Read More >>"> Nightmare
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nightmare
MENU
About Us  

“Jangan lupa ke rumah gue, Rish,” Aku mengingatkan.

 

“Iya. Gue bakalan datang, kok.” Irish tersenyum. Kemudian dia masuk ke dalam mobil. “Lo yakin nggak bareng sekalian?” tawarnya sebelum menutup pintu.

 

“Nggak usah.”

 

“Oke. Sampai ketemu nanti malem.”

 

Mobil hitam itu melaju kencang. Meninggalkanku di trotoar pinggir jalan bersama anak-anak lain yang masih menunggu jemputan. Hari ini kedua orang tuaku pergi ke Surabaya untuk mengurus rumah yang akan kami tempati tahun depan. Jadi, aku terpaksa pulang menggunakan angkutan umum karena tidak ada yang menjemputku. Sebenarnya saudara kembarku bisa melakukannya, namun aku tidak yakin.

 

“Gia!”

 

Aku menoleh. Seorang laki-laku berjaket coklat susu menghampiriku dengan motor merahnya yang gagah. Berhenti di depan halte dan membunyikan klakson dua kali. Bibirku menyimpul kecil. Melangkahkan kaki pelan dan menaiki jok motor belakang. Setelah itu, motor melaju.

 

“Lo nggak dijemput sama bokap?” tanyanya dari depan.

 

“Bokap gue masih ada di Surabaya, ngurusin rumah,” jawabku.

 

“Berarti ... yang di rumah cuma Gio?”

 

“Heem.”

 

Dia adalah Kak Garra, pacarku. Kami sudah pacaran selama tiga tahun. Mungkin karena itulah aku merasa kita sudah tidak lagi romantis. Bahkan, kita sering sekali saling mengejek, saling meminjam uang tanpa mengembalikan, dan mengubah panggilan sayang menjadi gue-lo. Namun aku tetap yakin jika cinta kita masih seperti yang dulu.

 

Lima menit kemudian kami sampai di depan rumah. Rumahku tidak besar di film-film. Tapi rumahku juga tidak sekecil rumah ala perumahan itu. Um ... setidaknya cukup untuk aku, Gio, dan kedua orang tuaku.

 

Aku turun dari motor. Beradu pandangan dengan laki-laki itu sejenak. Matanya sungguh nyaman dan meneduhkan. “Lo langsung, ya?”

 

“Iya. Nyokap gue minta dianterin ke rumah sodara.”

 

“Ya udah. Tapi ntar malem lo nginep rumah gue, ya,” pintaku.

 

“Iya.” Lalu motor itu melesat, meninggalkanku di depan rumah sendirian.

 

Aku berbalik. Di rak sepatu samping pintu, ada sepasang sepatu abu-abu yang tak lagi asing bagiku. Pintu terbuka. Dari sini saja aku sudah bisa melihat laki-laki berkulit kuning langsat itu tertawa. Manis sekali.

 

Sedetik kemudian dia menatapku. Aku berpaling. Segera bergerak delapan langkah, melepas sepatu, dan masuk ke dalam ruang tamu. Ada dua remaja laki-laki yang menghentikan percakapannya, beralih memperhatikan kedatanganku dari atas sofa.

 

“Kenapa Kak Garra nggak lo ajak masuk?” tanyanya.

 

“Dia harus nganter nyokapnya,” jawabku jujur.

 

“Tapi entar dia datang, kan?”

 

“Iya.” Aku mengangguk. Dia tersenyum kecil.

 

“Kalo Irish juga datang, kan?” sahut laki-laki satunya, wajahnya mirip denganku.

 

“Ya iyalah,” jawabku ketus. “Tapi nggak usah lo goda-godain. Dia jijik sama lo tau!” timpalku keras.

 

“Dia aja mau, kok,” Gio membela dirinya.

 

“Ah. Terserah.” Aku meninggalkan mereka di ruang tamu. Berjalan ke arah kamarku di ujung rumah.

 

Rumahku terlihat lebih luas karena tidak memberi batasan antara ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Kamarku dan kamar Gio bersebelahan di ujung rumah. Sedangkan kamar papa dan mama berada di sebelah taman kecil-kecilan milik kami. Beberapa minggu yang lalu, ketika papa dan mama mengurus rumah di Surabaya, aku, Kak Garra, Gio, Kevin, dan Irish bersantai di sana. Gio bermain gitar, Irish menyanyi, Kak Garra membakar ayam dan sosis sapi, sedangkan aku dan Kevin menyiapkan tempat. Dan saat itulah aku merasa ... ah sudah lupakan. Aku tidak ingin menceritakannya.

 

Dok ... dok ... dok ....

 

Aku membuka pintu kamarku. Kulihat Gio berdiri di depan pintu, pakaiannya berganti lebih rapi. “Lo mau kemana?”

 

“Anita telepon. Suruh minta dianterin beli barang,” jawabnya.

 

“Nah gitu dong. Lo pergi aja sama cewek lo daripada godain temen gue,” celetukku.

 

“Terserah lo mau ngomong apa.” Gio berjalan menjauhiku.

 

Langit mulai menguning, jam menunjuk angka empat. Sebentar lagi Kak Garra dan Irish pasti akan datang. Mungkin menonton acara televisi akan membuat waktu terasa cepat. Apalagi ada drama kesukaanku.

 

“Nonton apa?” Suara itu milik Kevin. Dia bergerak ke sampingku, duduk menyandingku, ikut menonton.

 

Tubuhku mematung. Aku hanya menelan ludah berkali-kali. Mataku pun tak berani melihat wajahnya yang memesona itu. Astaga ... aku harus menjaga hati. Aku tidak boleh merasa nyaman kepada laki-laki lain selain Kak Garra.

 

“Kev, lo udah punya cewek, kan?” aku memberanikan diri untuk bertanya.

 

“Aku jomblo,” jawabnya disusul tawa kecil. “Kenapa memang?”

 

Perasaanku sangat aneh. Hatiku merasa lega dan bahagia. Padahal jelas-jelas hatiku ini sudah terisi oleh laki-laki yang kusayangi itu. Apa mungkin Kevin menyedot perasaanku? Semoga tidak. Aku tidak mau.

 

“Gi, lo sama Kak Garra udah berapa tahun?” tanyanya.

 

“Sudah tiga tahun,” jawabku.

 

“Berarti lo udah pacaran dari SMP kelas dua, dong?” tebaknya.

 

“Iya.”

 

“Semoga bisa sampai seperti ini terus, ya.” Dia tersenyum ke arahku.

 

Aku menoleh. Bodoh sekali hatiku yang mudah mengagumi parasnya yang tampan itu. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa berbohong lagi. Aku lebih nyaman bersama laki-laki di sampingku ini daripada kakak kelas yang lebih tua dariku setahun itu.

 

***

 

Untunglah Irish datang lebih cepat dari biasanya. Dia menyelamatkanku dari perasaan yang campur aduk. Yang kuharapkan hanya satu, semoga Kevin dan Kak Garra tidak mengetahui hal ini. Jika tidak, aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

 

“Ini. Gue bawakan sosis.” Irish memberikan sekantong plastik padaku.

 

Aku membuka dan melirik isinya. “Wah, asyik. Sosisnya gede-gede.”

 

Kami berjalan ke ruang tengah. Aku menyimpan sosis ini di kulkas agar tetap segar. Sedangkan Irish mulai berbicang dengan Kevin di sofa. Mengabaikan televisi yang dari tadi kunyalakan.

 

“Jadi, lo tadi beli sosis dulu sebelum ke sini?” Kevin membuka pertanyaan.

 

“Nggak, sih. Itu sosis yang ada kulkas rumahku. Biasanya kalo kakak gue balik dari US, kita bakal bakar-bakar di taman belakang. Dan sosis itu sisa dua bulan lalu,” jelas Irish panjang lebar.

 

“Kakak lo kuliah di US?”

 

“Iya.”

 

“Kampus apa?”

 

“Harvard University.”

 

“Wow. Pinter banget kakak lo. Bentar lagi lo nyusul, dong?”

 

“Pengennya, sih, gitu.”

 

Irish pasti bisa. Dia menjadi pemegang rangking satu pararel di sekolah selama empat semester berturut-turut dan belum pernah tergantikan. Orang tuanya kaya. Wajahnya cantik. Tingkah lakunya baik. Prestasi karatenya juga sudah diakui seluruh negeri. Bayangkan betapa sempurnanya perempuan itu. Aku bersyukur memiliki teman seperti dia.

 

Waktu terus berputar. Irish dan Kevin saling bertukar cerita tentang banyak hal. Mulai dari kehidupan sehari-hari hingga film favorit mereka yang memiliki banyak kesamaan. Entah kenapa, aku merasa iri dengan Irish. Bukan karena kesempurnaan yang dimilikinya, melainkan kesempatannya untuk bisa bercerita banyak bersama Kevin. Andai saja aku lebih berani. Tidak! Tidak boleh. Meskipun aku lebih nyaman bersamanya, tetapi aku harus ingat jika ada Kak Garra di hatiku.

 

Suara motor yang hampir kudengar setiap hari menggelegar dari depan rumah. Aku berlari keluar untuk menyambut kedatang pemilik motor itu. Si laki-laki tinggi dengan perawakan yang gagah.

 

“Lama banget, sih,” gerutuku di ambang pintu.

 

Dia melepas helm, menyisir rambutnya dengan jari-jari. “Emangnya yang lain udah datang semua?”

 

“Irish sama Kevin udah. Tapi Gio masih keluar sama pacarnya.”

 

Dia manggut-manggut. Kami berjalan sejajar, menghampiri Kevin dan Irish di sofa ruang tengah. Kedatangan kami tidak menghentikan pembicaraan mereka. Kak Garra langsung merobohkan tubuhnya di sisi sofa yang kosong, aku duduk di sebelahnya.

 

“Mulai kapana, nih?” aku membuka topik pembicaraan.

 

“Emang mau bakar-bakar apa?” tanya Kak Garra.

 

“Irish tadi bawa sosis. Lo bakarin lagi buat kita, ya,” bujuk Kevin.

 

“Baru juga datang, udah disuruh-suruh,” keluh Kak Garra.

 

“Alah nggak usah ngeluh. Waktu itu, kan, elo yang ngehabisin sosis paling banyak,” sambungku cepat.

 

“Iya, deh, iya. Tapi agak nanti aja. Nunggu Gio pulang sekalian.”

 

Gio datang beberapa menit kemudian. Setelah itu kami mulai sibuk bersiap-siap. Aku menyiapkan sosis dan peralatan dapur bersama Irish. Gio mengambil tikar. Kevin membersihkan panggangan. Dan Kak Garra membuat api di taman belakang.

 

Kami berlima layaknya anak-anak pramuka. Menyalakan api unggun dan bernyanyi-nyanyi bersama. Malam seperti inilah yang akan kurindukan jika keluargaku akan pindah di Surabaya tahun depan.

 

“Aku punya usul,” seru Irish sesudah menyanyikan salah satu lagu Meghan Trainor. Semua pasang mata menatapnya, menanti apa yang ingin diucapkan. “Gimana kalo gue beliin ayam di supermarket dekat sini?”

 

“Maksud lo di supermarket pojokan pertigaan itu?” aku menebak.

 

“Iya.” Irish bangun dari duduknya.

 

“Jangan elu yang beli.” Gio menahan tangan Irish. “Biar Gia aja. Lo nyanyi aja di sini, nemenin gue main gitar.”

 

Irish menatapku penuh tanya.

 

“Ya udah, biar gue yang beliin.” Mataku melirik Gio sinis. Sementara saudara kembarku itu tersenyum nakal.

 

“Ini pake uangku aja nggak papa.” Irish merogoh saku jeans yang dikenakannya. Memberiku tiga lembar uang berwarna biru yang terlipat menjadi dua bagian. “Sisanya beliin snack, terserah kalian.”

 

“Oke.” Aku berdiri. Melihat Kak Garra yang membolak-balik sosis di atas panggangan yang menghitam. Berharap dia berkata, “Sini gue temenin.” Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi.

 

Aku membalik badan dan melesat ke garasi, mengeluarkan motor maticku yang kecil. Tidak mungkin, kan, aku meminjam motor para lelaki? Motor mereka saja lebih berat dari badanku. Lagipula aku juga tidak bisa menjalankan motor tipe persneling.

 

“Gia, tunggu,” pekik Kevin di depan garasi. “Gue anter aja, ya. Pengennya, sih, Kak Garra yang nganterin lo. Tapi, gue nggak bisa bakar-bakar, takut gosong. Mending gue aja yang nganterin lo.”

 

Aku terdiam sejenak. “Um ... mending gue sendiri aja, deh. Gue nggak papa, kok.”

 

“Tapi Kak Garra yang nyuruh gue,” sahut Kevin.

 

“Oh. Ya udah terserah, deh.”

 

Jujur aku sedikit sebal karena bukan Kak Garra yang memboncengku menuju supermarket. Tetapi, Kevin menurutku sama saja. Punggungnya terasa nyaman buat sandaran kepalaku. Pinggangnya bergitu hangat saat lenganku memeluknya.  Tak apalah, sesekali.

 

Aku sadar, kok, jika aku pacar orang lain.

 

***

 

Kami sampai di supermarket. Meskipun tempat ini dekat dengan rumahku, aku tidak terlalu sering masuk ke sini. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya tempat dimana kami bisa menemukan ayam potong.

 

“Menurut lo, mending beli yang utuh atau per potong?” aku meminta pendapat Kevin.

 

“Gue, sih, terserah aja. Gue nggak paham belanjaan,” akunya.

 

“Mending yang utuh sekalian aja, ya. Sisanya baru yang per potong.”

 

Kevin tidak berkomentar. Dia menurut saja apa yang kuambil. Berjalan pelan di belakangku sambil membawakan keranjang belanjaan. Kadang, disaat aku memasukkan ayam, aku langsung saja memasukkannya, tanpa menoleh untuk menempatkan di keranjang yang tepat. Alhasil, secara tak sengaja tanganku menyentuh tangannya.

 

Aku terkejut, menoleh ke arah sahabat saudara kembarku itu. Mata kami bertemu tanpa ada yang mengomando. Sedetik kemudian dia tersenyum kecil. Astaga ... dia membuatku meleleh dengan senyuman manis itu. Ditambah lembutnya tangan kami yang masih saling tumpang-tindih. Mungkin inilah yang dimaksud kenyamanan.

 

Aku menarik tanganku terlebih dulu, bukan karena tidak mau. Kurasa kami sudah cukup lama untuk saling memandang. Lagipula juga tidak enak jika banyak yang melihat. Di sini, kan, tempat umum.

 

Aku melupakan kejadian itu. Kembali memilih ayam-ayam yang menurutku masih segar sembari menghitung harga dengan uang yang kupunya. Mungkin, dua ekor ayam utuh dan dua paha ayam sudah cukup untuk kami berlima. Kami berjalan ke kasir dan segera keluar dari supermarket ini. Aku tidak mau yang lain menunggu.

 

Dari jarak sepuluh meter, aku bisa melihat ada seorang yang berdiri tepat di samping motor Kevin. Aku mengenal baik laki-laki itu. Tetapi kenapa dia bisa sampai di sini? Ada perlu apa dia kemari?

 

“Kok lo bisa ada di sini, Kak?” tanyaku kepada laki-laki itu.

 

Dia tidak merespon. Pandangannya menusuk tajam ke arahku. Bahkan itu adalah pandangan yang paling mengerikan selama tiga tahun bersamanya. Aku mulai mencium aroma-aroma amarah.

 

“Kak Garra bagaimana bisa sampai di sini?” Kevin ganti bertanya.

 

Sorotnya berpindah ke laki-laki yang memegang kantong plastik berisi ayam itu. “Apa aja yang lo lakuin sama cewek gue tadi?”

 

“Kak Garra!?” Aku terkejut.

 

“SEBUTKAN!!!” bentak Kak Garra kepada Kevin.

 

Mataku memandang Kevin yang lemah. Dia gemetar dan ketakutan. Mulutnya seperti kaku. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku sudah pingsan. Aku sangat takut melihat ekspresi Kak Garra sekarang.

 

“Gue cuma nemenin Gia belanja, kok. Seperti yang lo suruh tadi,” jawabnya gagap.

 

“Kayak gini yang namanya belanja?” Kak Garra menunjukkan gambarku dan Kevin saling berpegang tangan di dalam supermarket tadi.

 

“Astaga!” Aku terperangah. “Lo dapet fotonya darimana, Kak?”

 

“Lo nggak perlu tau.”

 

“Gimana kalo foto itu hoax?”

 

“Kenapa lo bisa bilang hoax? Jelas-jelas wajahnya udah kelihatan, baju ama celananya aja mirip sama seperti yang kalian pake sekarang. Masih bisa ngelak lagi?” Kak Garra balik melirik mataku.

 

Aku membisu. Tidak ada alasan lain lagi untuk membantah. Di dalam foto itu memang aku dan Kevin. Tetapi anehnya, bagaimana hal ini bisa sampai ke Kak Garra secepat ini? Apa mungkin ada teman Kak Garra yang tengah melewat tadi? Bisa jadi.

 

“Kenapa diem?” desak Kak Garra.

 

“Terus lo nyuruh gue omong apa lagi?” balasku dengan nada yang lebih tinggi.

 

“Lo nggak usah omong apa-apa lagi. Karena lo tahu kalo semua udah berakhir.” Kak Garra melirik Kevin sebelum melangkah pergi.

 

Aku tersentak. Pernyataan Kak Garra membuatku deg-degan. Tanganku segera menahan lengannya agar tetap tinggal. Namun nyatanya tidak bisa. Langkahnya yang kuat membuatku harus mengejarnya.

 

“Lo nggak serius, kan, Kak?”

 

“Apa wajah gue masih kelihatan bercanda?”

 

“Plis. Gue bisa jelasin ini semua.”

 

Kak Garra berhenti di motornya. Mengambil kunci dari kantong, menancapkannya, lalu diputar. Mesin menyala. Aku tidak tinggal diam. Kakiku segera melonjak ke jok belakang motor itu sebelum kami meluncur.

 

“Lo ngapain masih ngikut gue?” tanyanya dengan suara berat.

 

“Karena gue adalah pacar lo,” jawabku lirih.

 

“Gue, kan, udah bilang kalo hubungan kita udah selesai. Lo ketahuan selingkuh lagi dan gue nggak mau maafin lo untuk yang kedua kalinya. Bahkan gue nggak pernah bakalan ngasih lo kesempatan ketiga,” kata Kak Garra. “Gue udah sakit hati sama lo, Gi. Gue nggak nyangka kalo lo bakalan ngelakuin hal ini lagi.”

 

Aku tertunduk. “Maafin gue, Kak. Gue ngaku kalo itu emang foto gue. Tapi lo cuma salah paham. Gue nggak selingkuh sama Kevin.”

 

Kak Garra tidak berkomentar lagi. Sedangkan aku menjelaskan berulang kali jika saat itu aku tidak sengaja memegang tangannya karena tidak melihat. Namun dia selalu diam tanpa ada respon apapun.

 

“Plis, Kak. Bicaralah!” ujarku.

 

“Oke. Gue terima alasan lo kalo lo nggak sengaja megang tangan Kevin waktu itu,” Kak Garra menjeda. “Tapi sekarang gue pengen tahu alasan apa lagi yang bakalan lo buat untuk gue kalo gue tahu ternyata lo juga suka peluk-peluk Kevin saat boncengan.”

 

Deg!

 

Jantungku rasanya berhenti berdetak. Aku hampir saja menghembuskan napas lega karena masalah ini tidak Kak Garra ketahui. Tapi ternyata, laki-laki ini tahu semuanya. Firasatku mulai tidak enak, pasti ada seseorang yang sedang membuntutiku.

 

“Kenapa diem? Bingung cari alasan lagi?”

 

“Nggak. Gue nggak akan ngasih alasan lagi. Gue emang ngelakuin semua itu. Gue ngaku gue salah. Tapi setidaknya, beri kesem ...”

 

“BASI!!! Gue nggak mungkin ngasih lo kesempatan ketiga. Waktu lo ketahuan selingkuh ama Bryan malem itu, lo mohon-mohon ke gue minta kesempatan kedua. Dan lo udah menyia-nyiakan kesempatan itu,” Kak Garra memotong perkataanku. “Gue nggak akan jadi cowok bodoh lagi yang dengan mudah diperbudak oleh cinta.”

 

“Tapi, Kak. Gue masih sayang banget sama elo.” Aku memelas.

 

“Gue nggak peduli. Lo udah nyakitin hati gue untuk yang kedua kalinya, Gi. Gue kecewa. Gue nggak bakalan bisa maafin lo,” balas Kak Garra.

 

Air mataku mulai menitik. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa laki-laki yang telah lama di sisiku akan pergi begitu saja. Ya! Salahkanlah semua padaku. Aku tidak apa. Kak Garra sudah terlalu baik selama ini.

 

Pahaku bergetar. Ponsel yang kumasukkan ke dalam kantong celana ini sepertinya sedang menerima telepon dari seseorang. Suasana yang sendu mendadak hilang karena panggilan ini.

 

“Halo?”

 

“Halo, Gi. Lo buruan pulang, ya. Rumah lo berantakan banget, nih. Gio sama Irish juga ngilang. Gue takut terjadi apa-apa sama mereka.”

 

“Kok bisa, sih? Emangnya ada apaan?”

 

“Gue juga nggak tau. Gue baru sampai dan keadaan udah seperti ini. Cepetan pulang, Gi. Kita harus nyariin Gio sama Irish.”

 

“Iya-iya.”

 

Aku menutup telepon. Memasukkan ponselku ke dalam saku lagi. “Kak, Gio dan Irish ilang.”

 

Tidak ada respon dari Kak Garra. Mungkin karena emosinya sudah terlalu larut hingga tidak peduli lagi tentang aku dan sekitarku lagi. Lagipula, aku juga tidak ingin merepotkannya untuk membantuku mencari mereka. Beberapa menit kemudian kami sampai di depan rumahku. Kevin duduk di teras sembari memandangi kami berdua. Pintu depan terbuka, aku bisa melihat ruang tamu benar-benar kacau.

 

Aku turun dari motor dan langsung menghampiri Kevin. “Apa yang terjadi?”

 

“Gue juga nggak tau.” Kevin bangun dari duduknya.

 

Aku masuk ke dalam rumah. Ruang tamu sudah tak berupa lagi. Sofa kemana-mana, meja kaca pecah, koleksi miniatur kendaraan papa berserakan di lantai. Aku berjalan terus ke ruang tengah. Sofa tercabik-cabik, televisi hancur berkeping-keping, kulkas terbuka, isinya berceceran di lantai. Aku hanya bisa menutup mulutku yang menganga.

 

“Terus, Gio ama Irish kemana?” aku menoleh ke kanan, meminta jawaban dari Kevin.

 

“Gue nggak tau. Tiba-tiba semua udah seperti ini saat gue pulang dari supermarket,” terang Kevin polos.

 

“Gue yakin rumah lo habis kemalingan,” ada suara dari belakang punggungku, Kak Garra sedang berdiri di ambang pintu. Aku menatapnya.

 

“Bisa jadi,” sahutku.

 

“Cepet cek semua barang-barang lo, siapa tau ada yang ilang,” sarannya.

 

Aku mengangguk. Aku kira dia sudah meninggalkanku, tanpa peduli apa yang tengah terjadi. Tapi aku salah. Dia benar-benar peduli denganku, bahkan sesudah aku menyakiti hatinya untuk yang kedua kali. Dia juga membantuku mengecek semua ruangan. Aku mengecek kamar-kamar, sementara dia mengecek laci-laci yang ada di ruang tengah.

 

“Apa yang hilang?” tanyanya di ambang pintu kamarku.

 

“Nggak ada. Semua barangku masih lengkap,” jawabku setelah mengecek semua tempat penyimpanan di kamarku.

 

“Lo udah cek semua kamar?”

 

“Cuma kamar gue ama Gio. Kamar papa mama gue belum.”

 

“Ya udah, lo cek kamar bokap nyokap lo, biar gue sama Kevin yang lapor polisi dengan tuduhan penculikan.” Dia berjalan ke ruang tamu. Aku bisa melihat punggungnya yang makin menjauh. Jujur, aku menjadi semakin bersalah.

 

Aku menuruti apa yang dikatakannya. Aku membuka kamar papa dan mama, menyalakan lampu, dan seseorang serba hitam-hitam duduk di kasur, membelakangi pintu. Aku tidak mengenalnya, apalagi hanya melihat bagian belakang saja.

 

Kak Garra dan Kevin tiba-tiba menyandingku. Kukira mereka sudah pergi. “Gi, Siapa dia?” tanya Kevin.

 

“Gue juga nggak tau. Oiya, gue kira kalian udah pergi.”

 

“Pintu tiba-tiba kekunci.”

 

“Bagaimana bisa?”

 

“Entahlah.”

 

Kak Garra melangkah pelan, mendekati orang itu. “Siapa lo? Kenapa lo di sini?”

 

Orang itu berdiri mendadak. Membalikkan badan dan menampakkan wajahnya. Seketika, kami melongo. Aku mengenalnya. Kak Garra mengenalnya. Dia adalah laki-laki yang baru saja kami bicarakan. Seringainya menyeramkan. Tatapannya setajam pisau yang digenggamnya. Kak Bryan membuatku menggidik.

 

“Kenapa lo tiba-tiba bisa ada di sini?” tanya Kak Garra.

 

“Lo pikir, siapa yang ngelakuin semua ini?” dia berbalik tanya.

 

“Apa mungkin elo?”

 

“Iya. Gue yang ngelakuin semua ini.”

 

“Nggak mungkin!” sahutku kencang. “Lo bukan Kak Bryan yang gue kenal!”

 

Dia hanya terkekeh, membuat suasana semakin mencekam. Dulu, aku merasakan kenyamanan di laki-laki itu. Dia baik dan juga ramah. Perhatian, lembut, pokoknya semua sifat yang membuatku nyaman. Tetapi, hubungan kami harus berhenti karena aku adalah pacar Kak Garra.

 

“Kenapa Kak Bryan melakukan ini semua?” tanyaku pelan.

 

“Ini semua gara dia!” Kak Bryan menunjuk Kak Garra menggunakan pisau yang digenggamnya.

 

“Maksudnya?” Kak Garra bingung.

 

“Lo bikin semua jadi berantakan. Lo ngerusak kenyamanan gue dengan Gia dan gara-gara lo juga, persahabatan kita jadi kacau.”

 

Kak Garra menyunggingkan sebelah bibir. “Lo masih aja sama kayak dulu. Seharusnya lo yang mikir, saat lo enak-enak jalan ama Gia, gue udah jadi pacarnya!”

 

“Tapi gue yang deketin dia duluan!”

 

“Gue yang jadi pacaranya duluan!”

 

Aku hanya diam. Memperhatikan mereka berdua cek-cok tentang kejadian dua tahun yang lalu. Aku tidak menyangka jika kejadian itu akan terungkit kembali, bahkan dengan dampak yang lebih besar.

 

“JANGAN!!!” teriakku sesudah melihat Kak Bryan menyabet Kak Garra menggunakan pisaunya. Untung saja, Kak Garra berhasil menghindar.

 

 “Lo udah gila, ya?” sergah Kak Garra. “Lo ingin bunuh gue?”

 

“Ya. Karena lo udah bikin gue sengsara.”

 

Detik berikutnya, aku tidak bisa melihat mereka lagi. Seseorang telah menarik rambutku dari belakang dengan brutal. Aku terpaksa mundur beberapa langkah dan terjatuh di ruang tengah. Namun aku segera bangkit dan melihat Irish berdiri di hadapanku.

 

“Irish?” Aku heran. “Lo udah kembali?”

 

Dia hanya melipat tangan di depan dada. Sikapnya terkesan arogan. Matanya menatapku bengis. Beberapa helai rambut ada di sela-sela jarinya. Dia bukan Irish yang kukenal. Irish tidak seperti ini.

 

“Irish, bukan lo, kan, yang menjambak rambut gue?” tanyaku pelan.

 

“Ya! Gue yang menjambak rambut lo, Gi,” akunya tanpa ada rasa sesal.

 

“Tapi kenapa?”

 

“Gue benci ama lo.”

 

Aku melotot.  Tak pernah terpikir di otakku jika Irish akan mengatakan hal itu kepadaku. Dia adalah sahabatku, teman sebangkuku, dan hampir segala yang kulakukan pasti bersama dengannya. Namun, apa yang telah terjadi? Aku tidak mengerti.

 

“Apa salah gue, Rish?”

 

“Karena lo adalah pacar Kak Garra!”

 

“Lalu? Lo suka sama dia?”

 

“Ya. Lebih tepatnya, gue masih suka sama dia.”

 

“Maksud lo masih suka?”

 

“Gue adalah mantan dari Kak Garra.” Irish tersenyum ngeri. “Pasti gara-gara lo, Kak Garra jadi mutusin gue. Dasar pelakor!”

 

Kenyataan apa lagi ini? Kak Garra tidak pernah menceritakan jika Irish adalah mantan kekasihnya. Sikap mereka yang datar-datar saja, membuatku tak mengira jika mereka pernah saling mencintai.

 

“Kenapa lo diem aja?” bentak Irish.

 

“Gue masih nggak ngerti dengan semua kejadian ini,” ucapku kikuk. “Apa kamu juga bekerja sama dengan Kak Bryan?”

 

“Ya iyalah. Mana mungkin gue bisa ngelakuin semua ini sendiri,” jawabnya santai.

 

Aku menggeleng kepala. Semua yang terjadi malam ini hanya karena cinta, aku, dan Kak Garra. Hati mereka telah terbutakan oleh cinta dan perasaan dendam yang mendarah daging. Mereka menganggapku dan Kak Garra begitu buruk hingga mereka memperlakukan kami seburuk ini.

 

Di samping kamar papa dan mama, ada sebuah kamar mandi. Pintunya tiba-tiba terbuka. Kevin keluar dan menyeret seorang laki-laki yang dibungkam dan diikat kaki tangannya. Membawanya hingga di samping meja makan.

 

“Gio!?” Aku terperangah melihat saudara kembarku diseret paksa dalam kondisi semua terikat. Pelipisnya berdarah, bajunya lusuh, sepertinya dia baru saja berkelahi. Dan Kevin? Kevin yang

melakukannya?

 

“Hai, Gi,” Kevin memecahkan keheningan. Berdiri di samping Gio yang meringkuk lemah di atas lantai.

 

“Kev, jangan bilang kalo lo ...”

 

“Ya. Gue ikut terlibat dalam semua adegan ini,” akunya sebelum tersenyum kecil. “Lo pikir, gue mau deketin cewek orang segampang itu? Gue bukan cowok murahan, Gi.”

 

“Terus, kenapa lo bantu Irish dan Kak Bryan ngelakuin ini? Apa gue dan Kak Garra punya salah ke elo?” tanyaku tak terima.

 

“Nggak. Kalian nggak ada salah ke gue, kok. Gue cuma mau ngebantu kakak sepupu gue, Kak Bryan,” balasnya ringan. “Gue rela deket-deketin lo, biar Kak Bryan bisa ngambil foto kita mesra-mesraan.”

 

“Setelah itu, dia ngirim fotonya ke gue. Dan gue kasih, deh, ke Kak Garra,” sambung Irish dengan mulut centilnya, kukira dia adalah gadis baik-baik.

 

“Jadi ... gitu, ya, ceritanya. Kalian merencanakan ini semua agar gue ama Kak Garra bubar? Begitu?” aku memastikan. Lalu Irish menjawabnya hanya dengan anggukan.

 

“Silahkan ambil aja, Kak Garra. Gue barusan putus gara-gara kalian,” sambungku dengan suara serak.

 

Satu demi satu air mataku menetes. Aku tidak bisa menahan rasa kesal dan kecewaku kepada Irish, Kevin, dan juga Kak Bryan. Jika memang hubunganku ini tidak membuat mereka nyaman, kenapa mereka tidak bilang secara langsung? Kenapa mereka harus melakukan hal seperti ini? Kurasa hal ini sangat berlebihan.

 

Kak Bryan menggeret Kak Garra yang biru-biru keluar kamar. Mulutku otomatis menganga saat melihat sebilah pisau menancap tepat di perutnya. Darah mengalir pelan dan membuat kaosnya berubah warna, merah.

 

“Kak Garra!” pekikku.

 

Kak Bryan membantingnya di depanku. Aku bersimpuh, melihat kondisinya saat ini membuat air mataku mengucur deras. Kemudian mataku berganti melirik Irish. Aku yakin sebentar lagi aku akan bernasib sama dengan Kak Garra.

 

“Sekarang ... apa mau kalian? Kalian pengen kita mati?” tantangku.

 

“Nggak usah sok-sokan berani lo, Gi,” timpal Kak Bryan. “Gue bunuh beneran, baru tau rasa lo.”

 

“Ayo bunuh aja gue. Gue nggak takut!” Aku berdiri tegap, menatap tiga orang yang ada di depanku. Meskipun hati ini ciut, aku tidak boleh lengah.

 

Irish membalik badan. Memukul muka dan dada Kevin berulang kali hingga tersungkur. Lalu kakinya menendang perut Kak Bryan saat mendekatinya, hingga tersungkur. Setelah itu dia merogoh saku Kevin dan berlari ke arahku.

 

Dia memberiku kunci pintu depan. “Lo sekarang pergi dari sini, cepet ke kantor polisi. Laporin semua kejadian malam ini. Mereka berdua biar kutahan di sini sampai polisi datang. Sebenarnya mereka adalah cowok yang lemah, tidak bisa berkelahi sama sekali.”

 

Aku memperhatikannya penuh kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa menit yang lalu, dia memaki-maki diriku. Tapi sekarang dia menolongku, membiarkan aku pergi dan melaporkan semua kejadian ini ke kantor polisi.

 

“Lo nggak jadi membenci gue?” tanyaku kikuk.

 

“Gue tetap membenci lo karena lo udah menyakiti hati gue. Tapi gue lebih benci sama orang yang melukai orang yang gue cintai,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

 

Aku membalas senyumnya. “Kalo gue ngelaporin kejadian ini ke polisi, berarti elo bakalan terseret kasus hukum, dong.”

 

“Biarlah. Gue ngaku salah,” aku Irish. “Sekarang lo cepet pergi. Nggak usah ngurusin gue lagi.”

 

Aku menganguk. Kakiku cepat-cepat berlari, membuka pintu rumah, mengendarai motor maticku, dan melesat pergi ke kantor polisi. Aku yakin Irish bisa menahan mereka hingga aku kembali bersama polisi-polisi nanti.

 

***

 

Hari-hariku terasa sepi. Aku tidak lagi bersama Irish yang kini mendekap di balik jeruji besi bersama Kevin dan Kak Bryan. Kak Garra tidak berhasil ditolong oleh tim medis karena dia kehilangan banyak darah. Gio menjadi introvert dan tertutup kepada semua orang. Sedangkan papa mamaku kembali mengurus rumah di Surabaya. Malam ini mengingatkanku pada kejadian sebulan lalu yang mengerikan. Andaikan waktu bisa diulang, aku tidak akan pernah berharap akan bertemu mimpi buruk itu.

 

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let it go on
1088      767     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~
Tumpuan Tanpa Tepi
7325      2574     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Summer Whispering Steam
1920      852     0     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...
Waktu Awan dan Rembulan
3908      2091     16     
Romance
WADR
F I R D A U S
609      403     0     
Fantasy
Pahitnya Beda Faith
426      301     1     
Short Story
Aku belum pernah jatuh cinta. Lalu, aku berdo\'a. Kemudian do\'aku dijawab. Namun, kami beda keyakinan. Apa yang harus aku lakukan?
Kala Senja
31451      4512     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
Melody of The Dream
376      238     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Love after die
428      282     2     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
Our Different Way
3568      1482     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...