Episode 2
Waktu akhirnya mengharuskanku meninggalkan ibu, dan Rianti di desa. Perpisahan yang sebenarnya tidak pernah terbayangkan. Namun, harus aku lakukan demi sebuah keyakinan bahwa, sejak usia menginjak dewasa segala hal mengenai kehidupan akan dialami oleh siapa pun yang ingin merubah takdir. Mungkin ini langkah awalku dalam menatap dunia, yang tidak seindah dibayangkan.
Dengan tas ransel di pundak, aku berpamitan kepada ibu dan Rianti yang pagi itu sedang sibuk membereskan bekas kami sarapan, di dapur.
“Ibu, Satria pamit ke Jakarta lagi, ya? Masih banyak yang harus diselesaikan, terutama kuliahku.” Suaraku sedikit tersengal saat keluar kamar, melihat wajah-wajah sendu dari orang-orang yang teramat dicintai. Seakan perpisahan ini, adalah terakhir bagi kami.
“Insya Allah, setelah kuliah selesai, Satria akan balik lagi ke sini dan membangun hidup kita bersama.” Aku ulurkan tangan bermaksud mencium tangan ibu, yang sedikit basah setelah membereskan meja dan mencuci bekas makan tadi diikuti Rianti di belakangnya.
“Hati-hati di sana, Nak. Ibu harap, kamu enggak terlalu memikirkan masalah ayahmu. Biarlah ia dengan segala impiannya, yang entah sampai kapan berkahir. Namun ibu yakin, penyesalan akan dirasakan olehnya suatu saat nanti. Dan jaga dirimu baik-baik di sana, ya? Enggak semua yang dekat itu, seperti apa yang ada dalam pikiranmu. Gunakan naluri dan hati kecilmu dalam bertindak, jangan pakai emosi. Ibu yakin kamu bisa, Nak.”
Terlihat ibu sedikit berkaca, menahan air mata saat harus melepaskan kepergianku. Hanya itu wejangan terakhir dari beliau, sebelum aku beranjak pergi.
“Titip Rianti ya, Bu. Kalau butuh apa-apa, hubungi saja. Insya Allah Satria akan pulang,” ujarku seraya menoleh ke arah Rianti, yang terbalut baju warna pink menjuntai sebatas betisnya yang mungil.
“Satria akan ingat selalu pesan Ibu, dan berusaha untuk tetap menjalani kuliah sampai akhir semester. Meski enggak tahu harus dari mana mencari biaya, enggak apa. Pasti ada jalan keluar untuk masalah ini.” Aku pun segera beranjak keluar rumah, bernaksud mengenakan sepatu yang sudah disiapkan dari sejak subuh tadi.
“Kak Satria, jangan lupa sama Rianti, ya? Rianti sayang sama Kakak ...,” lirih Rianti, sambil memeluk tubuhku yang baru selesai mengenakan sepatu.
Tanpa terasa, mataku meneteskan sedikit air mata keharuan melihat adik tercinta yang masih butuh kasih sayang dari seorang kakak, bahkan dari seorang ayah yang entah sedang apa dia sekarang. Wajahnya lugu, rambut dikepang dua mirip boneka Barbie dengan binar keceriaan. Seakan berat hati ini meninggalkannya.
“Pasti kakak akan selalu ingat kamu, Dek. Jaga diri baik-baik, ya? Jangan nakal. Ingat selalu pesan Ibu, dan ikuti segala apa yang Ibu katakan. Semuanya demi kebaikanmu, Ri.” Rianti hanya menganggukkan kepala, dan menatapku dengan berbinar. Sedangkan ibu, hanya berdiri terdiam melihatku yang telah siap meninggalkan mereka. “Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumsalam.” Sapaanku dibalas secara bersamaan oleh dua sosok wanita tercinta, sambil berlalu meninggalkan rumah sederhana berdinding kayu jati. Tempat kelahiran penuh kenangan dan entah apakah akan ada kesempatan kembali menyambangi mereka. Hanya waktu yang akan menentukan.
Kutelusuri jalanan selebar empat meter, dengan arus lalu lalang kendaraan yang sedikit ramai hingga tiba di tempat pemberhentian bus yang menuju Jakarta. Tanpa perlu menunggu lama. Bus yang ditunggu pun akhirnya tiba. Tidak banyak penumpang hari itu, dan memiliki tujuan sama. Aku pun duduk di deretan bangku dekat supir, agar terlihat sedikit pemandangan yang bisa menemani perjalanan selama enam jam menuju Jakarta.
*****
Lamanya perjalanan menuju Jakarta, tidaklah membuatku bosan. Ponsel yang selalu kupegang sebagai teman, karena aktivitas chat bersama Panji dan beberapa teman kuliah. Mengantarkanku ke sebuah obrolan dengan seorang kawan asal Malaysia, seperti diceritakan semula di awal kisah, tentang wanita yang kukenal.
Sebaris nama wanita, terlihat dari foto profil akun Facebook-nya. Tertera Nouna Maharani Novelita. Wanita khas negeri Jiran, tampak anggun terlihat dari foto berlatar belakang pemandangan sebuah kota dan gedung bertingkat bernama Menara Petronas. Ia berdiri di depan sebuah taman KLCC, dengan gaun berwarna putih bercelana jins biru. Tas selempang berukuran kecil tampak serasi dengan wajah tirusnya yang dibalut kerudung berwarna biru langit.
Ada getaran aneh saat chat dengan Nouna. Panggilan wanita yang supel, ceria, meski sedikit misterius. Membuatku merasa terhibur selama perjalanan.
“Na. Suatu saat nanti, boleh tak saya main ke negaramu?” tanyaku setelah beberapa obrolan berlalu.
“Boleh, bile [1]awak nak kunjung ke mari? Saye insya Allah ade [2]mase nag bincang sama awak. Itu bile ade masa free, pun.” Isi obrolan dengan Nouna dengan logat melayunya yang khas meski kami sekedar chat, saat berencana untuk berkunjung ke negaranya.
“Entahlah, Na. Aku masih belum yakin bisa main ke Malaysia. Tugas kampus sungguh menyita waktu. Ini sahaja baru saje balik kampung hantar adik dan ibuku. Nantilah kita pikirkan, setelah tau kondisi di kampusku, oke?”
“Okelah ... bile awak ade masa nak kunjung ke mari, calling saje, oke?”
“Sip!” balasku singkat.
Perkenalan dengan Nouna sebenarnya hanya kebetulan semata. Sekitar tiga bulan lalu, saat mendapat tugas dari dosen untuk mencari referensi program perbankan. Awalnya ikut sebuah grup Facebook, kumpulan para programer se-Indonesia. Tanpa sengaja, mengenal sosok wanita ini yang kini sering bertukar pikiran dalam hal jaringan internet.
Nouna sendiri adalah seorang mahasiswi tingkat satu asal Selangor, Malaysia. Mata sendu, wajah tirus berkulit putih, hidung yang menonjol ke depan. Begitu anggun untuk ukuran wanita Asia. Hal ini bukan disebabkan karena ayahku sering berkunjung, atau bahkan mungkin kini sudah menetap di negeri yang dipimpin oleh seorang raja itu. Pertemananku dengan Nouna sebatas karena di negeri tersebut, terkenal dengan industrinya dalam bidang komputerisasi.
Ah ... jika teringat dengan sebuah nama Dani Sunjaya, hanya membuat hati ini semakin menaruh rasa benci. Tapi semenjak mengenal Nouna, segala prasangka terhadap negeri tersebut seakan sirna. Mungkin karena caranya bergaul, atau memang ada daya tarik sebuah hasrat untuk mengenal sosoknya lebih jauh. Inikah sebuah rasa yang dinamakan cinta? Entahlah. Setidaknya, sampai detik ini aku merasa nyaman saat berbincang dengan wanita khas negeri Petronas itu.
“Udah sampai mana, Sat? Ane tunggu di dekat pintu keluar terminal Kampung Rambutan.” Sebuah pesan masuk melalui aplikasi Whats App, membuyarkan lamunan kepada wanita yang selalu menghiburku akhir-akhir ini. Ternyata Panji yang sudah menanti kedatanganku kembali ke Jakarta.
