Clyde sudah memperhatikan kencah perang yang terjadi di depan matanya hampir setengah jam lamanya. Walaupun ia sudah berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya, kakinya menolak bergerak. Ia tidak sanggup berjalan keluar dari mobil yang ia parkirkan di balik semak-semak. Hapenya terus bergetar namun tak Clyde indahkan sama sekali. Cherris memang sudah mencari-cari Clyde berhari-hari. Tapi tak sekalipun Clyde mempunyai niat untuk meladeni Cherris. Entah mengapa hanya Kiran yang sekarang memenuhi pikiran Clyde saat ia tidak sibuk memikirkan Black Hummingbird.
“Ayo, Clyde! Jangan jadi pengecut!” seru Clyde kepada dirinya sendiri.
Tangannya yang dingin dan dibasahi keringat menggenggam kenop pintu mobil. Tarikan keras membuat pintu mobil itu terayun terbuka.
“Mending mati kena tebas samurai daripada mati konyol diteror burung kolibri,” bisik Clyde, berusaha menyemangati dirinya sendiri, setidaknya sisa-sisa keberanian dalam dirinya.
Clyde berjalan layaknya panglima perang yang menantang maut menuju medan perang. Ditutupinya wajahnya dengan kain hitam yang ia sobek dari kemeja miliknya dengan harapan para pasukan yang sedang sibuk berperang akan mengira dia adalah salah satu ninja kiriman keluarga Nakamura. Clyde berjingkat-jingkat memapai benteng yang mengelilingi rumah keluarga Nakamura. Betapa leganya Clyde ketika ia melihat lampu yang berkedip-kedip menandakan sinyal SOS dari sebuah kamar. Ia tahu sinyal itu pasti milik William.
Clyde menerjang dan berlari sekuat tenaga menuju kamar tempat William ditahan. Namun bintang keberuntungan rupanaya sedang tidak berpihak padanya. Sebuah anak panah nyasar menghantam tangan kanan Clyde. Cairan hangat merembas membasahi kemeja Clyde dan Clyde sadar benar akan hal itu. Meskipun demikian, sisa-sisa kekuatannya memerintah kaki Clyde untuk tetap berlari. Lari terus atau benar-benar mati konyol. Pilihannya cuma dua, pikir Clyde.
Dengan napas terengah-engah, Clyde tiba di depan jendela kamar William yang sudah dibuka oleh William.
“Pintunya mana?” tanya Clyde.
“Di sana. Tapi dijaga ketat. Lo tolongin Jaxon sama Bram dulu aja. Gue nggak akan apa-apa,” jawab William.
“Lo ngaco yah? Jaxon yang nggak akan apa-apa, Will! Dia nggak boleh disentuh atau rumah ini bakal jadi kompor raksasa. Lo ngerti nggak sih? Yang dalem bahaya tuh lo!” seru Clyde dengan kesal karena William yang biasanya paling bossy kini terlihat lemah dan tak berdaya.
William terdiam, mencerna perkataan Clyde sebelumnya. Mungkin perkataan Clyde ada benarnya juga. Jaxon adalah pewaris tunggal. Sedangkan William bukan. Jelas-jelas Clayton mengincar posisi William sejak lama. Sudah pasti penjilat itu akan dengan senang hati membiarkan William tewas dalam perang supaya ia bisa mengambil posisi William. Dengan geram, William memukul bingkai jendela kamarnya.
“Sialan si Clayton!” katanya dengan murka.
“Save your anger for later! Gimana caranya gue ngalihin perhatiaan penjaga lo itu?” tanya Clyde, lumayan senang karena William sudah kembali menjadi dirinya yang dulu.
Lagi-lagi William terlihat berpikir keras. Ia mengerahkan segala daya imajinasinya untuk menyusun rencana pembebasan diri.
“Ambilin batu itu ke sini,” kata William.
Clyde pun menurut dan membungkuk untuk mengambil batu berukuran sekepalan tangan. Diserahkankannya batu itu kepada William.
“Terus lo lempar batu gede itu ke dalem. Pecahin kaca jendela biar penjaga-penjaga dodol itu ngira gue diserang.”
“Terus gue ke mana?” tanya Clyde.
“Lo nyumput aja dulu. Biar gue yang urus. Dua penjaga doang sih gampang!” kata William sambil menjentikkan kuku jempolnya dengan kuku jari tengahnya, mengisyaratkan pada Clyde bahwa ini masalah kecil.
“Okay.”
Karena tidak ada pilihan lain, Clyde pun mengambil batu paling besar yang bisa ia lihat dan melempar batu itu kencang-kencang ke jendela kamar William. Bunyi ‘prang!’ terdengar nyaring. Di saat yang bersamaan, Clyde dapat melihat bahwa William memukul kepalanya sendiri keras-keras dengan menggunakan batu sekepalan tangan yang tadi diserahkan Clyde padanya. Walaupun di tengah kekacauan, Clyde masih sempat membeku karena shock melihat kenekatan bosnya ini. Mendengar suara kaca yang pecah dan teriakan William, dua penjaga yang tadinya menjaga pintu kamar William menerobos masuk. Clyde pun segera menyadari posisinya yang tidak terlindungi dan buru-buru menyembunyikan diri di balik pohon. Berharap dia nggak lagi apes dan kena panah nyasar kali ini.
“Ada apa? Siapa yang lempar batu?” tanya seorang penjaga.
“Tuan muda terluka!” seru penjaga yang satunya lagi dengan nada kelewatan panik.
Clyde mengintip keadannya. Tidak aneh memang penjaga itu kalang kabut. William berpura-pura setengah pingsan di lantai dengan darah yang sudah membasahi seluruh rambutnya dan juga lantai di sekitarnya.
“Panggil Tuan Muda Clayton atau Tuan Nakamura!” seru penjaga yang tubuhnya lebih besar.
Penjaga yang tubuhnya lebih kecil berlari dengan panik ke dalam rumah untuk mencari adik William atau Papanya. Sedangkan penjaga yang tubuhnya lebih besar itu berusaha menghentikan pendarahan di kepala William. Merasakan kesempatan emas sudah tiba, William membuka matanya, memelintir tangan penjaga itu dan memitingnya ke lantai. Dengan sisi tangan kanannya, ia memukul tengkuk penjaga itu hingga ia jatuh tak sadarkan diri. Semua terjadi kurang dari lima detik sehingga Clyde hanya bisa bengong melihatnya.
“Lo gila.” Tanpa suara Clyde menggerakan mulutnya.
William sendiri hanya tersenyum tipis. Lebih tepatnya meringis karena rasa sakit dari kepalanya baru terasa sekarang. Rupanya ia memukul kepalanya terlalu keras hingga pada awalnya tubuhnya serasa mati rasa dan tidak merasakan sakit. Dengan berjingkat-jingkat seperti maling, Clyde mendekati William yang kini sudah melangkah keluar dari kamarnya.
“Sekarang gimana?” tanya Clyde.
“Sekarang kita ke penjara bawah tanah,” kata William.
Clyde dan William berjalan menerobos gelora perang dengan gagah berani. Sekali-sekali William menghajar tentara klan keluarga Kim yang menghalangi jalan mereka. Clyde juga lumayan berguna karena walaupun tidak dibekali ilmu bela diri kelas tinggi, ia terbiasa ikut tawuran bareng Rhea dan kawan-kawan. Jadi bisa lah tonjok kanan-kiri dan tendang-tendang asal.
“Aduh, William! Jangan berhenti tiba-tiba dong!” protes Clyde yang tubuhnya menubruk punggung William karena William berhenti tiba-tiba.
“Ada apa?” Clyde melongok melewati bahu William dan melihat bahwa ternyata Clayton sedang berdiri tegap di depan William.
“Minggir!” perintah William.
Ia tidak berteriak ataupun berseru. Namun nada suaranya yang mengecam mengisyaratkan bahwa ia tidak main-main.
“Kenapa kepala lo.. Oni-san?” tanya Clayton.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog