“Ada apa?” Clyde melongok melewati bahu William dan melihat bahwa ternyata Clayton sedang berdiri tegap di depan William.
“Minggir!” perintah William.
Ia tidak berteriak ataupun berseru. Namun nada suaranya yang mengecam mengisyaratkan bahwa ia tidak main-main.
“Kenapa kepala lo.. Oni-san?” tanya Clayton.
Entah apa yang sedang dipikirkan Clayton. Baik William maupun Clyde tidak bisa mengartikan nada suaranya itu. Mungkin saja Clayton mengejek, menertawakan ataupun hanya sekedar ingin tahu.
“Bukan urusan lo. Minggir!” jawab William lagi.
“Ck..Galak amat! Kalo lo sampe mati keabisan darah, jangan salahin gue,” kata Clayton dengan nada mengejek sebelum ia melangkah ke samping untuk membiarkan William dan Clyde lewat.
William terlihat terkejut melihat Clayton yang menyingkir dengan sukarela. Tadinya ia sudah mengira bahwa mau tidak mau ia harus memakai kekerasan pada adiknya. William dan Clayton memang tidak dekat sejak kecil. Namun bukan berarti William membenci Clayton. Hanya saja sepertinya Clayton membuat benteng pemisah sehingga William tidak bisa mengenal Clayton lebih jauh.
Karena tidak ada waktu untuk bertanya atau menduga-duga, William segera berjalan menuju ruangan bawah tanah sepeninggalan Clayton. Sebodo amat Clayton mau lapor apa sama Papa, pikir William. Clyde sendiri tidak banyak omong. Ia masih tidak terbiasa dengan pertikaian keluarga mafia seperti ini.
“Di situ!” seru William begitu ia melihat tangan Bram yang melambai-lambai heboh dari antara jeruji besi yang menahan tubuhnya.
“Bosss!” seru Bram dengan gembira.
“William, Clyde.” Jaxon yang cool pun tidak sanggup menyembunyikan kegembiraanya.
“Lo berdua nggak apa-apa?” tanya Clyde, tersenyum lebar karena lega.
“Clyde, lo tunggu di sini. Gue cari kunci,” kata William.
William tidak berhenti untuk menyapa teman-temannya. Ia segera berjalan menuju ruangan sipir yang kebetulan kosong. Betapa leganya William ketika menemukan ruangan yang kosong itu. Denyutan hebat di kepalanya membuat William sangsi bahwa dia akan cukup kuat untuk bertarung.
Bunyi kelontang-kelontang terdengar menggema di ruang bawah tanah. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan Bram dan Jaxon. Bram yang sangat gembira memeluk Clyde seperti anak kecil ketika Papanya baru pulang kerja.
“Kepala lo kenapa?” tanya Jaxon kepada William.
“Berdarah. Nggak liat?” tanya William sambil mendengus.
“Maksud gue kenapa sampe kayak gitu?” Jaxon mengoreksi pertanyaan.
Dalam hati ia khawatir bahwa salah satu orang Papanya lah yang membuat luka tesebut. Bukan saja Jaxon akan merasa bersalah, tapi Papa William tidak akan suka pewarisnya dilukai.
“Lo nggak usah masang muka gitulah, xon. Bukan anak buah lo yang nimpuk gue.”
“Bener. Ini anak gila yang nimpuk kepala sendiri make batu,” celetuk Clyde, mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan Jaxon yang sudah di ujung lidah dan akan dilontarkan beberapa detik lagi.
Sejujurnya Jaxon merasa lega. Tidak perlu ada masalah tambahan untuk membumbui perang yang udah buruk banget ini. Walaupun begitu, Jaxon masih merasa sangat bersalah karena semua ini akarnya dari kepengecutan Jaxon. Cuma gara-gara surat kaleng, dia nggak berani tinggal di rumahnya sendiri.
“Black Hummingbird udah ngerencanain ini semua. Kita masuk idup-idup ke dalem perangkap dia,” kata Jaxon kepada William.
Clyde dan Bram yang tadinya heboh pun membungkam mulut mereka masing-masing. Namun, William tidak bereaksi.
“Jadi gimana caranya kita keluar dari sini tanpa sepengatahuan dua bokap yang lagi dalam mode godzilla?” Bram nyeletuk dan sukses bikin Clyde nyengir.
Bukannya menjawab, William malah tumbang. Jaxon yang sama sekali tidak menyangka akan ketiban temannya pun kewalahan. Namun ia masih sigap menahan tubuh William supaya kepalanya yang udah bonyok nggak makin bonyok karena menghantam jeruji besi penjara.
“Will!” seru Bram dan Clyde.
“Bram, lo bantu Jaxon gotong William. Gue masih lumayan inget jalan ke sini. Harusnya gue bisa nemuin jalan keluar.” Clyde mengambil alih komando.
Dengan bantuan Bram, Jaxon berhasil berdiri tegak. William dipapah Bram dan Jaxon di sisi kanan dan kirinya. Dengan terserok-serok, ketiga cowok itu berjalan mengikuti Clyde yang memimpin jalan.
“Clyde, stop!” tiba-tiba Jaxon berkata dengan tegas.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog