Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

“Siapapun yang pernah menjejakan kaki ke Junier, pasti pernah mendengar nama Rei. Ser Rei adalah pemilik perusahaan dagang bernama Merchant Rei—karena nama itu, ia lebih sering dipanggil dengan julukan Saudagar Rei. Pria berkapala lima itu dulunya adalah seorang kaum gipsi yang melakukan jual-beli kain dari berbagai daerah, menjadikannya distributor utama kain. Karir mudanya sebagai kaum gipsi bisa dikatakan sukses, meskipun sering terjadi perseteruan dengan pesaing-pesaing lain yang curang, namun ia tetap bermain jujur.

   “Suatu waktu, ketika Penyihir Abadi muncul, ia ikut maju dalam pertempuran. Singkat cerita, ketika bertempur, ia pernah diselamatkan oleh seorang gadis penyihir yang menggunakan jarum sebagai senjatanya. Nama gadis itu adalah Morgausse. Demi membayar apa yang telah dilakukan gadis itu, Rei rela bersumpah untuk mengikuti Morgausse kemanapun. Alasan utamanya bukanlah karena hutang budi, melainkan kehendak hati. Rei muda saat itu langsung jatuh cinta pada Morgausse.

   “Ketika perang usai, Rei mencoba untuk berbicara pada Morgausse tentang cintanya. Sayang, Morgausse memiliki orang lain di hatinya. Rei paham, jika ia benar-benar mencintai Morgausse, ia juga harus merelakan gadis itu di tangan pria yang tepat. Lagipula, mereka baru berkenalan baru-baru ini—dengan kata lain, ia terlambat.

   “Itu tak apa, masih banyak wanita di luar sana yang masih dapat menerima cintanya. Ia tidak mengatakan cintanya pada Morgausse itu palsu, tidak, bukan itu yang menjadi permasalahan. Meskipun cintanya tidak terbalaskan, namun bukan berarti itu adalah akhir dari cerita, malahan ia dapat memulai kisah cintanya yang baru.

   “Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Berkat keuletan dan giatnya usaha Rei, ia mampu membangun konsorsium dan perusahaan atas namanya sendiri di Junier, kota terujung di Benua Unomi. Ia senang dengan debur ombak yang sedari dulu ia impikan, juga layar-layar putih yang berlalu lalang ketika ia tengok dari meja kerjanya. Ia tak menyangka bahwa dengan usaha tangannya sendiri sampai di titik ini. Kapal bertiang tiga yang sedari dulu dikaguminya ketika muda kini sudah ia miliki sendiri,  juga puluhan karavan yang hampir setiap minggu hilir-mudik dari satu kota ke kota lain yang menjadi nadi dari bisnis dagangnya.

   “Tiga buah kapal dan 25 karavanlah yang membuat pundi-pundinya semakin banyak. Banyak wanita yang jatuh hati padanya dengan alasan kekayaan. Rei tak cukup bodoh dengan cinta palsu mereka. Dengan pertimbangan hati yang matang, ia menikahi anak seorang nelayan di Junier bernama Eria. Pernikahannya berlangsung sederhana dan kehidupan rumah tangganya bahagia. Pasangan itu dikaruniai dua anak, si sulung lelaki bernama Albert dan si bungsu adalah gadis bernama Nia.

   “Rei adalah orang yang dermawan, semua orang di Junier tahu itu. Banyak uang yang ia sumbangkan demi kesejahteraan kota. Banyak yang menyukainya—terutama karyawan dan karyawati yang bekerja di perusahannya, namun juga banyak pesaing yang membencinya dan berusaha keras untuk menjatuhkannya.

   “Suatu hari, seorang kawan lama menghampiri Junier dan bertempat tinggal di sana. Itu Morgausse dan keluarganya. Rei menyambut keluarga itu dengan memberi mereka rumah sebagai ucapan selamat datang, namun pasangan keluarga Orkney itu menolak secara halus tawaran itu. Itu tak apa, hubungan di antara mereka tidak buruk, malahan bertambah baik. Rei sering kali berbicara dengan Lothius, suami Morgausse dan dalam waktu singkat mereka sudah menjadi teman. Sering kali kami keluar untuk minum bersama, berbicara berbagai hal yang menarik, terutama bisnis dan sihir.

   “Hari-hari itu sudah berlalu lama. Keluarga Orkney sudah meninggalkan dunia ini, juga meninggalkan Rei sendiri. Ia tertawa kecut pada dunia dan nasib yang jatuh pada temannya, berkabung penuh pada kematian Loth dan berusaha keras mencabut tuntutan orang mati itu. Dengan segenap tenaga pula, ia berusaha membersihkan nama keluarga itu.

