Silvia melangkahkan kakinya keluar dari toilet. Namun, ketika ia menjejakkan kakinya, ia merasa seperti ada orang yang tengah mengikutinya.
Silvia pun menghentikan langkahnya. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Silvia pun memutar lehernya menghadap ke belakang. Dan matanya membulat ketika mendapati seseorang di belakangnya.
Sekali lagi, orang.
Silvia menghela napasnya dengan kasar.
"Loe lagi, loe lagi, loe lagi. Kenapa sih dari kemarin loe ngikutin gue terus. Mau loe apa, hah? Gue kira tuh ada hantu di belakang gue. Nggak taunya loe,"
"Nggak usah ngegas kali. Lagian gue ngikutin loe itu juga bukan tanpa alasan," jawab laki-laki itu sambil menyenderkan tubunya di dinding.
"Ya alasannya apa?"
"Rahasia,"
"Dari kemarin jawabannya itu mulu. Mendingan loe berhenti nguntitin gue. Gue parno jadinya,"
"Nggak bisa,"
"IIIIIIHHHH, NGESELIN BANGET, SIH, LOE!"
Silvia memilih untuk berbalik dan kembali ke kelasnya. Bisa rontok rambutnya kalau lama-lama berurusan dengan lelaki penguntit itu.
Siapa lagi kalau bukan Vandi. Vandi Raditya Gunawan. Anak yang duduk di sebelah kanan bangku Silvia. Anak yang kebetulan juga satu kost-an dengan Silvia. Anak yang merasa hubungannya dengan Silvia telah berubah 180 derajat.
Kenapa loe berubah, Sil?
※※※
"Silvia, pulang bareng yuk. Kita kan satu kost-an,"
Vandi sudah siap dengan sepeda hitamnya.
"Apaan, sih! Gue bisa pulang sendiri!"
"Nggak usah judes juga kali. Loe kenapa, sih, bawaannya sensi mulu sama gue?"
"Gimana gue nggak sensi. Loe kemarin ngelempar bola basket kena jidat gue. Nih, benjol, kan. Lecet lagi," Silvia menunjuk benjolan di dahinya.
"Ya, niat gue kan pengen ngembaliin tuh bola. Gue juga udah minta maaf,"
"Lagian gue nggak butuh minta maaf loe,"
"Terus loe pengennya apaan biar loe nggak sensi sama gue?"
"Diem, dan nggak usah ngikutin gue lagi!"
Silvia sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan Vandi.
Tapi Vandi dengan cepat langsung mengayuh pedal sepeda, menyusul langkah Silvia.
"Kalo soal itu nggak bisa, Sil."
"Sil sal sil sal sil. Gue tuh nggak suka ya dipanggil 'Sil'. Via aja cukup kali. Nggak usah pake Vallen,"
"Iya, Via. Udah yuk gue anterin pulang,"
"Nggak!"
"Ayolah,"
"Gue bilang nggak ya nggak!"
BRUUUKKK!!!
Gegara dorongan Silvia pada Vandi, Vandi dan sepedanya pun jatuh terjerembab ke aspal. Membuat Silvia kaget.
"Aduuuuhh, sakit Via,"
"Ehh, aduh. Maaf ya. Aduh, gue nggak maksud pengen bikin loe jatuh,"
Silvia menghampiri Vandi yang tengah mengusap-usap lengannya.
"Mana yang sakit? Mana yang sakit? Sikut loe sakit ya? Aduuuh, lecet lagi. Kita balik ke UKS aja ya?" ujar Silvia bertubi-tubi dengan paniknya.
Vandi yang memperhatikan tingkah Silvia, hanya memandanginya dalam diam. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa melihat kebaikan dan ketulusan dari wajah Silvia. Tanpa sadar ia tersenyum.
Silvia mengalihkan pandang pada korban ketidaksengajaannya.
Tatapan mereka kini beradu. Hanya soal waktu sampai kapan mereka akan bertahan dengan posisi seperti itu.
Silvia melepaskan jemarinya dari lengan Vandi. Suasana berubah canggung. Keduanya sibuk mengalihkan pandang.
"Van?"
"Sil?"
Panggil mereka bersamaan.
"Hiiih, udah dibilangin jangan panggil gue 'Sil'. Emang gue pensil," Silvia memajukan bibirnya.
Vandi tertawa kecil melihat ekspresi Silvia.
"Gue minta maaf. Gue nggak niat pengen bikin loe jatuh tadi,"
"Iya. Sekarang gue yang nanya sama loe,"
Silvia menatap mata teduh lelaki di sampingnya itu. "Apaan?"
"Maafin gue ya. Loe mau kan pulang bareng gue?"
"Tapi kan sikut loe lecet. Entar kenapa-kenapa lagi,"
"Yaelah cuma lecet setitik doang. Nggak bakal ngaruh kali,"
"Setitik dari mana? Itu darahnya sampai luber. Nggak ah,"
"Ya, Sil. Please lah,"
"Udah berulang kali jangan panggil gue 'Sil'. Sekali lagi loe manggil gue 'Sil' gue nggak bakal gubris loe,"
"Iya, Via. Ayolah,"
"Gue mau aja. Tapi kita jalan aja. Gue nggak mau sikut loe tambah parah,"
Senyum manis auto terkembang di bibir Vandi.
"Ya udah, yuk!"
Mereka berdua bangkit berdiri.
Tapi Silvia termangu ditempat. Tunggu, gue tadi bilang apaan sama Vandi? Haduh, jangan sampe dia ge-er sama omongan gue tadi.
"Ayo, S–" Vandi hampir saja memanggil Silvia dengan panggilan yang tidak Silvia sukai.
"Ayo, Via!"
Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju kost-an.
※※※
Silvia menghampiri Vandi yang tengah berbaring di sofa lantai bawah.
Kebetulan Vandi tengah sibuk dengan handphone-nya. Sibuk PUBG-an.
TEKK!!!
Silvia meletakkan kotak P3K di meja kaca dekat Vandi.
Vandi pun menoleh ke samping. Ia menemukan Silvia yang tengah berdiri di dekatnya. Ia langsung membenahi posisinya menjadi duduk.
"Eh, Via. Ada apa?"
"Obatin dulu tuh luka loe. Entar infeksi, dibawa ke rumah sakit, terus dioperasi, mau loe?"
"Jauh banget mikirnya. Loe nyumpahin gue ya?"
"Gue cuma ngingetin. Udah, sana diobatin,"
Silvia hendak berbalik kembali ke kamarnya. Namun, Vandi dengan sigap mencegat lengannya.
Silvia termangu di tempatnya. Perasaan itu datang lagi. Perasaan aneh yang pernah menyerangnya tahun lalu.
"Apaan?" tanya Silvia kemudian.
"Obatin dong. Gue nggak tau obat apa yang harus gue pake,"
Silvia menghela napasnya pelan.
"Bentar, gue ambil air dulu,"
Vandi pun melepas jemarinya dari lengan Silvia, membiarkan gadis itu pergi ke dapur.
Vandi kembali tersenyum melihat perhatian yang diberikan Silvia. Entah mengapa perasaannya menghangat dan membuatnya senang.
"Oooy, senyum-senyum sendiri! Ada apa, nih?"
Tiba-tiba saja seorang lelaki mengagetkan Vandi.
"Eh, Bang Rendi. Ngagetin aja,"
"Kenapa loe senyum-senyum sendiri? Aaahh, gue tebak loe lagi mikirin cewek kan? Hayo ngaku. Siapa?"
"Apaan sih. Orang gue lagi baca TinLit. Nih ceritanya lucu," elak Vandi sambil memperlihatkan handphone-nya.
Sontak saja Rendi tertawa terbahak-bahak.
"Abang kenapa?"
"Hahahah, TinLit darimana. Itu loe lagi buka PUBG bodo. Hahahah, Vandi Vandi,"
Vandi pun hanya menunjukkan cengirannya sambil menggaruk tengkuk.
"Udah deh. Loe buruan tembak tuh cewek. Keburu diembat orang. Hmmm, gue tebak orang itu... ada di kost-an ini kan? Iya, kan?"
Dengan polosnya Vandi mengangguk pelan.
"Wahh, bener. Lagi, lagi. Gue tebak nama cewek itu–"
Kalimat Rendi tergantung ketika Silvia datang dengan membawa baskom berisi air.
"Eh, Silvia," sapa Rendi.
"Eh, Bang Rendi. Kok udah pulang?"
"Iya dong. Tadi dosennya lagi sibuk ngurus kompetisi gitu. Jadinya nggak ada kuliah,"
"Ohhh,"
Rendi mendekatkan wajahnya ke telinga Rendi. "Dia, kan, ceweknya?" bisiknya kemudian.
Sedangkan Vandi hanya menatap lekat Silvia yang tengah menyiapkan obat untuk dirinya.
Sekali lagi, Vandi tersenyum.
※※※
Malamnya...
Silvia terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, hendak pergi ke toilet.
Ketika ia menurunkan kaki dari tempat tidur, hawa dingin menyergap. Biasanya tidak sedingin ini, apalagi ini Jakarta.
Bulu kuduknya otomatis berdiri. Tapi, Silvia tetap memantapkan langkahnya menuju pintu kamar.
Ketika hampir sampai di pintu. Silvia mendengar samar sebuah suara. Seperti suara angin yang bertiup atau seperti suara bisikan orang.
Tapi opsi pertama tidak mungkin karena jendela kamarnya ia tutup dengan rapat, juga kondisi di luar sepertinya tidak menampakkan adanya angin yang bertiup.
Sedangkan opsi kedua...
Silvia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menghalau pikiran ngawur itu. Ia pun meraih kenop pintu. Namun, gerakannya kembali terhenti. Suara itu datang lagi.
Kali ini lebih jelas. Dan benar itu seperti suara bisikan.
Bulu kuduknya sudah berdiri tegak. Silvia juga merasakan tubuhnya sulit untuk digerakkan, enggan bergerak dari tempatnya.
Namun, karena penasaran, Silvia memutar lehernya. Dan ketika ia menoleh ke belakang...
Kosong.
Hanya ada tempat tidur dengan selimut yang berantakan.
Silvia celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Sama, semuanya tidak ada yang berbeda.
Silvia menghela napasnya perlahan. Lagipula lampu kamarnya sengaja ia hidupkan. Ia tidak bisa tidur tanpa lampu yang menyala.
Silvia berbalik dan meraih kenop pintu, pintu terbuka seperempat bagian. Dan tiba-tiba lampu kamarnya mati.
Semua menjadi gelap.
Tapi, lampu di luar kamarnya tetap hidup. Sehingga beberapa cahaya menelusup masuk lewat celah pintu yang baru terbuka seperempat.
Suara itu datang lagi. Kali ini tepat di telinga kiri Silvia.
"SILVIAAAAA... SILVIAAAA..."
Begitulah suara bisikan itu.
Silvia meneguk ludahnya dengan berat.
Pelan-pelan ia menggerakan lehernya ke kiri.
"ARRRGGHHHHHHH...!!! PERGI KAMU!!! ARRRRRGHHHHH!!!"
Silvia sudah berjongkok sambil menutup matanya rapat-rapat dan tangan yang menutupi kedua telinganya.
Namun, suara itu tetap bisa menembus masuk dalam telinga Silvia.
"JAUHI DIA ATAU KAMU AKAN MATIIIIIII..."
"PERGIIIII...!!! PERGIIII...!!!" Silvia berteriak sekencang-kencangnya.
Kali ini terdengar suara berdebum. Barang-barang di meja belajar Silvia jatuh berserakan. Kesiur angin juga terasa di kamar Silvia.
Silvia hanya mampu berteriak dengan isak tangisnya.
"TOLONG.... PERGIIII...!!!"
Tiba-tiba, pintu kamar Silvia terbuka lebar.
Lampu kamar Silvia juga tiba-tiba menyala. Menampilkan kondisi kamarnya yang begitu berantakan.
Silvia masih berjongkok dengan kondisi ketakutan. Bahunya naik-turun seiring dengan tangisnya yang semakin menjadi.
"PERGIII...!!!"
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Sontak saja Silvia berteriak ketakutan.
"Silvia ini gue. Ini Vandi,"
Mendengar suara itu, Silvia perlahan mulai membuka matanya perlahan.
Benar, Vandi tengah berjongkok menghadap Silvia dengan raut wajah khawatir.
"Loe kenapa?"
"T-ta-di... ada... hantu..."
"Hantu?"
"Iya. Hantu perempuan... hiks, pake seragam SMA... hiks, terus mukanya pucet banget... hiks. Bener-bener nyeremin... hiks. Gue takut... hiks," Silvia berujar diiringi deru tangis.
"Udah, loe nggak usah nangis. Hantu itu udah nggak ada. Loe tenang dulu,"
Vandi pun membantu Silvia berdiri.
Vandi refleks menyibakkan rambut Silvia yang menutupi wajah pucat Silvia.
Perlahan tangan Vandi juga merambat ke pipi Silvia. Ia mengusap pipi dingin itu dengan jarinya, mengusap air mata yang tersisa di sana.
Silvia hanya bisa diam tak berkutik. Ia menatap dalam sosok di depannya ini.
"Loe nggak usah takut. Ada gue kok di sini," ujar Vandi dengan senyumannya.
Silvia hanya menunduk. "Makasih, udah nolongin gue." lirihnya kemudian.
Vandi tersenyum dan mengusap-usap puncak kepala Silvia.
Namun, tiba-tiba ia merasakan bau aneh yang menyengat. Ia hafal bau apa ini. Vandi menggerak-gerakkan hidungnya, memastikan bau yang ia cium.
"Via, loe nyium bau pesing nggak?"
Sementara yang ditanya semakin dalam menunduk.
"Sorry, Van. Gue ngompol. Habisnya gue tadi takut banget. Apalagi tadi gue sebenernya pengen keluar buat pipis. Eh, hantunya nongol, gue malah ngompol,"
Otomatis Vandi tergelak mendengar penjelasan Silvia. Sampai-sampai ia menitikkan air mata.
"Malah diketawain,"
"Habisnya loe lucu banget. Aduuh, yaudah sana loe ganti baju dulu. Pesing banget, hahaha," Vandi kembali tergelak.
Silvia hanya mendongak menatap mata Vandi. Vandi juga tahu kalau Silvia masih ketakutan dengan kejadian barusan.
"Tenang aja gue temenin kok," ucap Vandi kemudian.
"Tapi gue nunggunya di luar," lanjut Vandi.
Silvia pun menganggukkan kepalanya.
※※※
"Wiiih, Bang Rendi masak apa, nih?"
Vandi menghampiri Rendi yang tengah sibuk dengan kompor di dapur.
"Masak nasgor dong. Mau nggak loe?"
"Ya maulah. Mumpung ada yang masakin, haha," ujar Vandi sambil memakai sepatu di kedua kakinya.
"Eh, Van. Gue tadi malem tuh denger suara teriakan cewek gitu. Berisik banget. Gue kira cuma mimpi gue doang. Eh, tapi kayak asli ternyata. Loe denger nggak?"
"Ya aslilah, Bang. Orang yang teriak aja di atas," jawab Vandi dengan santai.
"Hah?! Maksud loe yang teriak-teriak itu Vidya?!" Rendi langsung heboh. Takut pujaan hatinya itu kenapa-kenapa.
"Loe mah pikirannya Kak Vidya mulu. Kak Vidya pulangnya baru tadi pagi,"
"Kasihan bener, cewek gue pulangnya pagi. Lha terus yang teriak-teriak siapa?"
"Silvia,"
"Hah? Kenapa?"
"Katanya dia liat hantu gitu,"
"Seriusan loe? Wahh emang bener dugaan gue. Kost-an kita ini sebenernya nggak aman,"
"Hussh, hati-hati kalo ngomong. Entar giliran loe yang disamperin sama tuh hantu, mampur loe."
"Eh, loe jangan nyumpahin gue dong,"
"Makanya jangan ngomong yang nggak-nggak,"
Tiba-tiba Vandi teringat dengan perkataan Silvia semalam.
"Iya. Hantu perempuan... hiks, pake seragam SMA... hiks, terus mukanya pucet banget... hiks. Bener-bener nyeremin... hiks. Gue takut... hiks,"
Muncullah suatu gagasan yang membuat Vandi penasaran. Apa jangan-jangan...
"PAGI SEMUA!!!"
Pikiran Vandi terputus karena suara sapaan tersebut.
Silvia dengan rambutnya yang dikuncir dengan poni panjang yang disibakkan ke telinga kanan.
Senyum lebar juga terpancar di bibir merah Silvia. Tidak seperti biasanya.
Vandi hanya termangu melihat penampilan Silvia hari ini.
"Pagi, Vandi!" sapa Silvia dengan senyum lebar.
Vandi segera tersadar dari lamunannya. "Pagi, Sil."
Silvia kian melebarkan senyumannya. Ia bahkan tidak mengomeli Vandi karena panggilan yang dilontarkan Vandi.
"Ini dia, nasi goreng ala Chef Rendi. Nggak pake narkoba, nggak pake jaim, dan tentunya nggak pake bayar. Buruan dimakan,"
Rendi menyodorkan 3 piring berisi nasi goreng.
"Kok, cuma tiga, Bang? Emang Kak Vidya nggak dibikinin?" ujar Vandi sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut.
"Ada dong. Spesial buat dia mah bukan nasi goreng," balas Rendi sambil menyantap nasi gorengnya.
"Terus apaan?"
"Nasi aking, hahah,"
"Hahah, kurang ajar loe,"
"Ya nggaklah. Masa cewek secantik dia makannya nasi aking. Entar gue bawain dia bubur ayam,"
"Emang loe kira dia nenek-nenek makannya bubur,"
"Udah habisin aja tuh nasi goreng. Rempong amat loe,"
Mereka kembali sibuk menyantap nasi goreng mereka.
Sedangkan Silvia hanya menatap keduanya dengan senyum di bibirnya.
Menyadari gadis di sebelahnya tidak menyentuh nasi goreng buatan Rendi, Vandi pun menoleh ke arah Silvia.
"Kok loe nggak makan, Sil? Enak lho,"
"Ah nggak ah. Lagi nggak pengen makan,"
"Kalo lagi nggak pengen makan ngapain loe di sini?" kata Bang Rendi.
"Nungguin Vandi,"
Si empunya nama hanya menautkan kedua alisnya. Ia menoleh ke arah Bang Rendi. Sedangkan Bang Rendi hanya mengedikkan bahu.
"Ngapain nungguin gue?"
"Ya berangkat barenglah,"
Kini Vandi hanya menganga tak percaya dengan ucapan Silvia barusan.
"Ya udah kalo gitu, gue tunggu di teras ya, Van. Makan yang banyak,"
Silvia pun beranjak menuju teras.
Vandi menautkan kedua alisnya semakin dalam.
"Eh, Bang. Silvia kok beda gitu ya?"
Bang Rendi menenggak segelas air putih dan meletakkannya di meja.
"Hmm. Aneh banget. Nih, kalo gue liat biasanya kalian nggak seakrab tadi, kan?"
"Iya, sih. Silvia juga biasanya paling semangat buat sarapan, kadang dia juga yang bikinin. Sedangkan tadi, dia bilang lagi nggak pengen sarapan. Dia juga nggak seheboh tadi biasanya. Apalagi dia nggak pake kacamata. Terus nih ya, gue kan tadi nggak sengaja manggil dia 'Sil', eh... dia nggak marah. Padahal dia nggak suka dipanggil begituan. Aneh,"
BRAKKK!!!
Tiba-tiba, Rendi menggebrak meja makan, membuat Vandi yang tengah minum tersedak.
"Jangan-jangan..." Rendi memelankan suaranya.
Vandi penasaran dengan kelanjutan ucapan Rendi.
"Jangan-jangan dia kesurupan hantu yang tadi malem,"
Vandi memikirkan kemungkinan tersebut.
Lagi, ia teringat dengan perkataan Silvia tadi malam.
"Iya. Hantu perempuan... hiks, pake seragam SMA... hiks, terus mukanya pucet banget... hiks. Bener-bener nyeremin... hiks. Gue takut... hiks,"
Dari ciri-ciri yang kemarin Silvia bilang dan tingkah Silvia hari ini kayaknya saling berhubungan. Nggak salah lagi. Bener dugaan gue. Ini pasti dia.
"Derina..." lirihnya kemudian.
※※※
KRRIIIINGG!!!
Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa-siswi SMA Panca Sakti segera berhamburan keluar gedung sekolah. Akhirnya mereka bisa terbebas dari jeratan pelajaran yang membuat pusing sekaligus mengantuk.
"Vandi, pulang bareng yuk," Silvia tiba-tiba mendatangi meja Vandi.
Vandi yang tengah membereskan bukunya menatap Silvia heran.
"Tumben loe pengen pulang bareng sama gue,"
"Lho bukannya biasanya kita sering pulang bareng ya?"
Vandi menautkan kedua alisnya.
Menatap Silvia dengan heran.
Bener aneh nih Silvia. Apa... omongan Bang Rendi tadi beneran ya?
"Yuk, Van!"
"Eh, iya ya. Bentar,"
Selesai memasukkan seluruh buku, Vandi langsung menggamit lengan Silvia.
Silvia sendiri sedikit terkejut dengan perbuatan Vandi.
"Kita mau ke mana, Van?"
Vandi hanya diam.
Akhirnya, mereka berdua sampai di gudang belakang sekolah. Tempat yang jarang dijamah orang di SMA Panca Sakti.
Vandi langsung menyentak tangan Silvia.
"Kok kita malah ke sini, Van?"
"Siapa loe sebenernya?" tanya Vandi, tidak mempedulikan pertanyaan Silvia.
"Ya, aku Silvia lah, Van. Emang siapa lagi?" balas Silvia sambil tertawa canggung. "Emang kenapa, sih?"
"Siapa–loe–SEBENERNYA?!" napas Vandi kian menderu.
Silvia menghela napas kasar. Percuma ia mengelak dari Vandi.
Silvia tersenyum miring. "Loe nggak bisa nebak siapa gue sebenernya, hm?"
Vandi tertawa sinis kemudian. "Bener tebakan gue. Loe bukan Silvia yang gue kenal. Akhirnya loe ngaku juga. Kenapa? KENAPA LOE NGELAKUIN INI, DERINA?!"
"Kenapa?! Loe masih tanya gue, kenapa?!" Silvia alias Derina yang mengambil alih tubuh Silvia, membalas dengan penuh penekanan.
"Gue ngelakuin hal ini karena gue nggak rela. Gue nggak rela loe deket sama Silvia. Gue nggak suka loe lebih care sama Silvia. Gue juga nggak suka kedekatan loe sama Silvia. Gue cemburu, Van. Loe ngerti nggak, sih, Van?" kedua ujung mata Silvia mulai basah oleh air mata, suaranya terdengar bergetar.
"Tapi nggak gini caranya, Rin. Justru karena loe ngelakuin hal ini gue jadi nggak respect sama loe. Dan perbuatan loe ke Silvia tahun lalu, nggak bisa gue terima. Dan itu justru jadi bumerang buat loe, kan? Loe liat sekarang. Loe pengen deket sama gue, tapi sayangnya dunia kita udah beda,"
"Itu semua salah Silvia. Andai dulu Silvia yang ketabrak mobil, kita pasti bisa bareng-bareng lagi kayak dulu, sebelum Silvia ada di hidup loe,"
"Stop! Derina, loe harus sadar dengan perbuatan loe. Ini semua nggak bener. Gue udah pernah bilang ke loe kalau gue sayang sama loe cuma sebatas temen doang. Waktu itu loe pernah bilang kalo loe akan bahagia kalo gue bahagia, kan? Makanya ikhlasin semua, Rin. Loe meninggal juga karena ulah loe sendiri. Andaikan loe nggak punya pikiran buat menghilangkan Silvia dari hidup gue, gue yakin kita bisa bahagia bareng-bareng. Bertiga. Gue, loe, dan Silvia."
"Nggak! Selamanya gue nggak rela Silvia ada di hidup loe. Gue nggak terima!"
"Terus mau loe apa? Emang loe nggak capek jadi arwah gentayangan terus, hah? Loe udah ngerugiin banyak orang. Bahkan diri loe sendiri,"
Silvia yang dirasuki Derina tertawa sinis. "Loe kira gampang nge-ikhlasin sesuatu yang sangat gue sayangi? Apalagi dia adalah orang yang udah gue kenal dari kecil,"
"Kalo loe pengen kita bahagia, ikhlasin, Rin. Loe nggak bisa memaksa seseorang untuk pergi dari hidup kita. Loe nggak punya hak, Rin. Please, gue pengen loe hidup tenang. Gue juga pengen hidup tenang, Rin."
Silvia menggelengkan kepala. "Nggak! Silvia harus mendapat apa yang seharusnya dia dapat!"
Silvia alias Derina merogoh isi tasnya. Ia mengeluarkan sebuah benda.
Cutter.
Vandi yang melihat benda tersebut sontak membulatkan mata.
"Mau apa loe dengan cutter itu?"
Sedangkan Silvia mengarahkan cutter itu tepat di pergelangan tangannya, di mana urat nadi tertanam di dalamnya.
"Silvia harus mendapatkan apa yang seharusnya dia dapet,"
Cutter itu sudah menyentuh permukaan kulit. Tinggal satu dorongan sampai cutter itu bisa menembus kulit sekaligus urat nadi.
"Derina, jangan!"
Namun, tiba-tiba...
TREEENGG...!!!
Cutter itu tiba-tiba jatuh dari tanah, seperti ada yang baru saja menyambarnya.
Silvia membulatkan matanya, kaget. Vandi juga sama.
"Hentikan semua ini, Derina!"
Suara itu...
Silvia alias Derina menoleh ke arah suara itu berasal.
"Ayah?"
Seorang pria paruh baya dengan pakaian serba putih, wajah yang pucat, dan raut wajah garang berdiri di dekat Silvia.
"Kamu sudah keterlaluan, Derina. Ayah tidak menyangka kamu akan berbuat seperti ini. Ayah kecewa dengan kamu. Kenapa kamu melakukan semua ini, hah?"
Silvia alias Derina hanya menunduk dalam. "Maafkan Derina, Ayah. Derina cuma ingin melampiaskan dendam Derina dulu. Derina nggak suka Silvia ada di sini,"
"Tapi kamu nggak boleh berbuat seperti ini. Ternyata setelah Ayah meninggal, begini rupanya perlakuan kamu di dunia. Derina, Vandi benar. Kamu tidak bisa mengusir Silvia dari kehidupan Vandi. Apalagi sampai mau membunuhnya. Kalo kamu memang sayang dengan Vandi, biarkan Vandi bahagia dengan orang yang ia sayangi, sekalipun itu bukan kamu,"
Silvia alias Derina menunduk semakin dalam. Bahunya mulai naik-turun seiring dengan isak tangis yang kian terdengar jelas.
"Maafin Derina, Ayah. Derina ngaku salah. Nggak seharusnya Derina berlaku seperti ini. Derina udah kelewatan, sampe mau bunuh orang. Apalagi orang itu adalah orang yang Vandi sayangi. Tapi, malah aku yang kena karma,"
Silvia alias Derina kemudian menatap Vandi lekat.
"Vandi, maafin aku. Aku bersalah banget. Aku memang belum bisa beradaptasi dengan orang baru, waktu itu aku takut kalau kamu nggak peduli lagi sama aku. Maafin aku,"
"It's okay, Rin. Semua juga udah berlalu. Yang terpenting sekarang, semuanya udah jelas. Semua yang kamu lakuin nggak bener dan aku nggak suka itu. Bagaimanapun juga, nggak akan ada sahabat yang rela ngacuhin sahabatnya sendiri. Gue pasti inget kok sama loe,"
Silvia alias Derina tersenyum. "Van, gue boleh minta sesuatu nggak sama loe,"
"Apa?"
"Gue pengen, tiap hari Sabtu, loe sama Silvia berkunjung ke makam gue. Supaya gue nggak kesepian di malam minggu. Biar kalian juga inget sama gue. Lupain hal buruk gue, inget hal baik yang pernah kita lakuin bareng-bareng. Terus sampein maaf gue buat Silvia. Udah bikin dia ketakutan dengan penampakan gue. Kalian harus saling jaga satu sama lain, ya? Loe bisa kan?"
Vandi mengangguk mantap. "Pasti. Gue nggak akan lupain loe. Kita semua bakal inget sama loe dan doain yang terbaik buat loe,"
"Makasih,"
Ayah Silvia berdeham. "Ayo, Silvia. Kita kembali ke alam kita. Nggak baik lama-lama di sini,"
"Bentar, Yah. Aku belum keluar dari badan Silvia,"
Silvia alias Derina pun memejamkan mata.
Perlahan tubuh Silvia jatuh limbung ke tanah.
Kini, Vandi dapat melihat dengan jelas arwah Derina yang sebenarnya. Benar seperti yang dikatakan Silvia.
Derina yang berseragam khas SMA Panca Sakti. Dengan wajah pucatnya. Namun, satu yang salah dari pendapat Silvia. Derina tak lagi menyeramkan, tapi menenangkan. Senyum terakhir terkembang di bibir Derina.
Derina menggandeng jemari ayahnya. Mereka berdua memejamkan mata. Perlahan mereka memudar dari pandangan Vandi.
Tanpa sadar, pipi Vandi sudah basah oleh air mata sejak tadi.
Vandi segera menghampiri Silvia yang masih terbaring di tanah.
"Silvia, Silvia," panggil Vandi sambil menepuk-nepuk pipi Silvia.
Perlahan kedua mata Silvia terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Gue di mana...?" tanya Silvia dengan suara sedikit serak.
"Di sekolah,"
Vandi membantu Silvia duduk.
"Aaduuh..." Silvia memegangi kepalanya.
"Kenapa?" Vandi langsung panik.
"Rada pusing. Gue habis ngapain, sih, kok bisa sampe sini?"
"Ceritanya panjang. Udah yuk pulang,"
"Iya deh. Daripada gue tambah pusing mikirin kenapa gue bisa di sini,"
Vandi pun membantu Silvia berdiri.
Mereka berdua pun berjalan menuju area parkir dan pulang ke kost-an.
※※※
Begitu membuka pintu masuk kost-an, Vandi dan Silvia dikejutkan dengan bunga yang tertabur di lantai.
Mereka melihat ada bayangan seseorang yang tengah berdiri di balik sofa.
"Bang Rendi...? Ngapain loe di situ?"
Yang disebut namanya langsung berdiri. Lengkap dengan panci yang menutupi kepala, sarung yang menutupi tubuhnya, dan sapu yang diarahkan tepat ke arah Silvia.
"Keluarlah wahai hantu yang telah merasuki tubuh Silvia!" sahut Rendi dengan suara berat yang dibuat-buat.
Sontak saja, tawa Vandi bergema di dalam ruangan itu.
"Yeee nih bocah malah ketawa? Kenapa loe? Kesurupan juga?"
"Hantunya udah keluar, Bang. Lagian Bang Rendi ngapain, sih, dandan kayak begituan? Kayak mau perang aja, hahahaha,"
"Ya gue kan cuma antisipasi kalo tuh hantu nongol,"
"Aduuuh, kalian ngomongin apaan, sih?" sela Silvia. Ia kembali memijati kepalanya yang masih terasa pusing.
"Oh, enggak. Nanti gue ceritain kalo loe udah mendingan. Ya udah gue anter ke kamar ya,"
Silvia mengangguk dengan lemas.
Sesampainya di depan pintu kamar Silvia, tiba-tiba Silvia menghentikan langkahnya. Ia teringat akan kejadian tadi malam.
Mengetahui raut Silvia yang berubah takut, Vandi menepuk pelan bahu Silvia.
"Tenang aja. Hantu itu udah pergi kok. Jadi nggak perlu ada yang ditakutin. Pokoknya lampunya dinyalain. Kalo ada apa-apa, loe tinggal teriak aja 'Vandi, Vandi, tolongin gue!' gitu,"
Silvia tertawa kecil, sangat kecil. "Alay,"
Mau tak mau Vandi hanya ikut tertawa.
"Ya udah gue masuk. Makasih udah bantuin gue,"
Vandi menganggukkan kepalanya.
Ketika Silvia hendak meraih kenop pintu, ia berbalik menghadap Vandi.
Vandi menatap lekat kedua mata Silvia. Begitupun Silvia.
"Ternyata loe emang baik ya, kayak yang Derina bilang,"
Silvia pun berbalik dan masuk ke dalam kamarnya.
Vandi memandangi pintu kamar Silvia.
Seulas senyum terlukis di wajahnya.
※※※
Seminggu setelahnya...
"Kita mau ke mana, sih, Van?" Silvia bertanya dari balik punggung Vandi.
"Entar juga loe tau," jawab Vandi sambil mengayuh pedal sepeda.
Akhirnya mereka sampai di tempat yang Vandi maksud.
Mereka pun memasuki area tersebut.
Barisan batu nisan terpampang jelas di sana. Lengkap dengan pohon kamboja sebagai hiasannya.
"Kok kita ke pemakaman, sih, Van? Emang kita mau mau ngapain?" tanya Silvia dengan nada cemas.
Vandi hanya diam dan fokus dengan arah langkahnya.
Mereka pun berhenti di sebuah makam dengan batu nisan berwarna putih. Lengkap dengan rumput-rumput kecil di atas gundukan itu.
"Ini kan..."
"Iya, ini makamnya Derina," sela Vandi.
"Loe inget cerita gue kemarin soal Derina ngerasuki tubuh loe, kan?"
Silvia hanya berdeham, mengiyakan.
"Nah, dia bikin permintaan ke gue. Dia minta supaya kita berdua mampir ke makamnya dia. Katanya biar dia nggak kesepian di malam minggu,"
Silvia tertawa kecil mendengarnya.
"Ada-ada aja Derina. Emang lucu tuh anak,"
"Biar dia tambah seneng, kita cabutin rumput di makamnya yuk?" ajak Vandi kemudian.
Selesai mencabuti rumput, mereka pun menaburi makam Derina dengan mawar merah dan putih, tak lupa menyiraminya dengan air mawar.
Setelahnya mereka memanjatkan doa agar Derina tenang di alam sana dan dalam keadaan bahagia.
"Kalo Derina ada di sini, loe pengen ngomong apa sama dia?" tanya Vandi tiba-tiba.
Silvia sempat termenung mendengar pertanyaan Vandi tersebut.
"Yang jelas, gue minta maaf seandainya kedatangan gue sempat buat dia terancam. Mungkin dia niat pengen nyelakain gue karena dia nggak pengen loe berpaling dari dia. Gue juga sebenernya sadar diri. Gue nggak pengen ngecewain dia. Itulah sebabnya kenapa gue selalu ngehindar dari loe, judes sama loe, galak sama loe. Karena gue nggak mau bikin Derina kecewa,"
"Bahkan setelah Derina meninggal?"
Silvia menganggukkan kepala. "Karena gue yakin, kalo Derina bisa ngelihat apa yang gue lakuin sini. Maka dari itu gue ngehindar dari loe,"
"Loe nggak seharusnya kayak begitu, Via." ujar suara seorang perempuan.
Silvia dan Vandi mendongak dan menemukan seorang gadis yang tengah tersenyum manis ke arah mereka.
"Derina...?"
Ya, dialah Derina. Ralat, arwah Derina. Kini ia tak lagi mengenakan seragam SMA Panca Sakti yang berlumuran darah, ia mengenakan pakaian serba putih. Tapi tidak menyiratkan kesan menyeramkan. Justru dengan penampilannya tersebut, Derina tampak seperti manusia pada umumnya.
"Derina gue minta maaf sama loe, karena gue udah bikin loe kecewa," ujar Silvia kemudian.
"Gue yang harusnya minta maaf sama loe. Gue minta maaf atas perbuatan yang pernah gue lakuin ke loe. Gue hampir bunuh loe dua kali,"
"Iya. Gue tau kok, loe ngelakuin itu semua karena loe nggak pengen sahabat kesayangan loe berpaling, iya kan?" goda Silvia.
"Apaan, sih. Gue sama dia cuma sahabat," Derina memberikan penekanan di kata terakhir.
"Iya, sahabat. Sahabat jadi cinta," canda Silvia.
"Loe kali yang sahabat jadi cinta," balas Derina, menggoda Derina.
Silvia hanya tersipu. Sedangkan Vandi hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Derina tertawa renyah, disusul oleh Silvia dan Vandi. Momen menyenangkan ini terulang kembali. Sudah lama sekali mereka tidak bercanda gurau seperti ini. Tapi, apa daya. Dunia mereka kini telah berbeda.
"Udah, udah. Bercanda mulu. Eh, gue mau nanya. Kok, arwah loe masih di dunia, sih, Rin?" sela Vandi kemudian. Menghentikan obrolan yang kian ngawur.
"Hmm, kenapa ya? Gue... seneng aja gitu ada di sini. Gue juga... ada berita bagus sebenernya,"
"Apaan tuh?" ujar Vandi dan Silvia bersamaan.
Derina mengulum senyum. "Arwah gua bisa kapan aja muncul di sini. Jadi gue akan bantu kalian, kalo kalian punya masalah. Gue juga bakal ngawasin pergerakan kalian. Lagi, gue juga akan memastikan kalo semua orang di dunia mendapatkan kebahagiaan mereka masing-masing. Ngomong apaan, sih, gue?"
Ketiganya kembali tergelak.
"Pokoknya gue sekarang adalah hantu baik. Kaló fántasma kalo bahasa Yunani-nya,"
"Semoga niat baik loe bikin loe bahagia ya. Kita juga bakal bikin loe bahagia kok. Kita bakal nemenin loe tiap hari Sabtu,"
"Makasih lho, udah repot-repot. Eh, gue boleh minta tolong nggak?"
"Apaan?"
"Bawain gue mie samyang dong,"
"Yaelah nih hantu makannya masih samyang aja," kata Vandi.
"Ya kan gue bosen makannya kembang mawar mulu. Minumnya juga kembang mawar. Sekali-kali ganti nggak apalah,"
Ketiganya tertawa dengan lelucon Derina.
※※※
"Selamat pagi, Anak-anak!"
"Pagi, Bu!
"Anak-anak, kali ini kalian kedatangan teman baru. Dia pindahan dari kota Tangerang. Ibu panggilin dulu ya,"
Bu Linda berjalan menuju pintu kelas, memanggil anak baru yang dimaksud.
Bu Linda kembali ke dalam kelas. Diikuti seorang gadis tinggi semampai. Rambut yang dikuncir kuda dengan menyisakan poni panjang yang disibakkan ke telinga kanannya. Tak lupa, senyum manis merekah di bibirnya. Membuat kaum adam di kelas XII IPS–2 melongo.
"Silakan perkanalkan diri kamu,"
Gadis itu menganggukkan kepalanya.
"Halo semua! Nama saya Derina Arisya Putri,"
Silvia menoleh ke kanan. Tepat saat itu pula Vandi juga menoleh ke arah Silvia.
Mereka kemudian tersenyum satu sama lain.
"Senang bertemu kalian,"
"Baik, Derina. Silakan kamu duduk di..." Bu Linda menyurvei tempat duduk untuk murid barunya itu.
"Nah, kamu duduk di sebelah kiri Silvia. Oh iya, Silvia yang di belakang pakai kacamata,"
"Baik, Bu."
Derina pun melangkah menuju bangku yang dimaksud Bu Linda barusan.
Senyum manis masih mekar sempurna di bibir merahnya.
Setelah duduk di bangkunya, Derina menoleh samping kanan.
Ia melempar senyum pada Silvia. Juga lelaki di sebelah kanan Silvia–Vandi.
"Halo, aku Derina."
"END"
Best regard from Derina, Silvia, Vandi, and author.
Thank you!