William melangkah dengan gagah berani menuju rumahnya, setidaknya sisa-sisa dari yang tadinya adalah rumahnya. Rumah itu kini hancur berantakan, beberapa tiang penyangga patah jadi dua. Gudang penyimpanan sake kini rata dengan tanah. William bergidik ngeri, mengerti benar seberapa besar kekuatan Black Hummingbird hingga membuat dua klan mafia yang tadinya sudah gencatan senjata sejak sebelum William lahir berperang habis-habisan.
Kamar utama yang ditempati Papa William ternyata masih utuh. Walaupun sebagian dindingnya terdapat percikan noda darah, kamar itu setidaknya masih berbentuk. William sendiri tidak yakin apakah Papanya masih tinggal di sana ataukah sudah mengungsi ke tempat lain. Tapi kakinya seolah bergerak sendiri menuju kamar itu, kamar yang menyimpan banyak kenangan indah ketika William masih kecil, ketika William masih menjadi satu-satunya kebanggaan Papanya.
William membuka pintu geser kamar itu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamar itu kosong dan berantakan. Meskipun begitu, William seolah masih bisa mencium bau tembakau rokok Papanya. Ia yakin Papanya baru saja berada di kamar itu.
“Akhirnya kamu berani pulang.” Suara Papanya membuat William terperanjat.
Dengan spontan, William memasang kuda-kuda Aikido. Ternyata sejak tadi papanya sudah berada di belakang William, memerhatikan gerak-gerik putera sulungnya.
“Oto-san.” William membungkukkan kepalanya meskipun seluruh otot di tubuhnya menegang, siap menangkis jika ia akan kena hantam lagi.
“Masuk!” perintah Papanya dengan tegas meskipun amarah yang sebelumnya meluap-luap kini tak terasa.
Lelaki yang lebih tua itu mendahului Wiliam memasuki ruangan. William mengikuti di belangkanya kemudian menutup pintu geser di belakangnya. Dengan gerakan tangan, Papanya menyuruh William untuk duduk di atas tatami. Berhadap-hadapan dengan sang pemimpin yakuza, William pun duduk berlutut.
“Di mana anak itu?” tanya Papa.
“Di rumahnya,” jawab William.
“Hah! Masih berani dia pulang ke rumahnya?” Papa mendengus dan mengeluarkan sepuntung rokok dari saku bajunya. Kemudian menyalakan rokok itu dan menghisapnya.
“Oto-san dengar kamu diserang,” kata Papanya lagi.
“Begitulah,” jawab William.
Ia baru menyadari bahwa kepalanya diperban sehingga tentu saja papanya akan mengira dia dihantam tentara klan Kim. Ia pun tidak berusaha mengklarifikasi.
“Oto-san juga dengar dari Clayton kalau kamu dan Jaejin berteman baik,” lanjut Papanya. Asap mengepul dari bibirnya hingga membuat William ingin terbatuk-batuk.
Dalam hati ia menggeram, mengutuk adiknya yang ternyata melapor kepada papa mereka.
“Memang benar,” jawab William, berusaha sekuat tenaga supaya terdengar berani.
“Apa tujuan kamu? Kamu mau berkhianat?” tanya Papa tanpa basa-basi.
Amarah mulai terdengar di suara lelaki yang lebih tua itu. William tidak bergeming. Ia merasa tersinggung karena dituduh berkhianat oleh orang tuanya sendiri.
“Apa itu yang Clayton bilang?” William mendengus.
“Oto-san kecewa sama kamu.”
Kalimat itu secara tidak langsung menjawab pertanyaan William. Hati William mencelos. Ia selalu menjadi kebanggaan Papa. Sejak kapan kini ia menjadi pecundang di mata satu-satunya orang yang pengakuannya sangat penting bagi William. William menatap Papanya dengan pandangan terluka, terkhianati. Kecewa. Itulah kata yang menggambarkan perasaan William saat ini.
Merasa tidak perlu lagi mencoba merubah pandangan Papa terhadap dirinya, William pun bangkit berdiri, membungkukkan tubuhnya dan berbalik. Tangan William sudah hampir membuka pintu ketika Papanya berkata,” Satu lagi, William.”
William berhenti bergerak, menunggu. Ia berharap bahwa papanya akan mengklarifikasi perkataannya. Sepercik harapan menyala redup di hati William. Ia tidak berbalik, tidak bergeming.
“Penerus Oto-san bukan lagi kamu.”
Seperti dihantam truk, William hancur. Kakinya lemas dan tangannya menggantung di samping tubuhnya, tak bertenaga. Sepercik harapan redup itu kini padam menjadi kegelapan tak berujung. Namun ia tidak ingin kehilangan kendali di depan papa. Ia mengangguk sekilas kemudian membuka pintu dan melangkah pergi. Air mata menetes dari mata William. Bukan, air mata itu bukan air mata sedih. Ia marah! Marah sekali ia bisa menghancurkan tembok kayu di sebelahnya kalau ia mau.
Suara tepuk tangan membuat rahang William mengeras. Clayton bersandar ke dinding sambil menyeringai puas.
“Oni-san, selamat yah!”
“Dasar pengecut! Kalo lo nggak suka sama gue, dateng ke gue langsung! Nggak usah main belakang!” William kehilangan ketenangannya, bergerak maju dan melayangkan tinju tepat ke arah rahang Clayton.
Clayton mengelak sehingga tinju William menghantam tembok berbahan kayu. Tembok itu sukses terlubangi oleh kepalan tangan William yang kini bercucuran darah.
“Kayaknya sakit tuh!”
Lagi-lagi Clayton mencibir, membuat William semakin mengamuk. Dengan membabi buta, ia melayangkan tinju dan tendangan ke arah Clayton diiringi teriakan-teriakan marah, memaki entah siapa. Air mata mengalir deras karena rasa marah yang tak terkendali. Seperti air bah, emosi William membludak.
Sebenarnya Papa William mendengar jelas percakapan kedua anak laki-lakinya. Namun ia tidak bergerak. Ia hanya memejamkan mata dan membiarkan William mengamuk sepuasnya. Ia tahu bahwa William tidak akan dapat menerima keputusan ini dengan baik. Ia pun tidak bodoh. Ia tahu benar bahwa Clayton selama ini berusaha menjilat dirinya untuk menjatuhkan William. Hanya saja, Mr. Nakamura merasa William tidak cukup kuat untuk menjadi pemimpin klan mafia. Maka dari itu, ia ingin menguji seberapa kuat anak sulungnya ini. Jika ia cukup kuat dan cukup pantas untuk mewaris status sebagai pemimpin yakuza, maka ia akan bangkit dari keterpurukannya. Saat itulah William akan mendapat pengakuan papanya sepenuhnya.
William jatuh ke lantai kayu dengan bunyi dentuman keras. Napasnya terengah-engah karena telah mengeluarkan seluruh tenaga dan emosi. Clayton babak belur, begitu juga William. Namun Clayton masih berdiri tegak. Matanya berkilat marah. Dengan punggung tangan, ia menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah karena hantaman kepal tinju sang kakak.
“Mulai sekarang. Lo nggak lebih dari pengganti gue. Inget posisi lo.. Oni-san.” Clayton memberi tekanan yang menyiratkan hinaan pada kata ‘Oni-san’. Ia sudah cukup muak harus menghormati William seolah kakaknya adalah putera mahkota dan dirinya tidak lebih dari pengganti William. Ia tidak lebih dari baterai cadangan yang hanya akan dipakai kalau keadaan terpepet.
William tidak menjawab. Ia sudah tidak punya kekuatan untuk melawan. Kepalanya yang masih sakit kembali berdenyut-denyut kencang. Walaupun rasa sakit itu membuat tubuhnya mati rasa, hatinya lebih sakit. Ia menunggu hingga langkah kaki Clayton tak terdengar lagi, hingga adiknya itu cukup jauh untuk bisa mendengar erangan kesakitan yang sudah siap meluncur dari mulutnya.
William mengerang dan berusaha bangkit, namun kakinya tidak berfungsi. Ia menegakkan kepalanya dan rasa mual sekonyong-konyong menyerang. Pandangan William mulai kabur dan berputar. Hal terakhir yang ia dengar adalah teriakan panik salah seorang anak buah papanya.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog