Kata orang, seseorang yang sedang jatuh cinta akan sulit untuk tidur. Itu karena pada akhirnya, kenyataan menjadi jauh lebih indah daripada mimpi. Ya. Aku sedang jatuh cinta. Pada seorang pemuda tampan nan baik hati. Aku, dan beberapa orang lainnya. Setidaknya aku tahu sekarang sudah ada sekitar tiga sampai lima orang yang jelas sekali menaruh hati padanya. Wajar saja, dia tampan, baik, dan matanya indah. Bukan hal yang aneh jika pada akhirnya banyak gadis yang terpana padanya. Karena dia memang punya segala yang para gadis remaja dambakan.
Aku memandangi Rian dari jauh sambil mengaduk-aduk es krim di dalam gelas yang sudah mencair. Saat tiba-tiba Rian menoleh dan melambai padaku, aku langsung merasa kikuk dan patah-patah balas melambaikan tangan. Ditambah senyum yang malah tampak seperti seringaian malu.
“Jangan terlalu dipandang, Sad.” ucap seseorang di sampingku.
Saat menoleh, aku baru sadar Dabria sudah duduk di sampingku. Seperti biasa, dia membawa buku-buku tebal yang diletakkan rapi di pinggir meja kantin. Dabria melirikku dari sudut matanya sambil tersenyum tipis, lalu beralih menatap ke seberang kantin.
“Aku tak mengerti. Apa yang kau suka dari dia?” tanyanya
“Apa?!” Aku terkejut, tak sengaja melempar sendok. “Aku? Suka pada Rian? Tentu saja tidak!” jawabku sambil mengibaskan tangan berkali-kali. Dabria kembali menatapku, masih dengan senyuman tipisnya. Kalau saja aku tidak terlalu mengenalnya aku pasti sudah takut dengan senyuman tipisnya itu.
“Aku tidak mengatakan itu Rian.” katanya lagi. “Tanpa sadar kau telah mengakuinya sendiri.” Dabria terdengar sangat puas.
“Ehh... itu..” tiba-tiba aku merasa sangat malu dan mulai menggaruk kepala tanpa sadar. “Tidak juga.”
Dabria menggeleng pelan, “Sudahlah. Aku tahu.” katanya lagi. “Sangat mudah mengetahuinya, Sad. Semua orang juga tahu itu.”
“Apa?! Semua orang?” teriakku tanpa sadar. Berarti Rian juga tahu? Sekarang Dabria tertawa pelan, “Aku tidak tahu dengan Rian. Jadi jangan khawatir.”
“Huuft.” Aku menghembuskan napas lega. Kalau Rian tahu, bisa mati aku karena malu.
“Menyenangkan memperhatikan orang yang sedang jatuh cinta, kau tahu?” Dabria berkata lagi. Dia mengambil satu buku tebalnya dan mulai membolak-balik halamannya satu per satu.
Aku melirik Dabria sekilas. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tahu hal semacam ini. Dabria bukan tipe gadis yang suka bersolek, berkumpul bersama teman-teman di cafe dan bergosip. Tapi dia lebih sepertiii... gadis yang biasa saja. Rambut hitamnya dipotong pendek sebahu dan hanya selalu, kuulangi selalu, menggunakan bando berwarna putih. Dia tidak banyak bicara, tapi tidak bisa dikatakan sebagai gadis pemalu atau pendiam. Dan tentu saja, membawa dan membaca buku-buku tebal yang tampak membosankan adalah kesukaannya.
Seolah membaca pikiranku, Dabria berkata dengan tenang, “Itu mudah, Sad. Mulutmu mungkin tidak pernah mengatakannya, tapi gerak-gerikmu selalu mengkhianatimu.”
Terkejut, bibirku menukik ke bawah. Jangan-jangan dia juga bisa membaca pikiran orang lain.
“Dan bukan hanya kau,” Dabria mengangkat kepala dari bacaannya. “Aku juga tahu yang lain.” sesaat Dabria menyibak kerumunan siswa yang memenuhi kantin. Kemudian jari telunjuknya menunjuk satu arah. “Misalnya, dia. Mungkin tidak terlihat jelas, tapi dia sering mencuri pandang pada Rian.
Dabria kembali mencari, “Dan dia. Teman masa kecil Rian. Sepertinya masih bertahan pada cinta pertamanya ini. Dan, gadis itu-”
Dabria terus melanjutkan menunjuk satu per satu gadis yang menurutnya menaruh hati pada Rian. Sedangkan aku hanya melongo, jauh lebih banyak daripada yang kupikirkan. Aku hanya diam memandangi Dabria . Aku tak menyangka dia bahkan tahu begitu banyak tentang gadis-gadis itu.
"Oh, jangan salah sangka," katanya tiba-tiba menyela pikiranku. "Aku tidak tertarik memperebutkan satu pria."
"Oh, benarkah? Aku sempat berpikir... "
Dabria hanya tersenyum tipis. Menggeleng. "Akan sangat merepotkan jika harus bersaing dengan banyak gadis seperti kalian." dia menunjukku, sebagai salah satu contoh nyata.
Aku hanya balas tersenyum lebar. Sedikit bersyukur karena Dabria tidak menyimpan sesuatu untuk Rian. Setidaknya sainganku tidak bertambah.
---
Udara terasa sejuk meski hari ini terlihat sangat cerah. Aku memasang sepatu, berjalan santai ke luar pekarangan rumah. Genangan-genangan air masih terlihat di aspal. Bekas hujan semalam. Aku mendongak menatap langit yang biru. Berkas-berkas oranye matahari terbit sudah hilang sejak tadi. Aku berjalan di antara anak-anak berseragam rapi dan orang-orang dewasa yang siap berangkat ke kantor.
Hari ini terasa sangat baik.
Dari jalanan setapak yang lurus ini aku sudah bisa mulai melihat bangunan sekolah yang besar dan luas. Maklum saja, ini sekolah swasta dan murid di sini membayar sangat mahal untuk semua yang mereka dapatkan. Tentu saja juga termasuk kualitas pendidikan yang terbaik.
"Sadira!"
Aku menoleh, merasa terpanggil.
Hik! aku merasa tercekik napas sendiri. Itu Rian! Rian memanggilku. Tangannya melambai. Dan dia berjalan ke arahku! Oh, yang benar saja! Hari ini tidak bisa jadi jauh lebih baik lagi.
"Oh, h-hai," aku mencoba menyapa Rian saat dia sampai di sebelahku.
Rian tersenyum lebar, "Kau selalu berangkat sekolah sepagi ini? Rajin sekali."
"A-ah iyaaa, eh maksudku tidak juga." kataku.
Aku mengikuti langkah Rian. Untuk sesaat kami berjalan di jalanan setapak dalam diam. Puluhan helai dedaunan pohon gugur ditiup angin. Menemani langkah kami. Aku mendapati beberapa gadis yang diam-diam atau terang-terangan suka pada Rian memandangi kami dari kejauhan. Tampak curiga.
"Kau suka makanan manis, Sadira?" tanya Rian tiba-tiba.
"Eh? Ya, ya. Tentu" jawabku, memandang Rian sekilas.
"Bagus! Ada toko kue yang baru buka kemarin. Kabarnya shortcake buatan mereka enak sekali. Mau pergi ke sana nanti? Sepulang sekolah?"
"Eh? M-makan shortcake? De-Denganmu?" jariku menunjuk Rian tak percaya.
Rian mengangguk dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Beberapa gadis yang menguping tampak sangat terkejut sampai mereka tidak bisa menahan suara keterkejutan yang memalukan itu.
"Jadi?" Rian kembali bertanya saat aku tak kunjung menjawab. Matanya menatapku lurus-lurus.
"Oh, ya, ya, ya." jawabku cepat. "Aku sangat suka kau- aaeh, maksudku shortcake. Ha ha." tertawa. Akhir-akhir ini perkataanku semakin tidak bisa dikontrol.
"Baik, kalau begitu nanti kutunggu sepulang sekolah. Dah!" Rian berlari kecil mendahuluiku menuju sekolah. Tangannya melambai pelan. Aku balas melambai dengan senyum kikuk yang lebar.
Apa ini nyata? Rian mengajakku pergi makan shortcake bersama? Apa itu artinya cintaku tidak bertepuk sebelah tangan? Oh, astaga, sepertinya setengah jiwaku sudah terbang entah kemana. Dan kenapa tiba-tiba rasanya dedaunan yang jatuh berubah menjadi kelopak bunga berwarna merah muda? Berguguran dengan indahnya. Seperti perasaanku saat ini. Aku bersorak senang. Dari kejauhan aku bisa melihat Dabria tersenyum senang, mengacungkan jempol, seolah ikut bahagia denganku. Dan para gadis yang tadi menatapku curiga, hanya bisa menggigit jari menahan tangis. Ini benar-benar hari yang paling indah!
.
Aku terkesiap. Mataku terbuka lebar. Yang pertama kali kudapati adalah warna putih.
Dimana?
Aku memandangi sekeliling dan mendapati aku ada di kamarku sendiri. Berbaring di atas kasur dan diselimuti selimut tebal dengan aroma lavender samar. Aku menggosok mata pelan. Melirik jam. Hampir jam delapan. Aku mencoba meraih kesadaranku. Samar-samar telingaku menangkap suara rintik hujan.
Mimpi?
Saat sadar aku menghembuskan napas kecewa. Ternyata hari yang sangat indah itu hanya mimpi. Aku bangkit dari tempat tidur, masih dengan sedikit perasaan kecewa. Memangku kepala di kedua tanganku, aku kembali mengingat mimpiku tadi.
Rasanya sangat nyata. Kenapa mimpi selalu bekerja seperti itu? Aku bahkan tidak sadar kalau aku sedang bermimpi. Hanya saat aku terbangun, aku bisa dengan pasti menyatakan kalau itu adalah mimpi.
Sungguh sebuah misteri besar.
Tik.Tik.Tik. Tik. Dentingan suara jam terdengar cukup jelas di telingaku.
"AAHHH!!!" aku berteriak keras dan melompat dari kasur. Aku baru sadar. Ini hari Senin!
Secepat kilat aku bersiap-siap dan meninggalkan rumah sambil berlari. Aku menepuk jidat. Ini benar-benar berbanding terbalik dengan mimpiku. Sepertinya nasib baikku hanya ada di dalam mimpi.
Tepat satu detik sebelum lonceng berbunyi aku berhasil masuk ke dalam kelas. Dengan napas berat terengah-engah, aku berjalan terhuyung ke mejaku. Menghempaskan tubuh ke bangku kayu. Akhirnya aku menghembuskan bisa napas lega. "Selamat."
"Kau terlambat." kata Dabria . “Bangun kesiangan?"
"Hu-uh," gumamku mengiyakan.
Dabria mengeluarkan buku pelajaran pertama hari ini. Meletakkannya di atas meja. "Tumben sekali." katanya lagi, dia mulai membalik-balik halaman buku.
Aku membaringkan kepala di atas meja, menghadap Dabria . "Sepertinya aku terlena. Mimpiku terlalu indah." aku tertawa samar. Mimpi itu rasa-rasanya masih menggelayut di pikiranku.
Aku pelan mengangkat kepala. Mataku melirik tempat duduk Rian. Pemuda itu tampak sedang membicarakan sesuatu dengan pemuda yang duduk di depannya, Sam. Seolah-olah menyadari tatapanku, Rian menoleh dan tersenyum simpul padaku.
"Ah! He he..." aku balas nyengir, melambai pelan.
Dabria yang menyadari itu kemudian berucap, "Biar kutebak. Mimpi tentang Rian?"
"OHH!" aku menggebrak meja, "Bagaimana kau tahu?!"
Seisi kelas terdiam, menoleh ke arahku.
"Ah, ha ha ha. Tidak apa-apa. Silakan lanjutkan." Aku menggaruk kepala malu, berkata pada seisi kelas. Barulah saat semuanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing aku kembali bertanya pada Dabria. Kali ini dengan suara yang lebih pelan. "Bagaimana kau tahu?"
Dabria mengangkat bahu, "Jelas saja. Hidupmu hanya berotasi pada pria itu." Dabria berkata tanpa berpaling dari bacaannya.
"Ohh.. begitukah?" aku bergumam. Benar juga. Tidak aneh kalau Dabria langsung bisa menebak karena aku selalu membicarakan tentang Rian, Rian dan Rian.
"Tapi, tapi, kau tahu Dabria? Mimpi itu terasa sangaaat nyata. Dalam mimpi itu aku-"
Tepat saat aku ingin bercerita tentang mimpiku pada Dabria , guru pelajaran pertama memasuki kelas dan aku terpaksa memotong ceritaku yang bahkam belum dimulai. Dabria mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Tentu aku akan mendengarkannya nanti." bisiknya, tersenyum tipis.
Aku balas tersenyum dan mengangguk. Tentu saja. Dabria selalu bersedia mendengarkan ceritaku.
Dan begitulah, lonceng jam istirahat berbunyi aku langsung menarik Dabria ke kantin. Tapi karena terlalu ramai, aku menariknya ke atap sekolah. Di tempat yang paling sepi di sekolah inilah aku menceritakan mimpiku dengan perasaan berbunga-bunga. Hampir seperti melihat mimpi itu lagi. Dan setelah selesai, aku kembali bertanya-tanya, kali ini pada Dabria , tentang betapa anehnya sebuah mimpi. Bagaimana mungkin kau bisa tidak menyadari itu adalah mimpi dan baru sadar saat kau terbangun?
"Yahh, itulah misterinya." jawab Dabria singkat.
Aku mendengus, sungguh bukan jawaban yang kuharapkan dari seorang kutu buku seperti Dabria. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berkata kalau sebaiknya kami kembali turun ke kantin untuk membeli sesuatu sebelum lonceng kembali berbunyi dan jam belajar yang panjang kembali dimulai. Aku menepuk jidat. Benar juga. Selanjutnya pelajaran yang paling, paling, dan paling tidak kukuasai. Harus memahami setiap rumus tanpa mengisi bahan bakar untuk otakku sebelumnya bisa membuatku terkapar di dalam kelas.
Selama perjalanan ke kantin aku berpikir kenapa tadi tidak membeli sesuatu dulu, barulah kemudian aku mengajak Dabria ke atap. Aku bisa bercerita sambil makan. Dan tidak perlu bolak-balik ke kantin seperti ini. Terlalu asyik berpikir, tanpa sengaja aku menabrak seseorang di pintu masuk kantin.
Aku mengaduh pelan.
"Hati-hati, Sadira."
Aku sedikit mendongak, mendapati Sam menatapku sedikit mengernyit. Belum sempat aku mengeluarkan suara, mataku mendapati Rian di belakangnya. Dan spontan, aku langsung kehilangan kata-kata. Hanya gumaman pelan yang keluar dari tenggorokanku, diiringi cengiran aneh.
Sam menggeleng pelan. Seperti telah terbiasa dengan sikapku yang tiba-tiba berubah gugup dan tidak jelas.
"Mungkin kita harus mengajak mereka juga, Sam." Rian tiba-tiba berkata tanpa memperhatikan gerak-gerikku yang mulai semakin aneh.
Sam mengangkat bahu pelan, "Tidak masalah. Semakin banyak orang sepertinya semakin bagus."
Eh? Apa?
Saat aku masih berusaha mengerti percakapan mereka, Sam langsung menjelaskan kalau mereka berencana membantu seorang anak dari kelas sebelah yang orang tuanya punya kedai mie yang enak. Sayangnya kedai itu terletak di gang yang agak terpencil, jadi tak banyak orang yang tahu. Keluarga anak itu juga tidak akan sanggup menyewa kedai di pusat kota yang pastinya sangat mahal. Jadilah mereka berniat membantu anak itu dengan membawa banyak orang ke kedainya. Makin banyak orang yang datang maka kesempatan kedai itu menjadi lebih dikenal juga akan semakin besar.
"Semoga saja dengan begitu mereka jadi punya lebih banyak pelanggan setiap hari dan bisa membantu keuangan mereka."
Aku mengangguk-angguk kecil. Sungguh murah hati.
"Jadi? Sore ini?" tanya Sam.
"Aku? Uhmm, yahh..."
"Kami mengajak hampir seisi kelas." tambah Sam lagi.
Seisi kelas? Aku melirik. Berarti itu juga termasuk Rian? Oh, mungkin ini yang dibicarakan Rian dan Sam tadi pagi. Mereka tampak serius sekali tadi. Ternyata-
"Hei, hei, heii!" Sam menjentikkan jarinya beberapa kali. Tepat di depan wajahku.
Aku terkesiap, "Ah! Ya?"
Sam menghembuskan napas keras. Tampaknya dia mulai frustasi. "Ya-mu itu adalah 'ya' atau kau bertanya balik padaku?" Sam berkacak pinggang. Sekarang kakinya mengetuk-ngetuk tak sabaran.
"Oh, ya, ya, ya!" aku menjawab lantang. "Tentu saja ya untuk ajudanmu tuan, eh maksudku ajakanmu!"
Sam mengangguk mantap. Akhirnya.
"Kau juga ikut, Dabria?" kali ini Rian yang bertanya.
Dabria mengerjap beberapa kali. Dia diam dan melirikku. Tersenyum. "Maaf, tapi ada hal penting yang harus kukerjakan nanti." katanya, mencoba menolak dengan halus.
"Sayang sekali. Tapi apa boleh buat."
Rian dan Sam kemudian berlalu sambil menyorakiku 'jangan lupa jam 4!' begitu. Aku masih memandangi punggung Rian yang berjalan semakin jauh ke ujung lorong. Dabria menyikut pinggangku pelan.
"Kau meleset sedikit." ucapnya sambil menahan tawa.
Aku menekuk bibir mendengar ejekan Dabria. Walaupun bukan Rian yang mengajakku, dan juga bukan makan shortcake, tapi sepertinya mimpi itu mendekati kenyataan. Walau hanya sedikit. Aku mengibaskan tangan beberapa kali, mencoba menghentikan kesenangan Dabria yang semakin menjadi-jadi dan menariknya masuk ke dalam kantin.
---
Ternyata bukan hanya murid-murid dari kelasku saja yang datang ke kedai orangtua Sofia, si anak kelas sebelah yang dibicarakan Sam tadi. Ada murid kelas lain juga, bahkan para junior yang entah bagaimana bisa ada di sini. Mungkin mereka juga diajak Sam? Juga anak-anak kelas lain? Aku tidak tahu Sam punya banyak koneksi sampai bisa membawa orang sebanyak ini. Saking banyaknya kedai mie yang tak seberapa luas ini tak mampu menampung para anak remaja yang datang. Jadilah kami harus bergantian masuk ke dalam kedai.
Dan seperti kata Sam, mienya sangat enak. Sayang sekali kedainya berada di tempat yang terpencil. Seperti murid-murid lain, aku mengeluarkan handphone, mengambil gambar dan menyebarkannya di media sosial yang kupunya, tentu saja ditambahkan sedikit kata-kata promosi yang meyakinkan.
Aku melihat Sofia. Dia sedang sibuk membantu orangtuanya menyiapkan mie dalam posrsi banyak. Dan juga ada Sam di situ.
“Heeeh…” aku baru sadar. Tersenyum geli. Sekarang aku tahu kenapa Sam mau repot-repot mengajak banyak orang datang ke sini.
Aku cepat-cepat menghabiskan mieku. Tak tega melihat Sofia dan orangtuanya, ditambah Sam kerepotan sendiri mengurusi pelanggan yang membludak ini. Di luar bahkan masih ada beberapa rombongan lagi. Akhirnya aku membantu mereka. Berkenalan dengan Sofia dan orangtuanya. Gadis yang baik. Aku tersenyum senang.
“Haahh… akhirnya selesai.” Aku menghempaskan diri di bangku kayu yang ada di dapur kedai.
“Sudah kubilang kalau kau tidak sanggup jangan ikut.” celoteh Sam. Aku mendelik. Teringat. Kemudian pelan-pelan mendekatinya. Menggodanya dengan mengatakan kalau dia hanya tidak ingin aku mengganggu waktunya bersama Sofia.
Sam memberengut, tapi aku tahu dia malu. Jadi aku memutuskan untuk segera pergi, membiarkan Sam menggunakan waktunya selama mungkin di sini. Setelah berpamitan pada Sofia dan orangtuanya, ditambah sedikit bingkisan ucapan rasa terima kasih mereka, aku pun beranjak ke luar kedai.
“Wah, ternyata sudah gelap.”
Aku melirik jam. Sudah lewat jam delapan. Aku mulai mengambil langkah. Langit yang gelap tampak sesekali bersinar karena kilat yang menyambar. Diiringi suara gemuruh yang terasa semakin dekat. Sepertinya akan hujan lagi. Saat melewati sebuah mini market tanpa disangka-sangka Rian muncul dari balik pintu. Tangannya mengganggam kantung plastik putih yang isisnya, entahlah, aku tak tahu.
“Oh, hai, Sadira. Kau baru pulang?”
“O-oh, h-haiii!” aku kembali kelabakan. Melihat seragam sekolahnya, aku tahu Rian juga belum kembali ke rumahnya sejak dari kedai Sofia tadi. “Kau sendiri?” sedikit basa-basi.
Rian mengangkat kantong plastiknya, mengatakan dia sengaja singgah ke mini market untuk membeli beberapa kaleng minuman dan makanan ringan. Aku mengangguk cepat beberapa kali. Tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Rumahmu ke arah sini, kan? Mau pulang bersama?” tanya Rian kemudian.
Aihh. Mataku melebar. Setiap kebaikan memang akan selalu dibalas dengan hal yang menyenangkan.
Semula aku enggan. Takut nanti malah merepotkan Rian, tapi pemuda itu memaksa. Katanya tak baik seorang gadis pulang sendirian malam-malam begini. Berbahaya. Dengan malu-malu akhirnya aku setuju. Pulang bersama Rian! Betapa beruntungnya!
Selama diperjalannan pulang, Rian yang lebih banyak bicara. Dia bertanya ini-itu padaku. Aku menjawab itu dan ini, lalu bertanya balik. Dia menceritakan banyak hal tentang dirinya, sekolah, kegiatannya, juga tentang Sam dan Sofia. Aha! Sudah kuduga aku tidak salah. Bahkan teman baik Sam sendiri mengatakan kalau dia suka pada Sofia.
“Ternyata kau memang terlalu baik. Terlalu menyenangkan. Dan terlalu tampan!” teriakku.
Dalam hati saja tentunya.
Aku berusaha mati-matian untuk tidak menyuarakannya. Bisa mati aku karena malu jika Rian mendengar semua isi hatiku.
“Nah, sudah sampai.” kata Rian saat kami sudah sampai di depan gerbang rumahku. “Kalau begitu aku pergi dulu, Sadira. Sampai jumpa besok!” katanya. Tak lupa dengan senyum menawan yang selalu menghiasi wajahnya. Rian melambai pelan dan melanjutkan langkah kakinya. Sedangkan aku, seperti terpaku di tempatku berdiri. Dengan senyum mengembang.
Oh, aku harap ini bukan mimpi.
Tanpa kusadari sesosok bayangan hitam yang sedari tadi mengkuti setiap langkah kakiku, menatapku dari balik bayang-bayang.
---
Sialnya, setelah perjalanan yang indah malam itu, esoknya aku dicegat beberapa gadis penggemar Rian. Di toilet. Aku tak berkutik saat keenam gadis itu mencecarku dengan berbagai pertanyaaan dan mengancam akan menyingkirkanku jika aku mendekati Rian lagi. Aku mencoba membela diri. Tapi jelas saja, di situasi seperti ini aku akan kalah telah.
Syukurlah, Dabria datang di saat yang tepat. Menyingkirkan gadis-gadis ganas itu dengan caranya sendiri. Dabria memang terkenal menakutkan bagi murid lain yang tak mengenalnya. Lalu Dabria menyeretku keluar dari toilet, ke tempat yang lebih aman, atap sekolah.
Dabria memperingatkanku bahaya berdekatan dengan gadis-gadis tadi, terutama Fei. Gadis dari keluarga kaya yang terbiasa hidup mewah dan mendapatkan semua yang diinginkannya. Aku mengangguk-angguk mengerti. Sedetik kemudian aku beralih menceritakan kejadian semalam pada Dabria. Tapi tampaknya dia tidak terkesan.
“Kau yakin itu bukan mimpi juga? Kemarin kau bilang merasakan mimpi yang sangat nyata.” Dabria mengambil handphone dari balik sakunya, “Aku jadi tertarik dengan dunia mimpi setelah kau bercerita, dan kutemukan ini.” Dabria mulai membaca. Katanya ada saat dimana mimpi bisa terasa sangat nyata, namanya Vivid Dream. “Jika mengalami mimpi itu, maka kau bisa mengingat setiap detail yang terjadi dalam mimpimu. Bahkan kau bisa mengingat dengan jelas suara dan bau yang tercium olehmu.”
Dabria menjelaskan tentang mimpi-mimpi lain, tapi yang paling membuatku tertarik adalah Lucid Dream. Katanya dalam mimpi itu kita bisa mengendalikan mimpi sesuka hati.
“Katakanlah kau ingin terbang?”
“Ya. Kau bisa.” jawab Dabria. “Sangat menarik bukan? Jadi berhati-hatilah, mungkin kau mengalami salah satunya.”
Aku kembali mengangguk-angguk. Dan begitulah, minggu-minggu kami selanjutnya selalu diisi topik tentang mimpi-mimpi itu.
---
Siang itu, guru salah satu mata pelajaran tidak masuk dan hanya tugas yang ditinggalkan untuk mengisi waktu pelajaran yang kosong itu. Aku diam-diam menggerutu. Bagian yang ini belum kami pelajari. Bagaimana mungkin aku bisa mengerti? Sedangkan setelah diajarkan saja aku masih payah. Aku melirik Dabria, dia sibuk memutar-mutar penanya di atas kepala. Kertasnya masih kosong.
“Kita belum mempelajari yang itu. Kau bisa mengerjakan soal yang sudah kita pelajari dulu.” saranku. Tapi Dabria mengeleng pelan dan berkata kalau dia lebih suka menyingkirkan yang sulit terlebih dahulu. Jadi saat yang tinggal hanya yang mudah, dia tak perlu khawatir lagi.
“Uhm.” Aku mengangkat bahu. Orang memang berbeda-beda. Kalau aku lebih suka mengerjakan yang mudah duluan dan lihat, aku sudah sampai pada soal nomor delapan.
Sepulang sekolah, aku menemani Dabria membeli buku yang sudah lama diinginkannya. Dan saat panas semakin tak tertahankan kuputuskan untuk membeli es krim. Aku dan Dabria berjalan ke Jembatan Besar, ada penjual es krim di sana. Aku memesan es krim cokelat dan Dabria memesan rasa vanila dengan taburan kacang pistacio. Saat aku mengeluarkan uang dari dompet, tiba-tiba angin bertiup kencang dan menerbangkan uangku. “Tidak! Hanya itu uangku yang tersisa!” teriakku sembari mencoba menggapai-gapai selembar uang yang terbang jatuh ke dalam sungai. Dabria terkikik geli dan berkata dia akan mentraktirku hari ini. Aku tersenyum senang, memamerkan deratn gigi-gigiku, berterima kasih.
Malam harinya saat berbaring di atas tempat tidur, aku kembali memikirkan tentang mimpi-mimpi itu, seperti yang kulakukan setiap malam belakangan ini. Aku ingin mencapai mimpi yang namanya Lucid Dream itu, tapi sepertinya belum ada tanda-tanda akan berhasil. Samar-samar aku mendengar suara rintik hujan yang kemudian berubah menjadi hujan lebat. Dan aku pun tertidur lelap.
---
Hari minggu. Aku memutuskan berjalan-jalan keluar pagi ini. saat mendekati taman kota, aku melihat Dabria dari kejauhan. Aku memanggilnya. Gadis itu melambai dan berjalan mendekat ke arahku. Tapi tiba-tiba aku terkesiap. Jalanannnya? Aku menoleh ke sekeliling, kemudian memandang langit.
“Kau kenapa?” tanya Dabria saat sampai di hadapanku.
Aku yang kebingungan menggaruk kepala, bertanya apa semalam hujan? Dan Dabria menjawab tidak. Sama sekali tidak hujan, dia berkata bahkan melihat bulan purnama dari jendela kamarnya semalam. Sesaat aku menahan napas kemudian mengerang. Jadi hujan itu mimpi?
Dabria tampak penasaran, jadi aku mengibaskan tangan. Tak apa.
Akhirnya aku menghabiskan pagi hingga siang bersama Dabria. Seperti kemarin, cuaca siang ini terasa panas, jadi saat aku melihat penjual ek krim, aku manarik tangan Dabria, mengajaknya membeli.
“Kali ini aku yang traktir. Sebagai ganti kemarin.” ucapku sambil mengeluarkan uang dari saku celana. Kali ini aku berhati-hati agar uangku tidak terbang lagi.
“Hah?” Dabria tampak bingung, “Kemarin apa?”
Tapi aku tak menghiraukan dan memesan dua es krim. Kali ini aku juga ingin es krim vanila dan pistacio, jadi kupesan dua. Aku menyodorkan es krim pada Dabria, tapi temanku itu hanya menatap ek krimnya dengan kening berkerut.
“Uhm, Sad, aku alergi pistacio.” katanya kemudian.
“Hah?” aku memiringkan kepala bingung. Bukankah kemarin Dabria membeli es krim pistacio ini? Tapi Dabria menggeleng lagi, kali ini dengan kerutan di dahinya.
“Kita tidak pulang bersama kemarin.” jelasnya. “Aku ada les biola, sedangkan kau,” katanya menunjukku, “entahlah, mungkin pulang setelah tugas piketmu selesai.”
Aku mengerutkan dahi. Ini benar-benar aneh. Aku yakin itu bukan mimpi. Lagipula aku juga sudah mengecek dompetku tadi pagi, dan itu kosong. Aku menceritakan apa yang terjadi pada Dabria. Dan Dabria hanya termenung dan berpesan padaku untuk hati-hati. Dan aku mengangguk.
Kembali malam. Aku memandangi bulan dari balik jendela kamar. Hari ini tidak hujan. Lama bermenung, taba-tiba aku terpikir, bagaimana kalau ini juga mimpi? Tak ingin khawatir berlama-lama, aku mencubit tanganku sendiri kuat-kuat. Sakit. Jadi ini tidak mimpi. Aku mendesah lega.
Saat beranjak ke tempat tidur lagi-lagi aku terpikir. Bagaimana jika saat aku terjaga nanti ternyata hal ini juga hanya mimpi? Bagaimana caranya aku bisa membedakan mana yang mimpi, mana yang kenyataan secara pasti?
---
Hari-hari terus berlanjut dan semua mimpi ini juga semakin lama semakin bertambah buruk. Berkali-kali aku salah membedakan mimpi dan kenyataan. Aku merasa telah bangun, tapi ternyata masih bermimpi. Aku berangkat sekolah, tapi ternyata juga mimpi. Aku bisa merasakan hembusan angin, dinginnya air dan panas matahari yang menyengat. Tapi mimpi-mimpi itu tak berbeda dengan dunia nyata. Semakin lama aku semakin bingung.
Seperti waktu itu. Saat aku dan Dabria mengerjakan latihan soal ujian yang diberikan guru. Aku mendapati Dabria mengerjakan soal-soal yang mudah, dan saat kusinggung soal dia yang sebelumnya mengatakan lebih suka mengerjakan soal yang sulit terlebih dahulu, Dabria menarik bibir. “Kalau aku mengerjakan soal yang sulit duluan, aku bisa kehabisan waktu.” begitu katanya. Karena hanya Dabria yang tahu tentang hal ini, maka setiap kali aku merasa bingung aku selalu bertanya padanya.
“Kemarin hujan lebat. Itu mimpi atau kenyataan?”
“Kenyataan.”
“Aku meminjam buku tebalmu. Itu mimpi atau kenyataan?”
“Mimpi. Kau tidak suka buku yang tebal.”
“Kemarin saat kita pulang, aku melihat Fei membuntuti kita. Itu mimpi atau kenyataan?”
“Kenyataan.”
Akhirnya aku selalu menanyakan itu, “Mimpi atau kenyataan?”
Aku juga mulai kurang tidur. Karena setiap malam selalu khawatir bagaimana kalau aku salah lagi. Bagaimana kalau ternyata aku terjebak dalam mimpiku sendiri? Aku mulai berhalusinasi. Merasa ada seseorang yang selalu mengawasiku di balik bayang-bayang malam. Mengintip lewat jendela dan masuk dalam mimpiku. Dan saat dia menghancurkanku, senyumnya lebarnya merekah mengerikan.
---
Malam ini tidak ada bulan. Gelap. Aku duduk di depan meja belajar sambil memutar-mutar pensil di jari-jari tanganku. beberapa hari lagi ulang tahun Rian. Aku sedang memikirkan hadiah apa yang harus kuberikan padanya. Bagaimana kalau aku membuat kue cokelat? Rian suka makanan manis. Tapi apa dia suka cokelat? Atau vanilla? Atau tiramisu? Hmm...
Tiba-tiba aku berubah pikiran. Kalau hanya kue tidak akan bertahan lama. Bagaimana kalau sebuah benda? Syal misalnya? Itu terdengar bagus. Syal rajutan tangan warna merah. Ah, Rian suka warna merah, kan? Atau abu-abu, ya? Atau biru muda?
Aku mengetuk-ngetukan pensil ke kepalaku. Atau kugabungkan saja semuanya?
Saat aku masih sibuk berpikir, mataku tak sengaja menangkap sekelebat bayangan hitam yang mengamatiku dari balik jendela. Sesuatu seperti kepala manusia. Berambut hitam. Aku melompat dari kursi, menjauh dari meja belajar yang berada tepat di samping jendela. Napasku tiba-tiba menjadi berat. Detak jantungku terasa sangat keras dan cepat sampai-sampai aku bisa mendengarnya dengan jelas. Apa itu tadi? Aku merapatkan punggung ke dinding terjauh dari jendela. Mataku mencari-cari sosok itu dari kejauhan. Tapi dia sudah tidak ada lagi. Aku menggosok-gosok mata. Mengerjap dan mengamati jendela lagi. Tapi tetap tidak ada.
Ini bukan yang pertama kali. Belakangan aku sering merasa melihat bayangan hitam itu mengawasiku. Tapi Dabria bilang kalau itu hal yang biasa terjadi saat kau kurang tidur. Kau bisa menghayal melihat sesuatu. Atau mendengar sesuatu.
Aku menelan ludah. Benarkah itu hanya halusinasi? Aku menelusuri setiap inci kamar dengan mataku, memastikan kalau bayangan itu tidak masuk ke kamar dan tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Dengan senyuman lebarnya. Setelah memastikan tidak ada apa-apa, aku langsung bergegas naik ke atas kasur dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Hadiah Rian kuputuskan untuk membelinya saja.
---
Semakin hari aku semakin sering merasa melihat bayangan gelap itu. Dia serasa mengawasiku setiap saat. Saat aku ke sekolah, atau saat aku bertemu dengan Rian, atau saat aku mencoba untuk tidur. Karena terlalu khawatir aku semakin sulit untuk tidur. Kadang aku merasa telah terbangun, kadang aku merasa seolah berjalan dalam bermimpi. Pembatas antara mimpi dan kenyataan kini terasa semakin samar. Atau aku tidak tahu lagi mana yang mimpi mana yang kenyataan.
Hari itu aku menghabiskan hampir seluruh waktuku di dalam kamar. Menjelang sore aku mendapati Dabria di luar pintu pagar rumahku. Aku menemuinya di luar. Dia lalu mengomentari penampilanku yang kacau. Kulit bagian bawah mataku sudah menghitam, akibat insomnia parah.
"Setidaknya kau tidur sekarang."
Aku mengernyit bingung dan berkata tentu aku sedang bangun karena aku sedang berdiri dihadapannya sekarang. Atau ini adalah mimpi? tanyaku.
Dabria kemudian mengajakku berjalan-jalan ke pusat kota sementara aku terus berkomentar betapa mimpi ini terasa nyata sekali. Dabria mengangguk saja sambil tersenyum.
"Mungkin sekarang kau sudah mendapatkan Lucid Dream yang kau tunggu-tunggu itu." katanya.
Ah, benar. Aku baru terpikir. Kalau begitu aku bisa melakukan apa pun sekarang?
Dabria mengangguk lagi, "Apa pun." tegasnya.
Aku kemudian mengambil alih mimpi ini. Mengajak Dabria berkeliling pusat perbelanjaan dan mencicipi jajanan ringan di pinggiran sungai, dan membeli banyak dessert yang paling enak di kota ini. Tanpa perlu membayar tentunya. Aku tertawa senang. Mimpi ini benar-benar hebat. Aku bisa merasakan lembutnya cheesecake dan manis lapisan es krim vanilla, juga perutku yang terasa kenyang setelah makan.
Menjelang melihat matahari terbenam, aku manarik Dabria ke atas sebuah bangunan tinggi di dekatku. Aku ingin melihat matahari terbenam.
"Besok ulang tahun Rian," Dabria mengingatkan, "Kau sudah menyiapkan hadiah?"
Aku mendesah berat. Lupa. Aku bahkan tak ingat kalau ulang tahunnnya besok. Ah, ngomong-ngomong soal Rian, bagaimana kalau aku ingin melihatnya sekarang? Bisa, kan? Karena ini adalah mimpiku.
"Ah, itu Rian!" Dabria tiba-tiba berseru, menunjuk ke sebuah titik kecil di bawah sana. Itu benar-benar Rian! Aku bertepuk tangan senang. Ini benar-benar bekerja.
Tiba-tiba aku teringat, bagaimana kalau aku menyatakan perasaanku pada Rian di sini? Dia pasti akan menerima cintaku karena ini mimpiku dan aku yang mengendalikan semuanya. Setidaknya ini bisa menjadi latihan untukku sebelum melakukannya di dunia nyata. Dabria mengangguk setuju, menyemangatiku melakukannya.
Perlahan aku menaiki dinding pembatas. Dari tempatku berdiri sampai ke bawah sana ada puluhan meter. Turun ke bawah menggunakan lift terasa terlalu lama. Dabria berkata terbang saja ke bawah sana. Dari sini, tepat ke tempat Rian berdiri. Aku setuju.
Angin bertiup keras menampar tubuhku. Aku menatap ke bawah. Tinggi sekali. Aku agak merinding, tapi aku selalu ingin mencoba terbang. Terbang bebas seperti burung. Aku menoleh pada Dabria. Dia masih tersenyum. Aku berbalik, merentangkan kedua tangan dan menutup mata perlahan. Saat aku mulai melangkahkan kaki, wajah Dabria berkelebat di pikiranku. Sorot matanya yang dingin. Senyuman lebarnya. Dan rambut hitam legamnya yang lurus.
Aneh. Untuk sesaat dia terlihat seperti...
Seperti-
---
Malam itu, semua televisi memberitakan tentang seorang gadis remaja yang tewas di depan sebuah bangunan apartemen mewah. Saksi mata mengatakan bahwa gadis itu terjun bebas dari rooftop dan tubuhnya langsung menghantam aspal di bawahnya. Berserakan.
Dari tempatnya, seorang gadis itu berdiri di atas balkon, mengamati dengan seksama berita yang ditayangkan di videotron raksasa di persimpangan jalan. Rambut hitamnya melambai-lambai diterpa angin malam. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seringaian.
“Aku pernah bilang kalau aku lebih suka menyingkirkan hal yang sulit terlebih dahulu? Well, itu bukan mimpi. Saat orang tersulit sudah disingkirkan, menyingkirkan lalat-lalat lain hanya butuh satu kibasan tangan. Wuss!” dia mengibaskan tangan kasar.
Gadis itu tiba-tiba menarik satu bukunya. “Hmm, rasa-rasanya aku pernah melihat arti namamu di suatu tempat.” ucap gadis itu. Membalik-balik halaman kertas. “Ah, tentu saja! Sangat cocok dengan dirimu.” serunya sembari bertepuk tangan senang.
Dunia ini sudah sangat kacau. Kau bahkan tidak tahu lagi mana yang benar mana yang salah. Mana orang yang dapat dipercaya mana yang pengkhianat. Jadi sebaiknya tidurlah. Tidurlah dalam mimpi yang tak akan pernah berakhir. Dalam cerita indah seperti yang kau impikan, Gadis Pemimpi.
Kali ini gadis itu terkikik geli, kemudian tawanya pecah, mengalir bersama hembusan angin.
“Kau pernah tahu arti namaku?”
-An Angel of Death End-