Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Florence Orkney sebenarnya adalah gadis biasa yang dapat kalian temui di manapun kalian berada. Ia adalah gadis periang yang penuh senyum anggun. Perawakannya yang cukup mungil jika dibandingkan dengan teman sebayanya membuatnya menjadi figur yang sering kali diberi perhatian lebih—figur seorang biarawati lemah dan anggun di hadapan Dewa dan Dewi. Begitulah orang di sekitarnya menilai.

   Namun, penilaian tersebut tidak sepenuhnya benar juga tidak sepenuhnya salah. Penampilannya itu sedikit kontradiktif dengan sifatnya yang rumit. Sering ia menyunggingkan sifatnya sebagai gadis periang, sering juga ia berpenampilan selaiknya putri dengan wajah menawan dan sorot mata dingin, dan terkadang menampilkan persona gadis polos. Dia cerdik dalam memainkan akting dan hati lawan bicaranya, membuat semua orang jatuh dalam genggaman tangannya.

   Itulah sifat aslinya. Ia tak lain adalah seekor trenggiling dengan perisai sifatnya yang rumit. Orang awam tak akan mudah mengetahui apa yang ia pikirkan jika ia ‘menggulung’ perasaannya, membentengi hatinya dengan sifat itu. Pertahanan kokoh. Hanya ada dua orang yang benar-benar mengerti sifat asli dari Florence. Sebut saja Erno dan Morgausse.

   Dulu, ia hanyalah gadis kecil yang penakut dan amatlah pemalu. Ia tidak berani menatap lawan bicaranya secara langsung di mata. Kebiasan buruknya saat itu adalah memalingkan mata dan menunduk, menghindari pandangan langsung. Ia adalah putri yang hidup dalam kesunyian istana impiannya sendiri, terlalu takut dengan dunia luar, menunggu penuh harap seorang pangeran impian akan datang menjemputnya, menyelamatkannya dari mimpinya sendiri.

   Tapi tidak ada. Siapa yang mau menyelamatkan seorang putri yang bahkan terlalu takut untuk keluar dari dunia mimpinya sendiri? Tidak ada pangeran yang menyukai orang semacam itu—tidak ada orang yang mau hidup dengan seorang pemimpi buta. Itulah pelajaran pertama yang Florence terima. Dan itu merupakan pelajaran yang amatlah berharga. Perlahan namun pasti, Florence muda saat itu mulai melihat realitas.

   Sang guru yang mengajarkannya pelajaran tersebut adalah kakaknya sendiri, Erno Orkney. Apapun yang Erno ajarkan padanya akan Florence ingat dan simpan serapi mungkin di jiwanya. Dari kakaknya, ia belajar banyak tentang angan dan mimpi yang bahkan jauh lebih hebat dari istana yang selama ini ia impikan. Ambisi dan semangat juang yang terpancar penuh dari mata Erno selalu membuatnya senang. Oleh karena itu, Erno adalah sosok pengganti pangeran yang selama ini Florence harapkan.

   Harus Florence akui, ia amatlah bergantung pada kakaknya. Ia adalah gadis manja yang suka dan sering merajuk. Sifatnya sebagai gadis muda keras kepala—sifat khas seorang putri. Setiap ia merasa terganggu, ia akan memanggil nama kakaknya, membuatnya menjadi pelipur lara, bahkan untuk permasalahan sepele sekalipun.

   Tapi sifat itu diubah sekali lagi dengan pelajaran lain yang ia dapat dari Erno. Pelajaran untuk berdiri dengan kakinya sendiri.

   Saat itu, ia baru masuk suatu di suatu taman kanak-kanak. Setelah Morgausse melepas kepergian Florence ke dalam kelas, ia mengamati Florence sejenak, sembari berpikir bahwa apa tidak apa meninggalkannya sejenak demi menjaga toko. Banyak yang harus dikerjakan di toko, namun juga banyak rasa khawatirnya pada Florence. Ia termenung sesaat hingga seorang guru menyarankannya untuk pulang dan mempercayakan Florence pada mereka.

   Morgausse setuju. Dan itu memang pilihan rasional. Sayangnya, pilihan itu tidak tepat.

   Dari dalam kelas, ketika melihat ibunya pergi meninggalkannya, Florence merasa dunia seolah runtuh dan berakhir. Bagi anak berumur lima tahun saat itu, adalah wajar jika ia menangis atau merengek. Namun, ia memilih diam, yakin bahwa suatu saat ibunya akan kembali menjemputnya.

   Saat jam pelajaran usai, anak-anak lain langsung merangsek keluar menuju orang yang menyusul mereka. Entah itu ayah, ibu, saudara, atau bahkan pelayan. Florence muda tidaklah langsung keluar dari kelas, ia memilih menunggu daripada berjejalan dengan teman sebayanya.

   Setelah keadaan koridor lebih lenggang, Florence keluar. Matanya menyisir jajaran para penjemput yang berada di gerbang depan. Keadaan itu dilengkapi dengan riuh rendah derap kaki anak-anak lain dan gelak tawa di antara mereka.  Suara kencang tawa mereka serasi dengan ekpresi wajah mereka, juga dengan seculas senyum yang mereka dapat dari penjemput mereka. Tawa bahagia lengkap dengan senyum.

   Semua dari mereka menceritakan pengalaman pertama mereka di kelas. Ada beberapa dari mereka mengenalkan teman baru mereka. Ada beberapa juga yang tidak dijemput, melainkan pulang sendiri dengan kawan main mereka yang juga bersekolah di taman kanak-kanak ini.

   Semua keadaan itu menyenangkan. Sayang Florence muda saat itu tidak bisa merasakan hal yang sama seperti anak-anak sebayanya. Tidak ada yang menyusulnya. Ayahnya bekerja di pusat kerajaan sebagai Petinggi Asosiasi Sihir dan Ibunya terlalu sibuk dengan toko serta riset kecil. Tidak ada seorang pun yang ada untuknya. Ia sendiri. Namun, ia masih punya rasa percaya dan kesabaran bahwa seseorang pasti akan menjemputnya.

   Sepuluh menit terlalui dengan lama bagi Florence muda. Kesabarannya semakin menipis. Kerumunan di gerbang mulai lenyap, perlahan menyatu dengan keramaian jalanan, meninggalkan Florence seorang diri. Perlahan, tubuh mungilnya gemetar mulai dari ujung kaki, naik ke tubuh, hingga ke kepalanya. Perlahan, ia mulai kehilangan rasa percaya. Perlahan, ia jatuh dalam putus asa.

   Florence selalu tertawa kecil mengingat memori lama itu. Tapi, bukankah itu memang wajar bagi anak di usianya kala itu?

   Mata Florence muda mulai sembab. Tak berpikir lama, ia mulai memberanikan diri untuk menjejakan kaki, bertolak menuju perbukitan tempat rumahnya berdiri. Awalnya, ia ragu dan menimbang keputusan untuk menunggu lebih lama, namun ia tak memilih hal itu. Ia ingin segera pulang.

   Florence muda mengingat betul jalan apa yang ia lalui untuk sampai ke sekolahnya. Sayangnya, sekarang jalanan dipenuhi dengan lautan manusia. Ia tak punya kuasa untuk melawan arus atau mengetahui arah jalan dengan kedua matanya. Berdesalan dengan orang-orang, terombang-ambing mengikuti arus.

   Tanpa ia sadari, ia tersesat semakin jauh dari rumah. Ia menyadari bahwa jalan yang ia susuri berbeda dengan apa yang ia ingat. Kakinya gemetaran. Ia tergugu dan terisak, panik dan takut dengan kemungkinan ia tak akan kembali ke rumah. Tersesat dan terdampar di tanah asing. Sungguh, Florence muda saat itu hampir lemas jatuh, ia putus asa.

   Di saat itulah seseorang menangkap pergelangan tangannya. Tangan seseorang yang ia kenal, menyelinap di antara celah kerumunan orang, lihai menarik Florence menyusuri labirin di tengah jalanan. Florence menangis tertahan, ia tidak sanggup berteriak ataupun melawan. Otot-ototnya lemas, kenyataan bahwa ia mampu berdiri dan berjalan cukup mengejutkan dirinya sendiri. Degup jantungnya beradu, namun ia mulai menenangkan dirinya. Erno sudah berada di jangkauan tangannya.

   Setelah sampai di suatu gang, mereka berhenti sejenak. Florence langsung mendekap Erno sekuat tenaga. Dengan kuat, ia membenamkan wajahnya ke dada Erno, menangis tertahan. Erno membalas dekapan itu dengan tangan hangatnya, membelai halus rambut ungu di kepala gadis itu. Florence mendongak, mendapati mata coklat idamannya itu menatapnya dengan hangat. Ia merasa aman dalam jangkauan tangan Erno dan selalu begitu.

   Keduanya pulang setelah Florence dapat menenangkan diri. Keduanya tidak bilang bahwa Florence sempat tersesat—hal itu hanya menambah beban pikiran ibunya. Hari itu adalah hari yang tidak ia lupakan melebihi hari ulang tahunnya sendiri. Di hari itu, ia mendapat suatu pelajaran dari Erno.

   “Tidak apa... tidak apa kau menangis... aku kan selalu ada untukmu, percayalah itu.” Ucapan Erno itu penuh nada keyakinan. Gestur wajahnya menunjukkan kasih sayang. Apapun yang terjadi, ia tak bisa meninggalkan adiknya pada saat itu. Ia takut bahwa jika sedetik saja ia memalingkan pandangannya, maka Florence akan lenyap selamanya.

   Florence berharap bahwa keadaan semacam ini akan berlanjut hingga kematian memisahkan mereka. Tapi ia tahu, waktu yang ia miliki tidaklah sebanyak itu. Ia tahu bahwa Erno tak akan selalu ada untuknya, dan ia juga tahu bahwa suatu saat ialah yang akan melindungi Erno.

   Maka dari itu, ia mulai mengubah tingkah laku dan perasaannya. Ia mulai memberanikan diri untuk melangkah keluar dari zona nyamannya dan berjalan mengarungi luasnya kehidupan dengan kakinya sendiri, menyaksikan keajaiban karunia yang Dewa dan Dewi turunkan di dunia ini dengan matanya sendiri, membuka daun telinga yang selama ini ia tutup rapat dan hanya membukanya pada cerita Erno, meraba halus dan kasarnya kehidupan, serta mengecap pahit manisnya ceritanya. Florence muda mulai berubah menjadi trenggiling berperisai.

                                                                                                                     ***

Sekuat apapun perisai yang ia bangun, suatu saat akan terkikis. Itulah fakta yang terjadi di perisai manapun.

   Awalnya, Florence membangun jarak antara dirinya dengan Erno. Semakin lama, jarak di antara keduanya mulai terbuka lebar. Erno tidak terganggu dengan fakta bahwa adiknya tidak bergantung pada dirinya, malahan ia senang. Ia menjadi tenang bahwa adiknya akan baik-baik saja di kehidupan sosial kelak.

   Florence tumbuh menjadi gadis anggun. Tentunya, banyak teman lelaki yang mengidaminya yang jumlahnya juga sebanyak teman perempuan yang mengakuinya. Cerdas dan cantik. Oh, anak lelaki mana yang tak jatuh padanya?

   Dan dari sinilah kepiawaiannya untuk memengaruhi hati orang diasah. Semakin banyak orang yang bicara dengannya, semakin besar pula pengaruh yang bisa ia tanamkan pada orang-orang tersebut. Banyak yang setia kepadanya, juga banyak pula yang takut serta memusuhinya karena kemampuan yang menakutkan itu. Musuh-musuhnya menjuluki, “Iblis Berwajah Manis”.

   Tapi itu tidak memengaruhinya. Benteng hati yang ia bangun tidaklah goyah dan malah semakin kokoh.

   Selama ia bersekolah di sekolah menengah, ia dapat melompati kelas dan lulus hanya dalam waktu satu tahun. Di tahun yang sama, Erno juga lulus dari sekolah menengah yang sama. Nilai keduanya termasuk tinggi.

   Keduanya mendaftar pada akademi sihir yang sama di Junier. Sayangnya, karena alasan bakat yang tidak dimiliki, Erno dinyatakan tidak lulus dalam ujian masuk. Mendengar berita itu, Erno langsung jatuh dalam jurang keputus-asaan. Apalagi setelah mendengar pernyataan ayah mereka yang meluncur dari mulutnya tanpa disengaja.

   “Kau membuat malu Ayah! Dasar! Penuh sesal kau kupungut saat itu!”

   Jantung Erno serasa berhenti. Ia tak menyangka bahwa ayahnya bisa sekeras itu. Di sisi lain, ibunya mengalami shock sambil menutup mulut. Ekspresi keduanya sulit dijelaskan dengan kalimat, tapi Erno tahu dengan jelas bahwa apa yang dimaksudkan ayahnya itu adalah fakta—ia bukan berasal dari darah daging Ayah dan Ibunya yang selama ini ia kenal.

   Erno keluar dari ruang keluarga, berlari sepenuh tenaga ke kamar tidurnya yang ada di atas, dan mengunci rapat-rapat daun pintu. Ia tak menyangka fakta itu dan mencoba menyangkalnya. Tetapi, melihat kedua air muka orangtuanya, ia tak bisa mengelak. Ia larut dan hanyut dalam arus keputus-asaan.

   Florence tanpa pikir panjang mengejar Erno, lalu membuka paksa daun pintu dengan menggeser mekanisme engsel melalui pengungkit sederhana dari batang logam di kamarnya. Saat ia masuk, ia mendapati figur Erno sedang bersandar di kusen jendela yang terbuka, mendongak pada langit. Mata coklatnya itu seperti menelusur cerahnya langit malam itu, mencari jawaban yang dirahasiakan Dewa dan Dewi di langit, mengharap secercah harapan seterang purnama yang menggantung bersama ribuan bintang.

   Saat itu, di atas Junier tak terbesit sehelai benang awan pun. Momen yang menakjubkan, cocok sekali menghabiskan malam itu dengan kebahagiaan, bukan kesedihan. Dari depan pintu, ia melihat figur Erno yang bermandikan sinar rembulan malam itu. Florence tercekat diam. Ia tak pernah melihat air muka Erno yang tampak amat redup, kontras sekali dengan sinar rembulan yang terpantul dari wajahnya.

    Sorot matanya lemah. Air mukanya mengerut. Semangat jiwanya turun.

    Keadaan mulai berbalik total. Di saat itu, Florence tahu bahwa sekarang adalah momen yang tepat untuk membalas semuanya. Ia berjalan perlahan menuju bayangan punggung Erno, demi mendapati kalimat yang tak ia sangka-sangka.

   “Kenapa kau ke sini, Florence?” tanyanya sembari membalikan badan. “Maaf, aku butuh waktu untuk sendiri.”

   Florence tak memperdulikan kalimat Erno. Ia merangsek cepat menuju punggung kakaknya, mendekapnya dari belakang dan membenamkan wajahnya di sana. Keduanya terdiam tanpa kata selama beberapa saat, membiarkan keheningan yang menjawab di antara keduanya—membiarkan semilir angin dari Bukit Aliyun dan debur ombak di pantai pasir putih mengisi keheningan.

   Itu adalah punggung orang yang ia sayangi sedari dulu. Ingin sekali ia mengejar kakaknya, merangkul punggungnya dan berjalan di jalan yang sama. Ia giat belajar sekeras apapun demi berjalan bersandingan dengan Erno. Sayangnya, ia telah melampaui batas. Ia bahkan tak mengetahui bahwa punggung orang yang ia sayangi sekarang jauh di belakangnya, menatap dari kejauhan.

   Erno tak sanggup untuk menggerakan tangannya. Keduanya terpaku diam hingga dekapan Florence melemas. Erno tahu itu. Adiknya kelelahan. Perlahan, ia membalik badan, menidurkan tubuh Florence dan menyelimutinya.

   Erno tersenyum tipis. Ia tak menyangka bahwa adiknya dapat melampauinya. Ia bersyukur penuh pada Dewa dan Dewi karena adiknya dapat meraih cita-citanya, meskipun ia sendiri tidak dapat menggapainya. Ia terduduk lesu di sebelah ranjang, menunggui Florence yang terlelap.

   Malam semakin larut, giliran Erno yang merasa kelelahan karena berusaha menenangkan diri sembari berpikir bahwa hari esok akan lebih baik seperti apa yang dijanjikan. Erno yakin dengan kalimat penuh harapan itu. Karena malam yang semakin larut diiringi dengan tubuhnya yang lelah, ia tertidur di bangku.

   Sementara itu, Florence terjaga ketika angin laut membawa bau garam. Butiran air menerjang masuk melalui jendela yang terbuka. Florence beringsut dari tidurnya, mendapati Erno di sisinya. Terduduk lemah.

   Florence bangun dari tidur, memandangi pemandangan malam itu seperti yang sering mereka berdua lakukan, menghitung rasi bintang, atau hanya melamun. Banyak yang ingin ia lakukan demi kakaknya. Ia bisa saja memengaruhi Ayahnya untuk mendaftarkan Erno di akademi sihir. Dengan status Ayahnya sebagai Petinggi Asosiasi, Erno dapat masuk ke akademi manapun yang ia pilih. Florence yakin dengan kemampuannya. Ia akan mengajak bicara ayahnya.

   Tapi, apakah Erno akan bahagia dengan cara semacam itu? Florence tidak yakin. Ia mungkin bisa mengisi impian Erno, tapi ia tak sanggup mengisi kekosongan jiwa yang terkeruk itu. Perlahan, matanya sembab berair. Di saat ia sedang membutuhkan seseorang, Erno selalu ada untuknya. Namun sebaliknya, di saat Erno membutuhkan seseorang di sisinya, ia tak bisa mengisi peran itu.

   Di saat itulah, sebuah kemilau terang tampak melintasi langit. Kemilau itu awalnya hanya satu, namun lama kelamaan disusul dengan puluhan, ratusan, bahkan ribuan kemilau yang tampak serupa. Kemilau itu tampak terbentang sepanjang mata memandang, memanjakan mata dengan lintasan cepat dan sinar yang menyilaukan, tampak indah dengan kerlap-kerlip yang kontras dengan gelapnya langit.

   Itulah peristiwa yang kita sering juluki sebagai bintang jatuh. Legenda mengatakan bahwa bila kita memanjatkan harapan dengan sepenuh hati, niscaya harapan itu akan menjadi kenyataan. Legenda juga mengatakan bahwa pada malam sakral semacam ini Dewa dan Dewi akan mengabulkan segala permohonan umatnya, tak peduli dari ras manusia, elf, dwarf, half-beast, atau apapun itu, selama harapan itu membawa berkah dan karunia pada dunia tempat mereka berpijak.

   Dari lembah bukit, tampak ribuan cahaya mulai hidup secara bergiliran. Itu lampion. Beragam warna tampak mewarnai gelapnya lembah. Florence yang menatap itu hanya bergumam kagum, tak mengetahui bahwa malam itu terjadi peristiwa semacam itu.

   Perlahan orang-orang di lembah melepaskan lampion mereka, membiarkannya terbang menuju langit. Pada tiap lampion itu, terdapat angan yang mereka tulis dengan sepenuh hati, mengharap penuh pada Dewa dan Dewi. Ribuan lampion mulai mengambang, berlomba dengan penuh usaha agar sampai ke angkasa. Warna-warni terlihat sejauh mata berimajinasi. Kota Junier yang kecil itu tampak seperti gugusan bintang di ujung benua, indah bukan main.

   Meskipun Florence terkagum-kagum, ia merasa hampa. Mengisi kebahagiaan dengan dirinya sendiri tidaklah lengkap tanpa Erno. Maka pada saat itu, di tengah malam yang sunyi berbalut temaram ribuan lampion dan jutaan kemilau bintang jatuh, ia memanjatkan sebuah doa dan harapan.

   “Semoga, kami dapat selalu bersama di kala senang dan sedih hingga hanya takdir kematianlah yang memisahkan kami...” ia berdoa dengan menangkupkan kedua tangan selaiknya seorang gadis kuil yang lemah di hadapan Dewa dan Dewi.

   Saat itu, ia masih belum menyadari bahwa rahasia langit terkadang berbeda dengan kemauan makhluk hidup....

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Dream of Being a Villainess
1391      796     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Gino The Magic Box
4251      1313     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
When I Was Young
9378      1931     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
Kinara
4799      1687     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
Pillars of Heaven
2981      959     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
HIRAETH
504      348     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Thieves Sister
16213      2909     7     
Action
Remaja kembar yang bisa mencuri benda-benda bersejarah milik dunia dan membalas dendamkan kematian kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
Drapetomania
11053      2541     7     
Action
Si mantan petinju, Theo Asimov demi hutangnya lunas rela menjadi gladiator bayaran di bawah kaki Gideon, laki tua yang punya banyak bisnis ilegal. Lelah, Theo mencoba kabur dengan bantuan Darius, dokter disana sekaligus partner in crime dadakan Theo. Ia berhasil kabur dan tidak sengaja bertemu Sara, wanita yang tak ia kira sangat tangguh dan wanita independensi. Bertemu dengan wanita itu hidupnya...
Maroon Ribbon
522      378     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Noterratus
2556      1040     4     
Mystery
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...