17.45 Cassandra_ add new status
"Huh, lelah banget baru pulang sekolah -_-"
17.45 1 read
17.45 5 read
17.46 23 read
17.47 55 read
18.37 X_lion add you to be friend, you want chat?
Cassa mengambil ponsel persegi di atas ranjang kamarnya. Sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah setelah keramas gadis itu duduk menjuntai di tepi kasur. Rintik-rintik air menetes dari helaian rambut yang tak sempat kena basuh handuk jatuh membasahi selimut. Meski pun begitu jari lentik Cassa tak henti asyik bermain dengan gadget di tangan.
"Eh, ada yg add lagi!" ucap Cassa antusias dengan mata berbinar.
Cassa tak lagi mengurus rambutnya yang masih basah malah sibuk dengan ponsel di kedua tangannya. Jemari gadis itu lincah menekan ke sana ke mari menimbulkan bunyi ketik berirama.
X_lion : Selamat malam. Salken, ya!
Cassandra_: Selamat malam juga. Iy, salken juga!
X_lion : Boleh kenal nggak?
Cassandra_ : ehm, boleh nggak, ya :v
X_lion : Hmm terserah kamu
Cassandra : Boleh aja deh :v
X_lion : Oke makasih :)
Cassandra : Nama kamu siapa? X? Atau lion?
Cassandra : eh masa lion? Singa, dong?! :'))
X_lion : Haha.. Panggil aja lion
Cassandra : Wah serius lion? Hai, lion aku Cassa! :D
X_lion : Hai Cassa cantik :)
X_lion : Cassa, sekolah di mana?
X_lion : Masih di situ?
...
Cassa mendadak jerit-jerit nggak karuan dalam kamarnya saat melihat seekor kecoak merambat di kakinya. Ia merasa geli dan ketakutan. Ia menyentak binatang jorok itu hingga terlempar ke dinding. Serangga itu langsung lari terbirit-birit setelah berhasil membalikkan kembali tubuhnya.
Cassa melenguh napas panjang setelah melihat kecoak tadi keluar dari kamarnya lewat celah pintu. Ia kembali mengambil ponselnya yang sempat terhempas di ranjang karena insiden barusan. Namun, bibirnya yang kecil imut itu mengerucut melihat apa yang tampak di layar yang menyala.
X_lion offline.
***
Pagi hari Cassa berangkat ke sekolah. Tak seperti biasanya ia tidak menunggu jemputan dari Kinno, pacarnya. Gadis itu lebih memilih untuk naik bis kota berdesak-desakkan dengan banyak orang. Setelah sampai di depan gerbang sekolah Cassa mengambil sebotol parfum dari tas lalu menyemprotkannya ke seluruh tubuh. Ia tidak ingin badannya bau asap rokok bekas penumpang bis.
Seperti kebiasaan pagi yang sudah ia lakukan sejak dua tahun lalu, Cassa menepi di pos satpam sembari memberi sebungkus roti di sana.
"Pagi, Pak Kunto. Ini Cassa bawain roti."
"Wah, makasih, ya Neng. Ini kopinya kok nggak ada?" goda satpam bertubuh buncit itu sambil cengengesan.
"Ih, bapak itu, kan kopinya bisa minta di bu Ijah."
"Yah, jauh dong Neng mesti ke kantin dulu."
"Nggak apa-apa dong, Pak biar sekalian olahraga. Hahaha." tawa gadis cantik itu pecah.
Setelah selesai bercengkerama dengan pak Kunto, Cassa segera pamit untuk ke kelas.
Cassa memang dikenal sebagai gadis yang ramah dan baik di sekolah. Ia hampir kenal semua guru dan staff tanpa terkecuali. Ia termasuk ke dalam jajaran siswi pintar dan masuk list 10 besar satu sekolah saat ujian bersama. Cassa juga aktif di kegiatan sekolah. Kelebihan lain gadis ini adalah supel. Tak heran jika ia punya banyak teman. Dari adik tingkat hingga kakak tingkat. Bahkan saat ia berjalan di lorong seperti sekarang sudah tidak dapat dihitung berapa siswa yang menyapa dirinya. Baik yang memang dia kenal secara pribadi atau tidak.
"Cassa, selamat pagi!"
"Hai, selamat pagi."
Cassa duduk di bangkunya lalu mengambil ponsel dari saku dan mulai memainkan benda itu. Kelasnya masih sepi hanya dua tiga orang termasuk dia dan Olin yang sudah hadir. Maklum pelajaran pertama baru dimulai sekitar setengah jam lagi.
"Kebiasaan, deh, Cassa. Lo nggak bisa, ya jauh dari ponsel sejam ajaaaa!" protes Olin, teman sebangku Cassa.
