Prolog
Bandung, tahun 2002
“Rhea! Jangan dideketin burung gagaknya. Kata Mama nggak baik!” teriak seorang anak perempuan kepada teman sebayanya yang sedang mengendap-endap mendekati burung gagak hitam.
Burung gagak itu pun terbang karena terkejut ketika derap kaki kecil sang gadis mendekatinya.
“Kiran, apaan sih kamu? Kan burungnya jadi kabur!” Rhea balas berteriak dengan marah.
“Jangan, Rhe. Nanti kamu dimarahin Mama!” Kiran menarik sebelah tangan Rhea supaya gadis itu mau kembali ke dalam rumah. Menurut Kiran, mereka sudah terlalu lama bermain di halaman dan Mama mereka pastinya akan marah. Adzan magrib yang sudah berkumandang selalu menjadi tanda bahwa waktu bermain sudah usai.
“Dasar penakut!” sentak Rhea kepada Kiran. Rhea pun menepis tangan Kiran kemudian berjalan mendahului Kiran yang terpaku di halaman.
“Kiran sayang! Waktunya makan malam!” Betul saja seperti dugaan Kiran, kepala Mama menyembul keluar dari jendela dapur untuk memanggilnya.
“Iyah, Ma! Kiran udah selesai main kok!” jawab Kiran cepat-cepat.
“Panggil Rhea supaya cepetan masuk ke rumah. Sudah sore!” sahut Mama Kiran.
“Rhea udah masuk, Ma. Tadi Kiran udah suru Rhea pulang kok!” Kiran kecil memang merasa lebih bertanggung jawab dibanding adik perempuannya, Rhea.
Rhea selalu kena masalah karena wataknya yang pemberontak dan gaya bicaranya yang seenak sendiri. Padahal usia mereka baru genap lima tahun. Ya, Kiran dan Rhea adalah kembar fraternal. Setidaknya itulah yang disampaikan kedua orang tua Kiran dan Rhea jika ditanya mengapa kedua anak perempuan mereka ini seumur tetapi tidak mirip sama sekali.
“Kiran, Rhea mana?” Mama bertanya lagi pada Kiran yang sekarang sudah duduk manis di meja makan.
“Tadi Rhea udah masuk rumah kok, Ma. Kiran liat sendiri,” Kiran berusaha membela diri karena ia takut mamanya mengira ia berbohong.
“Ya udah, panggil Papa. Bilangin makan malem udah siap. Terus kamu cari Rhea yah, sayang,” kata Mama.
“Iyah, Ma.” Kiran yang penurut pun beranjak dari kursi meja makan yang masih terlalu tinggi untuknya dengan susah payah. Kemudian langkah-langkah kecilnya terdengar menaiki tangga yang besar dan berputar menuju lantai dua dimana ruang kerja Papa terletak.
“Papaaaa.Makan!!” seru Kiran.
“Okay, sayang!” sayup-sayup terdengar suara Papa dari balik pintu kayu mahoni ruang kerjanya.
“Rhea, kamu dimana?” Kiran kemudian memanggil-manggil Rhea sambil berlari-lari kecil menuju kamar Rhea.
“Rhea?” Kiran melongokkan kepalanya ke dalam kamar yang kosong.
“Kiraaaan!” teriakan Rhea sayup-sayup terdengar namun Kiran tidak bisa melihat sang empunya suara.
“Rhea kamu di mana?”
“Tolongin aku!!” Suara Rhea yang terdengar hampir menangis terdengar dari arah jendela. Kiran pun berlari ke arah jendela besar. Namun karena Kiran terlalu pendek, ia tidak bisa melongokkan kepalanya ke luar jendela.
“Kamu di mana?” tanya Kiran lagi. Suaranya terdengar bergetar karena ia sudah siap menangis.
“Kiran, tolongin aku!” suara Rhea sekarang sudah benar-benar tercekat. Pastilah gadis kecil itu sudah menangis, di mana pun dia berada.
Betapa terkejutnya Kiran ketika ia mendapati tangan kecil yang memutih karena berusaha keras mencengkram bingkai kayu jendela.
“Rheaaa!” teriak Kiran.
Refleksnya menyuruh Kiran berlari untuk memanggil orang dewasa, Mama atau Papa atau Bibik, siapapun yang cukup kuat untuk menarik Rhea. Sekuat tenaga Kiran menggedor-gedor ruang kerja Papa walaupun air mata sudah membanjiri wajah mungilnya.
“Kiran, ada apa?” Papa keluar dengan wajah kesal karena kerjaannya diganggu terus.
“Rhea mau jatuh, Pa!” kata Kiran di sela isakannya.
“Apa katamu?” Sebelum Papanya sempat bertanya lagi, Kiran sudah memegang tangan Papa dan berusaha menarik-narik pria itu ke kamar Rhea.
“Kiraaaaaan!” teriakan Rhea terdengar semakin lemah.
“Aku udah panggilin Papa. Pegang yang erat, Rhe!” seru Kiran putus asa.
“Aku nggak bisa pegangan lebih lama lagi!”
“Rhea, kamu dimana?!” dengan panik Papa menerjang masuk ke dalam kamar Rhea yang pintunya memang dibiarkan terbuka.
“KIRAAAAAAAN!!” teriakan Rhea melengking seiring terjatuhnya tubuh mungil itu.
“RHEAAAAAA!” Kiran memejamkan mata seraya berteriak karena ia tahu Rhea pastilah sudah tidak lagi berpegangan pada bingkai jendela.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog