“Bakat itu penting, namun bukan segalanya, Erno!” tegas suatu suara yang sempat menggugah hati Erno dalam sekejap. Suara pria itu sedikit parau, tetapi halus, tidak cocok sekali dengan raut wajah tegangnya yang menghias. Kosa kata yang terlontar dari mulutnya menunjukkan sosoknya sebagai motivator. Pria tua ini memiliki sorot mata yang Erno namai sebagai ‘Sorot Mata Redup’—yang diambil dari jiwa dan semangat hidupnya yang melemah. Kontras sekali dengan postur tubuh jangkung dan gurat tegang wajahnya.
Enire Allai’en, itulah namanya. Pria yang mungkin sekarang di penghujung kepala lima itu adalah guru sekaligus teman dekat ayahnya sendiri. Jika dilihat sekilas, ia hanyalah seorang tabib tua yang terlihat tidak ramah, apalagi jika orang awam menengoknya ketika ia berbicara kasar serta mengumpat. Tapi, kepribadian aslinya amatlah jauh berbeda dengan penampilan dan perilakunya.
Meskipun ia sering melontarkan umpatan bahkan cacian di muka umum, tapi sebenarnya ia adalah orang yang baik. Ia sering diam dan merenungi buku, mendalami serta menyelami lautan ilmu yang tersirat di ribuan kuarto kuning. Ia juga sosok yang cerdas, bahkan Erno menyangka orang tua itu lebih cerdas daripada ayahnya sendiri. Ia tangkas dan ulet. Itulah sosoknya di dalam rumah, jarang berbicara, dan misterius.
Erno awalnya berpikir bahwa sosok Enire adalah mantan petarung. Namun itu salah. Enire adalah seorang mantan ahli sihir di Asosiasi. Ia memiliki banyak penghargaan berkat talenta serta kemampuannya. Orang yang dulunya hebat dan berbakat. Sekarang, ia tak ubahnya seorang tabib tua yang menggerus dedaunan sebagai obat herbal.
Pertemuan mereka diawali seminggu setelah kegagalan Erno masuk ke dalam akademi. Ia diajak oleh Loth sendiri untuk berguru pada seorang kenalan lama. Saat masuk, Enire sedang memenuhi ruangannya dengan bau tengik dari ramuan-ramuan. Asap kelabu mengungkung di segala sudut ruangan, menyesakkan napas dan mengaburkan pandangan. Di rumah sempit yang menyesakkan ini, sebuah suara umpatan tiba-tiba keluar dari tebalnya kelabu asap.
“Demi Dewi Fortunie! Apa ibumu tak mengajari cara mengetuk pin—demi Dewi Fortunie, Loth! Hei bagaimana kabarmu, kawan?” itu momen pertama Erno melihat tabib tua Enire. Ia tak mengira bahwa orang tua inilah yang akan menjadi guru terbaik sepanjang hidupnya.
Loth tidak banyak berbincang kepada Enire. Ia hanya meminta pertolongan pada Enire agar Erno disetujui menjadi muridnya. “Aku mohon Enire, aku tak ingin dia berhenti di sini. Perjalanannya masih jauh dari kata ‘berakhir’—tidak, bahkan cerita hidupnya belum dimulai.”
Enire melirik Erno sebentar. Mata keduanya beradu pandang sejenak. Setelahnya, Enire mengangguk mantap, “tidak apa. Aku terima dia sebagai muridku. Mari kita lihat dia dapat bertahan atau tidak. Jika iya, aku akan menjadikannya sebagai murid tetap, jika sebaliknya, maka ia tak segan-segan kusuruh angkat kaki dari tempat ini!”
Lepas mendengar itu, Loth balik kanan, meninggalkan Erno di sana bersama guru barunya itu. Setelah keduanya mendengar pintu depan ditutup, barulah Enire duduk dan memperkenalkan diri. Dengan sopan, ia menyuguhkan secangkir teh herbal pada Erno yang telah ia ramu dengan baik. Teh itu berwarna hitam kehijauan. Aromanya harum wangi dan menenangkan, berbeda jauh dengan bau tengik di ruangan pengap itu. Sejumput tangkai teh tampak mengambang di tengah genangan air tenang. Timbul-tenggelam. Seperti hati Erno; timbul tenggelam.
"Kesalahan macam apa yang kau lakukan hingga anak seorang Petinggi Asosiasi sepertimu tidak diterima di akademi sihir, huh?" ucapnya dengan nada mencoba santai.
Erno diam membisu. Amatlah enggan menjawab bahwa alasan ia tidak terima adalah ia tak memiliki bakat sama sekali dalam bidang sihir.
“Baiklah jikalau tak menjawab. Tak apa. Namaku Enire, salam kenal! Aku harap kau dapat berkembang dalam bimbinganku!” ucapnya sembari menydorkan tangan kanan secara mantap, meninggalkan Erno dalam keadaan yang masih bisu. Dengan sedikit terpatah-patah, Erno menjawab sodoran tangan itu.
“Kita mulai dengan menghabiskan teh pada pagi ini.” Tangan Enire lincah mengambil racikan teh, menyeduhnya cepat, lalu mengaduk dengan teknik adukan yang belum pernah Erno lihat. Teh di cangkirnya terlihat mengeluarkan buih. Semakin lama, gerakan adukan Enire berubah menjadi kocokan. Buih di cangkirnya semakin membeludak.
Tanpa Erno sadari, ia tertarik dengan cara penyajian teh yang Enire lakukan. Ia mengamati dalam diam tiap kocokan tangan hingga Enire memilih berhenti dan meminum teh penuh buih itu. Erno memalingkan pandangan. Perlahan, ia mulai meminum teh yang telah disuguhkan padanya di awal perbincangan.
Entah ramuan macam apa yang ada di dalam teh itu, Erno langsung merasakan sensasi ketenangan yang luar biasa. Ia merasa bahwa pikirannya menjadi lebih jernih. Kabut yang beberapa hari mengungkung di hatinya terangkat dan lenyap, menghilangkan gundah gulana.
“Bagaimana? Kau merasa bisa bicara sekarang?” tanya Enire dengan mencoba nada bergurau—meskipun tidak cocok sekali dengan suara parau serta wajah tegangnya.
Erno mengangguk. Ia bisa mempercayai lawan bicaranya. Lagipula, tidak ada salahnya mencurahkan isi hati pada orang lain, apalagi orang tersebut merupakan orang kepercayaan ayahnya sendiri. Dengan mengatur irama bernapas serta menguatkan keteguhan hati, Erno mulai bercerita.
Hanya dalam tiga menit, selesai sudah cerita tersebut. Dalam rentan waktu itu, Erno merasa ketenangan. Bau pengak dari ruangan itu seolah berubah menjadi aroma lilin dari lemak hewan. Renyah dan sedap seperti bau daging panggang yang disadur dengan rempah-rempah harum. Entah bagaimana, suasana di ruangan itu berubah menjadi damai dan hening. Erno akhirnya menyadari bahwa dinding seluruh rumah ini dibuat dari spons keras yang kedap suara. Tahan dan cocok dengan struktur meskipun strukturnya yang tampak keropos berkat lubang.
Diakhir cerita, Enire terkikik dan hampir tersedak. Ia memandang Erno dengan ekspresi yang amat sulit diprediksi oleh Erno. “Kau terlalu naif untuk menyerah karena kau tidak berbakat, anak muda. Bakat itu memang penting, namun bukan segalanya!”
Erno merasa sedikit diremehkan. Orang-orang berbakat sepatutnya tidak berkata bahwa bakat yang mereka miliki tidak penting. Itu sama saja menghina orang yang tidak memiliki bakat. “Anda dapat berkata begitu karena Anda memiliki bakat,” balas Erno secara lugas.
Orang tua itu hanya membalas Erno dengan tawa terbuka, “lihatlah, Aku rasa kau sudah tidak apa-apa jika kau dapat menjawab seberani itu,” balasnya dengan menyeringai kecil.
Enire berdiri, menaruh cangkir tehnya lalu berjalan mendekat, lalu meremas kedua pundak Erno, “tidak peduli kau dari darah siapa, tidak peduli apa latar belakangmu, persetan pula dengan bakat yang tidak ada pada dirimu, ketahuilah Nak, jalanmu masih jauh. Dan aku jamin, kau akan menikmati tiap detiknya.”
Kalimat itu terlihat amat menjanjikan, begitulah yang Erno pikirkan saat itu. Ia menerima dengan seteguh hati bahwa masih ada orang yang memberinya pertolongan di tengah kecamuk hati akibat kelamnya hidup.
***
Pelajaran pertama yang Erno terima dari gurunya itu adalah ‘menerima kenyataan’. Hal berharga tersebut entah mengapa sudah terpatri di hati dan jiwanya, membuatnya dapat bertahan pada guncangan takdir yang mungkin saja datang. Hari-hari yang ia lalui tidaklah berjalan berat. Ia sudah dapat tersenyum kembali berkat ada orang yang menerima dirinya. Walaupun sejatinya, goresan luka tersebut belumlah sembuh sepenuhnya.
Erno tersadar ia tak bisa menjadi ahli sihir seperti ayahnya. Itu sudah jelas tertulis di buku takdir. Tapi itu tak apa. Ia masih bisa menjadi ahli racik obat-obatan, pedagang, atau bahkan seorang pengembara. Manusia tidak dapat mengetahui rahasia langit—rahasia masa depan.
Meskipun Erno tak bisa menggunakan sihir, tapi ia terampil sekali dalam menulis rune dan lingkaran sihir. Erno tak bisa menggunakan keduanya, tapi ia dapat membaca, mengartikan, serta mengombinasikannya menjadi beragam bentuk dan beragam cara. Enire yang melihat potensi dari muridnya ini mulai tertarik dengan beberapa praktik percobaan.
Banyak ragam percobaan yang mereka lakukan. Mulai dari hal sederhana dan trivia, hingga hal rumit dan inovasi-inovasi baru yang tak terkira. Mereka mencipta rune unik seperti rune yang dapat mengeluarkan suara siulan—sangat aneh dan tak berguna— atau rune penunjuk waktu atau rune jebakan yang membuat pijakan seseorang berubah sekejap menjadi pasir hisap.
Enire kagum dengan potensi tersembunyi muridnya. Akhirnya setelah tiga minggu mengajar Erno, ia memutuskan untuk memberi Erno hadiah yang pantas. Secara rahasia, ia membeli beberapa perkamen kuno dengan kandungan rahasia sihir tingkat tinggi. Rahasia sihir itu sudah dianggap hanyalah dongeng kuno belaka. Masyarakat menganggap hanya orang bodoh sajalah yang mau menghabiskan waktu, tenaga, dan material mereka untuk menanggapi dongeng. Dan Enire memanglah orang yang bodoh. Namun ketahuilah, terkadang orang bodoh semacam itulah yang terkadang menemukan jawabannya.
Enire adalah orang yang logis serta pemikir kritis. Melakukan hal semacam ini di luar kewajarannya. Ia tidak suka melakukan semacam ini. Tapi, apa boleh buat. Ia berhutang banyak pada Loth dan berjanji penuh ia akan mengembangkan potensi yang dimiliki Erno dengan cara mengembalikan harapan yang telah sirna.
Seseorang penah berkata bahwa ‘talenta tidak dapat dilatih, itu berkah murni’ atau semacamnya. Itu benar. Tapi tidak pernah sekalipun orang berkata ‘talenta tidak dapat diraih’. Enire yakin penuh bahwa talenta dapat diraih meskipun tidak dapat dilatih. Artinya, seseorang yang tidak memiliki talenta sedikitpun tidak akan pernah mendapatkan talenta yang ia inginkan dengan latihan, ada cara lain untuk mendapatkan talenta.
Cara itu dinamakan ‘Katalis Sihir’. Praktik sihir yang dianggap dongeng melegenda itu sudah menjadi rahasia umum di kalangan semua penyihir tanpa terkecuali. Cara tersebut dengan mengukir sebuah rune kuno pada suatu wadah yang cocok. Niscaya, jika rune tersebut cocok dengan wadah, maka seseorang yang menggunakan wadah tersebut dapat menggunakan sihir meskipun ia akromatik.
Terdapat beberapa permasalahan yang Enire temui ketika menganalisis potongan-potongan perkamen. Di antaranya adalah tulisan kuno yang tak pernah Enire kenal serta penjelasan bahasa yang berbelit. Ia membutuhkan setidaknya tiga hari penuh tanpa tidur untuk menulis ulang tafsiran dari tulisan kuno tersebut dan meyakinkan dirinya bahwa tafsirannya tersebut sudah tepat.
Langkah-langkah yang diperlukan sudah ada. Bahan yang diperlukan pun juga telah tersedia. Ia tinggal memanggil Erno dan menyuruhnya untuk membantu percobaan.
Sore itu, Erno sudah meminta izin pada keluarganya bahwa ia akan menginap di tempat Enire dengan alasan ia harus membantunya. Setelah bergegas kembali dari rumah, ia membeli beberapa bahan yang harus dibeli sebagai persediaan dan membeli bahan makanan untuk mereka. Setelah berguru selama sebulan, Erno paham betul bahwa lidah gurunya itu sudah mati rasa, implikasinya sang guru tidak dapat membuat makanan yang sedap. Anehnya, setiap racikan teh yang dibuat oleh sang guru selalu nikmat.
Matahari semakin turun. Perlahan lenyap di Barat. Menyemburkan semburat merah, jingga, dan kuning. Kombinasi warna itu digantikan dengan hitamnya angkasa. Bulan sabit mulai merangkak naik bersama ribuan pengawalnya, para bintang. Malam yang indah itu seharusnya dinikmati dengan bercengkrama hangat dengan keluarga, kawan, atau pasangan.
Erno tidak punya waktu untuk itu. Ia hanya tersenyum tipis pada adiknya yang tak sengaja ia temui tengah berjalan bersama teman-temannya—yang beberapa dari mereka adalah lelaki sebaya. Dalam hatinya, ia membatin bahwa adiknya tersebut sudah cukup umur. Florence yang ia kenal sekarang bukan gadis kecil yang akan bersembunyi di balik punggungnya lagi, merajuk manja, serta merengek dengan mata biru yang membuncah. Ia sudah berubah.
Ah, Erno hanya mampu memandangi Florence dari kejauhan. Ia takut dengan memanggil namanya hanya merunyamkan suasana. Ia memilih pergi dan bergegas ke tempat gurunya. Ia sudah terlambat dari jadwal yang ditentukan.
Dan benar saja, ketika ia datang ia langsung menerima omelan selama beberapa menit. Setelah lelah, sang guru memalingkan tubuhnya dan mulai menyiapkan praktik tanpa mengungkit permasalahan sepele itu. Erno menyiapkan kapur dan menggambar lingkaran sihir sesuai yang Enire perintahkan. Dengan ulet dan penuh perhatian, mata Erno tak beralih sedikitpun, kesalahan sedikit pun akan berakibat fatal. Lingkaran yang ia gambar memiliki struktur rumit dan cukup besar jika dibandingkan dengan semua rune dan lingakaran sihir yang ia temui selama ia belajar. Semakin rumit, semakin kecil toleransi kesalahan dan semakin tinggi risikonya. Erno semakin berhati-hati, memikirkan konsekuensi apa yang ia temui bila ia salah satu huruf saja dalam menulis rune di lingkaran membuatnya merinding. Kasus terburuknya, besok ia akan dimakamkan—itu saja bila jasadnya masih utuh.
Setelah tiga puluh menit yang panjang, lingkaran sihir itu akhirnya dapat rampung. Erno mengusap peluh di dahinya, kagum dengan susunan yang mereka buat. Lingkaran sihir tingkat delapan—begitulah Enire menamainya. Setahu Erno, ada sepuluh tingkatan lingkaran sihir. Semakin tinggi, semakin rumit lingkaran sihirnya. Erno sempat berdecak kagum, membayangkan kehebatan Ayahnya yang dirumorkan dapat membuat mantra orisinal dengan lingkaran sihir tingkat sembilan dan tak lupa gurunya yang membuat hal semacam ini dengan usianya yang terhitung tua.
“Kau siap Erno? Praktik yang akan kita lakukan kali ini bukanlah sekedar mencampur ramuan atau melakukan teknik alkimia sederhana. Sebaliknya, praktik kali ini mungkin saja amatlah berbahaya. Kau masih tetap meneguhkan hatimu dan melanjutkannya?” sebelum mereka memutuskan untuk melakukan praktik ini, Enire bertanya pada Erno apakah ia masih mau mengejar mimpinya sebagai ahli sihir. Erno menjawab dengan ragu, ia sudah melupakan mimpi semacam itu. Tapi, jika ada kesempatan dengan kemungkinan kecil, ia masih mau mencobanya.
Karena sejatinya dia adalah orang yang bodoh. Tidak tahu kapan harus berhenti. Tidak memikirkan kemungkinan kecil dan mengambil keputusan yang tak rasional. Dengan anggukan mantap, ia meyakinkan gurunya untuk terakhir kalinya.
***
Derik suara angin seolah mengetuk-ngetuk jendela. Desau semilir angin juga berhasil menembus celah dingding dan atap, membawa siulan hening yang menenangkan dan sedikit mencekam meskipun keadaan di luar tidak tercermin dari pesan yang angin bawa. Namun cukup untuk menggambarkan keadaan hati Erno dan Enire saat itu.
Meskipun keduanya berkata yakin, tapi sesungguhnya hati mereka masih ragu. Tanpa saling ucap, keduanya tahu bahwa ada keraguan di keduanya. Namun mereka diam, tidak memikirkannya, memilih fokus pada percobaan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menaruh wadah dengan torehan rune tipis. Erno sendirilah yang menulis rune tersebut ke dalam beberapa wadah yang sudah disuruh oleh gurunya. Wadah yang dipilih antara lain beberapa tongkat sihir, jubah penyihir, beberapa perhiasan, serta beberapa koin emas. Enire memilih wadah secara acak dengan alasan tidak ada aturan baku yang menetapkannya. Mencoba secara buta bukanlah cara yang tepat, bisa saja menimbulkan bencana—atau dengan keberuntungan dapat menemukan jalan yang benar.
Mantra yang digunakan juga tidaklah baku. Dari hasil tafsiran yang Enire lakukan, ia menulis beberapa tafsiran mantra ritual yang semuanya ditulis dengan bahasa dan rune yang berbeda pula, namun memiliki artian yang mirip satu dengan yang lain.Alasan diperlukan tulisan rune yang berbeda adalah karena tidak jelasnya kapan periode teknik sihir ini ditulis, menyebabkan kita tidak tahu rune macam apa pula yang mungkin bekerja.
Anehnya, hanya ada satu macam rune di semua wadah. Rune dengan bentuk pancuran air. Airnya tampak mengalir dari sumber pancuran dan tumpah ke tanah yang ada di bawahnya. Di sebelah kanan dan kiri pancuran itu, terdapat dua figur dewa Kehidupan dan Kematian. Selainnya, diisi dengan tulisan rune yang rumit dan kuno hingga Erno sendiri tak bisa menemukan artinya secara detail.
Selepas Erno menaruh wadah, Enire merapal mantra satu persatu pada tiap gulungan. Pada mantra pertama, lingkaran sihir bersinar kuning. Keduanya mengira bahwa percobaan telah berhasil. Namun, mereka terlalu cepat menarik kesimpulan dengan melompati banyak percobaan. Lagipula, mereka masih belum membuktikan tesis utama dalam praktik ini—bahasa serta wadah apa yang benar-benar cocok.
Dan itu benar. Senyum tipis mereka langsung berubah menjadi gelisah ketika Erno mengganti wadah. Akibatnya, warna yang terpancar dari lingkaran sihir kembali berubah menjadi hijau muda. Setiap Erno mengganti wadah, warna yang dipancarkan dari lingkaran sihir juga ikut berubah.
Tidak hanya itu saja, jika Enire mengubah rapalan mantra yang ia ucapkan, warna yang terpancar dari lingkaran sihir juga ikut berbeda, dengan kombinasi warna wadah yang ikut berbeda pula. Permasalahan yang terjadi belum sampai titik itu saja. Meskipun terjadi kombinasi warna berbeda, keduanya tak menemui adanya perubahan dari tiap wadah. Pengukuran fisis juga analisis sihir tidak menemukan perbedaan antara sebelum atau sesudah. Tidak ada yang terjadi. Lingkaran sihir itu hanya menunjukkan kombinasi warna, tidak lebih.
Mereka kelelahan. Mereka memilih beristirahat tepat setelah jam raksasa di alun-alun kota berdentang 12 kali—tanda hari sudah berganti. Dengan sisa tenaga, mereka merapikan tempat kerja mereka. Dalam lima menit keheningan, mereka berbalik dan memilih duduk menyeduh teh seperti biasa.
“Aku tak mengerti apa yang salah dari percobaan yang kita lakukan,” gumam Enire sambil menghembuskan nafas kesal. “Apa memang legenda tersebut tetaplah dongeng belaka?”
“Mungkin legenda tetaplah menjadi legenda, guru.” Erno sembari beranjak mengambil rebusan yang ia buat tadi, menyiapkan dua mangkuk, lalu segera kembali ke ruang makan. Setelah memberi semangkuk pada gurunya, ia kembali duduk dan mendengarkan.
“Kau percaya bahwa orang buta dapat melihat?” tanya Enire tiba-tiba. Erno tak tahu cara menjawab dan menggeleng lemah. Ia tak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan yang mungkin ada maksud tersendiri.
“Kau percaya bahwa orang yang bodoh dapat menemukan jalan pikirannya?” tanyanya sekali lagi. Erno diam sejenak, lalu ia akhirnya mengangguk ragu.
“Kau tahu apa yang kumaksudkan, Erno?”
Erno menjawab dengan gelengan. Ia terlalu lapar untuk diajak berpikir di tengah malam yang dingin dan sunyi ini. Perutnya keroncongan, aliran asupan ke otaknya terhambat, begitu pula dengan rasa kantuk yang menyergap.
“Baiklah, dalam lima belas menit ini kita harus kembali lagi ke sana. Masih banyak misteri yang belum kita selesaikan....”
Kalimat dingin dari gurunya itu membuat kantuk Erno sirna. Ia merasa perutnya yang keroncongan lenyap, juga dengan konsentrasinya yang kembali. Kalimat itu cukup menjadikannya sebagai motivasi. Entah sihir macam apa, tiap kalimat yang keluar dari gurunya dapat memengaruhi hati Erno. Erno saat itu masih belum menyadari, tapi saat di masa depan nanti ia akan paham dengan apa yang kita sebut sebagai karisma.
Enire berdiri lalu berbalik menuju ruang kerja tadi. Ia melakukan persiapan lain dengan membuka jurnal kuno lain, mencari referensi bahasa rune apa yang digunakan, serta kaitannya dengan kombinasi warna yang mereka temui.
Percobaan dilakukan kembali. Kali ini, mereka memulai dengan membuat beberapa wadah lain seperti pisau belati, alat tulis, kertas biasa, dan benda kecil lainnya. Karena dari percobaan sebelumnya, semakin kecil benda yang digunakan sebagai wadah, intensitas cahaya yang dipancarkan semakin terang.
Namun tetap saja. Semakin banyak wadah yang mereka gunakan dan bahasa rune yang mereka rapal, semakin banyak pula kombinasi warna yang ada. Mulai warna merah terang, hingga biru gelap dari tujuh warna dasar kehidupan. Tidak ada yang analisis yang dapat ditarik menjadi suatu kesimpulan. Mereka mulai putus asa.
Tanpa mereka sadari, jam alun-alun mengalun lima kali, tanda bahwa matahari mulai terlihat di ujung horizon timur, aktivitas pada hari yang baru ini sudah dimulai.
Enire menyuruh untuk beristirahat dan menyelesaikan percobaan dengan dalih untuk melanjutkannya esok hari. Erno setuju. Lagipula, tidak ada dari keduanya yang mungkin masih cukup kuat untuk berdiri dan berjalan tanpa goyah. Enire memilih kembali ke perpustakaan miliknya, memilih tenggelam di lautan literasi. Sementara Erno diperintah untuk membereskan kekacauan.
Erno mengeluh tertahan, tapi mau bagaimana lagi? Ia adalah asisten dari gurunya, dan ini merupakan satu dari puluhan tugas yang harus ia emban, secara sukarela atau tidak.
Karena tubuhnya telah mencapai batas, tak sengaja ia menggores jarinya ke serpihan kayu ketika mengambil barang-barang berserakan di lantai. Memang tidak sakit, hanya luka kecil. Namun bukan itu yang jadi masalah.
Secara tak sengaja, darah Erno menetes ke lingkaran sihir tempat ritual terjadi. Hanya setetes saja. Karena takut bila darah tersebut menghapus tulisan rune, Erno lekas mengambil selembar tisu, mencari bercak darah di lantai dan membersihkannya. Namun, ia tak menemukan sama sekali bercak darah pada lingkaran sihir—yang membuatnya merasa heran dan berpikir bahwa ia berhalusinasi karena kelelahan. Erno bergegas keluar dari ruangan itu, menyusul gurunya di perpustakan guna melapor bahwa tempat ritual sudah dirapikan.
Keduanya tak mengira apa yang bakal terjadi....
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona