memulai hidup yang baru berdua. Oke?
Aku belum terlambat, kan?
Di mana kamu? Saat langkahku bergerak kembali ke persimpangan, tak sedikit pun jejakmu kutemukan. Si setan itu juga menghilang. Aku menyelisik trotoar dan selokan sekitar, barangkali menemukan petunjuk darimu. Semua nihil. Tak ada pertumpahan darah atau apa pun di jalan malam yang sepi ini. Apa kamu lekas sadar dan berlari menghindarinya? Tapi ke mana kamu pergi?
Di sekitar jam sepuluh malam di pinggiran kota seperti ini ini, tak ada satu pun warung atau kios yang buka untuk menjadi tujuanmu sembunyi. Gerombolan anak muda yang senang main gitar mungkin ada, tapi aku tak yakin kamu mau berbaur dengan mereka. Kenapa kamu tidak pergi ke rumahku?
Kenapa aku dipaksa memikirkan ini sendirian?
Kalau aku jadi kamu, apa yang akan kulakukan?
Kalaupun aku harus bergerak sendiri, maka apa yang bisa kulakukan?
Bisa-bisa botak kepalaku memikirkan ini sendirian. Aku tak punya petunjuk apa pun lagi. Kalau aku tiba-tiba dihantui, maka orang terdekat seperti kekasihkulah yang kuhubungi. Kalau aku sadar kekasihku palsu, maka yang kucari adalah dirinya yang asli. Kalau ternyata si palsu itu adalah kekasih asliku yang sifatnya tiba-tiba berubah drastis, maka yang kucari adalah… penyebab perubahannya.
Kotak itu.
Kamu melarangku masuk ke ruangan itu, yang artinya buku dan kotak itu pun terlarang buatku. Aku yakin kamu tak asal melarangku melakukan sesuatu, kecuali kamu tahu risiko terburuknya. Dengan kata lain, kamu sudah menduga semua ini sangat mungkin terjadi. Iya, kan? Tapi, dilihat dari posisinya, benda yang sangat berbahaya tidak mungkin tergeletak begitu saja di atas meja. Apa kamu sangat takut hingga menyentuhnya saja enggan kaulakukan? Tapi kalau begitu caranya, kamu pun tak akan tahu isi kotak itu. Saat kamu melihat terlalu banyak kejanggalan dalam waktu berdekatan, maka hal pertama yang harus kaucurigai adalah isi kotak yang sangat kautakuti itu.
Ya, jika aku jadi kamu, maka aku tidak mungkin pergi ke rumahku. Selain buang-buang waktu, aku mungkin akan dijebak olehnya di sana. Sebaliknya, aku pasti mencari cara untuk mengecek kotak yang kuduga menjadi penyebab semua ini terjadi.
Benar, kan, Ted? Kuharap kali ini benar. Aku tak mau merundung malu karena asal menebak isi hatimu lagi.
Jadi sekarang, aku harus kembali ke rumahmu dan membaca tulisan lengkap buku di kotak itu. Kalaupun aku tidak bisa menemukanmu di sana, setidaknya informasi di buku itu mungkin bisa mengembalikan tubuhku kembali darinya. Kalau itu pun tidak bisa, maka setidaknya aku telah berusaha.
Ya, setidaknya aku telah berusaha.
Mengingat jalan utama terlalu jauh dan memakan waktu, kakiku memutuskan langkah melewati jalan sepi itu lagi. Yah, lagi pula aku tak jauh beda dengan hantu sekarang. Tak akan ada begal atau penjahat lain yang bisa menggangguku saat ini. Makhluk halus asli pun mungkin terkecoh dengan tampilanku.
Omong-omong, kalau kamu benar kembali ke rumahmu, apa jalan angker ini pula yang kaulewati? Mengingat seberapa besar bahaya nyata yang kauhadapi, kukira jalan tercepat ini pulalah yang pasti kaupilih. Setan yang jelas merasuki tunanganmu itu lebih berbahaya dibanding hantu yang masih sekadar mitos, kan?
Tapi… Ted, kamu berhasil lari, kan? Apa setan itu berhasil mengejarmu? Atau jangan-jangan, setan itu malah menungguku di sini? Kalau aku bisa menyentuhnya, maka ia pun bisa melakukan hal yang sama, kan?
Sialan.
Memikirkan itu memancing respons bulu kudukku. Selama tubuhku dirasukinya, posisiku tak akan aman di sini. Ia bisa menyentuhku kapan saja. Bisa saja ia menungguku untuk menghabiskan semua yang dianggapnya pengganggu. Pepohonan keramat di sini juga sangat cocok jadi tempat sembunyi. Kalau aku dibunuh, apa ia akan menggunakan tubuhku hingga tua nanti?
Tidak, tidak.
Akulah hantunya sekarang. Setan yang kini jadi manusia itulah yang harusnya takut padaku. Salahnya sendiri yang malah menjelmakan diri pada tubuhku. Benar, kan, Ted? Lagian, apa dulu ia juga mengalami posisi yang sama denganku, ya? Hanya dapat menyentuh benda mati, tak ada kehangatan yang bisa dirasakannya. Kalau seminggu saja aku begini, hidupku pasti benar-benar kosong….
Ah, masa bodoh dengannya. Aku hanya perlu memikirkanmu sekarang….
Jangan salah tanggap. Maksudku, memikirkan keselamatanku sendiri juga penting, tapi kamu juga jadi satu-satunya yang kupunya sekarang. Iya, kan? Kalau nasibmu sama dengan Denis, apa lagi tujuan hidupku? Duh, pikiranku jadi ke mana-mana karena sendiri terus. Sudah berapa lama aku berjalan? Mungkin ada sekitar dua jam aku di sini. Tapi, kalau sudah di titik ini, maka…
itu dia.
Di balik pabrik-pabrik berat di sana, ada rumah-rumah khusus pekerja industri. Di antara rumah-rumah pekerja itu, rumah keluargamu berdiri di antaranya. Dan di dalam rumah keluargamu itu, kamu pasti menungguku dengan kemenangan terpampang di wajahmu. Iya, kan?
Kuharap itu benar. Memikirkannya saja membuatku lupa arti lelah. Langkah demi langkah kutempuh, tak terasa gagang pagar besi yang menutup muka rumahmu sudah ada di tanganku. Saat kusingkap pagar itu perlahan, kulihat tubuhku sudah terduduk di depan pintu.
Sialan! Kenapa malah dia yang di sana? Ted… Ted! Bagaimana denganmu? Aku belum terlambat, kan?
Lagi pula apa-apaan dengannya? Belum pernah mataku terlihat mengancam begitu. Aku harus lari… tidak. Semuanya harus selesai di sini! Akan kutarik setan itu dari tubuhku hingga lepas sampai akarnya. Aku tak punya pilihan lain. Ted… apa penumbalan itu berhasil merenggutmu? Tidak! Kamu pasti selamat di suatu tempat.
“Ya-yang kaumau cuma Teddy, kan?”
Ia tak menjawab, hanya bangkit dari duduknya lalu bergerak mendekatiku. Harus kuakui, ini gila, tapi masih ada satu hal yang mengganjal di benakku. “Kalau cuma mau dia, untuk apa bunuh keluargaku?”
Sepanjang perjalanan tadi, sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. Kalau ia memang menginginkanmu, lalu untuk apa ia mencuri tubuhku dan berkeliaran di luar sana. Bisa saja ia menunggumu lalu—Bangsat!
Apa-apaan seringainya itu? Tunggu, apa ia sengaja melakukannya untuk senang-senang? Langsung naik darahku melihat ekspresinya. Aku tak mau merusak wajah sendiri, tapi—Ah! Ternyata tinjuku bisa sekeras itu. Sesuai dugaan, ia juga bisa menyentuhku. Tapi, kalau setan ini pikir aku akan mengalah, sebaiknya ia tak usah berpikir lagi.
Ia berlari menyeruduk, tapi aku siap menjambak rambutnya, melemparnya menghantam pagar. Aku tak punya waktu menghadapinya, yang harus kulakukan hanya—sial, sial, SIAL! Kenapa sebelumnya pintu rumahmu kukunci segala?
Sekarang hanya pintu belakang yang bisa kulalui. Kalau aku menguncinya juga maka—Ah!
Leherku… tangannya mencekik sembari menekan tubuhku ke pintu. Saking dekat wajahnya denganku, napas dingin kurasakan keluar dari hidungnya. Setan ini berhasil membuat tubuhku jadi monster menyeramkan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Ted, Kurasa aku akan menyusulmu ke alam lain. Kalau di sana aku bisa kembali melihat tawa canggung dan logat konyolmu itu lagi, maka mati pun aku sangat bersyukur.
Tidak.
Kamu belum mati. Apa yang kupikirkan? Kamu pasti menungguku di dalam rumah, kan? Itulah sebabnya aku kemari, dan karena itu pulalah aku belum boleh mati sekarang.
Kalau ini benar tubuhku, maka aku hanya perlu menyobek luka tusuk yang ada di… apa ini? Apa dia menjahit perutku? Ah, benar juga. Tubuhku tak akan bertahan kalau luka lebar menganga begitu saja di sana. Gila… sebegitu inginkah keparat ini mencuri tubuhku?
Tenaganya makin menggila saat kuraba jahitannya itu. Gawat, leherku mungkin patah sekarang. Kakiku mati rasa. Tatapan mengancamnya sukses membunuh inderaku. Maaf, Ted, tapi tunanganmu mungkin tak akan berjiwa asli lagi. Mulai sekarang, carilah hidup baru. Aku senang bisa mengenalmu dan—suara apa itu?
Pintu di belakangku bergetar sesaat, mengheningkan suasana. Si keparat ini diam sesaat. Perhatiannya teralihkan. Apa kunci pintu ini baru dibuka? Apa kamu yang melakukannya, Ted? Iya, pasti kamu! Aku tahu kamu di sana!
Pintu itu bergerak terbuka, memberi celah untukku jatuh lepas dari cengkeramannya. Belum penuh pintu terbuka, pisau dapur melesat ke leher setan itu, menebas ototnya hingga lepas. Darahnya menyembur keluar, membasahiku yang lemas kehabisan napas. Belum lepas pisau itu dari lehernya, wajah tertekanmu muncul dari balik pintu. “Mati, iblis!” Begitu yang kudengar darimu.
Maaf, Ted. Pada akhirnya, kamulah yang menyelesaikan kesalahan yang kumulai. Dengan ini, kurasa ketidakmampuanku untuk bertemu denganmu lagi sudah jadi bayaran yang cukup atas perbuatanku. Aku salah menilaimu, dan inilah balasan yang kuterima. Seiring banyaknya darah mengucur berjatuhan, pandanganku mulai berubah kelabu. Ya, tak ada lagi tubuh yang bisa kutinggali. Sudah saatnya aku mati sekarang.
Selamat tinggal, Ted.
Saat melanjutkan hidupmu nanti, berjanjilah mencari pendamping yang tak gegabah sepertiku. Carilah hidup baru yang cerah dan… tunggu dulu. Apa yang kupikirkan? Setelah semua yang kaulakukan, kenapa aku malah membuatmu menanggung semuanya lagi? Tidak, Ted. Ikutlah denganku. Kalau berlumuran darah begini, kamu pasti bisa melihatku, kan? Pisau yang baru kucabut dari lehernya ini juga pasti kaulihat melayang di udara. Kalau kamu ikut denganku, bukan cuma darah dan pisau melayang lagi yang akan kaulihat di depanmu.
Kenapa kamu mundur? Tak ada gunanya takut padaku.
Kalau kautahan sedikit saja, nyawamu akan lepas sebelum sakit yang sesungguhnya terasa. Aku sudah mengalaminya, jadi harusnya ini juga mudah… bagimu. Sekali tusukan saja seharusnya cukup mengakhiri hidupmu. Sekarang, ayo pergi, Ted. Tak akan kubiarkan kamu menanggung beban yang kutinggalkan di dunia ini sendirian.