Alunan lagu di sebuah restoran bergaya Eropa. Terdengar mendayu saat aku, Panji juga Nouna menikmati hidangan yang tersedia di hotel tempat kami menginap malam itu. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Itu tandanya Nouna harus segera pergi menuju kelas musik, di mana ia berlatih biola untuk persiapan konsernya lusa di atruim KLCC.
“Sudah mulai senja, Satria. Saye nak pergi dulu, masih ada beberapa urusan yang mesti diselesaikan. Ouh iya ... beberapa pekan ke depan jangan lupa datang ke taman KLCC, ye? Saye ada konser musik di sana, dalam rangka perpisahan mahasiswa tingkat satu fakultas teknologi. Saat tuh, saye wisuda setelah pekan kemarin dinyatakan lulus kuliah, Satria,” ungkap Nouna, memberi kabar tentang masa kuliahnya yang sudah selesai juga rencana konsernya nanti.
“Waw! Awak sudah selesai kuliah, keh? Tak sangka, di sini beberapa mahasiswa sudah selesai dengan masa kuliahnya, ye? Beda dengan di Indonesia. Masih ada beberapa tahap lagi, untuk menyelesaikan program akhir pendidikan strata satu. Macam saye, nih. Masih harus lewati beberapa tahap akhir kuliah, untuk kemudian wisuda dalam tiga bulan ke depan.”
“Yah ... begitulah sistem pendidikan di Malaysia ini, Satria. Saye pun telah melewati beberapa tahap akhir, pasca skripsi yang diterima. Dan hasilnya ... sangat amazing buat saye, hehehe,” ujar Nouna mengenai hasil kuliahnya, yang dinyatakan lulus beberapa minggu kemarin.
“Tahniah, Na. Awak memang cerdas, saye akui itu, hehehe,” balasku senang.
“Oke, Satria. Sampai jumpa esok di kampus, ye? Saye nak tunjukkan awak kepada Pak Cik Ali Muhalim, dosen yang awak cari esok. Semoga awak senang selama berada di sini, ye?” Nouna pun bangkit dari tempat duduknya, diikuti aku dan Panji yang mengiringinya.
“Siap, Na. Saye berterima kasih sekali sama awak, sudah mau hantar saye dan Panji di sini. Mudah-mudahan Pak Cik Ali, besok bisa beri apa yang saye butuhkan.”
Belum sempat aku dan Panji, mengantar Nouna keluar restoran yang berada di hotel tempat kami menginap. Dari kejauhan. Terlihat seseorang yang sangat kukenali selama ini yaitu Dani Sunjaya, ayahku. Ia sedang berjalan beriringan dengan seorang wanita yang tidak asing juga bagiku, dan baru saja mereka keluar dari hotel.
“Sial! Kenapa harus bertemu dengan si Dani di sini, sih? Apa lagi sama wanita itu. Ah ... sial sekali!” gumamku dalam hati, saat tatapan mataku beradu dengan ayah.
Tanpa disengaja, aku dan ayah berpapasan di lobi hotel. Dengan wajah terkejut penuh rasa heran, ia menyapaku, “Satria! Sedang apa kamu di sini?! Kenapa kamu ada di sini?!”
“Anda siapa, ya? Apa saya mengenal Anda?” balasku pura-pura tidak kenal, dengan sosok yang selama ini memang sangat kubenci. Apa lagi jika bersama wanita yang telah menghancurkan keluargaku. Ah ... rasanya, ingin melumatkan mereka berdua.
“Kamu enggak kenal sama ayah, Nak? Atau ... kamu sedang memata-matai ayah di sini?” tanya ayah, penuh curiga.
“Anda siapa? Apa urusannya memata-matai Anda di sini? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Aku masih pura-pura tidak mengenal sosok pria berkemeja biru di hadapanku, dengan acuh. Sementara wanita berbaju hem warna abu-abu, corak batik terlihat memegang lengan ayah dengan manja.
“Saya ini ayahmu, Satria! Setidaknya ....”
“Ayah?! Anda bilang, kalau Anda adalah ayah saya?! Ayah saya sudah dianggap mati selama ini! Setelah dengan tega ia menghancurkan keluarganya sendiri, tanpa tanggung jawab! Kenapa sekarang, Anda mengaku sebagai ayah saya? Apa masih layak, Anda dipanggil ayah?!” ketusku, membuat semua yang mendengarnya merasa heran, termasuk Nouna yang ikut terkejut dengan perbincanganku bersama sosok yang sedikit ia kenal juga.
“Bukan begitu, Satria! Saya ini masih tetap ayahmu, meski kamu enggak mau mengakuinya sekarang. Setidaknya ... saya mengenal jelas siapa kamu, dari kecil hingga sekarang ini,” bantah ayah, membuat emosiku kembali meledak.
“Ouh, ya?! Lantas, apa Anda juga kenal dengan sosok Lastri dan Rianti?! Seorang istri dan anak kedua Anda yang ditinggalkan begitu saja, hanya demi wanita ‘sundal’ dan karir yang telah mengantarkan Anda di puncak kesuksesan ini?! Apa Anda kenal juga dengan mereka, hai Tuan Dani Sunjaya?!” Aku benar-benar meluapkan emosi dengan segala ucapan ayah tadi, membuat wanita di sampingnya terlonjak juga Panji dan Nouna yang ikut terperangah melihat kemarahanku.
“Awak jangan bersikap tak sopan gitu di hadapan ayahmu, Satria. Meski ....”
“Diam kau wanita ‘sundal’! Gara-gara kamu, keluargaku hancur! Sekarang, kamu mau menghancurkan impianku juga, hah?!” Emosiku benar-benar meledak, saat Lemi wanita yang bersama ayah ikut berbicara. Sementara Nouna memegang lenganku, mencoba meredam emosi di hati ini.
“Dasar budak tak tau budi kau, Satria! Tak sopan, bicara cam tu kepada ayahmu sendiri!” Lemi, wanita muda berusia hampir sebaya denganku yang bersama ayah ikut terpancing emosinya.
“Anda yang enggak sopan, Nona Lemi! Anda perusak keluargaku, juga impian ibu dan adikku! Sekarang Anda bicara masalah sopan santun di hadapanku?! Berkacalah terhadap diri Anda sendiri, Nona!”
Selama ini aku memang tidak pernah marah, seperti apa pun keadaannya. Hanya baru kali ini, jiwaku benar-benar berada di puncak emosi yang hampir tidak terkendali. Ditambah dengan segala ucapan dua sosok, yang sudah menghancurkan impian ibu dan adikku.
Sementara, setelah mendengarku emosi. Dani Sunjaya hanya tertunduk lemas, tanpa bisa berkata apa-apa ketika kubuka tentang masa lalunya bersama ibu dan adikku.
“Mmm ... maaf, saye bukan nak maksud mencampuri urusan kalian. Kalau saye tak salah. Bukankah Anda merupakan salah seorang bankir ternama, dari Sunjaya Corporation? Saye sedikit kenal perihal perusahaan Anda, tuh. Saye Nouna, anak dari Encik Abdul Malih dari Malih Corporation.” Nouna menyela percakapanku dengan ayah, membuat emosiku sedikit mereda.
“Ya, saya dari Sunjaya Corporation, dan nama saya Dani Sunjaya pemiliknya. Ouh ... kamu ini anak dari Puan Abdul Malih?” Ayah terlihat sedikit malu berhadapan dengan Nouna, yang sedikit mengenal seluk beluknya selama di Malaysia.
“Iya benar, Encik. Jadi, Anda ini sebenarnya adalah ayah dari Satria, keh? Baru tahu saye, bagaimana seluk beluk Anda ini, Encik. Tak disangka, ye?” Nouna berusaha meredam emosiku dengan ikut berbicara.
“Saya memang ayah dari Satria, setidaknya sebelum saya melakukan hal bodoh dengan meninggalkan keluarga. Saya harap, Nona tak menceritakan perihal ini kepada ayah Nona. Bisa hancur karir saya, jika ayah Nona tahu masa lalu saya ini,” pinta ayah sedikit cemas kepada Nouna. Sedangkan Nouna sendiri, hanya bisa tersenyum melihat keadaan ayah saat itu.
“Bagaimana saye nak campuri urusan Anda, Encik. Tak ada guna saye urus perihal ini ke ayah saye,” ucap Nouna tersenyum, seraya melihat kearahku yang mulai mereda dari emosi tadi.
“Terima kasih, Nona. Saye harap, kejadian ini menjadi rahasia kita semua, dan jangan sampai siapa pun tahu,” pinta ayah, tertunduk malu. “Dan kau, Satria. Bisa kita bertemu besok? Ada beberapa hal, yang ingin ayah bicarakan sama kamu, Nak,” sambung ayah menoleh kearahku berdiri.
“Anda masih menganggap saya ini anak Anda, Tuan Dani?!” Aku yang masih terselimuti emosi. Mulai sedikit demi sedikit meredam apa yang ada di dalam benak, meski perasaan kecewa masih menyelimuti.
“Iya, Nak. Walau menurutmu ini tidak pantas, setidaknya saya masih mengakui kalau selama ini punya anak yaitu kamu, Satria.” Terlihat tangan ayah merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar kartu nama, “ini kartu nama ayah di sini, dan berharap kamu mau menemui ayah besok malam. Dan kita mencoba meredakan apa yang selama ini terjadi di antara kita, Satria. Ayah harap kamu mengerti.”
“Sudahlah, Pak Cik. [1]Jom kita pegi, tak guna urus [2]budak cam itu. Bisa-bisa awak hanya jadi bahan caciannya saje.” Wanita di samping ayah merajuk, dengan tatapannya yang tidak senang kepadaku.
“Sebentar, Lemi. Ini masih jadi urusan saye, dengan anak saye. Setelah ini, kita pergi.” Ayah menahan ajakkan Lemi, seraya menatap ke arahku.
Aku hanya terdiam, mendengar ucapan ayah dan Lemi barusan. Namun tatapan mata Nouna ke arahku, seakan meluluhkan segala ego dan emosiku terhadap sosok pria yang mulai ingin berbicara kepada anaknya sendiri. Setidaknya awal mengenalku kembali, yang telah banyak berubah setelah ia meninggalkan keluarga enam bulan yang lalu.
“Ayolah, Satria. Setidaknya ayahmu ini, ingin berseloroh bersama-sama anaknye. Jadi simpan egomu, hanya karena masa lalu yang tak pantas untuk diingat.” Ucapan Nouna sedikit meredakan emosiku, meski tetap terdiam seribu bahasa.
“Baik, Encik. Besok malam Satria bersama saye nak kunjungi Encik di mana tempat yang diminta tuk berjumpa, ye? Mungkin sekarang Satria masih emosi, jadi biar nanti saye antar ia, ye?” Nouna kembali menengahi sikap diamku, seraya mengambil kartu nama dari tanga ayah.
“Ouh iya ... besok ada pertemuan di bank milik ayah saye, kan? Selepas acara, kita bisa berbincang. Nanti saye ajak Satria selepas pertemuannya sama dosen di kampus teknik. Bisa?” sambung Nouna, seraya memberikan kartu nama yang dipegangnya kepadaku.
“Baik. Usulan bagus, Nona. Besok sore saye tunggu kedatangan kalian di sana, ye? Saye nak pamit dulu. Satria ... ayah harap, kamu mau meluangkan masa tuk kita bicara.” Sebelum ayah beranjak pergi, ia menoleh ke arahku dengan tatapan penuh harap. Sedangkan aku, hanya bisa diam dengan keinginannya itu.
Tidak berapa lama, ayah dan wanita bernama Lemi pun berlalu meninggalkanku yang masih terdiam bersama Nouna dan Panji. Seperginya mereka, aku berbincang sebentar dengan dua sahabatku sebelum Nouna pun pergi menuju tempat kurusus biolanya.
Tidak banyak yang kubicarakan dengan Panji, selama berada di hotel sore itu. Mengingat apa yang terjadi di ruang lobi tadi.
Sejenak melupakan kasusku dengan pihak intel, yang sedang mendalami tentang data diri kami masing-masing. Hanya aktivitas menjelang salat maghrib, dengan laptop dan program yang akan dibenahi di hadapan Pak Ali dosen pembimbing kami nanti selama di Malaysia hingga terlelap dalam buaian mimpi.
*****
[1] Jom: Ayo / mari / yuk.
[2] Budak: Anak.
NB:
Terima kasih untuk yang sudah mampir di episode ini. Bila berkenan, ditunggu saran, ulasan, masukan, juga kritikannya.
Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU