Loading...
Logo TinLit
Read Story - Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
MENU
About Us  

Aku bukannya sakit hati. Aku hanya kecewa. Kukira Devon sudah membuka dirinya padaku. Tapi ternyata aku salah karena dia hanya menganggapku kasihan padanya. Ya, aku memang kasihan padanya. Tapi bukan berarti aku menyukainya karena iba. Aku benar-benar sayang Devon dan aku sangat takut aku akan kehilangan dia.

Kurebahkan tubuhku yang lelah di dalam bak mandi berisi air hangat dan garam mandi. Rasanya sangat tenang. Kupejamkan mataku dan aku mulai menelaah kembali perasaanku. Aku dan Ryo? Atau aku dan Devon? Aku dan Ryo memang sepasang sahabat yang seolah ditakdirkan bersama. Aku mengenal Ryo seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri. Ryo pun mengenalku luar dalam. Dia tahu apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka. Akan sangat mudah jika Ryo menyukaiku dan aku juga menyukainya. Aku sudah yakin sejak kecil bahwa aku akan menikahi Ryo. Walaupun Papa tidak terlalu suka, sepertinya dia tidak terlalu keberatan karena Papa juga sudah mengenal Ryo sejak aku dan Ryo masih memakai popok. 

Lalu tiba-tiba Devon muncul dan mengubah segalanya. Aku tidak protes atau menyesal telah mengenalnya. Aku sungguh bersyukur malah. Tapi aku terkadang kesal karena aku tidak bisa mengartikan semua perasaan yang kurasakan ketika bersama Devon. Semua perasaan itu unik dan baru. Aku belum pernah merasakan detak jantungku yang berdetak ekstrim ketika Devon memelukku. Marissa bilang ini adalah cinta. Ya, mungkin ini adalah cinta. Tapi apakah aku siap? Apakah aku siap kalau terjadi apa-apa dengan Devon?

Aku menggeleng kepalaku kuat-kuat hingga ingin copot rasanya. Kubuang pikiran mengerikan itu cepat-cepat. Aku harus optimis. Devon masih bisa sembuh. Kita berdua masih punya kesempatan. Kita berdua masih bisa punya masa depan. Kukepalkan tanganku dan kutinjukan tanganku ke udara sampai air terciprat ke mana-mana. Tiba-tiba lagu Amnesia milik 5 Seconds of Summer terdengar dari dalam kamarku. Buru-buru aku menyabet handuk dan lari menuju ranjang tempat hapeku tadi tergeletak. Tentu saja air menciprat-ciprat heboh dan menciptakan genangan-genangan air di lantai kamar mandi.

"Aaah, di mana hape itu?" omelku entah pada siapa. Aku memang melemparnya karena frustasi ketika baru sampai di rumah. Tapi sekarang, setelah mandi, rasanya perasaanku jauh lebih tenang.

"Halo?" jawabku setelah akhirnya berhasil menemukan hape.

"Halo? Yuki?" tanya orang yang suaranya sudah kukenal dengan sangat baik.

"Hi, Ryo. Ada apa?" 

Tidak bisa kusembunyikan bahwa aku cukup kecewa. Aku memang berharap dan sangat yakin bahwa Devon lah yang meneleponku tadi.

"Jangan kecewa gitu dong," sindir Ryo.

Sial! Ternyata dia bisa mendengar dari suaraku kalau aku mengharapkan orang lain. Beginilah masalahnya kalau kita punya sahabat yang terlalu dekat. Dia tahu semuanya tentang kita dan tidak ada yang sepertinya bisa kita sembunyikan. Semarah apapun aku padanya, tak bisa dipungkiri aku cukup senang dia berusaha menghiburku dengan ledekannya itu.

"Siapa juga yang kecewa," tukasku.

"Iyah deh iyah. Galak bener."

"Terus, ada apa?" tanyaku, masih galak.

"Ehm, gue sebenernya pengen ngomong nih sama lo. Lo ada waktu nggak?"

"Kapan?"

"Hari ini," jawabnya.

Sebenarnya aku tidak ada acara sih hari ini. Aku ada PR Matematika dan Kimia yang belum kusentuh tapi aku benar-benar tidak ada keinginan bahkan untuk membuka kedua buku membosankan itu. Jam masih menunjukkan pukul 4 sore.

"Gue ada waktu sih. Mau ngomong apa?"

"Kita ngobrol di Macchiato Café aja yah," katanya lagi.

"Oke. Lo jemput gue yah," kataku asal.

"Gue udah di rumah lo. Lagi di ruang keluarga nih. Lama banget sih mandinya," gerutunya. 

"Hah??" aku berlari secepat kilat menuju pintu dan membukanya dalam satu hentakan.

"Halo!" Ryo melambai-lambai dari lantai satu. Dia sedang duduk santai sambil minum teh di sofa ruang keluarga.

Aku hanya bisa melambai kaku sambil nyengir kuda lalu buru-buru lari masuk ke kamarku. Aku cuma memakai bathrob gambar Barbie Mariposa dan rambutku digelung handuk gambar High School Musical. High School Musical 1 lagi. Film jaman kuda gigit besi yang sukses membuatku yang waktu itu masih SD dan ingusan percaya bahwa SMA tuh benar-benar surga dunia. Sungguh memalukan. Sungguh aib. Menyadari tidak ada yang bisa kulakukan selain mengutuk diriku sendiri, aku pun berjalan gontai ke lemari pakaian dan mengambil baju di tumpukan paling atas. 

Setelah mengenakan jeans dan kaus, aku mengenakan flat shoes Michael Kors berwarna navy kesayanganku dan menyambar tas Prada kecil yang segera kusampaikan di bahuku. 

"Yuk," kataku begitu keluar kamar dan Ryo pun segera berjalan mendahuluiku menuju lapangan parkir di mana mobil Lamborghini Aventador hitamnnya terparkir. Aku tahu Ryo pasti sedang ada masalah karena walaupun ia berusaha menutupinya, aku bisa merasakannya. Tidak biasanya Ryo jalan mendahuluiku seperti itu. Seperti kata Marissa, aku dan Ryo memang seperti kembar fraternal. Seolah ada ikatan di antara kami berdua. 

Dalam waktu 20 menit, Ryo dan aku tiba di Macchiato Café yang terletak di daerah Ciumbuleuit. Letaknya yang tinggi dan dikelilingi pohon-pohon lebat membuat café ini adem dan nyaman. Kami memesan caramel macchiato dan duduk di gazebo yang memang selalu di-reserve untuk kami.

"Jadi, ada apa?" tanyaku dengan tidak sabar.

"Gue sebenernya mau cerita tentang hubungan gue dan Devon," Ryo terlihat sedih dan gelisah.

Aku pun ikut gelisah. Sangat gelisah malah. Apa maksudnya dengan hubungan Ryo dan Devon? Mereka nggak saling menyukai kan? Mereka nggak pacaran di belakang aku kan? Kalo iyah aku mau minggat aja. Aku bakal ikut sirkus atau jadi penari latar atau pendekar pencak silat. Apa pun supaya nggak usah ketemu dua cowok ini. 

"Gue dan Devon punya hubungan darah," kata Ryo lagi. Matanya tidak lagi menatapku. Dia hanya mengaduk-aduk caramel macchiatonya. 

"Maksud lo?"

"Iyah. Maksud gue. Gue dan Devon adik-kakak."

Seolah ada petir yang tiba-tiba menyambar di siang bolong. Kakiku terasa lemas dan aku benar-benar kehilangan selera untuk meminum minumanku.

"Lo becanda yah? Ha-ha-ha. Nggak lucu banget, Ryo."

"Gue nggak bercanda, Yuki. Gue juga baru tahu beberapa minggu yang lalu. Gue bener-bener stress," jawabnya. Dia pun mendesah.

"Tapi kalian kan seumur. Nggak mungkin bisa jadi adik-kakak. Lagian lo nggak ada blasterannya sama sekali," aku mencoba meyakinkan Ryo kalau pemikiran dia ini gila. 

"Gue tahu, Yuki. Kita satu ayah dan beda ibu. Gue baru tahu ternyata bokap gue pernah deket sama perempuan lain waktu dia kuliah S2 di Jerman. Waktu perempuan itu hamil, nyokap gue pun udah hamil. Soalnya waktu bokap gue ngambil S2, dia emang udah nikah ma nyokap," jelasnya dengan suara lirih.

Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Maksudku, ini benar-benar absurd dan nggak lucu. Kalau ternyata Ryo berbohong atau mencoba mengerjaiku, aku benar-benar akan jadi badut sirkus. Aku serius. Ini benar-benar gila!

"Nyokapnya Devon menikah lagi dengan seorang pria Perancis kaya. Itulah kenapa dia dikirim ke sini."

"Gue tahu, Ryo." 

"Dia seharusnya tinggal sama bokap gue, gue dan nyokap gue. Tapi bokap gue malah nyuruh dia tinggal sendirian di apartment keluarga gue. Di daerah Ciumbuleuit sini juga." 

"Gue tahu."

Tatapan Ryo yang seolah bertanya membuatku melanjutkan kata-kataku.

"Gue juga dah denger bahwa bokapnya Devon memang belom ngunjungin Devon sejak kedatengan dia ke sini. Gue nggak tahu kalo ternyata bokapnya yang dia omongin itu ternyata adalah bokap lo. Om Trumanjaya," kataku seoalah menjawab pertanyaan bisu Ryo. Walaupun sebenarnya kata-kata tadi lebih kuperuntukan untuk diriku sendiri. Puzzel keluarga Devon yang tadinya begitu tak kumengerti sekarang sedikit demi sedikit tersusun. 

"Gue nggak tahu kalo ternyata Devon sakit, Yuki. Gue takut banget kedatengan dia bakal ngedepak gue dari status gue sebagai pewaris tunggal perusahaan bokap. Gue begitu membenci dia. Gue jahat banget yah."

"Ryo, jangan bilang gitu. Lo kan waktu itu belom tahu keadaan Devon yang sebenarnya." 

"Gue juga marah sama dia. Gue nggak tahu kalau gue cemburu atau apa. Tapi gue nggak suka ngeliat dia deket sama lo. Gue.. Gue juga bingung." Sekarang mata Ryo menatap lurus ke arahku. Jantungku berdebar kencang dan tanganku mulai berkeringat. Sepertinya Ryo baru saja menyatakan perasaannya kepadaku. Kalau dia mengatakan ini beberapa bulan yang lalu aku pasti sudah sangat senang dan lompat-lompat heboh. Tapi sekarang aku tidak tahu bagaimana aku harus berekasi. Lagi-lagi wajah Devonlah yang muncul di benakku. 

"Gue nggak bakal nanya lo mau jadi cewek gue ato nggak. Gue ngerasa nggak pantas nanya. Tapi gue pengen tahu perasaan lo ke gue gimana," lanjut Ryo lagi.

Ingin rasanya aku menjerit dan menyuruhnya berhenti berbicara. Sudah terlalu banyak yang terjadi dan dia hanya menambah-nambah masalah dengan menyatakan perasaannya padaku. Ini benar-benar bukan reality show kan? Aku berusaha mencari-cari hidden camera dan meraba-raba bawah meja mencari hidden microphone.

"Yuki." Suara Ryo menyadarkanku lagi.

"Ryo, terlalu banyak yang terjadi hari ini. Gue nggak bisa mikir lurus lagi. Boleh nggak lo ngasih waktu buat gue mikir?" tanyaku ragu-ragu. Kepalaku kembali penat. Mandi air hangat yang tadinya membantu menghilangkan kepenatanku kini sia-sia. 

"Take your time," Ryo tersenyum. Senyum lelah itu lagi.

Ini bukan Ryo yang kukenal. Ryo yang kukenal sangat ceria. Ryo yang kukenal akan selalu menjahiliku sampai aku benar-benar kesal. Seketika aku merasa telah menjadi teman yang sangat buruk bagi Ryo. Dia sedang dililit masalah dan aku malah merajut persahabatan dengan Devon. Persahabatan itu kini telah berubah menjadi sesuatu yang lebih. Aku bahkan merasa bersalah karena memikirkan Devon sekarang di saat Ryo sedang duduk di depanku.

"Kita pulang aja yuk," Aku menyeruput caramel macchiato-ku yang semua es nya telah mencair dan terasa hambar.

Di dalam mobil, Ryo dan aku sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya dentingan lagu 'River Flows in You' milik Yiruma yang mengalun merdu seolah mengantarkan aku dan Ryo lebih dalam ke alam pikiran kami. Dalam hati aku mengutuk pilihan lagu Ryo yang terlalu sedih untuk saat-saat seperti ini. 

Sesampainya di rumah aku langsung naik ke kamar dan mengurung diri di sana. Ryo baru saja menyatakan cintanya padaku. Kuhempaskan tubuhku di ranjang yang memantulkannya beberapa kali. 

"Bik Inah!!!" jeritku dari dalam kamar. 

Bik Inah muncul beberapa menit kemudian dengan rambut basah dan handuk yang disampaikan di bahunya sambil tergopoh-gopoh.

"Ada apa Non? Ada maling?" serunya heboh.

"Oalah, Bik. Kalo ada maling aku dah manggil polisi bukan Bik Inah," tawaku.

Bik Inah memang paling mengerti aku. Dia selalu bisa membuatku tersenyum dengan caranya sendiri.

"Aku mau berendam lagi, Bik. Pusing nih. Tolong kuras bak mandinya yah, Bik."

"Siap, Non." Bik Inah pun melesat menuju kamar mandi.

"Oh My GOD!!" seru Bik Inah dan disusul dengan suara berdebum yang keras.

Aku langsung melesat ke kamar mandi.

"Bik Inah! Ada ap.." sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, aku sudah tertawa terpingkal-pingkal.

"Bik Inah lagi belajar renang toh, Bik?" 

"Lah, Non. Ini kamar mandi apa bangkai kapal Titanic? Bik Inah langsung kepeleset dan kejebur ke bak mandi." Sahutnya kesal sambil bersusah payah keluar dari bak mandi. 

"Bik Inah kan baru mandi. Jadi basah lagi deh. Mandi lagi mandi lagi." Gerutunya sambil terpeleset berkali-kali. Masih juga Bik Inah berada di dalam bak mandi yang pasti airnya sudah dingin.

Perutku sakit menahan tawa. Kasihan sekali Bik Inah. Aku sungguh tidak bermaksud mencelakakan Bik Inah tapi pemandangan ini kok rasanya lucu sekali. Sambil tetap bersungut-sungut Bik Inah merapikan kamar mandi yang memang lebih mirip bangkai kapal perang daripada kamar mandi seorang gadis remaja. Aku akhirnya menunggu di ruang keluarga sambil menyeruput susu hangat karena sekarang seluruh pembantu di rumahku sedang dikerahkan untuk menguras kamar mandiku. Terkadang terdengar cekikikan, teriakan dan makian dari kamarku. Entah apa yang pembantu-pembantuku dan Bik Inah lakukan di dalamnya. Aku sampai bingung ini mereka lagi beresin kamar mandi atau syuting film music video sih.

Keadaan rumahku yang jadi ramai mengalihkan pikiranku dari Ryo dan Devon. Tetapi keramaian dan derai tawa itu tidak berlangsung lama. Malam pun tiba dan kesunyian rumahku pun kembali. Aku memutuskan untuk tidak berendam lagi karena aku merasa bersalah kepada Bik Inah dan pembantu-pembantuku yang lain. Wajah mereka kusut dan baju mereka basah seolah habis berenang melintas pulau ketika keluar dari kamarku. Aku sampai shock melihatnya. Biasanya aku akan menelepon Ryo setiap kali aku ada masalah. Tapi kali ini Ryo-lah masalahnya. Tentu saja aku tidak mungkin menelepon Ryo.

Aku menatap bintang-bintang di langit yang mulai tertutup awan. Sepertinya malam ini akan hujan. Bulan purnama yang tadinya terlihat kini sudah tersamarkan oleh gelapnya awan hitam. Betul saja, tak lama kemudian kilatan petir terlihat kemudian segera disusul oleh suara geledek. Aku pun melamun keluar menatap air yang mulai membasahi balkon kamar tidurku. Aku tidak pernah takut akan hujan dan petir. Aku selalu berpikir bahwa hujan memberikanku kesempatan untuk berpikir karena suara-suara lain dikalahkan derasnya hujan dan geledek. Tapi hari ini, hujan terlihat begitu sedih. Langit menangis seolah ia bisa meraskan kegundahan hatiku.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • Kang_Isa

    Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)

    Comment on chapter Prolog
  • TamagoTan

    @ikasitirahayu1 Salam kenal juga! :) Thank you dah mampir yah.

    Comment on chapter Prolog
  • ikasitirahayu1

    Salam kenal, kak

    Comment on chapter Sang Salju dan Sang Awan
Similar Tags
Love Letter: Mission To Get You
41      35     1     
Romance
Sabrina Ayla tahu satu hal pasti dalam hidup: menjadi anak tengah itu tidak mudah. Kakaknya sudah menikah dengan juragan tomat paling tajir di kampung. Adiknya jadi penyanyi lokal yang sering wara-wiri manggung dari hajatan ke hajatan. Dan Sabrina? Dicap pengangguran, calon perawan tua, dan... “beda sendiri.” Padahal diam-diam, Sabrina punya penghasilan dari menulis. Tapi namanya juga tet...
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1445      678     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Sweet Scars
261      220     1     
Romance
Dont Expect Me
498      374     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Ellipsis
2191      917     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Tinta Buku Tebal Riri
520      337     0     
Short Story
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan kejadian, nama dan tempat hanyalah kebetulan semata. NB : picture from Pixabay.com
NIAGARA
453      334     1     
Short Story
 \"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka.\" ~Nia Angelica~
Can You Love Me? Please!!
3724      1125     4     
Romance
KIsah seorang Gadis bernama Mysha yang berusaha menaklukkan hati guru prifatnya yang super tampan ditambah masih muda. Namun dengan sifat dingin, cuek dan lagi tak pernah meperdulikan Mysha yang selalu melakukan hal-hal konyol demi mendapatkan cintanya. Membuat Mysha harus berusaha lebih keras.
MAMPU
6376      2216     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
Love Invitation
558      390     4     
Short Story
Santi and Reza met the first time at the course. By the time, Reza fall in love with Santi, but Santi never know it. Suddenly, she was invited by Reza on his birthday party. What will Reza do there? And what will happen to Santi?