Chapter 1
Mata cokelat melihat kota london yang dingin. Beberapa orang lalu lalang melewati penyebrangan jalan di sekitarnya. Tangan besar yang dibaluti sarung tangan hitam merasakan kedinginan kentara. Uapan nafas yang mengepul sangat jelas. Rambut cokelat mahoni pendek sedikit bergerak akibat angin kencang.
“Sebentar lagi akan badai.” Pikirnya dalam hati. Langkah kakinya yang jenjang menelusuri gang-gang sempit. Jalan berliku-liku membuat seseorang yang belum lama datang ke kota ini akan linglung. Banyak kejahatan yang tercipta akibat mangsa kebingungan. Ia cuek lalu meneruskan perjalanan ke suatu tempat. Tanpa ia sadari, Bayangan lain mengikutinya.
“Cih, Sial. Kenapa aku tidak menemukannya?” Katanya geram. Tendangan kaki ke arah beton dingin dengan keras. Wajahnya yang mengeras,alis menukik tajam,gemertak gigi dan emosi marah keluar. Sudah berulang kali tangan kanannya memukul dengan benda yang sama. Nihil, Ini tidak bisa meredam emosinya.
“Oi! Ada yang tersesat nih?”
“Palingan dia kesal tidak bisa pulang ke rumah, bos.” Semua anak buah yang dipimpin oleh Mafia tersebut tertawa lepas. Ia melirik sekilas tidak peduli. Toh, ini bukan masalahnya.
“Hei Bocah, Kamu tahu ini daerah terlarang untuk tidak memasuki kawasan ini?” Ia berbalik badan dan menghadap ke lawan yang lebih besar. Kedua tangan dilipat dan kaki kanan mengetuk jalanan semen.
“Tahu? Emangnya kenapa? Bukan urusanku.”
“Grrr, Ini bocah beri pelajaran bos!”
“Tidak usah, Lagipula dia tidak tahu. Sini ya biar paman kasih tahu. Kau tahu disini ada pembunuh sadis yang mengintai termasuk dirimu yang lemah!” Semuanya memegang perut menahan tawa yang berlebihan. Kedua tangan mengepal kuat. Senyuman nya lebar. Mata cokelat tersebut kehilangan cahayanya.
Rembulan bersinar terang. Cahaya nya menyinari tubuhnya yang kurus. Sarung tangan hitam yang ia kenakan bersembunyi sedari tadi, ia keluarkan dengan pisau lipat. Ada yang menyadari keanehan tersebut. Aura nya berubah setelah memasuki topik yang mereka bicarakan.
“Thanks, Paman. Kamu memberikan pujian kepadaku.”
“Hah? Pujian?? Wajah bos mafia tepat di depan nya. Tangan nya langsung menarik rambut bos mafia itu sembari menempelkan pisau lipat ke leher bos mafia. Anak-anak tersebut langsung waspasda. Senyuman smirk terukir jelas.
“Ya, ini penghargaanku ya paman.” Suara irisan pisau itu sangat cepat. Semuanya mendadak sunyi. Wajah-wajah manusia di lorong ketakutan. Rumor yang mengatakan pembunuh itu masih muda belia. Tapi ini tidak mungkin dia??!!
Wajah yang sekarat membuat mereka bergidik. Tubuh besar milik mafia itu ia lemparkan begitu saja. Pisau lipat yang ia mainkan di jemarinya berputar-putar. Kakinya melangkah maju ke arah mereka yang membawa pistol.
“Hm? Hanya itu saja kalian miliki?”
“Tembak bocah itu! Tembak!” Peluru-peluru itu melesat ke arahnya sedangkan ia sudah terbiasa merasakan bosan. Ya, Lebih tepatnya menguap lebar. Sebentar lagi waktu nya ia tidur dan besok ada jadwal kuliah Miss Retna yang garang.
Tubuhnya yang kurus menghindari arah pistol yang tertuju ke arahnya,berlari kencang dan menancapkan target dengan pisau lipat ke titik vital mereka secepat mungkin. Hanya hitungan detik itu berjalan. Semuanya ambruk. Darah yang terciprat ke beton-beton tersebut membuat seni baginya.
Tangan kirinya mengusap kasar pipinya yang mengenai darah. Mata cokelat yang meredup itu kembali normal. Misinya di dunia ini belum siap. Pisau lipat dengan darah yang menetes dibiarkan begitu saja. Sapu tangan yang ia keluarkan guna mengelap sisa darah tersebut. Sarung tangan hitam miliknya masih ada bau darah yang tercetak.
“Hah Membosankan sekali. Darah di sarung tangan ini aku taruh lagi di kotak kayu kamarku. Sepertinya aku harus membeli sarung tangan yang baru.” Mata nya melihat ke atas. Degupan jantung yang memompa cepat membuat adrenalin bekerja. Ya, Tantangan ini lebih menarik daripada menjalani kehidupan normal.
***
Dentingan lonceng saat ia membuka toko minimarket dekat rumahnya. Suara yang khas membuatnya mengernyit bingung. Kenapa lonceng itu selalu berisik? Ia mengedarkan pandangan. Tubuhnya mencari keranjang lalu mengambil sarung tangan,gergaji,palu,kawat,masker hitam dan topi hitam. Segera ia membayarnya dengan uang tabungan.
Di dalam tempat ini, Banyak orang yang membeli kebutuhan minus dirinya yang hidup sederhana. Tadi, Ia sempat melewati momen keluarga di bagian tempat untuk makan siap saji seperti mie hangat,burger,roti dan roti sandwich. Ia mendecih kesal. Keringat dingin jatuh. Kenapa matanya ini selalu melihat kebahagiaan orang lain?
“Tuan, Apakah anda membayar ini?” Ia tersentak lalu membayar uang pas lalu pergi. Seorang wanita berambut hitam pendek melihat dirinya pergi menjauh. Guratan wajah wanita itu memelas iba.
“Hei Nona Aleysia! Kenapa kamu melamun? Kamu kenal dia?”
“Hah? Hm, Aku mengenalnya sejak kecil. Tapi 4 tahun yang lalu ia pindah rumah. Jadi ini pertama kalinya kami bertemu lagi.” Tutur Aleysia Brown. Sebagai senior, ini adalah masalah besar bagi Aleysia. Senior Islean Taylor menghela nafas panjang.
“Baiklah, Lagipula kamu pindah universita ke London untuk bertemu dengannya?” Aleysia mengangguk lalu menyelesaikan pekerjaan. Dari pakaian yang ia kenakan cukup familiar sehingga Aleysia langsung menebak teman kecilnya. Ya, Namanya Grissham Smith.
***
Ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Apartemen sederhana ini membuatnya nyaman. Tidak banyak orang bising membuat tempat ini menjadi nilai plus baginya. Perutnya tidak mau makan apalagi tidak nafsu melihat isi kulkas yang sama. Mata cokelat nya tertutup. Tangan kanan miliknya sebagai sandaran kepala. Sebelum memasuki kamar, sarung tangan hasil karyanya ia simpan di kotak kayu bawah tempat tidur. Tak lupa ia menyetel lagu mellow dan memakai headshet berwarna senada. Ia tahu dirinya penyuka minimalis dan warna hitam putih.
Gumaman tidak jelas mengikuti irama lagu yang ia putar. Barang belanjaan ia taruh semabarangan tempat. Biarkan dirinya menikmati momen berharganya. Besok adalah “awalnya” hidup. Awal....kembali ke awal lagi...dan lagi....
“Its showtime again your work life. No boring you make it. Play this game, you fun again.”
-Grissham Smith-
TBC
Keren kak
Comment on chapter Chapter 1