•••••
Kurasa, cukup disimpan dengan baik agar perasaan itu tetap utuh dan menetap. Tidak perlu sampai memberinya pengawet.
πππππ
Andra berlari saat melihat seekor anak kucing hampir tertabrak oleh pengendara motor yang melaju kencang. Pengendara itu mengerem mendadak, sejengkal sebelum kucing itu terlindas. Segera Andra bawa kucing itu menepi, mengelusnya pelan agar kucing berbulu hitam putih itu tidak shock.
Pengemudi motor itu berhenti sebelum benar-benar menabrak kucing yang gadis itu bawa menepi. Jika telat sedikit, sudah dipastikan kucing itu akan tergeletak dengan penuh darah. Pengendara itu ikut turun, menghampiri Andra yang masih mengelus kepala kucing penuh sayang.
"Mbak, nggak apa-apa?" Tanyanya.
"Nggak kok," balas Andra berdiri. Menatap wajah pengendara yang hampir menabrak kucing itu.
Pengendara itu menghela napas panjangnya, bersyukur tidak jadi menabrak makhluk hidup yang menggemaskan itu. "Maaf, ya. Saya tadi sedang buru-buru, jadi gak tahu kalo ada kucing."
"Iyaa, nggak apa-apa." Balas Andra tersenyum.
Pengendara itu tersenyum, "Baiklah, kenalkan nama saya Dirhamsyah Putra. Kamu bisa panggil saya Putra." Ucapnya mengulurkan tangan.
Dengan sedikit ragu, Andra membalas uluran tangannya. "Aku Leanandra Kavinta. Kamu bisa panggil aku Andra."
"Ah, Andra. Salam kenal, nama yang bagus." Balas Putra tertawa renyah.
"Iyaa, nama kamu juga bagus." Balas Andra tersenyum kikuk. Canggung menyerangnya, rasa asing begitu melekat pada sosok Putra.
"Yasudah kalo gitu, saya duluan ya. Sampai jumpa kembali." Ucap Putra melambaikan tangannya. Dia kembali melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Andra menghela napas pelan, berusaha menetralkan jantungnya. Tidak tahu kenapa, rasanya takut sekali saat melihat wajah Putra. Cowok itu terlihat menyeramkan. Atau mungkin itu hanya pandangannya saja.
"Andra!" Teriak Darpa berlari menghampiri gadis itu yang berdiri menatapnya bingung.
"Kamu gak apa-apa?"
"Enggak," balas Andra tersenyum, menggendong kembali kucing yang hampir tertabrak tadi. "Lihat, deh. Lucu, ya?"
Darpa melirik kucing itu, lalu beralih melirik Andra. Cowok itu terkekeh pelan, "Iya, lucu. Kayak kamu."
Andra mendengus, selalu saja dikaitkan dengannya. "Tapi ini beneran lucu tau,"
"Iya.. iyaa.." balas Darpa terkekeh, "Itu kucing siapa? Kamu dapat dari mana?"
"Enggak tahu," celetu Andra tertawa pelan, "Aku tadi liat kucing ini mau nyebrang, terus hampir ketabrak orang."
Darpa mengembuskan napas pelan, "Kupikir kamu yang hampir ketabrak."
"Bukan..." balas Andra terkekeh.
"Kucingnya titip di pos satpam aja, bel masuk mau bunyi. Nanti malah telat," saran Darpa memberitahu Andra. Memang benar sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi, tapi ia tidak tega meninggalkan kucing menggemaskan itu di jalan. Takut hal barusan kembali terulang.
Tapi ucapan Darpa juga benar, jika Andra mengurus kucing tanpa mengingat waktu, bisa saja ia dihukum karena telat masuk sekolah.
"Yaudah," balas Andra menyerah. Gadis itu mengajak Darpa ke Pak Abdul yang sedang menjaga di pos satpam. Lebih baik jika dijaga oleh Pak Abdul daripada ia terlantarkan di jalan. Terlalu banyak bahaya.
"Pak Abdul," sapa Andra ketika melihat pak Abdul ingin menutup gerbang sekolah. Untung tidak telat.
"Iya neng, ada apa?"
"Ini pak, saya mau titip kucing ini selama saya belajar, soalnya saya takut kalo sampe dilepas di jalan besar. Soalnya tadi hampir ketabrak pengendara motor, kasian Pak."
Pak Abdul diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin karena hal itu akan menambah pekerjaan beliau. Apalagi ini tidak ada sangkut pautnya dengan Pak Abdul.
"Tapi neng, bapa kan gak selalu ada di pos. Nanti kalo kucingnya pergi gimana?"
Andra diam, ucapan Pak Abdul ada benarnya. Beliau kerja bukan untuk sekadar berjaga di pos. Andra menghela napas pelan, melirik Darpa yang sama-sama diam. Mereka berdua dibuat bingung hanya karena seekor makhluk berbulu yang menggemaskan. Baiklah, Andra rasa ia harus melepaskan kucing ini ke jalan. Tapi, bukan ke jalan besar yang banyak dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.
"Darpa, ayo kita taruh kucing ini ke jalan di sebelah sekolah, yang gang kecil itu. Mungkin di situ lebih aman." Ajak Andra menatap Darpa.
Darpa mengangguk, "Ayo, eh tapi, ini udah masuk. Gerbang juga udah di tutup, emang boleh keluar?"
"Boleh kan, pak?" Tanya Andra beralih menatap Pak Abdul. Melihat Pak Abdul yang sedang berpikir, membuat gaadis itu takut tidak dibolehkan keluar sekolah lagi. Karena bel masuk sudah berbunyi.
"Boleh, deh. Tapi jangan lama, ya!" Balas Pak Abdul tersenyum. Membuat Andra mengangguk cepat dan rasa senang yang membawa senyumnya mengembang. Lalu ia mengajak Darpa keluar gerbang untuk mengembalikan kucing ini ke jalan.
*****
"Ihhh! Tapi tuh tadi gemes banget aku, rasanya pengen aku bawa pulang!" Celoteh Andra terus menerus. Darpa menghela napasnya lelah, berulang kali berkata pada Andra jika kucing itu akan baik-baik saja meski mereka tinggalkan di gang samping sekolah. Tapi, gadis itu tetap ngotot ingin memiliki kucing itu, apa salahnya sih dari sekadar memelihara kucing?
"Iya aku tahu enggak ada salahnya. Tapi kan kita lagi sekolah, bel juga udah bunyi. Memangnya kamu mau bawa kucing itu masuk sampai kelas dan meong-meong tiap jam?"
Andra mendengus, Darpa berlebihan. Ia memang ingin memeliharanya, tapi bukan berarti diajak sampai kelas. Bisa juga kan ia titipkan di salah satu warga dan mengambilnya pulang kelak. Tapi, Darpa terus membantah jika Andra tak boleh memelihara kucing itu. Entah apa yang dimaksud Darpa sehingga kucing itu diharuskan dilepas di sana.
Andra duduk di bangku, ia menarik bangku itu mendekat pada Darpa. Cowok itu menaikan sebelah alisnya, menatap Andra bingung. Mereka duduk berdekatan dengan Andra yang menghadap Darpa. Pandangan Andra tak lepas dari wajah menenangkan itu, terus memandang hingga kedua alis Darpa menyatu. Andra terkekeh kala Darpa membuat wajah lucu seperti itu.
"Kamu kenapa, sih?" Tanya Darpa kebingungan.
"Enggak," balas Andra tersenyum. "Kok kamu cakep, ya."
"Gak jelas," sergah Darpa memutar kedua matanya.
Andra tertawa renyah, gadis itu tidak bohong, Darpa memang terlihat tampan saat ini. Rambutnya juga tertata dengan rapi, membuat siapa saja yang menatapnya ikut merasakan bahagia. Padahal cuma rambut. Belum lagi mata legum meneduhkan itu terus menatap dengan senyumnya. Ah, bisa gila jika terus menatapnya.
"Nanti malam, mau kemana?" Tanya Andra mengangkat kedua alis. Darpa membalasnya dengan kekehan.
"Mau kemana emang?"
"Jalan-jalan, yuk?"
"Ke?" Darpa menaikkan sebelah alisnya. Dengan wajah meledek serta senyum yang dimainkan. Membuat Andra ingin mencakar wajah tampan itu.
"Pasar malam?"
"Deal." balas Darpa terkekeh. Ah, suaranya begitu lembut. Andai saja Andra bisa terus mendengar suara yang selalu membuatnya tenang, suara Darpa yang selalu menjadi musik kesukaannya. Ah, andai saja.
*****
Kamu tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang sejak lama, bertahun-tahun hingga rasa itu kian menumbuh, menjalar hingga menjadi sebuah rasa yang kekal, abadi. Hingga kamu dipaksa untuk terus mencintainya, terus mematikan rasamu padanya, terus seperti itu hingga rasamu larut dalam kentalnya bahagia. Sampai kamu lupa artinya luka, seolah amnesia tentang derita yang datang setelah hilangnya bahagia. Yang kamu tahu hanya bahagia bisa melihatnya, menatapnya, menyaksikan senyum, tawa, dan tingkah konyolnya. Hanya itu, sampai kamu benar-benar tidak sadar jika rasamu telah mati hanya untuk satu nama yang tersematkan dalam hati.
Begitu pun dengan Andra, rasanya terus saja bertambah setiap waktu. Tidak pernah berkurang meski rasa kecewa menyerang. Anggap saja kebodohan seorang perempuan yang tidak bisa mengendalikan perasaannya, yang selalu kelabakan akan rasa yang menjebaknya.
Andra menghela napas pelan ketika melihat Darpa asik berbincang dengan adik kelasnya. Andra merasa mengenal perempuan itu, bukankah dia yang berada di sebelahnya saat pertandingan sepak bola kelas 12 IPA 1 dengan 12 IPS 3, saat berlangsung beberapa minggu yang lalu. Tidak disangka akhirnya seperti ini, hanya memandang dari jauh seseorang yang masih ia kagumi hingga saat ini.
Rasanya seperti kehilangan selera untuk sekadar menyapa, bahkan Darpa tidak sadar dengan kehadirannya. Mungkin sebaiknya begini, Andra yang duduk sedikit jauh darinya, mendengar percakapan mereka. Ah, anggap saja ia lancang karena menguping pembicaraan seseorang.
"Ah, kak Darpa. Kakak lucu banget, ya. Pantes aja kak Andra betah sama kakak." Suara perempuan itu terdengar dengan kekehannya. Andra harus bisa menahan diri untuk mendengarkan lebih lama lagi percakapan yang terjadi antara keduanya.
"Kamu bisa aja." Balas Darpa. "Saya gak seperti yang kamu lihat."
"Kakak keren kok, banyak banget yang suka sama kakak. Apalagi temen sekelas aku, mereka semua kagum loh sama kakak."
"Ah, masa?" Balas Darpa terkekeh, "Saya pikir gak ada yang suka sama saya, ternyata banyak, ya."
"Iyalah! Kakak tuh, udah ganteng, baik, ramah, gak sombong, anggota OSIS, pacar-able banget deh!" Seru gadis itu dengan semangat. Bahkan senyumnya terus mengembang. Gadis itu memandang Darpa dengan tatapan memuja, membuat Andra terpaksa membuang pandangan ke arah lain. Tidak kuat melihat kedekatan di antara keduanya.
"Termasuk kamu?"
Ah, Darpa. Kenapa juga harus bertanya seperti itu. Hanya membuat orang itu menambah harap padamu. Andra yang menyimpan rasa sejak lama saja tidak berani berbicara seperti itu, lalu Darpa dengan mudahnya mengatakan hal itu pada yang lain. Andra tahu, prinsipnya membiarkan Darpa bahagia meski bukan bersamanya, tapi tetap saja. Rasanya sakit jika melihat Darpa dengan yang lain. Apalagi orang itu cukup ia kenal wajahnya. Andra mendengus, pergi dari sana membiarkan pertanyaan itu menggantung. Biar saja ia tidak mengetahui kelanjutan pembicaraan mereka. Biar saja mereka bercanda sesukanya, punya hak apa Andra untuk melarangnya. Sudah, ia rasa cukup. Tidak mau mendengar lebih lama lagi, bisa-bisa nanti jadi gila.
Sudah sampai di sini. Nanti malam juga ia bisa menghabiskan waktu bersama Darpa. Andra rasa tak apa, sedikit waktunya dicuri oleh perempuan lain untuk bersama Darpa. Andra juga tidak bisa melarangnya.
"Lo kenapa?"
Andra terlonjak kaget, tiba-tiba Akbar muncul di hadapannya. Hampir saja ia menabrak Akbar jika tidak berhenti melangkah.
"Kamu?!" Pekik Andra, kesal. Mungkin bawaan karena melihat Darpa yang masih mengobrol dengan adik kelasnya.
"Kenapa? Muka lo kusut banget." Celetuk Akbar.
Andra menggendikan bahunya, terlalu malas menanggapi perkataan orang. "Perasan kamu aja."
"Daripada makin kusut, gimana kalo kita ngobrol aja?"
"Ngobrol apa?"
"Apa aja." Balas Akbar tersenyum. "Semuanya, apa pun yang mau lo omongin, bisa diomongin kalo lagi sama gue. Gue siap denger kok,"
"Bener?" Tanya Andra menaikan sebelah alisnya.
"Bener, dong! Kapan sih gue pernah bohong?"
"Enggak tahu, kan aku baru kenal kamu."
"Yaudah," ucap Akbar. "Mari mengenal gue lebih dalam lagi. Supaya kelak kalo kita punya masalah masing-masing, kita bisa saling cerita. Jadi... siap untuk mendongeng?"
Andra tertawa, sikap Akbar sungguh menggemaskan. "Baiklah, ayo."
Mereka pergi dari sana, menuju tempat yang lebih sunyi. Andra rasa, di taman cukup sepi. Akhirnya mereka pergi ke sana, menceritakan apa saja yang bisa diceritakan. Mulai mengenal lebih dekat. Dari menanyai tempat tinggal, warna kesukaan, makanan kesukaan, bacaan kesukaan, dan apa pun yang disukai. Seperti perasaan Andra yang selalu menyukai Darpa. Itu semua sukses ia ceritakan.
πππππ
Lucu banget Darpa sama Andra ini
Comment on chapter Sahabat