"No, no way!" Cassa menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri dihadapan temannya itu.
Olin hanya geleng-geleng menanggapi.
"Eh, Lin liat, deh. Aku ada temen chat baru ganteng, loh."
"Ah, masa bodo. Lo, kan, emang selalu deket sama cowok ganteng."
Cassa sontak memonyongkan bibirnya membalas reaksi Olin. Ia memang biasa didekati cowok ganteng, tapi yang ini beda. Ia rasa.
"Olin liat dulu, dong. Ini beda tau," ucapnya.
Olin awalnya cuek saja, tapi kelamaan dia penasaran juga. Siapa cowok yang dipuji oleh Cassa itu. Apa seganteng anggota Bangtanboys, kegemarannya.
"Mana?"
Cassa antusias memperlihatkan profil dari teman laki-lakinya pada Olin. Potret seorang laki-laki terpampang jelas di sana dengan id name : X_lion.
Wajah cowok itu memang tampan. Kulitnya putih. Kedua telinganya tampak bertindik. Rambutnya cepak pendek dengan bagian pinggir tipis. Cowok itu terlihat manis dengan senyum merekah ala iklan pasta gigi di tv.
Selain foto profil yang memukau, Cassa juga memperlihatkan pada Olin foto-foto lain yang telah cowok itu post di akunnya. Ada berbagai macam gaya, kesemuanya terlihat keren dan menakjubkan.
"Gemess, kaaaan!" ucap Cassa gemas sampai menepuk-nepuk lengan Olin.
Sementara temannya itu cuma ngangguk-ngangguk berusaha menutup mulutnya yang menganga karena foto laki-laki itu.
"Eh, tapi lo, kan uda punya cowok, Cassa."
Ucapan Olin menampar Cassa secara tidak langsung. Ia memang telah memiliki pacar yang tak kalah ganteng dengan si teman online barunya itu. Namun, sebenarnya Cassa sudah lama ingin mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. Cassa berpikir mungkin ini saat yang tepat untuk memutuskan hubungan dengan Kinno. Lewat Lion, teman onlinenya.
"Aku pingin putus sama Kinno," ujar Cassa ragu.
Olin sontak terkejut dengan pernyataan Cassa barusan. Yang benar saja, pikir Olin.
Cassa dan Kinno adalah pasangan paling serasi di sekolahnya. Seperti seorang pangeran dan puteri dalam dunia nyata. Keduanya memiliki rupa menawan, kepandaian mumpuni, dan terkenal. Kecuali dalam bersikap, Cassa yang dikenal ramah dan baik berbalik dengan Kinno yang sombong dan dingin. Banyak juga yang menyayangkan Cassa memilih Kinno setahun yang lalu saat pertama kali mereka jadian. Namun, mereka tetap pasangan terserasi dan terbaik.
"Lo, yakin?" tanya Olin tak percaya.
Cassa hanya mengangguk pelan tak berani menjawab.
Kelas mereka mulai ramai ketika seperempat jam sebelum jam pertama dimulai. Cassa dan Olin bersendau gurau saat Kinno dengan wajah berang masuk ke kelas mereka. Dengan kasar Kinno menarik lengan Cassa.
"Aduh, ada apa, Kin!"
"Ikut aku!" perintah Kinno.
Cassa menepis tangan pacarnya. "Nggak mau."
Adu mulut antara Cassa dan Kinno tak elak membuat perhatian seluruh kelas beralih pada mereka. Banyak siswa hanya terdiam dan saling menatap satu sama lain. Sisanya pura-pura tidak melihat walau sesekali melirik.
"Kamu mau ikut atau aku seret?"
Cassa mendelik mendengar perkataan kasar Kinno. Baru kali ini ia diperlakukan begitu. Matanya sampai basah menatap Kinno yang sudah kembali menarik lengannya dengan kuat. Ia kesakitan, tapi tak berani berkata apa-apa.
"Kamu kenapa nggak bareng sama aku?" bentak Kinno setelah mereka berada di taman sekolah.
Cassa masih tersedu-sedu sambil mengusap air mata yang tak berhenti mengalir. Kinno menghentak-hentak tubuh Cassa, tetapi gadis itu tetap bergeming.
"Cassa aku tanya sama kamu!"
Cassa menarik napasnya dalam-dalam menahan isakkan. "Aku pingin berangkat sendiri, apa itu salah?"
Kinno menendang debu di sepatunya kesal. "Kenapa kamu nggak hubungin aku? Aku cemas nunggu kamu di depan rumah. Aku takut kamu kenapa-kenapa lagi."
Kinno teringat kejadian lepas sebulan yang lalu saat Cassa berkucuran darah di kamarnya karena ada maling menerobos rumahnya. Cassa berkata maling itu memukul kepalanya hingga berdarah. Sayangnya setelah itu ia tak ingat lagi. Cassa saat itu sendirian karena keluarganya sedang pergi ke desa. Untung Kinno datang dan nekat masuk ke dalam rumah. Meskipun ia harus menjumpai kondisi mengenaskan Cassa. Beruntung ia sempat menyelamatkan nyawa gadis itu. Seseorang yang amat ingin ia lindungi. Sekarang keluarga Cassa juga sedang tidak ada di rumah karena itu Kinno jadi takut terjadi hal buruk menimpa Cassa.
"Maaf," ucap Cassa. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan.
Kinno lantas memeluk tubuh pacarnya dan membenamkan ciuman di sela rambut Cassa. Ia ingin meluruhkan segala rasa cemasnya. Sekaligus perasaan bersalahnya sekarang karena telah membuat orang yang ia cintai itu menangis.
"Kamu takut sama aku?"
Cassa tak menjawab. Tubuhnya masih berguncang dalam dekapan Kinno.
"Aku minta maaf, Cassa. Aku nggak bermaksud buat kamu takut." Kinno mengelus lembut punggung gadisnya.
Cassa menggeleng. Hal itu membuat Kinno lega. Usapan hidung Cassa di dadanya melepas segala perasaan khawatirnya. Kinno tersenyum dan menangkup wajah mungil Cassa yang memerah di dadanya. Ia merunduk mendekatkan wajah cantik itu setingkat dengannya. Kedua hidung dan kening mereka bersentuhan membuat senyum Cassa mengembang.
"Kinno nanti kita dibawa ke kantor guru."
"Kenapa?"
"Berbuat mesum di sekolah."
"Salah. Kita nggak mungkin ditangkap karena berbuat romantis, kok."
***
Malamnya, Cassa tetap saja mengirim pesan daring bersama teman online barunya. Ia sudah lupa jika punya kekasih. Kinno berusaha menghubunginya, tapi Cassa beralasan lelah dan ingin cepat tidur. Meski kenyataannya ia lebih memilih berkomunikasi dengan orang lain yang baru ia kenal.
X_lion : Kamu sudah punya pasangan, ya?
Cassandra : ehmm kok tanya gitu?
X_lion : nggak apa-apa cuma pengen tahu.
Cassandra : Punya sih.
...
...
Cassandra : kamu off?
X_lion : nggak kok
X_lion : cuma sedang mikir
X_lion : Apa aku boleh merebut kamu dari orang lain.
Cassandra : Hah?
X_lion : nggak kok becanda hehe
Cassandra : hmm.., tapi sebenarnya aku ingin putus sama pacarku.
X_lion : kenapa?
Cassandra : dia kasar. Aku takut.
X_lion : dia pernah kasarin kamu?
Cassandra : enggak sih. Niat dia baik mau melindungi tapi aku takut.
X_lion : hmm lalu kamu mau putusin dia?
Cassandra : belum tahu. Bingung.
X_lion : putusin saja.
Cassandra : menurutmu begitu?
X_lion : dia nggak pantas untuk kamu.
(...)
Kian hari Cassa semakin gencar bertukar pesan dengan Lion, teman onlinenya. Mereka bahkan acap kali bertukar foto. Kinno yang mulai mengendus perubahan sikap Cassa merasa curiga. Sementara gadis itu makin tidak suka dengan Kinno yang terus mengekang dirinya.
"Kamu kenapa, sih akhir-akhir ini?"
Cassa menggeleng saja. Ia sibuk memainkan sedotan di gelas isi es jeruk di meja.
"Kamu kalo ada masalah cerita sama aku," pinta Kinno sambil memegang punggung tangan Cassa.
Saat Cassa ingin membalas tatapan Kinno padanya tiba-tiba denting ponselnya berbunyi. Ia segera merenggut benda itu dari saku dan menggulir layarnya. Senyuman tipis terlihat jelas. Hal itu sontak membuat Kinno kesal.
Benar saja, Cassa menjumpai pesan Lion di urutan pertama pada tampilan aplikasi daringnya. Ia membalas pesan itu dengan segera seolah tak ingin melewatkan waktu sedikit pun. Ia tak menyadari ada seseorang yang sedang menahan emosi di depannya. Seseorang yang sudah merasakan panas menjalar sampai ke ubun-ubun kepala.
"Cassa kamu chat-an sama siapa?"
Cassa tak menggubris pertanyaan Kinno barusan.
"Cassa aku tanya sama kamu!"
Kinno menggebrak meja mereka membuat orang-orang di meja sebelah terkejut. Sekaligus Cassa yang langsung meletakkan ponselnya ke meja.
"Kinno kamu kenapa, sih?"
"Kenapa? Kamu yang kenapa! Aku tanya kamu kirim pesan sama siapa?"
"Teman."
Kinno tak lantas percaya ucapan Cassa.
"Sini ponselmu!"
Cassa cepet-cepet mengambil kembali ponselnya dari meja dan menggenggam benda itu erat-erat.
"Aku bilang sini!"
"Udalah, Kinno. Kamu bikin aku malu." Cassa beranjak dari kursinya bersiap pergi dari kantin tempat mereka makan.
Kinno menyusul pergerakan tubuh Cassa dan merampas cepat ponsel yang masih tergenggam di tangan gadis itu.
"Kinno! Apa-apaan kamu!"
Cassa geram dengan sikap Kinno yang menurutnya semakin tidak wajar.
"Aku uda bilang serahin. Kamu nggak mau, ya sudah aku ambil sendiri."
Kinno segera menggulir layar di ponsel Cassa. Meski gadis itu meronta agar benda miliknya itu di kembalikan. Cassa sebenarnya setengah malu dengan apa yang mereka lakukan. Sebab semua orang di kantin sedang menonton pertunjukan mereka. Cassa lebih kesal lagi karena dari mereka tak ada satu pun yang mampu membela dirinya. Hanya menonton.
"Kinno kembaliin!"
"Oh, bagus ya. Jadi kamu sekarang pdkt sama cowok lain?"
Cassa melotot dan menyuruh Kinno untuk menutup mulut. "Kembalikan!"
"Nggak! Sebelum kamu mengaku semuanya."
"Kinno dia cuma temenku."
"Kalau gitu aku larang kamu berteman sama dia."
Air mata kini berlinang membasahi pipi Cassa. "Kamu jahat banget."
Kinno mendekatkan dirinya ke Cassa dan menarik gadis itu menjauh dari keramaian. Ia memilih menghentikan langkah di bawah tangga di koridor sekolah.
"Aku jahat? Kamu yang lebih jahat. Aku sayang sama kamu, tapi apa Cassa? Kamu malah main sama cowok lain!"
Kinno mulai kembali membentak Cassa dan membuat gadis itu makin menangis. Kinno menghadapkan layar ponsel Cassa di depan wajahnya lalu menyuruh Cassa menghapus kontak Lion.
"Hapus sekarang!"
Cassa masih menangis, tapi tak berani berbicara atau menolak.
"Hapus Cassa!"
Gadis itu lalu menggeleng membuat Kinno semakin frustasi dan kesal.
"Terus mau kamu apa!" sembur Kinno di depan wajah Cassa.
Tubuh Cassa makin berguncang. Jantungnya berdebar sampai denyut nadinya jadi tak beraturan
"Hapus atau aku lempar ponsel kamu?"
Cassa menatap Kinno. Mata cowok yang telah menjadi pacarnya selama setahun itu merah menyala padanya. Ia seperti tidak melihat sosok Kinno di sana. Ia seperti sedang memandang monster yang siap menerkam tubuhnya. Mematikannya dengan segera. Cassa tak berani berbuat apa pun.
"Jawab Cassa!" untuk kesekian kali Cassa merasa rohnya tercabut gara-gara hentakan Kinno.
"A-aku hapus," jawab Cassa akhirnya.
Kinno segera menyerahkan ponsel Cassa dan melihat sendiri dengan matanya gadis itu menghapus kontak Lion tak tersisa. Bahkan riwayat pesan dan foto-foto pun ia hapus. Pupus sudah harapan Cassa untuk dapat menjadikan Lion batu pijakan agar ia terbebas dari Kinno.
Setelah itu Kinno segera memeluk Cassa. Seperti yang sudah ia lakukan biasanya Kinno segera menenangkan pacarnya yang sedang ketakutan karena sikapnya. Kinno membenamkan sebuah kecupan di sela rambut Cassa.
"Aku minta maaf sudah buat kamu takut, tapi aku nggak bisa apa-apa. Aku sayang sama kamu dan nggak mau kehilangan kamu."
***
Seminggu setelah kejadian itu hubungan Cassa dan Kinno membaik. Walau itu tak cukup kuat untuk dijadikan alasan agar Cassa mau tetap bertahan dengan kekasih yang super protektif itu. Cassa masih saja mencoba untuk putus dengan Kinno. Namun, segala upayanya gagal karena Kinno teramat mencintainya.
Hari minggu ini Kinno berniat mengajak Cassa pergi ke sebuah taman hiburan. Sekadar jalan-jalan melepas stres dan penat mereka karena belajar. Cassa tengah bersiap di dalam kamarnya. Ia sudah menggunakan dress selutut bewarna pastel yang lucu. Cassa juga mengepang kedua rambut sebahunya. Setelah siap ia segera ke bawah untuk menunggu Kinno menjemput.
Kedua orang tua Cassa sedang menikmati sarapan mereka saat melihat puterinya turun dari tangga. Ada raut cemas di wajah ibunya melihat senyum Cassa mengembang di sana.
"Cassa, kamu mau ke mana?"
"Ke taman sama Kinno."
Papa Cassa yang tadinya membaca sebuah koran itu lantas melipatnya dan mulai menyesap kopi di hadapannya. "Anak papa yang cantik sekarang pacaran terus."
Cassa tersenyum mendengar candaan papanya. "Enggak kok, Pa."
"Cassa makan dulu, Nak." ibu Cassa mengambilkan sepotong roti bakar yang telah dioles mentega di piring Cassa.
"Makasih, Ma."
"Ngomong-ngomong Cassa kamu kapan mulai ujian, Nak."
Cassa tengah sibuk mengunyah roti di mulut.
"Sekitar bulan depan, Ma."
Terdengar bunyi gemelatuk dari garpu dan pisau yang dimainkan Cassa saat mengunyah makanannya.
"Kalau begitu apa nggak sebaiknya minggu ini kita ke dokter?"
"Cassa baik-baik saja kok, Ma."
Papa Cassa sesekali melirik isterinya dan Cassa secara bergantian.
"Tapi Cassa kamu kan tau kalau harus periksa sebelum ujian."
"Cassa baik-baik saja, Ma." Cassa tersenyum lirih berusaha meyakinkan ibunya. Namun, sepertinya wanita dengan rambut sanggul itu tak mudah percaya.
"Cassa dengar mama, Nak. Kamu tahu kan apa yang disampaikan dokter."
"Cassa bilang aku baik, Ma!" nada bicara Cassa mendadak tinggi.
Suara alat makan yang dibanting menjadi latar acara makan keluarga mereka. Papa Cassa yang sedari tadi hanya melirik kini berdeham guna menghentikan kejadian tidak mengenakkan barusan.
"Sudah, Ma. Cassa bilang dia baik. Cassa kamu tenang dulu." papanya mengguyur jus jeruk pada gelas kosong dan menyodorkannya pada Cassa. "Minum dulu Cassa."
Cassa meneguk beberapa kali minuman itu. Kepalanya tertunduk menatap jemari tangannya yang bertautan. Suasana hening membuat hati ketiga orang di meja makan itu gelisah. Cassa merasa bersalah telah membentak ibunya. Orang yang telah melahirkan dirinya.
"Maafin Cassa, Ma. Cassa nggak bermaksud bentak mama." air mata mengalir dari matanya.
Ibu Cassa berdiri langsung menghampiri kursi anaknya yang ada di seberang. Ia peluk tubuh mungil gadis itu dan menciumi kepalanya berkali-kali.
"Nggak, Nak. Mama yang minta maaf. Maafin mama ya Cassa."
Cassa mengangguk sambil membalas pelukan ibunya. Terdengar bunyi klakson motor memecah momen haru ibu dan anak itu. Cassa hapal betul dan yakin sumber bunyi barusan adalah milik motor Kinno.
"Ma, Cassa pergi dulu," pinta Cassa agar dilepas oleh ibunya.
"Iya, Nak." ibu Cassa membiarkan puterinya pergi. Ia menghapus air mata dan ingus yang masih tersisa di wajahnya sambil melihat Cassa keluar rumah.
***
Taman bermain sedang ramai-ramainya. Banyak keluarga dan muda-mudi berkumpul di setiap permainan yang tersedia di sana. Bianglala antriannya panjang sekali. Komedi putar pun sama. Sementara yang kelihatan cukup sepi hanya rumah hantu dan wahana rollercoaster.
Cassa menarik lengan Kinno agar mau masuk rumah hantu. Awalnya cowok itu menolak dengan alasan malas walau sebenarnya ia takut juga kalau harus berhadapan dengan orang-orang yang mukanya dicoret-coret seram itu. Namun, Cassa terus memaksanya hingga akhirnya ia menurut juga.
Cassa menunggu di sebuah bangku saat Kinno tengah membeli tiket untuk mereka. Tiba-tiba sebuah denting berbunyi dari ponsel milik Cassa. Gadis itu buru-buru melihat layar ponselnya. Air mukanya tampak terkejut. Ia melihat sebuah pesan dari nomor tidak bernama ada di sana.
085354125xxx
Hai, Cassa masih ingat aku?
Cassa ragu saat ingin membalas pesan itu. Namun, ia takut jika yang mengirim ternyata berasal dari teman lamanya. Siapa tahu itu jadi hal penting, kan.
Send message : Kamu siapa? Maaf nomornya enggak aku simpan.
085354125xxx
Aku Lion. Kamu lupa?
Cassa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Hampir saja ponsel di tangannya jatuh. Ia merasa tidak pernah memiliki teman bernama Lion selain teman onlinenya itu. Namun, jika ini Lion yang sama mana mungkin ia tahu nomor pribadi Cassa. Aplikasi daring yang mereka gunakan tidak bisa membagikan nomor pemiliknya begitu saja.
Cassa memandang punggung Kinno dari kejauhan yang masih sibuk membeli tiket. Ada keinginan untuk segera membalas pesan itu, tapi Cassa takut Kinno akan tahu. Ia tidak bisa menduga apa yang akan terjadi kalau pacarnya mengetahui ini.
Cassa hanya memainkan ponselnya sambil terus bergumam. Ia bingung harus berbuat bagaimana sampai akhirnya tak sadar Kinno telah ada di dekatnya.
"Ini tiketnya sudah. Cassa, kamu baik-baik aja, kan?"
Wajah Cassa kelihatan pucat. "Baik kok. A-ayo."
Mendadak Cassa jadi tak berselera masuk rumah hantu, tapi sayang juga tiketnya. Lagi pula kalau ia tidak ke sana Kinno pasti curiga dan mulai bertanya-tanya. Bisa-bisa mereka bertengkar lagi.
Kinno menggandeng Cassa saat mereka akan masuk ke dalam area rumah hantu. Giliran mereka tiba. Keduanya masuk dengan hati-hati menyiapkan jantung masing-masing untuk kejutan yang sudah disiapkan. Terdengar jeritan dari gerombolan orang yang jauh berada di depan. Sontak yang berada di belakangnya jadi saling pandang ketakutan sama seperti yang dilakukan Kinno dan Cassa.
Suasana rumah hantu itu sedikit mencekam saat telah masuk ke seperempat perjalanan. Bukan lagi kejutan suara dan tangan yang menggapai-gapai. Kini ada yang lebih ekstrim dari sekadar hantu-hantu itu. Di salah satu ruangan terdapat seseorang yang berlagak seperti pembunuh bertopeng dengan pisau yang sudah pasti palsu mengejar para pengunjung. Semua orang berteriak dan berlarian. Suasana menjadi chaos hingga mereka saling bertabrakan. Di tambah keadaan lampu yang temaram membuat pegangan tangan Kinno pada Cassa terlepas.
Cassa terjatuh saat seseorang yang sedang berlari memutus pegangannya pada Kinno. Ia tidak dapat melihat pacarnya. Ia mencoba bangkit, tapi kemudian tubuhnya ditabrak lagi oleh seseorang dari belakang hingga membuatnya terjungkal kembali. Suasana ramai itu membuatnya benar-benar kehilangan pandangan. Ia sudah tidak lagi dapat melihat Kinno walau hanya batang hidungnya.
Beberapa saat suasana menjadi sepi karena orang-orang telah menemukan jalan keluar dari ruangan. Cassa telah memulihkan badannya. Ia kebingungan karena dirinya hanya sendirian di ruangan itu. Ia memanggil-manggil nama Kinno dengan keras.
Cassa berjalan mencoba untuk cari jalan keluar. Namun, tiba-tiba seseorang memegang pundaknya. Ia menoleh dan menjumpai wajah si pemain rumah hantu yang bertopeng pembunuh. Cassa lantas berteriak keras. Namun, ia rasa kali ini ada yang aneh. Tak seperti tadi si pembunuh itu tidak mencoba menakut-nakutinya. Orang itu malah terlihat terus memegang pundak Cassa sambil memandanginya intens. Kalau petugas rumah hantu pasti tidak boleh begitu, kan.
Cassa segera beranjak dari sana, tapi langkahnya terhenti saat si pembunuh itu menyebutkan namanya. Cassa tentu saja terkejut bukan main. Mana bisa pembunuh gadungan itu tahu namanya. Ia lebih terkejut lagi saat mendengar si pembunuh mengucapkan kalimat lain.
"Cassa, ini aku Lion."
***
Setelah bersusah payah berlari menjauhi orang bertopeng pembunuh Cassa akhirnya berhasil menemukan jalan keluar. Di luar area rumah hantu tampak Kinno sedang berdebat dengan salah satu petugas penjaga. Kinno langsung mendekati Cassa saat melihat gadis itu.
"Cassa kamu baik-baik saja? Aku cari kamu dari tadi. Kamu kenapa?"
Cassa masih mengatur napasnya yang memburu. Berulang kali ia melihat ke belakang memastikan orang tadi tak lagi mengejarnya. Seluruh tubuhnya masih bergetar karena ketakutan.
"Cassa kamu kenapa?" tanya Kinno lagi.
Kinno mengajak Cassa untuk duduk di salah satu bangku dan mencoba menenangkan dengan mengelus lembut punggungnya. Ia juga terus memperhatikan perubahan air muka Cassa. Meski laki-laki itu tak paham penyebab Cassa jadi seperti itu. Bukannya tadi Cassa bersemangat untuk masuk wahana rumah hantu. Namun, kenapa tiba-tiba jadi begitu. Padahal kalau dipikir Cassa tidak secemen itu tentang hantu.
Butuh beberapa waktu sampai Cassa bisa kembali mengatur dirinya. Rasa panik, takur, dan tegang yang tadi ia rasakan kini mulai mengendur. Walau bayangan akan sosok tadi dan kalimat-kalimatnya masih mendengung dengan jelas di telinga. Ia yakin betul. Pendengarannya bahkan tidak cukup tuli. Orang bertopeng tadi benar-benar menyebut nama Lion. Siapa sebenarnya dia?
"Cassa sepertinya kamu sedang nggak baik. Apa kita pulang saja?"
Jujur saja Cassa memang ingin segera pergi dari tempat itu apalagi setelah ia kembali menerima pesan aneh.
085354125xxx
Cassa senang akhirnya kita bertemu.
"Iya, kita pulang aja, tapi aku mau ke toilet sebentar."
"Ya uda ayo aku antar."
Cassa sudah tidak gelisah seperti tadi. Setidaknya Kinno ada di depan toilet untuk menjaganya. Pacarnya itu memang baik di saat seperti ini Kinno amat membantu, pikir Cassa. Ia memutar keran di wastafel lalu membasuh mukanya dengan air mengalir. Dingin menyentuh kulitnya. Ia lihat pantulan wajah di cermin. Kedua kali Cassa membasuh wajahnya lagi, tapi tiba-tiba jantungnya berdebaran saat melihat sosok bertopeng di belakang dirinya.
Entah datang dari mana sosok itu. Jelas semua kamar toilet di belakangnya kosong. Ia pun tak melihat seseorang masuk, tapi yang ada di depannya juga tidak dapat ditampik.
"Kamu siapa?" Cassa berbalik menatap sosok itu.
Orang bertopeng tersebut diam saja. Namun, lambat langkahnya mendekat ke arah Cassa.
"Pergi!" teriak Cassa.
"Aku bilang pergi!"
"Kinno! Tolong aku. Seseorang tolong aku!"
"Berhenti! Aku mohon."
"Jangan! Aku mohon."
"Kinno! Aku mohon jangan."
Cassa merintih. Berteriak. Menangis. Namun, tak seorang pun datang menolong dirinya. Sosok itu makin mendekat. Cassa melihat dengan kedua matanya sosok tersebut mengacungkan sebuah pisau tajam. Air mata jatuh membasahi pipi Cassa.
"Aku mohon. Jangan sakiti aku," rintih Cassa sekali lagi.
Sosok tersebut menurunkan pisaunya perlahan. Tanganya mengelus pipi Cassa yang dingin dengan hati-hati. Cassa hanya diam tak bergerak ketika jemari orang itu menghapus air matanya. Namun, air muka Cassa mendadak berubah saat tangan besar itu menjambak rambutnya lalu membenturkan kepalanya ke cermin wastafel dengan keras. Darah langsung mengucur dari pelipis Cassa.
"Tolong!" Cassa berteriak keras.
Mata Cassa terpejam dan tubuhnya merosot ke lantai. Darah terus mengalir hingga mengotori lantai.
"Tolong!" Cassa terus berteriak.
Suara gedoran pintu terdengar dari luar toilet. Nama Cassa dipanggil-panggil dengan keras. Setelah beberapa waktu Kinno akhirnya berhasil mendobrak pintu dan menemukan Cassa terkualai di lantai. Kinno panik menjumpai Cassa dengan kondisi begitu untuk kedua kalinya. Ia langsung membopong tubuh pacarnya keluar dan meminta orang-orang di luar toilet untuk menghubungi ambulan.
***
Lepas tragedi Cassa yang terluka secara tiba-tiba Kinno akhirnya memulangkan pacarnya ke rumah. Ibu dan ayah Cassa terkejut melihat kondisi anaknya yang sudah dibalut perban pada bagian kepala. Cassa segera beristirahat dalam kamar saat sampai di rumah. Dirinya belum siap ditanya mengenai sebab lukanya. Jangankan pertanyaan kedua orang tuanya, Kinno yamg sedari tadi mulai bertanya saat di rumah sakit hingga rumah pun belum ia jawab.
Setelah Cassa masuk ke dalam kamarnya. Kinno berniat hendak pamit. Kondisinya kini mungkin jauh dari kata calon menantu yang pantas untuk menemui orang tua Cassa. Ia sangat kacau.
Namun, ibu Cassa menahannya. Wanita yang terus menangis saat Cassa baru tiba di rumah itu menyuruh Kinno duduk sebentar. Orang tua Cassa dan Kinno duduk di ruang tamu bersama. Ketiganya tak bisa berkata apapun. Ada perasaan yang tak terbaca dalam ketiga raut wajah orang tersebut.
"Kinno ada apa sama Cassa?"
Kinno hanya tertunduk. Ia pun tak mengerti yang sebenarnya terjadi. Kalau saja ia tahu Cassa tidak akan berakhir seperti itu.
"Kinno?" tanya Ibu Cassa sekali lagi.
"Maaf tante. Kinno nggak ngerti kenapa Cassa terluka. I-itu itu tiba-tiba saja." Kinno mengusap wajahnya kasar. Ia merasa gagal menjaga perempuan yang amat ia sayangi itu.
Tangis ibu Cassa kembali pecah. Ayah Cassa yang duduk di sebelahnya coba menenangkan isterinya tersebut. Namun, ibu Cassa benar-benar tidak dapat lagi menahan perasaannya. Ibu mana yang bisa tenang dengan keadaan anaknya yang terus begitu.
"Tenang, Ma. Besok kita bawa Cassa ke dokter."
"Lukanya tidak parah kok, Om. Kata dokter mungkin seminggu lukanya sudah sembuh, tapi kalau masih ada keluhan baru check-up lagi. "
"Bukan itu Kinno!" Ibu Cassa berteriak histeris membuat Kinno mengankat wajahnya kebingungan.
"Ma sudah!" sergah ayah Cassa.
"Sudah apa? Anak kita sakit! Apa lagi yang harus ditutupi? Cassa sakit dan mama mau dia sembuh. Apa mama salah?"
Kinno makin tidak mengerti dengan perdebatan kedua orang tua Cassa.
"Apa maksud tante? Cassa sakit?"
"Iya, Kinno. Cassa sakit. Dia-"
"Ma!" potong ayah Cassa.
"Sudah. Mama tidak tahan. Kinno Cassa itu sakit mental. Dia sakit." ibu Cassa kembali menangis tersedu-sedu sambil di peluk suaminya.
"Sudah lama Cassa sakit mental dan jiwanya tidak stabil. Setiap kali dia stres Cassa akan mudah berhalusinasi. Dia akan melakukan apa yang ada dalam bayangannya dan dia selalu menyakiti dirinya sendiri. "
Kinno tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Cassa gila? Pacarnya itu gila? Yang benar saja!
"Itu nggak mungkin!"
"Itu benar Kinno! Dulu saat neneknya meninggal dia stres parah Cassa meminta kami pergi dari rumah tanpa alasan jelas. Namun, tiba-tiba ia terluka dan berkata bahwa ada maling menerobos rumah ini. Padahal itu tidak terjadi sama sekali Kinno. Kamu tahu sendiri rumah ini terkunci rapat pada masa itu. Kami juga menitipkan Cassa ke penjaga dan memasanga cctv. Semua aman hanya saja Cassa berhalusinasi lalu menyakiti dirinya sendiri. Karena itu kami selalu ingin dia ke dokter setiap menjelang ujian atau hal-hal yang akan menyebabkannya stres. Namun, ia terus menolak."
Kinno rasanya tak ingin percaya sedikit pun penjelasan itu. Namun, ibu Cassa tidak mungkin berbohong. Ayah Cassa juga terlihat sangat sedih mendengar cerita itu. Seolah semuanya memang benar terjadi dan ia tak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan keadaan puterinya.
Ketika Kinno masih mencoba mencerna setiap logika yang tercipta akan sikap Cassa. Rangkaian kejadian yang menurutnya makin meyakinkan cerita Ibu Cassa barusan. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari dalam kamar atas. Ketiga orang di ruang tamu itu panik mengetahui suara teriakan dari kamar Cassa.
Ketiganya sampai di kamar dan melihat Cassa memandangi cermin berteriak keras.
"Pergi kamu! Pergi!"
Cassa melempar cermin di kamarnya dengan ponsel hingga pecah berkeping-keping.
"Hahaha! Aku bilang jangan ganggu! Aku nggak mau lagi sama kamu! Kamu selalu mengekang aku! Pergi!"
Ibu dan ayah Cassa berlari menghampiri anaknya. Ayah Cassa menahan tangan puterinya sedangkan ibunya memeluk gadis itu dengan erat. Cassa tetap berteriak histeris. Kadang ia juga tertawa. Orang tua Cassa hanya bisa menangis dan mencoba menahan agar gadis itu tidak menyakiti dirinya sendiri. Sementara Kinno yang diam di depan kamar Cassa hanya dapat menangis memandang pacarnya kesakitan seperti itu.