Desiran angin menerbangkan rambut kami. Kini aku bersama kakak kembarku, kami berdua duduk diatas puncak tebing, dengan derasnya air terjun kebawah dan kami duduk bersebelahan, tidak peduli dengan bawahan kami yang basah karena duduk di batu yang terkena aliran air. Awalnya aku hanya sendiri, tapi Hyunna menemukanku. Seperti tahun-tahun sebelumnya tepat hari ini, aku lari dari Ulang Tahunku sendiri, oke! hari ini Ulang tahun kami. Kami saudara kembar jelas hari lahir kami sama.
Bila saudaraku ini bisa menemukan ku, sudah pasti gadis yang mirip denganku ini sudah mengetahui alasan mengapa aku lari, alasan mengapa aku kabur dan menyendiri. Kini umur kami genap 13 tahun, berarti hampir setahun juga aku bertemu, tidak! Lebih tepatnya aku dipertemukan dengan Hyunna. Meski dengan cara yang unik dimana kami hampir saling membunuh. Hahaha, miris tapi konyol.
Tiga belas tahun, berarti tepat delapan tahun setelah tragedi berdarah itu, tragedi yang merenggut nyawa bunda, kakak, dan adik kecilku. Tragedi yang merenggut air mataku seakan kuhabiskan seluruh hidupku menangisi mereka, tapi mereka tidak akan pernah kembali. Tragedi yang membuatku membenci hari ini, hari lahirku sendiri.
Hampir satu jam kami berdua dilanda keheningan, sehingga hanya desiran angin dan derasnya air terjun di depan kami. Tidak ada dari kami yang mau membuka percakapan, dan secara pribadi aku memang malas untuk bicara, aku lebih menikmati ini. Sampai pada akhirnya gadis berpakaian ungu ini mulai gerah dengan keheningan dan membuka suara.
“Hyuann!” bukanya
“hm?” balasku malas tanpa berpaling
“Aku mau tanya”
“Apa?”
“Apa kamu benci warna merah?” tanyanya tampak hati-hati.
“Darimana cece tahu?” tanyaku masih tetap tanpa berpaling
“Di kamarmu tidak ada setitikpun warna merah, sekalipun sangat dominan warna hitam, putih dan pink, di kamar Vina, Caca, dan Lia, masih ada warna merah meski lebih dominan di kamar Vina karena dia sangat menyukai warna merah, dan dari penampilanmu, aku tidak pernah menyaksikan dirimu memakai warna merah, atau paling tidak aksesoris kecil berwarna merah”
“tsk! Cece terlalu jenius atau terlalu peka sih?” dengusku, sambil sedikit menyindirnya, oke! Kuakui dia memang benar-benar genius, maksudku ‘benar-benar’ sejauh aku mengenalnya dia sudah diakui merupakan salah satu dari sekian banyak anak yang genius. Apalagi keahlian mengatur strategi di balik layar maka 98% misi dengan dengannya sukses tanpa cacat cela. Bukannya sombong, meski terlatih pula untuk berada di depan layar, aku lebih cepat dan lebih kuat dibanding dirinya.
Berbeda denganku yang selalu beraksi di depan layar, berlari, melompat, menari dengan katana, pisau, tombak, panah, hingga laras panjang. Lecet, lebam , luka sobek di bibir, darah mengalir disekujur tubuhku sudah menjadi perhiasanku setelah selasai misi, merasakan sendiri darah lawanku menjadi resiko dalam hidupku mau tidak mau.
“Cece sendiri juga nggak suka merah kan?” sambungku membalik pertanyaan dengan pertanyaan. Mengingat dia tidak memiliki satupun benda berwarna merah, ataupun baju merah, disamping ia adalah seorang biarawati yang pasti bajunya adalah putih, hitam, dan abu-abu kebiruan. Tapi setahun bersamanya dan melihatnya memakai pakaian sehari-hari aku tak sekalipun pernah melihatnya memakai baju warna merah atau aksesoris merah. Yang sering tampak dimata adalah warna ungu, ungu muda, biru muda, putih, maupun amethyst yang senada dengan kedua warna mata kami, dan warna apapun selain merah.
“...” dan keadaan kembali hening
“Tidak juga, aku masih menyukai mawar merah-” akhirnya ia buka suara tapi sekatika aku memalingkan wajahku padanya sambil memicing
“—astaga, kau menyukai bunga penuh kebohongan itu?” kataku tidak percaya dan masih memasang wajah yang-benar-saja.
“ O ayolah, tunggu aku selesai bicara nona! lagipula aku bukan tidak suka, aku hanya merasa tidak cocok saja dengan warna merah, karena itu aku tidak memakainya, dan tanpa kusadari tak ada satupun barangku berwarna merah. Dan lagi, bunga mawar itu cantik, dan bukan bunga penuh kebohongan, oke?” katanya sewot. Dia ini! mudah sekali terpancing emosi. Biarpun jenius tapi dia susah mengendalikan emosi, padahal dia adalah Assasin pelindung biara. Assasin macam apa itu? Dasar Cece bodoh!
“heh, dasar pecinta tanaman!” dengusku lagi, kepalaku kini kembali menghadap ke depan menghadap hamparan batu raksasa kehijauan “kalau begitu alasanku sama!” dari sudut mataku sangat tampak bahwa Cece-jenius-tapi-bodoh-ku ini menampakkan wajah bingung.
“aku bukannya tidak menyukainya, atau bahkan membencinya, aku hanya merasa tidak pantas mengenakan warna itu, karena-“ lanjutku menggantung dan aku mulai memasuki kegelapanku “-karena bagiku hanya satu orang yang sangat pantas dan sangat cantik dengan warna itu, warna merah” kegelapan yang kuciptakan karena aku mengatupkan mataku ini berubah menjadi gambar sosok wanita cantik yang sangat kurindukan dengan gaun merah yang terakhir yang ia pakai sebelum nyawanya direnggut.
Hyunna tetap diam tapi aku yakin ia bertanya-tanya. “ia begitu cantik, sosok wanita yang sempurna, bagaikan malaikat meski bukan warna putih yang ia kenakan, begitu cantik-“ aku menarik nafas sesaat karena bayangan buruk iu datang lagi, tapi aku tetap membiarkanya menghampiriku “—Sekalipun ia tenggelam dalam darahnya sendiri” mataku terbuka dan menghadap langit, sebelumnya telah kulihat kembaranku, ia tampak terperanjat dengan kata-kataku barusan.
“Apakah dia-,”
“-ya! Bunda kita” sambarku “aku tak perlu lagi menjelaskan detailnya karena aku yakin cece sudah tahu. Yang pasti-“ mataku kembali kupejamkan dan menghembuskan nafas sekali lagi “-saat itu, aku memakai gaun pink yang bagiku sangat cantik, dengan sepatu putih manis menghiasi kakiku, rambutku yang ikal sebahu dibiarkan tergerai dengan mahkota silver lucu menghiasi kepalaku. Haha hingga saat ini aku mengagap aku benar-benar seorang putri”
“Tapi saat kupandangi lagi diriku di kaca, aku melihat yang lebih cantik. bunda berdiri di belakangku dengan gaun merah sederhana dengan rambutnya yang pendek hanya seperti tersisir rapi saja, selop hitam dengan hills rendah menghiasi kakinya, wajahnya sangat cerah meski hanya make-up yang sangat tipis ia pakai. Ia mengatakan bahwa aku cantik, tapi bagiku dialah yang lebih cantik. Ketika kami berjalan beriringan, dan semua mata tetuju padaku sebagai bintang utama. Tapi mataku hanya tertuju pada bunda. Bahkan ketika pesta dimulai sesekali aku melirik kearah bunda. Hingga-“ aku meletakkan kepalaku diatara ketua lututku.
“Hingga peristiwa itu terjadi, dan pesta berdarah dimulai” aku tak lagi bisa menahan gejolak hatiku, mengingat itu semua rasanya sangat menyesakkan, bahkan aku merasa hampir kehabisan nafas, sekelilingku terasa dingin hingga aku menggigil, aku ingin bisa menangis tapi air mataku tak mau keluar. Rasanya tak sanggup lagi melanjutkan cerita, tapi aku harus, Hyunna berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu, karena wanita itu adalah bunda kami.
“semua terjadi sangat cepat, terjadi begitu saja di depan mataku, melompat kesana kemari, dan aku hanya bisa bisa terdiam seakan seluruh syaraf di tubuhku menjadi lumpuh, hingga... hingga...” Demi Tuhan aku tak sanggup lagi, aku mulai tersenggal-senggal kehabisan nafas, harus kulanjutkan “hingga bunda yang berdiri tepat di depan ku sudah-“ kurasakan kehangatan mulai menyelimuti diriku.
“ssst, tak perlu diteruskan. Jika ingin menangis, aku siap jadi air mata mu!” kehangatan itu semakin terasa, ditambah suara itu, seperti suara bunda. Aku rindu kehangatan ini, aku rindu bunda, aku rindu suara bunda, aku rindu pelukan bunda, aku-, tunggu! aku kembali dunia nyataku akibat bahu kiriku yang mulai basah dengan air hangat. Ketika aku mengangkat kepalaku, aku sadar kehangatan ini karena aku dipeluk oleh seseorang, bahu kiriku basah karena orang yang memeluku tengah menangis.
“Cece?” hanya itu yang mampu keluar.
“Kau tak perlu lagi menceritakan ulang, karena tanpa kau ceritakan aku sudah tahu, dan aku tahu bukan dari orang lain, Aku tahu. Aku tahu Hyuann.. hiks... hiks” dia benar-benar menangis, aku hanya terdiam menatapnya. Apa maksudnya dia tahu? Dia tidak ada disana. Akulah yang mengalaminya. Apakah ini yang namanya ikatan saudara kembar? Aku ingin berusaha meneriakan ini, aku ingin memprotesnya, tapi aku terlena dengan kehangatan ini.
“Tak perlu kau teruskan, bayangkan saja, bunda yang cantik dengan gaun merahnya. Meski hanya difoto aku tetap tahu dan percaya bunda kita sangat cantik. Dan meski hanya mendengar dari adikku sendiri aku sangat percaya bahwa bunda adalah wanita tercantik yang pernah ada, No matter what! Benarkan?” aku hanya terdiam, dalam hati aku membenarkan kata-katanya, tapi lidahku tercekat, pertama kalinya aku menunjukan sisi lemahku pada orang lain, tapi aku bersyukur dia adalah kakakku sendiri.
“Kemarilah!” pelukannya semakin erat, dagunya bertumpu diatas kepalaku kurasa, yang bisa kudengar hanya suara tangisanya, kudengar pula detak jantungnya karena salah satu tangannya mendesak kepalaku ke dadanya. Nyaman. Akupun menutup mataku, kedua tanganku membalas pelukannya, dan semakin erat, semakin nyaman, semakin hangat.
Beragam sensasi yang berbeda dari biasanya, aku merasa lega, jauh lebih lega dari sebelumnya. Kata orang menangis bisa mengurangi beban, tapi tidak dengan ku, aku tidak bisa menangis, air mataku tidak bisa mengalir sekalipun aku berusaha ataupun ingin. Mati rasa, hanya sesak, kesesakan yang tak kunjung hilang. Tapi ini berbeda, yang menangis bukan aku, tapi kenapa aku, kenapa aku mulai merasa lega? Apakah benar? Apakah bisa?
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berada dalam posisi ini. Tangisan Hyunna sudah tidak lagi terdengar. Ini sungguh nyaman, aku tak ingin cepat berakhir, aku jadi kasihan pada ceceku ini, apa dia tidak lelah dengan posisi seperti ini, hihihi. Tak apakan seperti ini lebih lama lagi.
“Hyuann-“
“Pelukan Cece hangat!” kataku masih betah
“Ok, sebentar lagi. Kau tahu, aku mulai pegal” kikiknya, tapi aku tahu suaranya bergetar. Hhh, kakakku ini. Sungguh dia tidak pandai bersandiwara (ok aku juga tidak bisa. Tidak dihadapannya) aku mengangkat kepalaku. Dan menatap matanya, Aku melihat refleksi diriku di matanya. Aku tidak tahu, rasanya aneh.
“Ce, sebelum pulang mau bunuh diri bersamaku?” kataku tenang, dengan menekankan kata bunuh diri yang langsung disambut dengan matanya yang terbelalak layaknya bola pingpong.
“A-apa maksudmu bunuh diri?” hihi, dia tergagap. Disekitarnya seakan terdapat aura suram penuh ketakutan.
“Tsk! Itu hanya istilah Ce. Aku sudah biasa melakukan ini bila sedang bosan. Dan ini sudah sering kulakukan sejak usia delapan. Tenang saja, dasar nya agak dalam sehingga tidak akan menyebabkan cedera.” Aku tetap berkata sangat tenang sambil berdiri dari pelukannya dan mulai melepas atasan, sepatu, hand maupun leg protectorku.
“Jika tidak ikut, bawakan bajuku ya! Kita bertemu di bawah!” Kini hanya menyisakan tanktop hitam dan rok-celana hitamku.
“Oya Ce, kuharap tahun depan kita akan melakukannya bersama-sama,” aku kini melihat hamparan air biru yang tampak menyegarkan. Angin mulai menerpa rambutku, sejuk. Terlihat oleh ekor mataku, Hyunna mulai berdiri dan ikut menatap hamparan biru di bawah, masih nampak keraguan. Dia berusaha menghentikanku dengan menatapku seakan berkata apa-kau-sudah-gila.
“Hyuann! kau pasti sudah gila!” katanya, masih tidak percaya. Tapi aku hanya tersenyum dan berlari ke belakangnya, agak jauh, namun tidak sampai memasuki hutan.
Ya, mungkin aku memang sudah gila
Dulu pertama kali aku selalu berpikir, aku akan bisa menyusul bunda dengan ini. tapi kenyataan belum datang padaku, separah apapun luka yang aku terima, aku selalu selamat. Ini memang bisa disebut bunuh diri tapi selalu gagal, dan aku masih hidup hingga sekarang. Tapi memang aku belum bisa mati sekarang.
Aku berusaha membalaskan dendamku, namun itu gagal kulakukan. Akankah aku melanjutkanya? Sudah tak ada gunanya. Segala misteri sudah terkuak. Bukan berarti aku sudah memaafkan dirinya—ayahku—tapi sudah tidak ada lagi yang tersisa untuk kucari dalam jejak merah yang memandikanku hingga detik ini.
Yah, semua ini telah ter-setting, termasuk memisahkanku dengan kembaranku selama belasan tahun dan kemudian mempertemukan kami. Ketakutan menjadi dendam; mencari alasan mengapa harus bunda, kakak, dan adikku, dan mengapa aku yang tertinggal; mengapa harus menunggu diriku yang mencarinya dan bukan segera menjelaskan padaku.
Bagaimana aku tidak menyukai bunga dan tanaman, bagaimana aku memilih memanjangkan surai hitamku dibanding memotongnya, bagaimana aku selalu menolak mengasosiasikan diriku dengan warna merah. Adalah karena aku tidak ingin sepertinya. Malaikat tercantik bergaun merah yang tak mungkin kukalahkan kecantikannya.
Karena kurasa sudah cukup jauh, aku kembali membalikan badanku dan berlari kearah Cece namun melewatinya, lagi. Itu artinya aku telah melewati batas ujung tebing, tidak ada keraguan, tidak ada rasa takut, aku melayang, namun tubuhku melawan gravitasi, rambutku tertarik keatas, Bebas, mataku terpejam merasakan tubuhku menghempas melawan grafitasi. Dan hal terakhir yang kurasakan adalah dingin. Tapi bukan dingin mencekam, melainkan dingin menyejukan. Kubiarkan diriku tenggelam, rasanya sungguh lepas, kurasakan pula sudut bibirku tertarik keatas. Biru, dengan pantulan cahaya matahari.
Aku akan hidup.