Episode 5
Tidak banyak yang kulakukan bersama Panji, sepulang dari kampus. Sebuah data program yang dibawa olehnya, saat bertemu dengan Zul di lab tadi siang kuamati dengan teliti. Mencoba menganalisisnya sedikit, meski tahu langkah apa untuk memperbaikinya. Selepas salat isya, kubuka laptop dan meneliti kesalahan program tersebut.
“Kalau enggak salah, ini data program untuk supermarket ya, Ji? Mmm ... milik si Zul, kah?” tebakku, yang memang tahu isi dari program tersebut. Sebab, langkah awal pembuatannya saat itu, si Zul sendiri yang meminta kepadaku untuk meneruskannya.
“Eee ... iya sih, Sat. Tapi ane kagak boleh bilang ama lu kalau ini program dari dia.” Panji mencoba menerangkan. Meski awalnya hendak berbohong, di hadapanku ia tidak berani melakukannya. Setidaknya, untuk kali ini. “Kok, lu bisa tau ini program dari dia, Sat?” lanjutnya, kikuk.
“Hahaha ... kamu ini. Setiap tuan, pasti tahu seluk beluk anak buahnya. Apa lagi, ini program pernah kubuat sebelumnya. Jadi tahu, siapa yang meneruskannya, Ji.”
“Jangan bilang sama si Zul ya, Sat? Ane kagak enak kalo dia tau,” pinta Panji berharap aku tidak membocorkan perihal program yang dibawanya tadi. “Eh iya, Sat. Tadi siang ntu katanya ada dua agen intel nyariin Lu, ya? Ada apaan, Sat?” lanjutnya perihal kedatangan Sersan Basyir bersama rekannya tadi siang.
“Ouh ... mereka? Sersan Basyir sama temannya, Ji. Cuma nanya masalah komunitas Cyber Crime yang biasa kamu ikutin, aku bilang aja kalau itu sekedar perkenalan antara programer saja, tidak lebih.”
“Kagak nanya macem-macem kan ama Lu, Sat?”
“Enggak. Aku memang enggak paham sama hal gituan, yang sering kan kamu kalau habis main game online. Iya, kan?”
“Sip, dah. Kalau ada hal yang mereka curigain juga, pastinya nyariian ane, ya? Hahaha .... Eh, jangan bilang ama si Zul masalah program ntu ya, Sat? Kalau masalah bikin program sih, ane percaya ama Lu, Sat. Selain ntu, biarlah ane selami seberapa jauh tentang Cyber Crime, oke?”
“Siap! Tapi enggak bisa dikerjain sekarang, ya? Lagi enggak mood sama program. Kamu juga mesti hati-hati, masuk ke dunia Cyber Crime, Ji. Salah-salah malah terjerat dengan kehidupan mereka.”
“Beres, ntu masalah ane, Sat. Lusa gimana? Pan kita mesti berangkat ke Malaysia, Sat. Emang, lu udah siap buat berangkat?” Pertanyaan Panji, membuatku teringat kepada Nouna.
“Entah, Ji. Sebenarnya aku siap berangkat, sebab aku sudah janji sama kawan di Malaysia buat nungguin kita di air port besok siang.” Aku coba memastikan data program yang tadi dibicarakan, dan bermaksud hendak menghubungi Nouna. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 19.30 malam.
“Besok pagi aku coba beresin itu program, ya. Sekarang aku mau hubungi kawanku dulu, buat rencana lusa.” Belum sempat kumenghubungi Nouna, Pak Agus lebih dulu mengirim pesan lewat aplikasi WA. Meminta bertemu di sebuah kafe, yang tidak jauh dari daerah kampus.
“Ji, Pak Agus kirim pesan pengen ketemu sama kita sekarang, nih. Yuk kita ke sana temuin beliau, biar enggak kemalaman!” seruku saat Panji hendak keluar.
“Waduh! Ada apa lagi nih, Pak Agus hubungi kita, Sat? Apa ada hubungannya dengan keberangkatan kita?!” tukas Panji, sedkit heran.
“Entah. Sepertinya penting. Yuk, biar beliau enggak lama nunggu.”
Setelah mengunci rumah kontrakkan, bergegas aku dan Panji berboncengan menggunakan motornya yang masih berada di luar. Dengan mengenakan jaket hitam berbahan parasut, tas gendong hitam berisi laptop, kami segera keluar meninggalkan daerah kontrakkan, dan menerobos gelapnya malam kawasan Pancoran menuju arah Depok.
Di depan sebuah kafe bertulisakan, Delysh Coffee Shop di daerah Margonda. Sebuah bangunan ruko yang berwarna kecoklatan, dengan corak minimalis dipadu warna hitam putih di bagian dalam. Aku dan Panji segera menemui dosen pembimbing kami, yang sepertinya sudah lama menunggu.
Setelah memarkir motor. Perlahan aku dan Panji masuk ke dalam kafe dan mencari keberadaan Pak Agus. Tidak berapa lama, terlihat dari arah kanan di sebuah kursi sofa warna hitam. Lelaki paruh baya itu melambaikan tangan ke arah kami, di mana sudah tersedia segelas kopi dan sebuah laptop di depan mejanya.
“Sini duduk, Anak Muda. Kita diskusi di sini sambil menikmati kopi,” pinta Pak Agus, yang terlihat asyik dengan laptopnya seraya menatap ke arah kami. “Kalian mau pesan apa? Biar sekalian disediakan sama pelayan.”
“Tidak usah, Pak. Saya udah ngopi tadi sore, si Panji aja nih yang pesen,” tolakku seraya duduk di hadapannya, diikuti Panji yang masih tampak kaku di sebelahku.
