Betul saja, sebuat mobil Audi yang identik dengan mobil yang sedang kutumpangi sudah terparkir di halaman rumah.
"Papa, kok Papa nggak bilang sih mau pulang?" tanyaku ketika sampai ruang keluarga.
Papa sedang meminum kopi dan menutupi mukanya sendiri dengan koran. Bingung deh. Baca koran kok jam 3 sore sih? Telat dong beritanya.
"Yuki sweetheart. Kan Papa mau surprise-in kamu!"
"Nggak surprise. Aku kan tahu kalo ada cokelat di mobil berarti Papa di rumah," kataku sambil ikut duduk di sofa ruang keluarga yang melingkari meja bundar yang terbuat dari marble. Aku pun mulai menegak susu hangat yang sudah disiapkan Bik Inah untukku.
"Jadi, gimana sekolah kamu hari ini?"
Aku cemberut sebagai jawaban atas pertanyaannya itu.
"Apa? Nilai matematikamu jelek yah?"
"Nggak kok. Papa negative thinking banget sih."
"Sweetheart, kalo kamu tidak bisa matematika Papa bisa cariin guru les privat terbaik di Bandung buat ngajarin kamu," katanya dengan tatapan pengertian.
Tidak seperti ayah teman-temanku, Papa tidak pernah keras padaku jika masalahnya adalah nilai. Dia hanya berharap nilai 70 atau 80 dariku. Masalahnya nilai matematikaku tuh do re mi. Jangankan 70, dapat nilai 60 saja Papa mungkin bisa tumpengan.
"Nggak kok, Pa. Masalahnya tuh Ryo. Dia aneh banget hari ini. Aku ajak ngomong dia senyum. Aku tanya juga senyum. Aneh kan? Biasanya kan dia merepet gitu ngomongnya kayak radio butut," aku mulai mengeluh.
"Mungkin dia lagi ada masalah. Atau tidak enak badan," Papa menjawab sekenanya. Aku tahu Papa memang tidak terlalu suka Ryo. Katanya keluarganya kurang harmonis. Padahal Om dan Tante Trumanjaya baik banget kok. Papa sok tahu aja nih kayaknya.
"Terus ada anak baru loh, Pa. Aneh banget yah? Brahmana academy kan jarang banget kedapetan murid baru di tengah tahun ajaran. Kecuali tuh anak pinternya nandingin Einstein."
"Oyah? Memang anak baru ini pinter banget? Boleh juga tuh buat bantu ajarin kamu," sindir Papa.
"Ihh. Jadi maksud Papa aku ini bodoh yah," protesku.
"Loh Papa kan nggak pernah ngomong. Kamu cuma.. kurang pintar sedikit," jawab Papa.
"Lah itu kan namanya bodoh," aku cemberut lagi.
"Udah dong, sweetie. Jangan cemberut terus. Nanti cepet tua loh. Siapa yang mau sama kamu ntar. Mending kita makan aja yuk," kata Papa.
"Aku maunya Sushi Tei loh Pa," kataku menantang. Aku tahu Papa benci banget sama yang namanya ikan mentah. Tapi berhubung dia sudah mengatai anak semata wayangnya ini kurang pandai, dia harus mau makan macam-macam ikan mentah denganku.
"Kalau Duck King PVJ aja gimana?" tanyanya setengah memelas.
"Pa, aku maunya Sushi Tei,"
"Oke deh. Udah sana beres-beres. Kalo ketemu temen bisnis Papa kan malu. Masa anak Charles Tanudiredjo kucel begini,"
"Ihhhh Papa!!!" aku mendorongnya dengan bantal sofa tapi segera berjalan ke kamar untuk mandi dan dandan. Betul juga kata Papa. Sushi Tei kan restoran favorit Ryo juga. Siapa tahu Ryo dan ayahnya memang lagi makan di sana. Dia memang bilang mau ke kantor ayahnya kan tadi.
Setelah mandi dan mengeringkan rambut, aku mencatoknya sedikit supaya bergelombang. Biar kekinian gitu loh maksudnya. Lalu tipis-tipis kusapukan bedak ke wajahku dan kuoleskan lipstick berwarna peach di bibirku.
"Aku udah siap nih, Pa,"
Maka aku dan Papa berangkat diantar Pak Enjang ke Sushi Tei di jalan Sumatera. Untung hari ini weekday jadi tidak ada antrian dan kami bisa segera masuk. Setelah pesan berbagai macam sushi mataku mulai melirik-lirik kanan kiri, berharap Ryo ada di sana. Betul saja! Ryo sedang duduk bersama ayahnya di ujung lain restoran. Tapi kenapa muka Ryo dan ayahnya kaku begitu. Apa sih yang mereka bicarakan? Memangnya Ryo sudah lagi dipersiapkan meneruskan usaha Om Trumanjaya?
Keren. Lanjut, ya. Sukses selalu. :)
Comment on chapter Prolog