   “Ironisnya,” sela orang tua itu, “nasib berkata lain. Insiden satu tahun lalu—yang membuat hampir separuh Junier berubah menjadi lautan api—membunuh sisa Keluarga Orkney dan menyisakan satu orang hidup, yaitu Florence Orkney, si bungsu dari keluarga itu.”

   “Cerita yang menarik, Ser Leris,” jawab seorang pemuda. “Tak kusangka Anda mau bercerita kisah lama guru saya terdahulu.”

   Leris mengernyitkan dahinya, “tidak apa-apa. Tapi hei, tak kusangka ada orang yang jauh-jauh dari Kota Suci Hyulida hanya untuk menyambangi batu nisan.”

   “Ah, sebenarnya tidak. Enam bulan lalu, aku berencana datang ke sini untuk bertemu Madame Orkney. Namun Aku terlambat, tak kusangka musibah datang menimpa keluarganya, jadi Aku memilih mengundur jadwal kedatanganku karena pada akhirnya, tidak ada yang kutemui.”

   Angin laut berhembus dengan terik matahari siang. Ser Leris dan pemuda yang sedari tadi berbincang di depan pemakaman umum sembari berjalan akhirnya berhenti di depan sebuah Mansion milik Ser Leris sendiri. Si pemuda terkagum ketika melihat interiornya, namun tetap menjaga kontur wajahnya.

   “Silakan duduk, pendeta muda. Anda mungkin kelelahan setelah perjalanan lama,” dengan gerakan tangan, ia menyuruh seorang pelayan untuk menyuguhkan dua cangkir teh. “Teh hitam, kualitas terbaik dan khas milik Junier yang tidak Anda temui di kota lainnya. Sampai di mana tadi, oh iya,” sela Leris dengan meneguk cangkir tehnya, “Anda masih mau mendengarkannya?”

   “Iya, kenapa tidak?”

   “Baiklah, lagipula kita hampir di penghujung cerita ini,” selanya sejenak sembari melempar pandangan menuju jendela, “Junier tidak semakmur dahulu. Tuduhan atas Keluarga Orkney, insiden tahun lalu, juga guncangan di Grende bulan lalu menyebabkan saham semua perusahaan yang bertempat di Junier jatuh, tanpa terkecuali Merchant Rei. Sepuluh bulan belakangan ini, orang malang itu juga ditimpa beberapa musibah silih berganti; dua kapalnya karam dijarah perompak dan 23 karavannya satu-persatu mulai berhenti beroperasi dengan berbagai alasan, semisal dijarah bandit, jatuh ke jurang terjal, atau bahkan diserang Tyran dalam perjalanan.

   “Akibatnya, ia tak bisa membayar semua komisinya dalam tenggat waktu yang telah ditentukan. Ia meminta kelonggaran pada semua pemegang saham agar diberi kesempatan hingga bulan baru muncul.”

   “Itu berarti delapan hingga sembilan hari lagi. Jika boleh tahu, siapa pemegang saham tertinggi di perusahaan itu?”

   “Aku sendiri.”

   “Anda sendiri? Berapa banyak yang Anda pegang?”

   Leris menghitung-hitung jemarinya, lalu berujar, “tiga ratus ribu koin Myriadin. Itu juga dalam jatuh tempo minggu besok. Tapi Aku tak mengharap banyak jika melihat keadaan Junier yang telah terpuruk ini, bahkan Aku berencana untuk menunda pernikahan putri bungsuku beberapa bulan ke depan ini.” Leris menghembuskan nafas besar terhadap nasib yang menimpanya.

   “Sungguh disayangkan,” ujar pendeta muda, “tapi, bagaimana bila kutawarkan suatu hal: kubeli penuh saham milik Anda agar Anda dapat melangsungkan pernikahan putri Anda, bagaimana?”

   Kalimat itu laksana guntur bagi Leris. Awalnya, ia mengira kalimat itu hanya gurauan dari si pendeta muda. Ia menanyakan lagi itu dan dijawab dengan pertanyaan yang sama dari pendeta muda. “Anda serius? Jika iya, akan kuberikan diskon enam puluh persen! Tidak, mungkin tujuh puluh!”

   “Apa maksud Anda? Sudah kubilang tadi bahwa akan kubeli penuh saham Anda.”

   Leris mengernyitkan dahi bertanya-tanya, “aku kurang mengerti alasan mengapa Anda membeli penuh saham dari perusahaan yang mungkin bahkan tidak Anda terima pembayarannya. Apakah Anda memiliki niatan lain?”

   “Ah, Anda tahu itu. Tapi tenang saja. Aku adalah utusan Dewa dan Dewi; aku tak memiliki niatan buruk, dalam kata lain, niatan saya hanya sekedar ingin melancarkan pernikahan putri Anda.” Si pendeta muda itu menatap Leris lamat-lamat, meyakinkan betul tidak ada niatan buruk di jiwanya yang suci itu.

   Leris mengangguk percaya. Ia memanggil komisaris yang bersangkutan dengan perusahan Rei dan memintanya untuk mengesahkan transaksi yang dibayar dengan dua kantung penuh koin Myriad. Surat saham itu diperbarui dengan nama pendeta muda itu, “Agwain Septim” lalu dibubuhi tanda tangan Leris dan cap perusahaan Merchant Rei. Dengan itu, transaksi telah dinyatakan sah dan Leris dapat merekahkan senyum di wajah tuanya karena rencana pernikahan putrinya dapat berlangsung dengan uang sebanyak itu.

   Agwain lekas menghabiskan teh yang dihidangkan, lalu mencoba undur diri dari hadapan Leris. Sebelum ia pergi, Leris berkata sesuatu, “anak muda, kuberitahu kau rahasia. Aku rasa kau adalah orang yang pantas untuk tahu nasib keluarga gurumu itu.”

   “Perihal apa, Ser Leris? Jika hal yang anda bicarakan ini lama, mari kita bicarakan esok hari. Aku masih bertolak ke Hyulida beberapa minggu setelah ini. Omong-omong, tujuanku selain menghampiri makam Keluarga Orkney adalah berlibur dari kesibukkan kuil.”

   Leris mengangguk, ia menyuruh seorang pelayan mengantar pemuda itu hingga gerbang depan. Dari kejauhan, Leris mengamati lamat-lamat punggung pemuda itu. Ia samar-samar pernah melihatnya, namun menolak pikirannya dengan alasan penyakit pikun mulai menggerogoti kepalanya.

   Esok hari, pendeta muda itu datang lagi di jam yang sama seperti kemarin. Saat masuk, seorang pelayan mengantarnya langsung menuju ruang kerja Leris. Di sana, Leris langsung menyuruhnya duduk dan menawarkan segelas anggur. Pendeta itu menolak, beralasan, “siang hari di musim gugur memang dingin ini tidak diawali dengan anggur; apalagi dari nada bicara anda kemarin, perbincangan kali ini cukup serius.”

   Leris menatap pendeta muda itu sejenak, lalu memberanikan diri untuk memberi buku jurnal harian serta buku besar. “Sebagai keluarga yang mengurusi pemakaman di Junier dan sesuai dengan hukum yang berlaku di sini, aku memiliki kehendak untuk memiliki barang pribadi orang yang telah mati sebagai kenang-kenangan; salah satunya adalah jurnal gurumu itu.”

   Agwain membuka sampul tua jurnal itu, melihat-lihatnya sejenak. Hanya jurnal buku harian dari seseorang, tidak lebih. “Lalu, buku besar ini?” tunjuknya sembari membolak-balik lembar kuning di jurnal kecil.

   “Coba Anda buka berkas tertanggal lima, musim semi pertengahan—kalau tak salah Bulan Apriele tahun lalu. Itu adalah waktu di mana insiden tahun lalu terjadi.” Agwain menurut. Ketika sampai di halaman yang dituju, ia melihati daftar nama orang yang meninggal. Dari muda hingga tua, buku itu adalah salah satu tanda bahwa janji kematian bersifat mutlak dan keji. “Di sana,” lanjut Leris, “tidak ada nama Keluarga Orkney sama sekali.”

   “Apa maksud Anda, Ser Leris?”

   Leris bangkit dari bangkunya, berjalan berbalik menuju jendela yang memamerkan lembah beribu nisan. “Sedari dulu keluargaku mengabdi untuk Junier, tak pernah kami sekalipun melupakan satu nama yang kami kuburkan—bahkan bajingan tak bernama pun rela kami namai dan dibaptis dengan pendeta kami. Tapi tidak dengan tahun kemarin... keadaan memaksaku untuk bertindak lain.

   “Putriku saat itu masih berusia lima belas tahun. Dia bersekolah di asrama khusus wanita di Welstrait. Kuucapkan rasa syukur saat itu ketika insiden terjadi, ia tidak sedang berada di Junier. Ia pulang ke Junier dua hari setelah insiden. Namun itu keputusan yang salah, keadaan masih belum tenang di Junier, masih banyak massa yang menuntut hal yang aku rasa tidak masuk akal,” Leris menoleh, lalu berkata halus seperti bisikan angin, “mereka ingin Morgausse Orkney mati sekali lagi, juga mereka meminta nyawa Florence agar segera dicabut!”

   “Mereka meminta orang yang telah mati agar mati kembali?! Anda tidak bercanda bukan?”

   “Awalnya aku kira itu lelucon—bahkan bila itu lelucon, tak sepantasnya diucapkan pada yang mati! Tapi tidak. Separuh Junier serius tentang itu dengan alasan bahwa Morgausse adalah Penyihir Abadi.” Leris sekarang duduk di berhadapan dengan Agwain, “aku tahu alasan mereka. Memang aneh, wanita berumur lima puluh tahun itu masih tampak seperti wanita muda berusia dua puluhan.

   ‘Kalian gila!’ ucapku saat itu, ‘untuk kalian tahu saja, alasan mengapa Morgausse awet muda hanyalah karena obat ramuan yang dibuat suaminya! Itulah alasannya ia tampak lebih tua selepas suaminya meninggal!’ bentakku pada kerumunan massa di mana hari berkabung sakral itu dilakukan. Sore itu, sebagian mayat sudah dikebumikan, sebagian yang lain masih belum, tapi itu tak apa; angin kering musim semi menghangatkan kami, para pengurus pemakaman hingga malam menyelimuti dunia.

   “Salah satu dari mereka merangsek maju menerobos kerumunan. Itu seorang wanita paruh baya, namun gerak-geriknya yang lincah menandakan ia bukan sembarang orang, ‘buang mayat terkutuk itu dan putrinya yang masih hidup atau nyawa putrimu yang menjadi bayarannya!’ ancam wanita itu sambil menyodorkan sepotong rambut. Betapa tidak terperanjatnya diriku ketika mengetahui bahwa itu betul rambut putriku sendiri?

   “Saat kucari, wanita itu sudah lenyap di kerumunan. Aku mengirim beberapa pengawal setiaku ke mansion dan mereka mendapati Amila, putriku itu sudah tak ada. Aku tak punya pilihan banyak, setiap detik nyawanya itu sedang dipertaruhkan! Akhirnya, di depan publik aku sendirilah yang membuang dua mayat itu: mayat Morgausse dan Erno, si putra sulung, ke laut lepas.

   “Tapi aku tidak cukup hina untuk melakukan itu. Kusuruh dua pengawalku untuk memungut mayat mereka dan memberinya penguburan yang terhormat yang mungkin.”

   Agwain termenung sesaat. Matanya buncah, lalu ia tersenyum sembari menjaga kontur wajahnya, “kisah yang menakjubkan. Tak kusangka masih ada orang berhati emas seperti Anda di dunia semacam ini.”

   “Ah, Anda melebih-lebihkan, pendeta muda.”

  “Omong-omong,” balas si pendeta, “Anda tahu di mana letak pemakamannya?”

   “Di bukit Aliyyun bagian utara, di sana ada kuil terbengkalai. Ketika anda masuk gerbang kuil, lihat sisi timur dan Anda akan mendapati dua gundukan tanah serta palang sebagai pertanda. Tapi anak muda, sebelum kesana, aku punya pertanyaan untukmu.” Leris kembali menoleh kanan-kiri, meyakinkan dirinya tidak ada yang mendengar perbincangan mereka, “apa kau percaya orang yang mati dapat hidup kembali?”

   “Tentu saja! Jika itu memang mukjizat dari Dewa dan Dewi, aku percaya betul akan hal itu.”

   “Nah baiklah. Malam itu, setelah dua pengawalku mengebumikan ibu dan anak malang itu, badai menerjang. Akibatnya, mereka tak bisa turun dari bukit dan terpaksa bermalam di kuil. Di tengah badai malam, salah satu dari mereka melihat keajaiban itu: mayat Erno Orkney bangkit dari gundukan. Awalnya, ia mengira ia berhalusinasi karena anggur, namun keraguan di hatinya tumbuh disebabkan karena ketukan di jendela yang membangunkan tidurnya. Lampu minyak sudah padam tiga jam dari itu, ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang mengetuk jendela. Dengan hati yang cukup gelisah, ia kembali melanjutkan tidurnya karena di esok pagi ia harus cepat-cepat kembali.

   “Beberapa saat sebelumnya, suara lolongan terdengar di luar. Katanya, itu bukan lolongan serigala, makhluk buas, atau Tyran. Itu lolongan minta tolong. Tubuhnya menggigil, bukan karena kedinginan melainkan ketakutan. Semalam suntuk, ia tidak bisa tidur dengan pulas sebab ketukan atau lolongan itu.

   “Pagi muncul esok harinya. Ia langsung meloncat dari tidur dan membangunkan kawannya lalu menceritakan kejadian malam itu sambil berbisik-bisik. Temannya itu tertawa, mengatakan dirinya terlalu mabuk untuk bermimpi yang tidak-tidak. Tapi ia tetap bersikeras pada temannya itu.

   ‘Bagaimana bila kita buktikan setelah ini? Bila gundukan itu utuh seperti sedia kala, maka kau kemarin hanya mengigau, jika tidak, akan kutraktir kau lima botol anggur ketika pulang,’ ucap temannya itu. Dan ketika mereka menghampiri perkuburan, dua gundukan itu masih utuh seperti sedia kala. Yang rusak dari keduanya adalah palang sebagai penanda akibat terjangan badai.” Leris menghembuskan napas, “sekarang kutanya, dari dua mualim itu, cerita mana yang kau percaya: si pemabuk atau kawannya?”

   Si pendeta muda tersenyum lalu beranjak bangun dari tempat duduknya, “mari kita simpan jawabannya di lain hari, Ser Leris yang baik hati. Saya percaya mukjizat; tapi di sisi lain saya orang yang skeptis dan logis. Omong-omong, bolehkah saya menyimpan jurnal milik guru saya?”

   “Ah, silakan anak muda. Aku rasa engkau lebih pantas menyimpannya. Ah, aku baru ingat,” Leris melangkah menuju almari kaca, lalu mengambil sebuah dompet lipat berwarna keemasan, “ini milik istri gurumu itu. Isinya adalah surat berharga kepada mendiang Morgausse dari Rei yang bernilai seratus ribu Myriadin guna kehidupan keluarga Orkney yang lebih baik.”

   “Kenapa Anda memberinya pada saya? Saya rasa di Junier terdapat kuil lebih membutuhkan.”

   “Anak muda, Junier yang makmur sudah lenyap. Kemakmuran mengubah orang menjadi tamak. Nah, bila suatu saat kemakmuran itu direngut dari mereka, maka ketamakan akan beranak pinak. Kuakui masih ada kuil yang berdiri kukuh di Junier, namun tidak dengan pendirian orang-orangnya; mereka korup demi memuaskan ketamakannya sendiri.” Leris menatap lamat-lamat pendeta muda itu, lalu menyodorkan dompet beserta isinya.

   Pendeta muda itu berjalan menghampiri pintu setelah izin pamit karena ada urusan yang lain, “ah, aku punya dua pertanyaan, Ser Leris. Pertama, apakah anda tahu keberadaan Florence Orkney? Karena kurasa dialah yang paling cocok dengan harta warisan ini.”

   “Ah, aku rasa Anda tahu, tapi mungkin kesibukkan Anda di Hyulida membuat Anda tak mendengar kabar. Setahuku, gadis itu diasuh langsung di bawah perlindungan Asosiasi Sihir. Sekarang ia bersekolah di Akademi Kota Suci Hyulida.”

   “Baiklah, sekarang pertanyaan kedua: mengapa Anda percaya betul pada saya dan membeberkan cerita pada orang asing seperti saya?”

   Leris terkikik pelan dan menjawab, “kau mengingatkanku pada Loth ketika kami masih muda.”

   Dengan itu, perbincangan berakhir. Si pendeta keluar dari rumah dan pergi ke tempat yang lain dengan setumpuk urusan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
The Skylarked Fate
7073      2082     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Stars Apart
633      442     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
The Story of Fairro
2774      1152     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Nightmare
440      303     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Iskanje
5529      1506     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
Dream of Being a Villainess
1391      796     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1)
3271      1226     0     
Romance
Zeline Arabella adalah artis tanah air yang telah muak dengan segala aturan yang melarangnya berkehendak bebas hanya karena ia seorang public figure. Belum lagi mendadak Mamanya berniat menjodohkannya dengan pewaris kaya raya kolega ayahnya. Muak dengan itu semua, Zeline kabur ke Jawa Timur demi bisa menenangkan diri. Barangkali itu keputusan terbaik yang pernah ia buat. Karena dalam pelariannya,...
Altitude : 2.958 AMSL
720      492     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Secret World
3535      1247     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
Dieb der Demokratie
16906      1974     16     
Action
"Keadilan dan kebebasan, merupakan panji-panji dari para rakyat dalam menuntut keadilan. Kaum Monarki elit yang semakin berkuasa kian menginjak-injak rakyat, membuat rakyat melawan kaum monarki dengan berbagai cara, mulai dari pergerakkan massa, hingga pembangunan partai oposisi. Kisah ini, dimulai dari suara tuntutan hati rakyat, yang dibalas dengan tangan dingin dari monarki. Aku tak tahu...