“Ayolah ... belajar nikmati hidup, Anak Muda. Jangan terlalu tegang dengan kehidupan, biar semuanya berjalan apa adanya. Toh, sudah digariskan Tuhan sejak kita dilahirkan, bukan?” desak Pak Agus, dengan sedikit pepatahnya. “Pelayan! Kopi Capuccino dua lagi, ya?!” lanjutnya seraya berseru kepada pelayan pria berseragam putih hitam, yang sedang asyik meracik pesanan tamu lain tidak jauh dari kami berkumpul.
“Ada apa, Bapak meminta kami ke sini? Apa ada hubungannya dengan rencana keberangkatan kami?” tanyaku, seraya mencoba menenangkan diri.
“Hmm ... santai dulu, Satria. Jangan terlalu fokus, dengan rencana keberangkatan kalian nanti. Semua sudah saya rencanakan dengan matang, agar misi dan tugas kalian di sana dalam progran pertukaran mahasiswa berjalan lancar.” Mata Pak Agus masih terlihat serius di depan laptopnya, meski sedikit menoleh ke arahku.
“Bagaimana bisa tenang, Pak! Ancaman Bapak tadi siang, masih terngiang oleh kami. Belum jelas dengan maksud perkataan Bapak, tentang ‘nyawa’. Siapa yang akan kehilangan nyawa, dengan tugas yang diberikan ini? Siapa juga yang mau berikan nyawanya, hanya untuk sebuah tugas yang belum pasti?!” sergah Panji, yang tidak pernah kukira sebelumnya.
“Hahaha ... kalian pikir, perkataan saya tadi siang adalah sebuah ancaman?” tukas Pak Agus, diselingi tawa misterius. “Kalian sudah pahami, tugas yang saya beri lewat email?” lanjutnya seraya bertanya, penuh selidik.
“Sudah, Pak. Secara pribadi, aku sudah memahami. Hanya yang menjadi ganjalan, kenapa dapat tugas kayak seorang pembunuh bayaran? Sedangkan tujuan kami, mencari nilai buat wisuda dari hasil skripsi program ini.” Jawabanku sempat membuat Pak Agus berpikir sejenak.
Obrolan kami sempat terpotong oleh datangnya pelayan, yang menyuguhkan dua kopi khas capuccino yang Pak Agus pesan tadi. Setelah pelayan itu berlalu, obrolan pun berlanjut serius.
“Begini, Satria. Kenapa saya kasih tugas kalian ke luar negeri, karena program yang kamu buat itu diminati oleh pihak keamanan negara. Sehingga untuk menyempurnakannya, kalian mesti tes uji kelayakan programu di luar jangkauan pihak intelijen, dengan dalih pertukaran mahasiswa. Makanya, di sana kalian akan bertemu dengan salah satu dosen ahli IT untuk penyempurnaan. Paham?”
“Ouh ... seperti itu, Pak? Baiklah ....” Aku pun hanya menghela napas mendengar penjelasan dari Pak Agus.
“Bagus! Berarti tinggal laksanakan, dan berhati-hatilah. Jangan sampai, program kalian nanti jatuh ke tangan yang salah. Aku percayakan sama kalian di sana, paham?!” tegas Pak Agus, dengan sorot mata tajam ke arah aku dan Panji yang sedang menikmati suguhan kopi. Sementara Panji sendiri, masih terlihat bingung.
“Maksudnya gimana nih, Pak?! Ane masih kurang paham, nih!” tukas Panji, seraya mengerutkan dahinya.
“Kamu ingat program yang waktu itu kita buat, Ji? Yang dikasih nama My Bank. Masih ingat, kan?” Aku coba mengingatkan Panji, saat di malam kami membuat program yang di minta oleh Pak Agus, setelah kepulanganku dari Cirebon tempo hari.
“Ouh ... program ntu? Iya—iya, ane tahu itu. Baiklah, sekarang ane baru mengerti, Sat.”
Panji pun mulai memahami, apa yang sedang didiskusikan dari tadi. Karakter Panji memang seperti itu, harus benar-benar jelas diterangkan kepadanya, apa lagi yang berhubungan dengan ilmu tekhnologi. Bukan karena telat mikir, tetapi harus terperinci maksud dan tujuannya. Agar apa yang dikerjakan berhasil dengan sempurna. Persis sifat sang dosen, yang ada di hadapan kami itu. Menuntut kesempurnaan, jika berhubungan dengan ilmu.
“Ini ... sekarang saya berikan paspor dan visa perjalanan kalian nanti. Biar sesampainya di Malaysia, enggak ada masalah dengan pihak imigrasi. Dan ingat, tugas kalian ke sana bertemu dengan kawanku sebagai dosen pembimbing kalian nanti. Ini surat untuk beliau, dan nama beliau adalah Doktor Ali Muhalim M.Kom,” jelas Pak Agus, menyodorkan map warna merah berisi berkas yang beliau sebutkan tadi.
Aku segera menerima, kemudian membuka beberapa lembar paspor dan visa untukku juga Panji. Sebentar mengamati isinya. Beberapa dokumen perjalanan milik kami, serta beberapa surat pengantar untuk dosen pembantu di Malaysia nanti. Setelah memahami isinya, lalu kumasukkan ke dalam tas yang diletakkan di bawah.
Setelah Pak Agus membeberkan tugas yang harus aku dan Panji lakukan di Malaysia nanti. Kami pun menikmati hidangan kopi serta beberapa camilan yang tersedia, seraya menggunakan fasilitas wi-fi gratis dari pihak kafe.
*****
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU