Gemeretak kayu di api unggun mengisi heningnya malam. Gawain duduk bersandar di salah satu pohon melingkari api unggun. Bau musang bakar dan anggur dingin membuat hidungnya berkedut. Malam yang sunyi, meskipun lolongan Direwolf terdengar di segala penjuru; tanpa nyanyian atau orang lain untuk bercengkrama tetap membuat Gawain kesepian. Namun justru keadaan inilah yang Gawain cari.
Setelah meyakinkan tidak ada seorangpun di sekitar, Gawain mengeluarkan buku jurnal coklat milik ayahnya. Di sana, ia menduga suatu hal yang tersembunyi. Bisa jadi, rahasia kematian ayahnya tersimpan di sana; menunggu seseorang membuka jurnal itu. Buku tua itu sudah usang dan berdebu—Leris benar-benar jujur ketika ia berkata ia tidak pernah mengintip isinya sekejap pun—juga bersampul kulit rapuh, beberapa dari bagiannya sudah terkelupas. Di depannya terdapat nama pemilik asli jurnal itu: Loth Orkney. Gawain merekahkan senyum tipis mengingat nama itu, juga terkenang dengan memori yang tersemat di dalamnya.
Halaman pertama terlihat. Terdapat tulisan tangan yang Gawain kenal mengukir tulisan di sana:
“Orang dengan talenta dapat mengerjakan hal yang tak dapat dilakukan banyak orang, tapi, orang jenius dapat mengerjakan suatu hal yang ‘tak dapat dilihat’ oleh orang lain.”
Gawain bergidik ketika membaca tulisan itu. Bulu romanya tiba-tiba meregang tanpa alasan. Ia mengedarkan ke sekitar dan menyiapkan belati, berjaga penuh bila ada satu jiwa mendekat, namun kembali terduduk tenang tak mendapati seekor semut pun mendekat. “Apa artinya?” sudah dua kali ia membaca kalimat yang sama, sayang ia tak dapat mengintepretasikan maksud dari kalimat itu.
Banyak orang yang mengartikannya sebagai “tak apa kau tak bertalenta, namun jadilah orang yang jenius.” Tapi tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi sosok yang jenius. Ayolah, jika semua orang di dunia ini “jenius”, maka kosakata “jenius” sendiri tak pernah ada. Kesimpulannya, kalimat-kalimat semacam itu hanyalah digunakan untuk motivasi, tidak lebih. Awalnya Gawain juga berpikir semacam itu. Tapi terkadang, sepotong kalimat dapat mengubah dunia. Dunia ini memang aneh, terkadang ia tak akan berubah sejauh semua makhluk hidup berulah; namun di sisi lain dapat berubah dengan sekejap jika Dewa dan Dewi berkata.
Dulu dia adalah akromatik, Gawain tahu itu dan sadar. Namun sekarang berubah, ia dapat menggunakan sihir meskipun belum terlatih. Langkah yang kecil setelah lompatan yang besar. Ia berpikir-pikir kekuatan macam apa yang membuatnya dapat melakukan sihir secara tiba-tiba jika bukan kehendak Dewa dan Dewi sendiri?
Pikirannya berkalut, namun ia memiliki kendali untuk mengesampingkan hal-hal lain dan fokus pada tulisan-tulisan di hadapannya. Ia tahu, beberapa pertanyaan yang tersimpan di hatinya dapat terjawab dengan buku jurnal coklat itu.
Kata demi kata menyusun kalimat. Untaian kalimat menyusun paragraf. Dan susunan-susunan paragraf itu membentuk cerita dalam jurnal. Hampir seisi jurnal itu menceritakan masa muda ayahnya ketika ia masih seorang penyihir biasa dan bersekolah di Hyulida, dilanjut dengan perang melawan Penyihir Abadi, pernikahannya, hingga ia memiliki anak dan semuanya diceritakan dengan detail yang tak tanggung-tanggung. Saat di bagian berjudul “Anak Pertama”, Gawain menelan ludah. Dengan membacanya, ia akan mengetahui asal-usul sebenarnya.
Dengan tarikan napas, Gawain mulai membaca:
Saat itu, tertanggal sepuluh bulan dua belas, namun salju sudah turun terlebih dahulu—juga air ketuban Morgausse sudah keluar meski si jabang bayi berusia tujuh bulan. Saat itu, kami masih di tengah perjalanan menuju Hyulida; tepatnya di Grende. Junier masih tenang ketika kami bertolak, namun badai salju turun cepat ketika satu jam perjalanan.
Jika kuperkirakan, kami saat itu masih tiga jam lagi ke Ferk. Dan di saat itulah, kejadian tak terkira itu terjadi. Morgausse mengeluh kesakitan—kukira itu gurauan, sayang kali ini bukan. Aku panik ketika melihat air ketuban istriku sudah pecah. Dengan keras, aku mengetuk-ngetuk pintu yang menghubungkan ruang kereta, “tuan, bisakah Anda lebih cepat untuk sampai ke Ferk?”
“Kau gila! Kita tak bisa lebih cepat atau kita tergelincir!” jawab kusir tua itu.
“Kumohon, istriku melahirkan!” paparku cepat.
Kusir itu mendengus, lalu memacu kudanya lebih cepat, “pegangan, kawan!”
Keberuntungan berpihak pada kami saat melewati Grende berkat doa Peri Hutan yang mendengar jeritan istriku. Cahaya mereka juga menuntun kami ke jalan yang tepat agar kami tak tergelincir.
Grende sudah berlalu, kini kita berhadapan langsung dengan badai.
Keadaan semakin sulit di luar sana. Tanpa cahaya Peri Hutan, sang kusir sedikit melambatkan laju keretanya. Sungguh hebat kusir tua ini, dengan mata tuanya ia masih mampu menelisik jalan di tengah amukan badai salju.
Saat kurasa tinggal beberapa kaki lagi ke gerbang Kota Ferk, sang kusir tak mampu memerintahkan kudanya untuk berhenti. Alhasil, kereta tergelincir dan terguling. Aku mendekap Morgausse erat-erat dan merapal sihir pelindung untuknya.
Beberapa detik kemudian, orang-orang membuka kereta kami dengan mencungkil jendela. Aku terjepit, namun Morgausse tidak. “Cepat bawa istriku ke tabib terdekat!” seruku pada orang di luar. Morgausse di tarik lalu digotong bebarengan.
...
Gawain berhenti membaca, ia sudah tahu nasib si jabang bayi yang keluar saat itu. Ia membalik satu halaman dan sampai di akhir cerita:
...
Seseorang wanita tiba-tiba datang padaku sembari menyodorkan bayi yang juga masih berwarna merah. “Ambilah dia karena dia ditelantarkan oleh orang tuanya.” Aku ragu, namun dia melanjutkan kalimatnya, “jangan buat istrimu kecewa, kawan.”
Itu bayi lelaki, sama seperti yang keluar dari rahim istriku. Bedanya, ia bernafas dan menangis. Saat kutengok lagi wanita itu, ia sudah hilang dari pandangan.
Kubawa bayi merah itu kepada Morgausse dan di saat itu juga kami menamainya sesuai dengan nama kusir tua yang tewas demi kami: Erno.
“Tunggu dulu,” gumam Gawain. Ia membolak-balik halaman namun tak menemukan kejelasan lain tentang wanita yang memberinya pada Loth. “Kemungkinan besar itu ibuku? Tidak, di sana tertulis jelas ‘Ambilah dia karena dia ditelantarkan oleh orang tuanya.’ Artinya, aku memang sudah ditelantarkan dari awal?”
Gawain mengesampingkan pertanyaan itu. Masih banyak potongan informasi yang hilang. Lagipula, ia kemungkinan akan tahu siapa wanita itu bila ia berhenti di Ferk. Jika Gawain tak salah, ia bisa menempuh sisa perjalanannya selama setengah hari bila ia beruntung tak bertemu Tyran macam apapun.
Lembar-lembar buku itu sekarang terbolak-balik berkat jemari Gawain. Sisa jurnal itu diisi cerita kehidupan Loth. Dari sana, Gawain tahu betul sosok ayahnya selama ini: seseorang yang pengertian dan penuh kasih sayang serta tegas juga disiplin. Jurnal harian itu masih menyisakan puluhan lembar kosong. Gawain merasa jurnal itu sudah menjawab pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan lainnya.
Sebelum lembaran kosong, ia mendapati sebuah deskripsi singkat mengenai Keluarga Orkney. Matanya tertumbuk pada deskripsi tentangnya dan Florence. “Erno adalah anak jenius. Sementara Florence anak penuh talenta.” Hanya itu kalimat deskripsi yang berkaitan dengannya, tidak lebih.
Gawain mendengus, tak menyangka bahwa ayahnya itu masih mengakui kecerdasannya. Dengan itu, ia menutup jurnal coklat tua itu dan memilih merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Walaupun ia berkata beristirahat, namun tidak sepenuhnya betul ia menutup mata. Tangan kanannya selalu siap di gagang belati. Derap kawanan serigala kerap kali terdengar lalu-lalang, membuat Gawain terkesiap dan bersiaga sejenak hingga suara itu menjauh dan lenyap.
Saat subuh, Gawain bergegas bangun, beranjak pergi dari sana secepat mungkin. Kabut pagi baru saja turun dari Bukit Alliyun di sisi utara. Dari kejauhan, ia samar-samar mendengar suara lonceng kuil di bukit, menandakan lonceng yang serupa juga berdering di kuil Kota Ferk dan Junier; aktivitas hari ini sudah dimulai.
Di tengah hari, Gawain dapat melihat gerbang Kota Ferk yang megah. Saat ia masuk, ia ditanyai perihal siapa dirinya dan apa niatannya untuk masuk ke Ferk. Gawain menjawab bahwa ia adalah seorang pengembara dari salah satu desa tak bernama di Grende; oleh karena itu ia tak memiliki kartu pengenal dari Guild. Gawain juga menambahkan bahwa alasannya dia ke Ferk ialah: “Junier sudah tidak semakmur dahulu, kawan. Kota itu tinggal sebuah pelabuhan yang hampir ditinggal oleh pemiliknya sendiri! Maka dari itu, Aku lebih memilih berjalan dua hari satu malam untuk sampai ke Ferk.”
Penjaga itu juga semakin yakin dengan penampilan Gawain yang memprihatinkan, “baiklah kawan, segera masuk dan selamat datang di kota kecil ini!” sambutnya dengan intonasi bersahabat.
Saat ia masuk kota, pemuda itu melangkah menuju Kuil Ferk dan mengatakan bahwa ia adalah seseorang bernama Agwain Septim. Seorang petugas harian menanyainya, “kenapa saudara datang dengan penampilan seperti ini?! Apa yang terjadi?!”
“Saudaraku, aku mencoba untuk bertapa di Alliyun selama lima hingga enam bulan—aku lupa waktu dan mungkin saja setahun atau lebih. Saat aku turun, Grende yang kuingat tidak seperti dahulu dan aku harus segera kembali ke Hyulida selepas urusanku di Ferk selesai.”
Pendeta itu mengamati Gawain lamat-lamat, lalu ia mengangguk percaya pada pemuda di depannya ini. “Baiklah, aku akan memeriksa namamu di katalog anggota kuil,” ia undur diri ke ruangan di belakang, lalu kembali dengan membawa satu buku tebal, “maaf, perlu kutanyakan lagi. Apakah benar Saudara utusan Pendeta Septim di Hyulida? Jika kulihat lagi, nama Saudara tidak ada di mana pun.”
“Coba Anda lihat katalog tahun lalu dan sebelumnya,” sela Gawain dengan intonasi yang tenang. Sebuah pilihan yang keliru ia meninggalkan seragam pendetanya yang ia dapat dari kuil terbengkalai letak ibunya dikebumikan.
“Maaf dengan itu saudara.”
“Kenapa?”
“Untuk katalog tahun-tahun sebelumnya disimpan di arsip kuil. Aku sebagai petugas harian tak memiliki kewenangan untuk mengambilnya dari sana.”
“Jika namaku tidak tertulis di tahun ini.... oh berarti aku sudah bertapa setahun lebih,” gumamnya dengan pura-pura. “aku lupa untuk mendaftar ulangkan namaku. Baiklah, kalau begitu apa aku bisa mendaftar ulang di sini?”
Pendeta itu ragu-ragu sejenak namun akhirnya mengangguk, tiap kalimat dari pemuda di depannya tampak menjajikan. Ia mengajak Gawain ke ruangan administrasi, menulis namanya di katalog, lalu membuat tanda pengenal dan memberinya seragam pendeta.
“Senyum Dewi Foresta tersampir ke dirimu saudara! Engkau bahkan memberiku baju pendeta baru! Terima kasih kawan, tapi sepertinya aku tidak pantas menerima hadiah semacam itu setelah merepotkan dirimu sejauh ini,” ujar Gawain dengan berpura-pura. Kemampuannya dalam berbicara meroket berkat pengalamannya menyamar di Junier. Ia jelas bukan seorang pendeta, namun ia tahu kebiasaan pendeta karena seorang teman petualangnya adalah seorang pendeta yang suka berkhotbah di sela-sela perjalanan.
Dengan ini, Gawain memeroleh satu bidak catur yang menguntungkan posisinya. Dengan bantuan semua kuil di Unomi, ia dapat bergerak dari satu kota ke kota lain tanpa di awasi oleh Guild. Kelebihan lainnya, ia memiliki akses untuk masuk ke Akademi Hyulida dengan mudah.
Gawain pergi dari kuil setelah menyampirkan khotbah di pengurus harian itu. Sekarang, ia bertolak menuju penginapan termurah di Ferk. Saat ia masuk, ia memesan untuk satu minggu. “Kau pendeta? Pendeta di umur mudamu?” tanya pemilik penginapan dengan nada tak percaya.
“Iya,” jawab Gawain dengan nada datar.
“Kalau begitu, kau boleh menginap selama yang kau mau dan gratis!” serunya.
“Kenapa.... oh biar kutebak. Anda adalah pensiunan pendeta!”
“Benar anak muda! Dan tak kusangka ada anak muda yang berjiwa religius sepertimu.”
Sekali lagi, ia mendapat keberuntungan yang tak ia duga-duga. Dengan memanfaatkan kebaikan pemilik penginapan, Gawain menginap di sana. Namun, demi menjaga citranya sebagai pendeta, ia membantu pekerjaan di penginapan itu.
Selama satu minggu, ia berusaha mengumpulkan informasi juga mendaftar sebagai pengembara di Guild dengan nama “Si Pengembara Kesepian”. Dengan dalih yang sama ketika ia ditanyai pendeta kuil lain hari, ia berhasil menipu pengurus administrasi Guild dengan mudahnya. Alhasil, ia mempunyai dua identitas; satu bidak lain jatuh ke tangannya. Dengan reputasinya sebagai Si Pengembara Kesepian, ia bisa menggali informasi macam apapun dari semua petualang di Unomi.
Sayang, informasi yang berkaitan dengan wanita itu tidak pernah terdengar ke telinganya. Ada beberapa petualang yang bercerita tentang kereta tergelincir sekitar delapan belas tahun lalu, namun tidak sedetail seperti yang Gawain harapkan.
Burung-burung sudah bermigrasi ke Selatan, tanda bahwa musim salju akan menggantikan musim gugur. Beberapa hewan-hewan seperti tupai tampak senang setelah melihat rumahnya dipenuhi makanan persediaan hibernasi, juga orang-orang di Ferk. Mereka berbangga sebab hasil panen di tiga musim sebelumnya dapat memenuhi lumbung hingga musim semi datang tahun depan.
Waktu Gawain di Kota Ferk telah habis. Ia tak mau berlama-lama di kota ini. Setelah mengucapkan rasa terima kasih pada pemilik penginapan, ia bertolak menuju karavan pendeta peziarah menuju Antarie, kota perbatasan antara Kerajaan Laitan dan Miriadin. Sesuai dengan prediksinya, karavan yang ia tumpangi itu tidak sedikitpun membuat penjaga perbatasan mengangkat hidungnya.
Sekarang, ia sampai di wilayah Kerajaan Laitan. Di sini bangsa yang dominan hidup di sini adalah Elf. Tidak seperti bangsa manusia, bangsa Elf masih menjunjung tinggi konsep stratafikasi sosial di kehidupan, jadi Gawain tak bisa bertindak leluasa seperti sebelumnya. Ia harus bertindak hati-hati atau bangsa Elf menaruh curiga padanya.
Dalam sistem stratafikasi sosial, seseorang dinilai “berharga” atau tidak dapat dinilai dengan kekayaan yang ia miliki. Meskipun Gawain adalah terdaftar sebagai anggota pendeta, ia masih dipandang rendah oleh petinggi kuil di Antarie. Dengan taktik kecil, ia maju ke seorang petinggi kuil dan mengajaknya berbicara dua mata.
“Untuk urusan apa engkau datang ke kantorku ini?” ucapnya dengan nada ketus.
“Sebelumnya, perkenalkan saya terlebih dahulu. Nama saya adalah Agwain Septim, utusan dari Keluarga Septim di Hyulida. Saya kesini untuk menyampaikan suatu hal untuk Anda.”
“Septim? Oh, engkau utusan Master Septim? Tapi apa itu benar? Tak kuingat Master Septim merekrut seseorang dari ras manusia.”
“Oh, Anda jangan salah,” balas Gawain dengan senyuman. “Dulu memang Master Septim memiliki kebijakan semacam itu, namun beberapa bulan ini tidak. Jika Anda tak percaya, mohon lihat katalog kuil; Anda akan melihat nama saya terdaftar minggu lalu.” Selepas mendengar jawaban itu, si petinggi menyuruh sekretarisnya untuk memeriksa, dan pernyataan pemuda di depannya ini benar. Awalnya ia tak percaya, namun cap kuil yang tertanda dan tanda pengenal yang Gawain bawa tak bisa membuatnya mengelak.
“Baiklah, sobat. Maafkan ketidaksopananku beberapa saat lalu. Perkenalkan, namaku Lucas Han’s dari Keluarga Han’s. Untuk selanjutnya, mohon panggil aku dengan nama itu. Omong-omong, untuk perihal apa sobat kemari?”
“Sebelumnya, kutanya sebuah pertanyaan: percayakah kau orang seperti diriku yang baru saja diangkat menjadi pendeta langsung menerima perintah dari Master Septim?” Lucas mengangguk percaya. “Baiklah, kumulai ceritaku: Saat itu, Master Septim menyuruhku bertolak langsung menuju Junier dengan kuda tercepat untuk menemui kolega lama dan memberinya hadiah pertemanan. Sayangnya, kolega lama itu telah meninggal satu tahun lalu. Saat aku kembali, aku lupa bahwa Grende telah berubah menjadi sarang Tyran sehingga aku dan kudaku diserang, beruntungnya, aku bisa selamat dan sampai di Ferk. Karena tergesa-gesa, aku berangkat dengan karavan dari Ferk ke Antarie.”
“Apa yang sobat lakukan dengan hadiah pertemanan yang Anda bawa?”
“Kubagi. Sebagian sudah kuamalkan untuk kuil di Ferk, sebagian yang lain masih kubawa. Nah sekarang, aku ingin kembali ke Hyulida namun Master Septim tak ingin aku kembali sebelum hadiah ini diberikan. Jika aku menyembunyikannya, aku akan berdosa.”
“Maka dari itu, kau datang kemari untuk menyumbangkannya?” jawab Lucas dengan mata berbinar-binar.
“Tepat sekali, sobat!”
“Berapa banyak?”
“Tiga batu rubi dan dua batu safir,” jawab Gawain sembari mengeluarkan batu-batu itu. “Sekarang, aku mohon bantuan kuil untuk kembali ke Hyulida.”
“Hanya itu yang kau minta, sobat?” tanya Lucas sambil memeriksa keabsahan batu permata di depannya itu. “Apa kau tak minta yang lain?”
Gawain berpura-pura mengingat, “Oh, aku minta satu hal. Ada salah satu temanku. Dia seorang pengembara lepas dan memiliki jiwa petualang yang hebat serta wawasan yang luas. Namun, penjaga di perbatasan kerajaan tak mau mengizinkannya masuk: aku takut dia nekat menembus pertahanan dan tertangkap.”
“Baiklah, akan kuurus itu. Siapa namanya?”
“Aku tak tahu, tapi teman-temannya menjulukinya dengan sebutan Si Pengembara Kesepian.”
Tangan Lucas tampak menari-nari di secarik kertas, “baiklah. Akan kujamin dia tak tersentuh hukum selama ia tak terbukti tak bersalah.”
“Oh tenang saja. Meskipun dia nekat, tapi dia tak bodoh. Dia tahu kapan harus menjaga diri.” Gawain bangun dari tempat duduknya, lalu memohon untuk undur diri. “Baiklah kalau begitu, Lucas. Terima kasih telah mendengarkan keluhanku beberapa saat tadi. Oh iya, jika kereta ke Hyulida sudah ada, tolong kabari; Aku akan selalu di kuil pada pagi hari.”
Gawain melesat pergi dari kuil dan membaur dengan masyarakat. Seulas senyum tersampir di bibirnya, tidak hanya ia mampu membeli identitas baru, tapi juga ia mampu membeli hukum dengan permata yang ia miliki. Rencanannya berjalan mulus, bahkan terlalu mulus. Namun Gawain tak mengkhawatirkan satu hal pun; ia memilih secara cermat kalimat yang akan ia ucapkan dan lawan bicaranya.
Seperti di Kota Ferk, Gawain berpura-pura menjadi pendeta di pagi hari dan petualang di sore hingga malam hari. Sejeli mungkin, ia menggali dan memilah informasi dari rumor-rumor yang beredar. Sayang, semakin keras ia berusaha, semakin nihil pula ia menemukan informasi yang cocok dengan wanita yang ia cari-cari.
Karena merasa bosan, ia memilih untuk melakukan beberapa tugas di Guild sembari menunggu kereta kuda yang bertolak menuju Hyulida. Banyak macam pekerjaan serabutan yang dilakukan, namun yang paling Gawain senangi adalah berburu. Dengan berburu, ia dapat mengenali daerah sekaligus berkenalan dengan beragam orang. Beberapa petualang langsung mengenalinya berkat jubah abu-abu yang ia kenakan. Gawain menerima sambutan mereka dan mencoba bercengkrama; ia sudah lama sendirian.
Malam demi malam silih berganti. Tak terasa Gawain sudah hidup di Antarie selama dua bulan. Lucas masih belum memberinya kabar kepastian kereta dan menghimbau Gawain untuk bersabar. Gawain mengangguk dan berkata bahwa ia sudah mengirim surat ke Hyulida atas keterlambatannya. Tapi itu tak mengapa, ia masih banyak waktu; ia tak perlu untuk terburu-buru, malahan ia menikmati Kota Antarie.
Hingga suatu hari, sebuah musibah datang menimpa kota itu.
***
Semua petualang pemberani sudah berkumpul di balai Guild. Siang itu, semua dari mereka menerima kabar yang mengejutkan: seekor Taurus setinggi dua puluh kaki sedang mengamuk di perbatasan. Tyran yang satu ini cukup cerdik meskipun berotak banteng juga memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan dengan kekuatan tubuh manusianya. Senjata berupa kapak berkarat siap terayun kepada siapapun yang menghalanginya, meninggalkan jejak darah. Kabar ini membuat beberapa petualang bergidik ngeri, apalagi Taurus yang sama dirumorkan menghancurkan dua kota di perbatasan selatan; dan kabar ini memang benar.
Kerumunan itu berkumpul sesuai dengan pekerjaan masing-masing: golongan ksatria dengan ksatria, pemanah dengan pemanah, penyihir dengan penyihir, dan seterusnya. Semuanya memiliki peran masing-masing dalam pertempuran: ksatria sebagai pertahanan garis depan, pemanah sebagai penyerang di garis tengah, dan penyihir di garis belakang dapat mengubah arus tempur dengan mantra penyembuh atau menyerang, dan seterusnya ke pekerjaan yang lain.
Gawain adalah golongan pencuri dan pembunuh cepat, peran dari golongan ini adalah mengirim tikaman-tikaman mematikan dengan belati. Dilihat dari baju pelindung yang mereka pakai, golongan ini hanya mengenakan baju pelindung dari kulit yang ringan; sangat rapuh bila dibandingkan dengan zirah besi milik ksatria. Di baju pelindung mereka juga tidak ada rune yang dapat melindungi mereka seperti milik penyihir, alasannya beberapa musuh dapat mendeteksi jejak sihir sekecil pun, membuat keberadaan mereka diketahui yang demikian itu membuat serangan mereka tak mematikan. Kesimpulannya, golongan pencuri dan pembunuh cepat ini menggantungkan teknik serangan mereka pada kecepatan dan unsur kejutan yang mematikan.
Meskipun Gawain mendaftarkan diri di golongan ini, sejatinya ia tak ahli saja dalam menikam. Beri dia busur dan anaknya, dan dia akan memanah target seakurat mungkin; beri dia pedang, perisai, juga zirah, dan dia akan melindungi siapapun yang ada di punggungnya. Semua pekerjaan bisa ia lakukan, kecuali menyihir. Sudah lama-lama ini ia tak bisa mengeluarkan sihir—dalam artian lain ia kembali menjadi akromatik. Anehnya, bagian punggung tangannya tetap sekeras berlian dan rupa-rupanya tak akan kembali seperti semula.
Berkat reputasinya, Gawain menjadi ketua golongan ini. Orang-orang yang mengenalnya merasa aman dalam kepemimpinan dan arahan Gawain. “Bagi kalian yang gugup, tenanglah. Bahkan kita belum diskusi strategi.”
Lima menit kemudian, setiap ketua golongan dipanggil menuju ruang rapat. Saat di sana, Gawain dipersilakan duduk di salah satu kursi di meja bundar. Di sana, ia mendapati tiap-tiap perwakilan golongan yang dapat ia perkirakan berusia dua puluh tahun keatas—ia merasa paling muda sendiri.
Seseorang berjubah merah berdiri lalu mengangkat tangan. Gawain mengenalinya sebagai Mayor di Kota Antarie. “Kuucapkan terima kasih bagi kalian, para petualang yang berani. Sekarang, kita akan mengatur strategi,” ujarnya dengan intonasi berat di suaranya. Semua orang mengangguk sebagai formalitas.
Strategi tempur yang direncanakan tidak terlalu rumit. Hanya membagi peran tiap golongan. Perang yang Gawain dapat cukuplah sederhana: serang di titik lemah musuh dan menghindar. Namun semua pencuri tahu bahwa aksi tak semudah ucapan. Rapat itu selesai lima menit setelahnya dan Gawain kembali ke sembilan anggotanya. Ia memberi arahan singkat tentang di mana letak titik vital dan cara menghindar. Setelah semuanya paham, mereka membagi titik serangan. Tiga orang di untuk bagian leher dan kepala, tiga yang lain bagian dada, dan tiga orang lain beserta Gawain mengawasi kaki Taurus.
“Baiklah, setelah salah seorang dari kami menggores kaki, Taurus itu akan jatuh sejenak; dengan kata lain memberi kita waktu sepersekian detik untuk melakukan serangan cepat. Saat ia terjatuh, kuserahkan pada kalian untuk menikam jantung dan memenggal lehernya. Usahakan cepat sebelum ia benar-benar beregenerasi. Apa kalian paham?” papar Gawain sembari menunjukkan ilustrasi Taurus yang nanti mereka lawan. “Untuk informasi, lingkar lehernya berukuran dua depa, apa kalian sanggup menebasnya dengan cepat? Jika tidak, aku akan memikirkan cara lain.”
“Oh, bagaimana dengan senar, Ketua?” ujar seorang pencuri pemuda bernama Urs. “Kebetulan sekali aku punya banyak; cukup untuk kita semua.” Urs memberi sepuluh set kail lengkap dengan senarnya. Gawain yang penasaran mencoba menggesek jarinya ke senar. Seperti yang dikatakan Urs, senar itu cukup untuk menggores kulit manusia. “Bagaimana menurutmu, ketua?”
“Kurasa cukup,” jawab Gawain dengan memasang set pengailnya di lengan. Ada kemungkinan senar yang sama dapat memenggal kepala binatang buas itu. Suara peluit terdengar, itu pertanda mereka harus berangkat. “Baiklah, jika ada yang kalian tanyakan, tanyakan sekarang juga!” tegasnya sembari mengedarkan pandangan percaya pada sembilan kawannya.
“Ketua! Aku ingin bilang sesuatu,” jawab Urs sembari berdiri. Semua orang menancapkan pandangannya di pemuda lugu itu demi mendengar ucapan lugu lainnya: “kalian belum membayarnya.”
Gawain tertawa diikuti dengan orang lainnya, mereka semuanya bebarengan berjanji untuk membayarnya ketika penugasan selesai.
Kelompok kecil itu berjalan di bagian pinggir konvoi besar. Gawain meregangkan semua otot di tubuhnya, juga diikuti yang lain. Dalam perjalanan, ia tak lupa mengasah belatinya dengan batu gosok lalu mencobanya untuk memotong ranting dan dahan. Hasilnya cukup memuaskan, meskipun akan berbeda ketika dia memotong segumpal daging. Rasa cemas juga rasa takut bercampur dengan udara; Gawain dapat merasakannya sendiri. Itu tak mengapa. Dari puluhan petualang yang bertaruh nyawa di sini, hanya beberapa yang pernah menghadapi Tyran. Mereka tak takut, malahan mereka menceritakan pertempuran mereka ketika menemui Tyran—yang malah membuat orang lain gemetar.
Gawain tak terganggu, malahan ia cukup terhibur dengan cerita. Ia memang tak memiliki pengalaman melawan Tyran, tapi hasil pengalamannya bertarung dengan orang mati sudah membuatnya kenyang dengan cerita yang mungkin dilebih-lebihkan.
Tanah lembab hutan telah dipijak oleh barisan depan yang ditandai dengan langkah yang teredam oleh gambut yang gembur dan becek. Obor-obor juga lentera berupa Lumos yang menyala redup ditinggikan; menggantikan peran sinar senja yang tak sampai menembus kanopi raksasa hutan. Redup, namun cahaya sekecil itu cukup untuk mata terlatih para petualang menuntun langkah mereka.
Gawain menyiapkan belatinya, juga maju memberi isyarat pada ketua yang lain untuk berpisah. Di sini, kelompok Gawain akan mengambil jalan berputar dengan kelompok pemanah untuk mencari tempat yang tepat guna menyergap. Saat berpisah, para pemanah dengan lincah memanjat pohon sementara Gawain dan anggotanya berlarian menyusuri hutan.
Derap langkah mereka sungguh senyap berkat kaki-kaki ringan seorang pencuri. Bau tubuh mereka bercampur sempurna dengan angin musim semi; kering tanpa uap air, juga wangi bunga mawar hitam bermekaran. Bayangan-bayangan kanopi jatuh menutupi mereka hingga tampak seperti kawanan hantu yang bergerak luwes.
Sebuah siulan datang dari atas, membuat Gawain dan kawanannya berhenti dan langsung sembunyi di balik pohon. Gawain mendongak, membalas siulan dengan bisikkan. Seseorang muncul di atas dahan tempatnya bersembunyi, itu seorang pengantar pesan dari grup pemanah. “Kalian menemukannya?”
“Iya. Kami berkumpul di atas bukit kecil. Di sana kami bisa mengawasi pergerakan kalian juga membantu kalian dari atas. Agak jauh ke barat dari bukit tempat kami, sejauh satu mil, kalian sampai di tanah lapang luas dan mendapati centaur sedang berdiri di sana.”
“Hanya berdiri?” tanya Gawain ragu, “kau tak salah lihat, kawan? Centaur adalah Tyran— mereka pasti memburu yang lain untuk memenuhi perut mereka—dan kau bilang mereka hanya berdiri di tanah lapang?” Gawain menunduk berpikir, ada yang tidak beres dengan perilaku makhluk itu. “Bagaimana karavan utama? Apa mereka sudah dekat?”
“Tidak, mereka masih di belakang, tapi salah seorang temanku sudah menyampaikan pesannya agar mereka berkumpul dan mengatur strategi di bawah bukit. Apa yang akan Anda lakukan, Si Pengembara Kesepian?”
Gawain menengok ke sembilan kawannya, lalu menimbang-nimbang tiap pilihan logis di kepalanya. Banyak yang perlu ditanya dan dipertimbangkan dari tingkah laku centaur ini. Dua desa hancur; kekuatan monster itu tidak bisa diremehkan dan sekarang monster yang sama bertingkah aneh. Gawain ingin mengambil keputusan, namun keputusan tanpa informasi yang tepat menimbulkan pilihan yang salah. Dengan pertimbangan itu, ia bertanya, “kawan, adakah dari kalian yang tahu keadaan yang telah di serang itu?”
“Hancur, ketua,” jawab Urs dan salah seorang anggota bebarengan. “Hancur lebur bahkan tak bersisa. Beberapa orang juga berkata bahwa miasma hitam masih melekat di tanah-tanahnya, meresap ke mayat-mayat tak berdosa itu.”
“Bagaimana keadaan mayat-mayat di sana?”
“Banyak yang hilang—kemungkinan besar dilahap makhluk itu. Yang tersisa hanya beberapa mayat yang benar-benar terkoyak dan beberapa bagian tubuh yang tercincang!”
Gawain kembali berpikir, nalurinya mengatakan ada suatu hal yang tidak beres. “Baiklah, kau boleh kembali ke kelompok pemanah. Bilang kami akan mengawasi di garis depan terlebih dahulu dan memberi kabar secepat mungkin.” Mendengar perintah itu, si pembawa pesan memanjat kembali pohon terdekat dan lenyap. Gawain memanggil kawannya untuk berkumpul dan berdiskusi sejenak. Semua kepala juga beranggapan ada yang tidak beres dari keadaan ini. Setelah diskusi sejenak, mereka melanjutkan perjalanan.
Gerimis yang terbawa oleh angin sepoi turun di perjalanan mereka. Angin yang sama juga membawa aroma miasma hitam, mengotori wangi lembab hutan yang menenangkan. Saat sampai, Gawain mengehentikan kawanannya dan menyuruh mereka untuk menyebar di daerah sekitar dan mengirim Urs yang memang pelari nomor satu di kelompok untuk menjadi pengantar pesan Gawain. “Katakanlah: kelompok pembunuh cepat sudah siap di tempat dan siap menerima perintah. Katakanlah juga bahwa monster itu tetap berdiri di tempatnya.”
Urs berlari cepat meninggalkan Gawain yang masih mengawasi. Ia menilai-nilai kapak yang dipegang dapat membelah mereka dengan sekali tebas. Gawain bergidik ngeri memikirkannya, namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan kematian; sekarang ia harus merencanakan bagaimana caranya ia hidup.
Beberapa menit kemudian Urs datang dengan membawa pesan: “tunggu kelompok utama datang dan bersiaplah. Semuanya sesuai rencana awal” Gawain paham mengangguk dan menyuruh Urs untuk mengambil posisi. Lima menit kemudian, kelompok ksatria dan penyihir telah tiba di garis depan, namun seperti yang semua orang duga monster itu tak bergerak sejengkal pun.
Seorang dari kelompok ksatria maju dan menebas paha monster itu dan tak mendapati balasan seperti seharusnya. Tubuh monster itu rubuh tanpa perlawanan. Gawain menyuruh tiga anggotanya untuk segera menebas leher monster itu; rasa khawatir dan keraguan tumbuh di hatinya. Intuisi tajamnya menyuruhnya untuk segera menebas dan mundur sejauh mungkin. Sempat beberapa dari anggotanya memeriksa daerah sekitar sejauh dua mil, namun tak mendapati siapapun atau apapun—dalam artian lain hanya centaur itu sajalah yang jadi permasalahan.
“Sihir pengendali? Tapi pengendali bodoh macam mana yang membiarkan bonekanya jadi sasaran empuk?” batin Gawain penuh keraguan sesaat mengirim tiga anggotanya untuk maju menebas leher centaur. “Ini jelas perangkap!” serunya sembari berlari cepat menuju kelompok utama melalui semak-semak. Saat ia sampai, ia berbicara langsung pada komandan bernama Gali si ksatria.
“Aku tahu kawan, dilihat dari manapun ini jelas perangkap.” Gali memasukkan kembali pedangnya dan mendapati pekerjaan di tengah sana sudah selesai, “tapi perangkap macam apa? Kalian sendiri bilang tidak ada perangkap dalam radius dua mil dari sini; juga penyihir tak mengenali mendapati satu pun jejak sihir yang bersisa. Lebih baik kita cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan ini!”
Gawain mengangguk setuju, juga ketua lain yang sedang berada di sana. “Baiklah, ketua. Ucapan Anda adalah perintah.”
Baru kalimat itu selesai, sebuah ledakan mengejutkan semua orang di sana. Gawain yang lincah cepat-cepat menunduk, namun daya ledaknya cukup untuk membanting tubuh kecilnya menjauh. Kepalanya terantuk dan berdarah, cukup membuat pandangannya kabur selama sisa malam itu. Saat bangun, ia mendapati beberapa orang selamat, sementara sebagian besar sisanya tak beruntung. Gawain mengedarkan pandangan, mendapati tanah lapang itu sudah berubah menjadi kawah kecil berkat ledakan.
“Centaur itu, meledak?” Gawain bertindak cepat. Andai saja ia tak melapor kepada komandan utama dan masih berada di dekat sana, pasti ia sudah dalam perjalanan menuju akhirat.
“Laporkan keadaan!” teriak Gali dengan suara parau khasnya. Gawain menengok pria itu dan merasa Dewi Fortunie sedang tersenyum padanya—pria itu sekarat namun kekuatan kakinya masih dapat menopang tubuhnya. Gawain segera menolong pria malang itu dan memberinya pertolongan pertama, namun sia-sia. Nyawa pria itu sudah melayang sebelum Gawain selesai membasuh lukanya dengan air.
Pandangan Gawain kini tertumbuk pada sosok di tengah kawah kecil itu. Itu centaur yang sama, namun tanpa kepala. Aura hitam serta miasma busuk keluar dari setiap pori-pori tubuhnya, menebarkan teror yang mencekam dengan janji akhirat tersemat di dalamnya. Gawain menelan ludahnya, tak percaya dengan apa yang ia hadapi sekarang: mayat hidup. Sekelebat ingatan tersirat di kepalanya, ia merasakan kembali teror melawan mayat hidup dan perasaan itu sekarang berlipat-lipat ganda ketika mengetahui mayat centaur lah yang menjadi lawannya.
“Ini tidak mungkin,” Gawain mendengar gumaman kecil dari beberapa orang di sekitarnya. Orang itu berlari menjauh dengan teriakan, namun teriakan itu lenyap seketika ketika miasma menelannya. Gawain bangkit melompat, tanpa satu orang pun sadari miasma hitam sudah berada di garis belakang pertahanan mereka. Jantungnya terpacu, satu musuh di garis depan dan ribuan lainnya di belakang.
“Semua orang yang masih hidup, berkumpulah di sini!” teriak Gawain membelah malam gerimis itu. Beberapa saat kemudian, orang-orang yang mendengar datang ke Gawain. Ditilik dari wajah mereka, Gawain tahu bahwa ketakutan sedang menguasai hati tiap jiwa di sana, namun sekarang bukan saat yang tepat untuk takut. Dengan pekikan keras, ia berkata: “Komandan Gali menyerahkan kepemimpinannya padaku! Siapapun yang mau hidup patuhi perintahku atau mati membusuk di sini!” mendengar kobaran semangat itu, air muka semua petualang yang tersisa kembali bersinar meskipun redup.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang dari mereka. “Tak pernah kudengar Tyran dapat hidup dengan kepala terpenggal! Ini gila!”
“Sama dengan ideku, kawan,” jawab Gawain dengan santainya. Lekas ia mengeluarkan pemantik dan sebuah suar dari tangannya. Setelah menyalakan sumbunya, ia melempar suar itu ke langit dan membiarkannya meledak, menyampaikan pesan tak langsung pada kelompok pemanah di bukit. Beberapa orang bertanya apa arti suar itu, Gawain menjawab enteng, “tanda bahaya, artinya mereka akan membantu mereka sebisa mungkin dari bukit dan memanggil regu cadangan.”
Rekah senyum tersampir di wajah tiap petualang, namun Gawain kembali menyiapkan penjagaannya. “Meskipun regu cadangan datang, jangan harap mereka menembus miasma hitam itu, kawan. Kalian tahu apa yang ada di balik miasma gelap itu?” tak ada satupun dari petualang menjawab hingga akhirnya Gawain sendirilah yang menjawab, “di sana, mayat-mayat hidup menunggu kita. Siapapun yang dalang kejadian ini, mereka ingin menyingkirkan separuh petualang perbatasan Laitan dan Miriadin. Tapi jangan khawatir kawan, aku punya rencana.”
Jujur saja, Gawain tak punya rencana spesifik untuk melawan mereka kecuali dengan cara brutal. Tapi ketika mengetahui bahwa setidaknya ada penyihir di salah satu anggota yang selamat, ia bisa menarik napas lega. “Dengarkan rencanaku, kita akan mengalahkan centaur mati itu dengan satu kali serangan telak,” ucap Gawain dengan nada tenang, “hei, kalian penyihir bisakah kau merapal mantra seperti bola api raksasa atau apapun yang sekiranya dapat menghancurkannya dalam sekali serang,” ketiga penyihir mengangguk ragu-ragu tapi Gawain memberinya dorongan untuk percaya pada mantra yang dimaksud.
“Baiklah, rencananya sederhana. Kita tahan dia hingga penyihir-penyihir ini menyelesaikan mantranya, bagaimana?” berbeda dengan tadi, sekarang centaur itu sedang berjalan dengan menggeret serta kapaknya. Kelihatannya mudah, tapi ketika seseorang menembak panah atau merapal mantra menyerang, centaur itu akan berkelit menghindar dengan cepat.
Semua orang mengangguk lalu mengambil posisi masing-masing. Dua ksatria berada di garis depan sementara Gawain dan tiga penyihir berada di garis belakang. Miasma hitam di garis belakang semakin dekat, beberapa sosok mayat hidup sudah mulai maju menerkam. Tugas Gawain di sini adalah melindungi tiga penyihir yang fokus merapal mantra petir tingkat tinggi.
Tiga menit terasa berlalu lambat, dua ksatria mulai kewalahan dengan ayunan-ayunan maut dari centaur, sementara Gawain terlalu repot dengan puluhan—mungkin ratusan—mayat hidup yang terus saja datang. Sempat tangannya tercabik, dadanya tercakar, namun ia masih sanggup bertarung.
Dua menit kembali berlalu dengan sengit dan dua ksatria sudah rubuh satu persatu. Mereka tampak sekarat dengan darah mengucur dari balik zirah besi mereka dan mungkin tak sadarkan diri. Gawain kehilangan separuh penglihatan dan pendengarannya berkat darah yang terkuras, ia sudah lemas dan pucat. Keadaan diperparah dengan centaur yang mulai mengincar tiga penyihir. Gawat, pikir Gawain. Ia tak pernah memprediksi bahwa mayat hidup dapat secerdik itu.
Gawain melakukan tebasan cepat dan akurat, membuat celah dan membeli waktu baginya untuk menumpahkan sebotol anggur di kantongnya lalu mematik anggur itu. Api tersulut. Berkat api, mayat-mayat hidup di hadapannya terbakar satu-persatu dan terhambat, membuat setidaknya sepersekian detik berharga untuk Gawain. Sesaat dunia bergerak dengan aliran waktu yang melambat. Gawain mengamati dengan jeri kapak raksasa itu terayun cepat lalu melambat ketika jarak kapak itu dengan leher salah seorang penyihir hanya ketika berjarak sejengkal. Di sepersekian detik yang menentukan itu, Gawain melempar belati mengarah tepat menuju lengan centaur, berharap dapat menghentikan ayunan mematikan itu.
Sayang, belati itu bahkan tak sanggup untuk menggeser lintasan kapak. Srash! Suara darah segar selaiknya pancuran air di Kota Antarie terdengar sayup-sayup. Alhasil, mantra itu gagal, namun bukan berarti pertarungan berakhir di saat itu. Gawain berpikir cepat, ia mengambil set kail dan senar di kantongnya.
Dua penyihir yang lain sudah lari terbirit-birit menjauh, memberi ruang bertarung untuk Gawain dan centaur. Kapak terayun menuju Gawain, namun refleks yang cepat menyelamatkan Gawain. Tangan Gawain terayun melempar kail dan tertancap tepat di pundak kanan centaur. Dengan gerakan lincah, ia melingkarkan sisa senar ke lengan centaur sembari berkonsentrasi penuh menghindari tiap terkaman yang mungkin langsung saja meremukkan tubuhnya. Ketika senar itu habis, Gawain menariknya kuat-kuat hingga lengan centaur itu putus.
“Seperti yang diharapkan, senar kail ini memang tajam,” gumamnya kecil di depan centaur yang rubuh dan tampak kesakitan itu. Mungkin saja, jika kepalanya masih tertaut di tubuhnya, ia pasti mengerang sekuat tenaga.
“Jangan diam saja! Selamatkan dua ksatria di depan dengan sihir penyembuh. Aku akan urusi centaur keparat ini!” hardik Gawain menegaskan sepasang penyihir yang pucat ketakutan itu. Mereka menurut lalu turun ke kawah dan langsung menyembuhkan kedua ksatria. Api di belakang Gawain terbakar bersahutan dengan gerimis yang turun, sama seperti jiwa Gawain yang tetap terbakar. Lantas, pemuda itu mengambil kapak berkarat itu lalu mencoba mengayunkannya dengan sekuat tenaga.
Centaur itu cepat, namun Gawain lebih lincah. Entah dari mana ia mendapat kekuatan, ia dapat mengayunkan kapak berat itu dengan mudah. Satu persatu, Gawain berhasil menebas kaki dan tangan centaur, mencegahnya berpaling dari hadapan mata Gawain. Centaur itu berontak, namun berhenti ketika Gawain menikamnya berkali-kali dengan kapak, mencacahnya menjadi bagian-bagian sekepalan tangan.
Bau miasma menyeruak dari tubuh busuk itu tampak seperti jiwa yang meninggalkan raganya. Keadaan yang sama juga terjadi di garis belakang, miasma hitam juga dengan mayat hidup tampak lenyap dari daerah itu, meninggalkan tempat pertempuran berupa kawah dan ribuan mayat petualang pemberani.
Gerimis masih mengguyur dan sekarang semakin menderas. Gawain bernapas lega karena ia masih hidup setelah melalui pertarungan semacam itu. Sayang, kakinya sudah lemas, juga kesadarannya hilang. Ia terkapar dengan tepat di sebelah kapak berkarat sebagai saksi bisu pertarungan sengit itu.
Pertarungan itu berakhir dengan kemenangan semua petualang.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona