Read More >>"> Rasa yang tersapu harap (Kehilangan pegangan rasa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rasa yang tersapu harap
MENU
About Us  

 

•••••

 

Jangan menilai seseorang jika belum mengenalnya. Setiap yang terlihat belum tentu yang tampak. Kita tidak bisa mengambil suatu kesimpulan buruk hanya karena tidak menyukainya.

 

🍎🍎🍎🍎🍎

 

"Lo balik naik apa? Mau bareng sama gue nggak, mumpung gue bawa mobil." Tanya Akbar.

 

Hujan di luar kafe masih cukup deras. Sudah hampir lima jam Andra berdiam di kafe dengan keramaian yang berubah secara beberapa waktu berlangsung. Hingga suasana kafe benar-benar berbeda. Kafe yang semula didatangi sepi, dan beberapa saat kemudian sudah ramai, kini sudah sepi kembali. Menyisakan beberapa orang yang terjebak hujan. Mereka tidak bisa kembali ke rumah karena hujan yang cukup deras di luar sana. Tapi, mereka tidak kecewa. Mereka menikmati semua waktu yang ada. Menikmati semilir angin malam yang dingin. Menikmati sisa-sisa waktu bersama teman dekatnya.

 

Andai saja Andra bisa menghabiskan waktu bersama Darpa, untuk terakhir kalinya sebelum kini benar-benar menjadi berjarak. Andra tidak menyesal, sungguh. Tidak kecewa juga. Hanya sedikit kesal karena kepergian Darpa yang secara tiba-tiba.

 

Jika Akbar bilang di dunia ini tidak ada yang namanya tiba-tiba dan kebetulan. Mungkin memang benar. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Kita tidak bisa menebak takdir. Kita hanya bisa menjalani semua yang sudah tersusun rapi dalam skenario yang Tuhan buat. Hanya menjalani layaknya manusia ciptaan-Nya. Tidak bisa berontak dan mengeluh. Kita tidak pantas melakukan hal bodoh seperti itu.

 

Sekali lagi berpikir. Jika benar, jika memang benar-benar terjadi. Jika tidak ada yang namanya kebetulan dan tiba-tiba, lantas apa yang dimaksud dengan kehadiran Akbar? Cowok itu datang secara tiba-tiba, mengatakan jika sudah mengenal Andra sejak dulu. Sayangnya jika benar, Andra melupakan fakta itu. Ia tidak ingat apa ucapan Akbar adalah benar atau hanya sekadar usaha mendekatkan diri. Tapi Andra rasa Akbar tidak pandai berbohong. Atau Andra yang belum bisa mengenalnya lebih dalam.

 

Kebetulan. Memang benar-benar kebetulan bisa mengenal sosok di hadapannya. Cowok yang dua tahun lebih muda dari Andra tapi bisa lebih dewasa beberapa tahun di atasnya. Andra tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Setiap orang punya waktunya sendiri untuk menunjukkan dirinya yang lain. Maksud Andra, tidak semua orang benar-benar menjalani karakter yang mereka punya dan hanya satu saja, kan? Banyak karakter yang terdapat dalam satu tubuh manusia. Banyak sekali, beragam. Kita tidak bisa menebaknya. Seperti takdir. Mereka terlalu misterius.

 

"Nanti aja pulangnya, nunggu reda."

 

Akbar mengangguk. Dia menatap ke arah luar jendela. Memandang orang-orang yang berlalu-lalang menggunakan payung. Berjalan kaki sembari bercengkrama di derasnya hujan. Itu tidak pernah menjadi masalah bagi mereka. Bagi mereka, waktu tidak akan terulang lagi. Kesempatan berbicara atau mengobrol secara akrab dengan teman tidak akan bisa berulang-ulang kali dilakukan. Mereka memiliki kesibukan masing-masing.

 

Andra mendesah pelan. Masih berharap jika yang ia alami adalah mimpi buruk. Mimpi yang dalam beberapa menit ke depan sudah berubah menjadi indah. Setidaknya, menjadi lebih baik lagi. Tidak seburuk sebelumnya.

 

Ponsel Andra berbunyi. Pandangan Andra teralihkan pada pesan singkat yang mampu membuat tubuhnya menegang. Seketika perasaannya sakit. Andra mengedarkan pandangan ke penjuru kafe, tidak menemukan sosok itu. Sekali lagi, ia melirik hujan deras di luar sana, tidak ada orang yang melintas. Dengan berat hati, Andra kembali membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tidak akan pernah ia kira sebelumnya. Pesan itu mampu membuatnya merasakan kehilangan, lagi. Kehilangan yang bahkan belum sempat dimilikinya.

 

Darpa : Ingat pesanku. Jangan pernah menangisi sesuatu yang tidak perlu. Seperti kehilanganku. Aku tidak benar-benar menghilang, hanya menepi sejenak. Kamu tahu? Kadang seseorang perlu menepikan dirinya untuk merapikan kembali hati yang berantakan. Agar dia tahu, hatinya untuk siapa. Jaga dirimu baik-baik, kurasa cowok di depanmu mampu membuatmu tersenyum, menggantikan posisiku. Sejenak, betahlah dengan dia.

 

"Kenapa?" Tanya Akbar menatap Andra yang terdiam setelah memandang ponsel cukup lama.

 

Andra mendongak, menatap Akbar lirih. Sekuat tenaga ia menahan agar air mata tidak menetes. Tidak ikut turun bersamaan hujan di luar sana. Tidak, ini tidak boleh. Andra harus kuat, seperti yang Darpa harapkan. Ia tidak boleh menangisi sesuatu hal yang tidak perlu, seperti yang dikatakan Darpa. Andra menggeleng lemah, berusaha terlihat baik-baik saja. Tentu tidak akan membuat Akbar percaya begitu saja. Cowok itu sulit untuk dibohongi.

 

"Gak usah bohong, gue udah bilang kan. Wajah lo bisa menipu siapa aja tapi gak berlaku buat gue." Balas Akbar terkekeh.

 

Andra tersenyum tipis. Benar-benar sangat tipis. Bahkan garis wajahnya tidak berubah. Masih diam, terpaku pada layar ponsel. Andra menunduk, mencoba kuat.

 

"Kenapa lagi?"

 

"Tadi Darpa beri pesan." Balas Andra mendongak. Menatap Akbar lekat.

 

Akbar mengangguk pelan, lalu tersenyum lembut. "Pasti pesan baik. Gimana juga dia mau yang terbaik kan buat lo, gak usah sedih lagi."

 

Andra mengangguk, Akbar benar. Tentu pesan yang baik. Baik untuk seseorang yang tidak merasakan apa yang ia rasa. Tapi tidak untuknya. Tidak untuk hati yang terus menyematkan nama Darpa. Tidak untuk perasaan yang masih berlabuh dan bertahan demi seseorang. Sesederhana itu, bertahan demi bahagianya.

 

Akbar terkekeh. Dia mengambil ponsel miliknya lalu memotret foto Andra yang sedang menatap ponsel. Andra sadar jika Akbar mengambil fotonya secara sengaja.

 

"Cantik. Gue simpan ah, siapa tau kan, siapa tau. Gue bisa kasih nih foto ke tikus di deket rumah gue biar gak sembarangan mampir."

 

*****

 

Andra menghela napas panjang. Hari ketiga tanpa Darpa. Ia memandangi dirinya yang lain di depan cermin. Menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki. Masih sama, tidak ada yang berbeda. Masih Andra yang dikenal banyak orang.

 

Andra turun ke bawah, menghampiri Bunda dan Ayah yang sudah menunggu di ruang makan. Mereka sudah siap menyantap sarapan, tapi sengaja menunggunya agar sarapan bersama. Padahal, ia sudah memperlambat pergerakannya agar mereka sarapan lebih dulu. Andra tidak begitu selera untuk sarapan.

 

"Kamu kenapa, sih? Kok wajahnya murung gitu." Bunda menatap wajah Andra. Tidak seperti biasanya. Bunda menatap lekat, dan berpikir sejenak.

 

"... apa karena Darpa yang menghilang?"

 

Andra mendongak, menatap Bunda. Gadis itu mengenyit, Bunda tahu soal itu.

 

"Bunda tahu?"

 

"Tahu apa?" Balas Bunda mengernyit.

 

"Tahu soal Darpa yang menghilang?"

 

Bunda menggeleng pelan, duduk di bangku dan mengambil nasi goreng yang sudah dimasaknya. Menaruhnya ke atas piring Andra. "Bunda nggak tahu, kan kemarin beberapa hari yang lalu Lisa main ke rumah. Dia cerita katanya kamu nyariin Darpa, sedangkan anak itu tidak ada kabar."


Andra mengangguk pelan. "Iya, cowok itu nggak ada kabar. Gak tahu pergi kemana, tumben."

"Loh, memangnya kamu gak komunikasi sama Darpa?" Celetuk Ayah.

"Komunikasi kok, cuma beberapa hari belakangan sikap Darpa jadi aneh. Dia menghilang secara tiba-tiba."

"Ah, kamu. Mana ada yang tiba-tiba," sahut Bunda, "Ya sudah, sarapan dulu. Bicaranya nanti lagi."

Semua menurut, tidak ada yang berbicara lagi. Kami sibuk memakan sarapan yang Bunda buatkan. Ayah tidak mempermasalahkan kehilangan Darpa seperti yang sering Andra permasalahkan. Bunda juga tidak. Mereka tidak pernah menganggap kehilangan berarti benar-benar hilang. Sesuatu yang hilang selalu tersematkan dalam hati, setiap hati manusia. Di dalam sana, manusia selalu menyematkan satu nama paling spesial yang mereka yakini orang itu akan selalu menetap meski jiwa dan raganya sudah menghilang dan tidak kembali lagi. Mereka percaya, semua yang hilang belum tentu benar-benar hilang.

Beberapa suapan lagi, sarapannya selesai. Andra menenggak susu coklat hangat yang sudah berada di depannya. Bunda dan Ayah pun sama telah selesai. Andra merapikan piring kotor yang sehabis dipakai lalu membawanya ke dapur. Mencucinya dan menaruh kembali ke tempat semula. Bunda sudah merapikan meja yang dipakai, Ayah sudah siap dengan pakaian kantornya. Mereka sudah sama-sama siap, berdiri di depan pintu utama.

Andra menyusul, setelah mengambil tas di atas kamar. Kemudian dia dan Ayah berpamitan dengan Bunda. Ayah mengecup kening bunda, setiap hari sebelum berangkat kerja. Dan, ia selalu menyalami Bunda, mencium punggung tangan wanita yang menua tapi selalu kelihatan cantik.

Senyum selalu terukir di wajah Ayah. Tapi tidak dengan Andra. Mobil yang dikendarai Ayah mulai memasuki jalan besar, membelah lautan manusia di depan sana. Masih pagi, tapi jalan besar sudah sangat ramai. Untung saja tidak macet. Ayah mengantarnya lebih dulu, membelokkan mobilnya ke jalan yang lebih lengang dari kendaraan. Beberapa meter lagi dan ia telah sampai.

"Jangan pikiran Darpa terus," celetuk Ayah sebelum membuka pintu mobil. Andra menoleh, menatap Ayah yang tersenyum. "Ada waktunya dipikiran kamu selalu terlintas Darpa. Tapi, untuk sekarang, cobalah menutupnya. Fokus pada pelajaran yang harus kamu emban. Jika suatu saat nanti kamu tak akan jadi sia-sia."

Andra tersenyum, mengangguk pelan. Meski tidak begitu mengerti dengan perkataan Ayah. Mungkin nanti akan ia pikirkan lagi maksud dari perkataannya. "Ayah hati-hati di jalan. Matanya yang awas, jangan telepon sambil bawa mobil. Bahaya."

Ayah tertawa renyah. "Tentu saja gadis kecil. Ayah sudah tahu itu,"

"Dadahh Ayah!" Seru Andra melambaikan tangan. Menatap mobil Ayah yang menghilang di tikungan depan sana. Ia menghela napas panjang, bersiap untuk mengemban pendidikan. Sekolah masih sepi, hanya beberapa murid rajin yang sudah datang.

Tidak, bukan berarti Andra murid yang rajin. Ia datang pagi karena memang berangkat bersama Ayah, jika dengan Darpa tidak akan sepagi ini.

 

*****

 

Baru beberapa langkah Andra berjalan. Suara seseorang sudah menyambut pagi cerahnya. Membuat suasana pagi hari menjadi terasa menyebalkan.

 

"Halo anak manja," celetuk seseorang ketika baru beberapa langkah masuk ke dalam sekolah.


Andra melirik orang itu tidak selera. Sepagi ini anak sepertinya sedang apa sudah sampai di sekolah.

"Kalo gue nyapa tuh disapa balik," serunya bersiul-siul. Orang itu berjalan berdampingan dengannya.

"Kamu ngapain pagi-pagi udah dateng." Balas Andra tanpa meliriknya.

"Sekolah, lah. Datengnya aja ke sekolah, bukan ke kelab."

"Tumben,"

"Lo yang tumben." Ceplosnya. "Tumben nggak sama pangerannya."

"Siapa?" Balas Andra mulai berjalan melewati koridor yang sepi.

"Ya, si cowok galak." Celetuk cowok itu tertawa. Dia terkikik sendiri mendengar perkataannya.

"Kamu juga tumben, kemana teman kamu yang bar-bar?"

"Siapa?" Balasnya.

"Ya, si cowok tukang sinis."

Cowok itu tertawa. Ah, sudah beberapa banyak dia tertawa hari ini. Bahkan Andra saja baru menyadari jika cowok di sebelahnya tertawa. Saking tidak pernah melihatnya berekspresi dan hanya diam dengan menjadi sosok yang dingin. Tapi, sekarang cowok itu terlihat sedikit bersahabat. Meski masih kaku.

Cowok itu tersenyum geli, "Makasih waktu itu udah kasih gue tebengan."

"Iya sama-sama, Khadzam."

Khadzam mengangguk, "Gue pikir lo gak bakalan mau bantu cowok kayak gue."

"Kenapa?" Balas Andra mengenyit. Langkahnya sudah mau menaiki tangga, tapi seketika terhenti. Khadzam ikut berhenti melangkah, dia memandang Andra bingung.

"Kok berhenti?"

"Mau ke kantin, beli minum." Celetuk Andra ketika ingat tidak bawa air minum. Khadzam menganggukkan kepalanya.

"Ke kantin aja, jam segini udah buka yang jual minum mah."

Andra mengangguk, berputar haluan. Berjalan menuju kantin, masih ditemani Khadzam. Cowok itu bersiul-siul senang.

"... soal pertanyaan lo tadi," Khadzam kembali bersuara, dengan sedikit ragu. "Maaf kalo gue mikirnya lo itu gak bakalan mau bantu gue karena temenan sama orang yang gak lo suka."

"Aku gak pernah mandang, sekalipun kamu pernah buat salah."

Khadzam diam. Memandang Andra aneh. Andra sedikit risi dipandang seperti itu. Seakan sadar dengan reaksinya, Khadzam mulai menetralkan kembali wajahnya.

"Ya, sekali lagi makasih. Mungkin, ini pertama dan gatau bakalan kayak gini lagi atau enggak, lo orang yang pertama liat gue senyum dan ketawa sebebas ini. Di depan banyak orang."

"Banyak orang apanya, masih sepi gini." Celetuk Andra, membuat Khadzam meringis.

"Ya, seenggaknya gue gak keliatan jutek kan."

"Iya sih, kamu tuh kalo lagi sama Jensen dan Barel pasti diam aja. Gak banyak omong, mukanya juga datar."

"Iyaa, gue emang gitu." Balas Khadzam. "Gak sembarang orang yang bisa gue kasih liat senyum dan tawa yang sering gue sembunyiin."

"Loh, kenapa?" Balas Andra sekenanya.

"Karena ada beberapa fase, di mana ketika kita senyum dan ketawa dianggap orang yang paling gak punya beban sedunia. Gue gak suka. Pemikiran mereka terlalu sempit. Jadi, ya gue coba buat jutek. Dan itu sedikit membantu, setidaknya untuk mengurangi cewek-cewek centil yang suka datengin gue." Sahut Khadzam terkikik geli.

Andra terdiam, tidak menjawab lagi. Perkataan Khadzam ada masuk akalnya juga. Cowok itu tampan, wajar saja banyak yang suka kejar-kejar. Apalagi dia dikenal dengan kedua temannya yang ambaradul. Membuatnya ikut dicap jelek.

Andra membeli air mineral, membayarnya dan segera kembali menuju kelas. Khadzam masih mengikuti di sebelahnya.

"Kenapa kamu temenan sama orang semacam Barel dan Jensen. Mereka bawa pengaruh buruk buat kamu."

"Gue gak pernah mandang temen. Lagian, pengaruh buruk apa sih? Gue baik-baik aja temenan sama mereka. Meski mereka dikenal nakal dan nggak pernah nurut sama aturan sekolah, tapi mereka punya yang nggak gue punya."

"Apa?"

"Kebahagiaan." Celetuk Khadzam tersenyum. Membuat Andra tergagu beberapa detik. "Mereka sebenernya nggak buruk, cuma ya nakal aja. Mereka juga baik dan menyenangkan. Mereka juga gak mau gue sampe ikutan kayak mereka. Makannya gue paling beda di antara mereka. Lagian nih ya gue kasih tau, yang buruk di mata orang belum tentu buruk di mata Tuhan. Yang kelihatan baik, belum tentu dia baik. Yang dipandang rendah, bisa jadi lebih tinggi derajatnya. Semua tergantung sama sudut pandang seseorang itu sendiri, kalo lo mandangnya mereka remeh, ya sampai kapan juga lo gak bakalan liat sisi baiknya. Begitu juga kalo lo mandang mereka positif, semua yang lo liat buruk gak akan ada artinya."

Sekali lagi, ucapan Khadzam membuatnya terdiam. Perkataannya mampu membuatnya berpikir ulang tentang menilai seseorang. Selama ini yang ia tahu, kita tidak boleh menilai hanya dari luar. Tapi, perasaannya begitu tertutup dengan mereka yang ia anggap kurang baik. Padahal belum tentu manusia sepertinya juga sudah baik. Di mata banyak orang mungkin memang baik, tapi di mata Tuhan masih menjadi tanda tanya.

Khadzam tersenyum, ia melambaikan tangannya. Berkata memilih duluan menuju kelas. Meninggalkan Andra yang dengan gontai melangkah ke lantai tiga. Seorang diri, setelah kehilangan pegangannya.

 

🍭🍭🍭🍭🍭

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • nanasmuda

    Lucu banget Darpa sama Andra ini

    Comment on chapter Sahabat
Similar Tags
Antara Depok dan Jatinangor
291      189     2     
Romance
"Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai. "Iya. Terus?" tanya Maria. Kevin menyodorkan iphone-nya ke arah Maria. "Nih baca," katanya. Kementrian Dalam Negeri Institut Pemerintahan Dalam Negeri Maria terperangah beberapa detik. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN? PrajaIPDN!Kevin Γ— MahasiswiUI!Maria
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5537      1044     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
My Selenophile
613      410     2     
Short Story
*Selenophile (n) : A person who love the moon Bagi Lasmi, menikmati keheningan bersama Mahesa adalah sebuah harapan agar bisa terus seperti itu selamanya. Namun bagi Mahesa, kehadiran Lasmi hanyalah beban untuk ia tak ingin pergi. \"Aku lebih dari kata merindukanmu.\"
Waiting
1678      1240     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Old day
521      380     3     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
ONE SIDED LOVE
1369      572     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
351      246     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Luka Adia
690      418     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Behind The Scene
1198      502     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
Slash of Life
7548      1553     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.