“Aku sedang di daerah tol Cikampek, Ji. Kemungkinan sekitar satu jam lagi nyampe, tunggu saja nanti aku hubungi kamu lagi, ya?” balasku cepat, setelah melihat arah jalan yang dilalui bus.
“Oke. Ane tunggu.”
Satu jam berlalu, bus yang kutumpangi berbelok arah keluar dari tol Cikampek-Kampung Rambutan menuju arah Pasar Rebo, dan berhenti sejenak menurunkan beberapa penumpang untuk kemudian kembali berjalan. Setelah melewati beberapa lampu merah, bus pun memasuki area terminal Kampung Rambutan yang selalu ramai.
Setelah bus berhenti. Aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar, dengan tas di pundak menelusuri area terminal ke arah di mana Panji sedang menunggu. Dekat sebuah ruangan bertuliskan ‘Loket Masuk’. Terlihat sesosok pemuda dengan jaket hitam bertopi warna abu-abu, sedang berdiri menanti seseorang. Panji rupanya sudah cukup lama menunggu, terlihat di tangannya memegang sebotol minuman dari bahan plastik yang telah habis setengah.
“Dah lama nunggu, ya?” sapaku membuat Panji sedikit terkejut. Rupanya sedari tadi, matanya hanya melirik dua wanita cantik yang hendak memasuki area terminal. Yah begitulah ia, hasrat kelaki-lakiannya memang suka jelalatan jika sudah berhadapan dengan sosok wanita. Apalagi yang menonjolkan area dada dan pantat, sehingga membentuk sebuah pemandangan indah ciptaan Tuhan, khas wanita dewasa.
“Mujubuneng! Ngagetin aja lu, Sat! Ane kira masih lama, lu dateng.”
“Yaelah, Ji. Dari tadi aku keluar terminal, kamu enggak lihat? Makanya mata dijaga tuh, jangan jelalatan lihat cewek mulu!” seruku menahan ketawa, melihat ekspresi wajah Panji yang sedikit kikuk.
“Ah ... lu, Sat. Kayak kagak pernah liat cewek cantik aja! Dah, ah! Yuk kita jalan, keburu sore! Ane anter lu ke rumah, apa ke kontrakan biasa?” elak Panji, mengalihkan pembicaraan. Sebab kalau terus dibahas, ia pasti hanya bisa tersenyum kalah.
“Ke kontrakan biasa aja, Ji. Aku udah enggak ada urusan sama rumah si Dani!” Begitu jelas aku menyebut nama ayah, yang seharusnya masih aku hormati meski telah merusak segala kehidupan dan impian ibu serta Rianti. Entah kenapa, seakan bibir ini sudah tidak sudi lagi memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’.
“Oke! Lu tunggu di sini, ane ambil motor dulu di parkiran, bentar.” Panji kemudian berlalu dengan sedikit tergesa, sedangkan aku menunggu di depan area parkir setelah membeli sebungkus rokok di kios kecil yang terhampar di trotor depan terminal.
Dari arah dalam parkiran, Panji dengan helm tertutup dan hanya bagian muka saja yang terlihat, langsung menghampiriku.
“Nih helm-nya, Sat. Pake, biar kagak kena tilang!”
“Oke ...!” Aku pun memaka helm dari tangan Panji, dan langsung menaiki motornya di belakang.
Motor yang dikendarai Panji pun segera melesat ke arah kota, menuju kontrakanku. Tidak banyak yang kami bicarakan di perjalanan. Sesekali melewati lampu merah, pasti ada saja petugas Polantas yang berjaga. Hingga setelah melewati beberapa tikungan ke arah Pancoran. Motor pun memasuki sebuah perkampungan kecil, dan sebuah rumah bertuliskan ‘Kontrakan Khusus Laki-laki’. Di sanalah aku tinggal sementara, yang tidak jauh dari rumah Panji.
*****
[1] Awak: Kamu.
[2] Mase nag: Waktu untuk
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU