Loading...
Logo TinLit
Read Story - Snow White Reborn
MENU
About Us  

“Nggak dingin?”

Tubuh yang semula damai menikmati suasana senja itu kini menegang ketika merasakan sepasang lengan yang melingkari pinggangnya. Terlebih deru napas hangat dari seseorang yang menyapu kulitnya membuat bulu romanya berdiri.

Gadis bertubuh mungil itu, Faylen Fanitama Dirga, segera melepas rangkulan lelaki asing yang gencar mengejarnya akhir-akhir ini. Membual bahwa mereka dekat. Sangat dekat. Tunangan. Begitulah aku si lelaki asing tak tahu diri.

“Faylen ....”

Ah! Tatapan sendu itu membuat Faylen geli sekaligus merasa bersalah. Bagaimana jika ucapan yang Faylen anggap bualan itu benar adanya. Terlebih keluarga Faylen bersikeras jika lelaki bernama Rafaza Putra Adam itu memang tunangannya.

“Dengar ... meskipun orangtua aku membenarkan ucapan kamu, aku gak bisa percaya gitu aja. Kalau kamu memang tunangan aku, gak mungkin aku gak ingat kamu sama sekali hanya karena kepalaku tertimpa apel. Itu konyol!”

Ya, konyol. Harusnya Rafaza yang mengatakan itu. Tidak mungkin sebuah apel bisa mencuri ingatan seseorang. Rafaza menyesal telah membiarkan Faylen memetik apel sendiri di halaman belakang rumahnya tempo hari. Gadis itu pingsan dan ketika sadar sosok Rafaza terhapus dalam memorinya. Benar-benar hilang tanpa menyisakan jejak sama sekali.

Ah! Rafaza berjanji akan menebang habis pohon apel itu hingga akar-akarnya. Peristiwa konyol ini mau tak mau membuat Rafaza mengaitkannya dengan salah satu dongeng untuk anak-anak. Snow White dan apel beracunnya. Mulai detik ini Rafaza bersumpah tidak akan menyentuh buah terkutuk itu.

“Aku harus bagaimana lagi agar kamu percaya? Foto-foto tunangan kita, penjelasan dari masing-masing orangtua kita. Lalu, sepasang cincin yang kita pakai apa itu belum membuktikan kalau yang aku katakan memang benar?”

Faylen bungkam. Harusnya bukti semua itu cukup. Tapi, sekeras apa pun Faylen menggali ingatan tentang Rafaza, semuanya selalu berakhir buntu. Rafaza tak ada dalam memorinya. Faylen ingat ketika dia memetik apel milik Mariana dan Adam—orangtua Rafaza tetapi yang Faylen ketahui pasangan suami istri itu merupakan orangtua Dhemi, sahabatnya. Sekaligus adik Rafaza—fakta yang baru Faylen ketahui tempo hari.

“Aku juga gak tahu! Tapi, aku benar-benar nggak kenal atau ingat kamu.”

Faylen mengacak rambutnya frustrasi. Ayolah! Usianya baru 22 tahun dan sangat kecil kemungkinan Faylen sudah pikun. Jikalau Faylen amnesia, harusnya dia tidak ingat siapapun termasuk orangtuanya. Tetapi, yang Faylen lupakan hanya seorang Rafaza.

“Anggap apa yang kamu alami sekarang sebagai hukuman yang pantas untukku. Kamu melupakanku. Tapi, aku gak peduli meski rasanya sakit. Selama kamu percaya, aku akan baik-baik aja.”

Faylen membiarkan Rafaza menyentuh tangannya. Mengelusnya lembut. Hal itu membuat Rafaza senang mengingat sebelum-sebelumnya Faylen selalu bersikap antipati terhadapnya. Hukuman. Rafaza memang pantas mendapatkannya setelah dia secara sadar telah melakukan kesalahan.

“Sekarang kamu istirahatlah. Aku ke sini karena sangat merindukanmu.”

Ucapan Rafaza mau tak mau membuat Faylen merona. Terlebih tatapan lekat disertai sentuhan lembut di keduanya pipinya turut membuat jantungnya meletup-letup senang. Apa yang tejadi padanya? Tubuhnya merespons baik setiap sentuhan Rafaza. Tetapi, logikanya menolak tegas.

 “Rafa ....”

Hanya Faylen yang mampu melumpuhkan tubuhnya seperkian detik ketika namanya di sebut. Rafaza membeku di ambang pintu ketika Faylen mendekatinya. Dia bahkan menahan napas ketika tangan Faylen mengulurkan tangan sebelum menumpu ke pundak Rafaza. Ugh! Ciuman singkat di pipinya membuat Rafaza merasa dilempar ke nirwana.

“Maaf. Aku gak tahu apa yang terjadi sama aku. Tapi, aku sadar kalau tindakan aku mungkin nyakitin kamu padahal semua ada buktinya kalau ucapan kamu memang benar.”

“Nggak apa-apa. Aku mungkin akan berlaku serupa jika di posisi kamu. Fay ... meski aku terhapus di memori kamu, aku yakin di hati kamu masih ada aku.”

Entah siapa yang memulai tetapi, yang terjadi selanjutnya wajah keduanya saling mendekat. Ragu yang semula menyelimuti Faylen perlahan pudar. Dia merasa bersalah karena telah memperlakukan Rafaza begitu buruk.

“Waw!”

Suara lain yang terdengar membuat keduanya segera melepaskan diri dan menjauh. Faylen membuang pandangan sedangkan Rafaza menggaruk belakang lehernya seraya mengulas senyum kaku.

“Mama senang kamu bisa menerima Rafa lagi, Fay. Tapi, Mama titip. Lakukan itu nanti setelah kalian sah. Ayo, turun! Papa sudah menunggu.” Fani menggelengkan kepalanya sebelum berlalu.

Rafaza tertawa melihat Faylen menutupi wajahnya seraya menggumam betapa malunya dia tertangkap basah oleh ibunya sendiri. Astaga! Gadis itu sangat menggemaskan. Ini bukan kali pertama Faylen membuatnya hampir khilaf.

“Jangan dipikirkan lagi. Ayo!”

Faylen menerima uluran tangan Rafaza. Seketika itu juga berkelebat suara yang berlawanan dalam kepalanya. Menyerukan bahwa apa yang Faylen lakukan adalah salah. Seharusnya dia mendorong Rafaza menjauh. Bukannya membuka pintu untuk membiarkan lelaki itu masuk.

“Argh!”

Rafaza sontak berputar menghadap ke arah Faylen yang berada di belakangnya. Wajah gadis itu tegang dan tubuhnya gemetar. Faylen terlihat ketakutan.

“Kenapa, Fay?”

“I-itu! Aku lihat sosok perempuan di situ. Wajahnya mengerikan!”

Rafaza semakin gelapan ketika Faylen menangis. Perempuan? Di mana? Rafaza tak melihat apa pun selain guci besar warna putih gading hiasan sulur-suluran berwarna biru safir berbahan porselin yang Faylen tunjuk. Rafaza tak habis pikir hal apa yang menimpa gadisnya.

“Gak ada apa-apa di sana, Fay.”

“Ada! Aku lihat seseorang di sana!” teriak Faylen histeris.

Rafaza tak mengatakan apa pun lagi selain berusaha menenangkan Faylen. Tetapi, Faylen benar-benar melihatnya. Seorang gadis dengan wajah penuh luka bakar. Ekspresinya tampak datar, tetapi sorot matanya menyiratkan kebencian. Belum lagi aroma gosong yang tercium membuat perutnya bergejolak.

“Ada apa? Kenapa kamu berteriak, Fay?” Dirga datang yang disusul istrinya, Fani.

“Faylen lihat perempuan di sana, Pa!” Faylen menunjuk guci tadi. Tetapi, sosok yang dilihatnya tadi menghilang.

“Nggak ada siapa pun di sana, Sayang. Kamu mungkin salah lihat.” Fani mendekati anaknya. Mengelus lembut bahu Faylen yang bergetar.

“Faylen nggak bohong, Ma! Tadi ada seseorang di sana.” Fayken bersikeras. Kenapa orang-orang meragukannya? Lalu, kenapa hanya Faylen yang bisa melihatnya sedangkan Rafaza  yang berjalan di depannya tidak?

  “Ya, sudah. Sekarang perempuan itu udah nggak ada, kan? Kita makan aja ya, biar kamu tenang.”

Falen mendesah sebelum menurut. Dia sebenarnya kesal karena tak ada yang percaya padanya. Tetapi, Faylen mengalah karena tak ingin ada keributan.

“Kamu udah ingat siapa Rafa, Fay?” tanya Dirga sebelum menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

“Nggak, Pa. Faylen sama sekali gak ingat soal Rafa. Tapi, Faylen akan berusaha percaya padanya.” Faylen menatap Rafaza yang tersenyum padanya.

“Nggak apa-apa, Om. Mungkin Faylen masih butuh waktu untuk mengingat saya.”

“Tante gak salah mempercayakan Faylen sama kamu. Kamu pengertian dan penyabar, Rafa.” Fani tersenyum pada Rafaza yang sedikit menunduk karena malu atas pujiannya.

Faylen memerhatikan interaksi Rafaza dan kedua orangtuanya. Mereka terlihat dekat. Hal itu semakin membuktikan jika yang mereka katakan memang benar. Rafaza adalah tunangannya. Tetapi, Faylen sama sekali tidak ingat tentang lelaki itu sedikit pun. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

“Terima kasih sudah mengantar. Aku bisa tidur dengan tenang malam ini.”

Faylen tersenyum. Dia mengantar Rafaza sampai ke depan gerbang di mana mobil lelaki itu di parkir. “Sama-sama. Hati-hati pulangnya.”

“Besok kamu jadi ke rumah aku, Fay?”

Faylen mengangguk. Dia membeku ketika Rafaza tiba-tiba menarik tubuhnya. Mendekapnya erat. Membenamkan wajahnya ke leher jenjang milik Faylen.

“Aku cinta kamu, Fay. Sangat. Rasanya menyakitkan kamu melupakan aku seperti ini. Tapi, nggak apa-apa. Selama kamu di sisiku itu udah cukup. Terima kasih sudah mempercayaiku.”

Faylen membalas pelukan Rafaza. Kesedihan Rafaza dapat dia rasakan. Bagaimana bisa dia melupakan lelaki sebaik Rafaza? Pun penyebabnya hanya karena tertimpa sebuah apel. Mustahil seseorang bisa amnesia hanya karena alasan remeh semacam itu.

Faylen memejamkan mata setelah merebahkan dirinya di ranjang. Pikirannya mencoba mengingat ulang peristiwa sebelum tertimpa apel tersebut. Saat itu Faylen berkunjung ke rumah Mariana untuk belajar memasak.

“Kemarin Fay lihat apple cake di internet, Tante. Kayaknya enak.”

“Kamu mau? Kita buat aja. Kebetulan pohon apel Tante udah berbuah di belakang.”

Faylen menunggu Mariana yang naik ke lantai dua untuk memanggil anaknya. Menyuruhnya untuk memetikkan buah apel untuk mereka. Tak berselang lama Mariana kembali dengan wajah cemberut.

“Tunangan kamu lagi malas-malasan, Fay. Dia masih aja tiduran. Heran Tante.”

“Nggak apa-apa, Tante. Mungkin  masih capek karena kerjaan. Biar Fay aja yang petik apelnya. Pohonnya nggak tinggi, kan?”

“Nggak, kok. Di sana juga ada galah.”

“Oke, Tante. Fay petik apelnya dulu, ya.”

Faylen meraih galah yang terletak di sudut tak jauh dari pintu belakang. Terdapat tiga pohon apel di sana. Faylen memilih pohon yang kedua terjauh karena pohon itu yang paling pendek. Tetapi, Faylen melihat satu pohon apel lagi yang dekat dengan pagar. Pohon itu jauh lebih pendek.

“Yang itu aja, deh!”

Faylen mendekati pohon apel itu. Tiba-tiba saja tubuhnya bergetar. Faylen merasakan aura tak mengenakkan di sekitar sana. Dia semakin gemetaran ketika mencium bau gosong yang menyengat. Faylen menunduk ketika ada sesuatu yang jatuh ke sepatunya. Darah! Faylen mendongkak dan seketika itu juga sebuah apel jatuh mengenai kepalanya.

Sebelum kesadarannya hilang, samar-samar Faylen melihat seseorang mengenakan pakaian putih. Kulitnya melepuh dan kehitaman. Bau gosong itu semakin menyengat. Membuat perutnya bergejolak karena merasa mual. Ketika mendongkak, betapa terkejutnya Faylen melihat seorag gadis dengan wajah yang sangat mengerikan.

“Dia! Perempuan itu adalah perempuan yang sama yang aku lihat tadi.”

Faylen bangkit duduk. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tiba-tiba dia merasakan suasana di sekitarnya berubah mencekam. Ugh! Bau kosong itu tercium lagi. Dengan gerakan lambat Faylen menoleh ke arah meja riasnya.

Deg!

Cermin di sana memantulkan bayangan dirinya dan ... perempuan itu. Dia tepat berada di belakang Faylen. Untunglah rambut panjang yang menutupi wajahnya membuat rasa takut Faylen berkurang terhadapnya. Faylen merasa jijik sekaligus takut jika melihat wajah mengerikan itu lagi.

“Mau apa kamu? Kenapa kamu ganggu aku? Salah aku apa?!”

Faylen mulai terisak. Dia memejamkan mata ketika merasakan sentuhan kasar nan dingin di kulitnya. Gerakannya lamban. Seolah menikmati respons tubuh Faylen yang bergetar karena takut.

Faylen membuka matanya lagi setelah tak lagi merasakan sentuhan itu dan bau gosong yang tadi menyengat sudah menghilang. Napas Faylen memburu. Keringat dingin masih bercucuran. Dia terlonjak kaget ketika mendengar suara dering ponselnya.

“H-halo?”                      

“Halo, Fay. Kamu kenapa? Ada sesuatu?” Suara Rafaza terdengar khawatir di seberang sana.

“Perempuan itu. Aku lihat dia lagi. Dia nakutin aku, Raf. Plis .. percaya sama aku.” Faylen menahan tangisnya karena tak ingin membuat orangtuanya khawatir.

“Oke, aku percaya sama kamu. Sekarang kamu ambil napas dalam-dalam. Tenangin diri kamu. Aku gak mungkin ke sana sekarang udah larut malam apalagi aku baru aja pulang dari rumah kamu.”

“Aku takut, Raf.” Faylen menggigit bibirnya ketika isakannya semakin menjadi.

“Hei, ada aku. Aku akan nemenin kamu sampai kamu tidur. Hilangkan ketakutan kamu. Jangan pikirkan apa pun. Tidurlah. Semuanya akan baik-baik aja.”

“Aku gak bisa!”

“Aku nyanyiin lagu, gimana?”

Faylen mengangguk. Dia sadar jika Rafaza tak mungkin melihatnya. “Boleh.”

Suara berat milik Rafaza menyapa indra pendengarannya. Cukup merdu dan enak didengar. Faylen tersenyum. Dia mungkin tak ingat siapa Rafaza. Tetapi, dapat dipastikan Faylen telah jatuh cinta padanya. Suara Rafaza masih mengalun di saat Faylen sudah larut dalam mimpinya.

“Fay? Sudah tidur?” Tak ada jawaban di seberang sana. Hal itu membuat Rafaza yakin jika gadisnya sudah terlelap.

“Mimpi yang indah, Sayang. Aku cinta kamu. Always and forever.

***

“Masakan kamu semakin enak. Udah siap jadi istri.”

Pujian dari Mariana membuat pipi Faylen bersemu. Dia memasak ramen—masakan khas Jepang. Sementara itu, Rafaza tengah berada di kamarnya untuk mengganti pakaian. Setelah pulang kerja Rafaza menjemput Faylen untuk datang ke rumahnya.

“Tante bisa aja. Masakan Fay masih belum apa-apa dibanding masakan Tante.”

“Eh, ini udah enak banget, kok. Sebelumnya Tante minta maaf karena gak bisa nemenim kamu. Tante ada urusan sama teman-teman Tante. Nggak apa-apa kamu sama Rafa?”

“Nggak apa-apa dong, Ma. Malah Rafa pengin berduaan sama Fay.” Rafaza menggulung kemejanya sebatas siku ketika menuruni tangga.

“Dasar! Jangan macam-macam! Tahan diri kamu. Kalian belum sah. Apalagi Faylen belum ingat kamu. Jaga sikap kamu, Rafa!” Mariana berkacak pinggang

“Siap, Nyonya!”

Rafa meringis ketika Mariana menjewer telinganya sebelum membiarkan Rafa mencium punggungnya. Sebelum pergi Mariana berpesan pada Faylen agar segera menghubunginya jika anaknya itu berbuat macam-macam.

“Dhemi mana?”

“Balik lagi ke Bandung. Musim ujian katanya,” jawab Rafaza sebelum menggandeng tangan Faylen membawanya ke luar rumah.

Faylen dan Dhemi—adik Rafaza memang bersahabat karib semenjak SMA. Hanya saja usia Faylen lebih tua satu tahun di atas Dhemi terlebih Faylen ikut program akselerasi saat kuliah. Tahun kemarin Faylen sudah wisuda sementara Dhemi masih berjuang di sana.

“Bisa kamu ceritain awal pertemuan kita, Raf? Umur kita beda berapa tahun?” Faylen menoleh pada Rafaza yang tengah menyalakan mesin. Mereka berencana jalan-jalan sekaligus bernostalgia ke tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi guna membantu memulihkan ingatan Faylen.

Rafaza tersenyum geli. “Aku yakin kamu gak akan suka sama pertemuan kita. Aku lebih tua empat tahun di atas kamu.”

“Jawab juga pertanyaan aku yang pertama, dong!”

“Nanti sambil kita nostalgia, ya?”

Faylen bersidekap dada. Bibirnya mengerucut sebal. Meski begitu dia tak protes dan menyetujui Rafaza. Faylen mengernyit ketika tiba-tiba Rafaza menepikan mobilnya. Belum sempat Faylen bertanya, Rafaza mencondongkan tubuh ke arahnya. Jarak mereka yang terbilang sangat dekat membuat Faylen refleks menahan napas.

“Kebiasaan. Sengaja biar aku ada kerjaan?”

Rafaza memakaikan sabuk pengaman untuk Faylen. Dia mengaduh ketika gadis itu mencubit kecil lengannya.

“Enak aja! Aku beneran lupa. Kamu aja yang modus!” Faylen memalingkan wajahnya ke jendela, sisi yang berlawanan dengan Rafaza.

“Alasan yang sama lagi.” Rafaza terkekeh geli sebelum mengacak rambut Faylen yang segera ditepis gadis itu.

Perjalanan mereka menghabiskan seitar dua puluh lima menit untuk sampai di tujuan. Faylen menurut saja ketika Rafaza menuntunnya ke sebuah tempat wisata. Taman bermain, Ancol. Beruntung sekarang bukan hari libur hingga tak banyak pengunjung yang datang.

“Ini adalah tempat pertama kali kita ketemu.”

“Iya? Ceritanya gimana?”

“Sebelum aku cerita, kita coba wahana di sini, ya? Kita naik itu! Kamu berani, kan?”

Faylen menoleh ke arah yang Rafaza tunjuk. Roller Coaster. Faylen menggeleng. Bukan karena dia takut atau menolak tetapi, Faylen tak suka tatapan meremehkan dari Rafaza. Usianya sudah 22 tahun dan Faylen adalah gadis pemberani. Kecuali pada hantu perempuan yang menerornya itu.

“Oke!”

Keduanya mengambil tempat untuk mengantre. Faylen melotot ketika Rafaza terus menggodanya dan meminta Faylen menyerah jika merasa takut.

“Aku nggak takut! Bilang aja kamu yang takut.”

“Kalau aku takut, gak mungkin aku nantangin kamu, Sayang.” Faylen mendengkus.

Keduanya segera menempati kursi yang tersedia. Mereka berada di posisi keempat terdepan. Roller Coaster mulai melaju setelah penumpang memastikan keadaan diri mereka aman. Faylen menoleh ketika Rafaza menyentuh tangannya.

“Antisipasi. Ada aku yang jagain kamu.” Rafaza tersenyum. Faylen berdecak melihat sorot ejekan di matanya.

Beberapa saat kemudian ....

“Aaaargh!!”

Teriakan itu menggema, berlomba menunjukkan suara siapa yang paling keras. Di sela teriakannya Faylen tak kuasa menahan tawa. Melihat wajah ketakutan di sampingnya benar-benar hiburan yang menarik. Astaga! Ke mana wajah songong tadi?

“Katanya gak takut. Kok mata kamu berair, sih!” ucap Faylen setengah berteriak.

“Aku kelilipan debu. Aaaaargh!” Suara Rafaza bergetar. Teriakan Rafaza semakin keras ketika Roller Coaster itu menurun dengan kecepatan tinggi. Ya Tuhan ... Rafaza bersumpah tidak akan menaiki wahana ekstrem macam ini lagi.

Kenapa lama sekali? Apa mereka berniat membunuhku? batin Rafaza.

Syukurlah penderitaan Rafaza tidak berlangsung lama. Begitu Roller Coaster berhenti, Rafaza buru-buru keluar dan segera menuju ke toilet dengan langkah terseok-seok sembari menahan pusing. Di belakangnya dia mendengar suara tawa Faylen yang mengejeknya puas.

“Dasar! Ke mana perginya kesombonganmu, heh?! Tertiup angin?!”

Faylen geleng kepala. Sembari menunggu Rafaza, Faylen pergi untuk membelikan lelaki itu minum. Dua botol air mineral sudah di dapat dan Faylen melihat Rafaza baru saja keluar dari pintu toilet. Faylen melipat bibirnya ketika melihat wajah pias Rafaza.

Rafaza mendelik melihat Faylen mendekatinya seraya membekap mulut. “Belum puas ketawanya?”

“Hahahaha! Mana kalimatmu tadi? Ada aku yang jagain kamu. Preeet!! Jagain diri sendiri dari aja kamu payah. Hahahaha ....”

Rafaza tak membalas. Dia menumpahkan sisa air mineral yang di belikan Faylen ke kepalanya setelah meminumnya. Memalukan! Rafaza masih saja lemah. Bagaimana bisa dia muntah setelah menaiki permainan jahanam itu?

“Masih pusing?”

Rafaza tertegun mendengar suara lembut milik Faylen. Hatinya menghangat melihat sorot khawatir dalam manik gadis cantik itu. Terlebih tangan Faylen bergerak untuk memijat pelipisnya lembut.

“Setelah ini kita pulang aja, ya? Sepertinya kamu perlu istirahat.”

Rafaza menahan tangan Faylen. “Nggak. Kita pergi ke satu tempat lagi. Aku baik-baik aja.”

Setelah Rafaza merasa lebih baik, keduanya segera bergegas ke parkiran.

“Kamu belum cerita pertemuan kita. Apa seperti tadi?’ tanya Faylen begitu Rafaza duduk di kursi kemudi.

“Kurang lebih seperti itu. Tapi, ada satu kejadian yang bikin aku merasa menang.”

“Apa?”

“Setelah muntah dan ditertawakan kamu, aku hendak buru-buru pulang. Kebetulan saat itu aku gak bawa kendaraan dan melihat kamu mau naik taksi. Karena kesal dan ingin balas dendam, aku rebut taksi itu. Lucunya, rok kamu terjepit pintu terus robek.”

Faylen membelalak. Dia ingat kejadian itu. Di mana roknya robek karena seorang pria menyerobot taksi yang hendak di naikinya. Tetapi, Faylen tidak bisa mengingat wajah lelaki itu.

“Kok, kamu jahat, sih! Nyebelin!” Faylen memukuk-mukul lengan Rafaza kesal. “Aku malu banget saat itu. Untung ada teman yang kasih pinjam jaketnya.”

Tawa Rafaza berhenti. “Kamu ingat?”

Faylen mendesah. “Aku ingat semuanya. Tapi, setiap kali peristiwa yang bersangkutan sama kamu, aku gak bisa mengingat semuanya. Peran kamu seolah terhapus di sana.”

 “Nggak apa-apa. Ini sebuah kemajuan.” Rafaza menyalakan mesin mobil menuju tempat selanjutnya.

Pantai. Tempat yang paling Faylen sukai. Rafaza membawanya di saat yang tepat, senja. Faylen memang ingin melihat sunset setelah sekian lama tidak datang ke sini. Embusan angin dan desiran ombak membuahkan senyum indah miliknya.

“Di tempat ini, di waktu yang sama dan suasana serupa aku melamar kamu.”

Faylen menoleh. Menatap tangannya yang Rafaza genggam ketika lelaki itu berlutut.

“Karena kamu melupakan aku, tentang kita ... aku ingin mengulangnya lagi. Faylen Fanitama Dirga. Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anak-anakku kelak? Dan menjadi satu-satunya pendamping seumur hidup sampai maut memisahkan?”

Faylen tak menjawab. Matanya berkaca-kaca seiring merasakan ada luapan yang siap meledak dalam hatinya. Oh, Tuhan ... Faylen merasakannya. Perasaan bahagia yang menjadi idaman setiap wanita.

“Aku memang pelupa sebelum bertemu kamu. Termasuk soal cinta. Aku gak mementingkan masa lalu meski perasaan itu masih ada. Karena itu aku mudah jatuh cinta dan melupakan.”

 Faylen tersenyum sebelum melanjutkan. “ Gak peduli memori aku menghapus tentang kamu, hatiku gak bisa berdusta. Aku jatuh cinta lagi pada orang yang sama. Pada seseorang yang kini terasa asing namun begitu dekat. Aku cinta kamu, Rafaza Putra Adam. Kuterima dengan sepenuh hati takdir yang ingin menyatukan kita.”

Rafaza tersenyum sebelum bangkit. Mencium kening Faylen dalam. Menyalurkan kasih dan sayang tiada batas untuknya.

***

Faylen buru-buru memasuki kamarnya setelah sampai di rumah. Senyumnya terus merekah mengingat kejadian tadi. Lamaran ulang yang dilakukan Rafaza membuatnya bahagia setengah mati.

“Aaaa...” Faylen membenamkan wajahnya ketika mengingat ciuman Rafaza di keningnya.

Masa bodoh siapa Rafaza dan amnesia yang Faylen alami. Yang jelas Faylen mencintai lelaki itu. Tunangannya. Bukankah orang-orang terdekat Faylen juga berkata demikian?

“Pipi aku panas!”

Faylen bergerak menuju meja rias. Pipinya memang memerah. Malu setiap kali kenangan manis bersama Rafaza berputar dalam memorinya. Padahal baru beberapa menit lalu keduanya berpisah tetapi, Faylen sudah merindukan lelaki itu.

Senyum Faylen mendadak pudar ketika dia sadar kembali pada kenyataan. Di sana, dalam pantulan cermin sosok perempuan yang menerornya kembali muncul.

Prank!

Faylen melempar satu per satu benda yang ada di meja riasnya ke cermin itu.

“Pergi! Kenapa kamu mengikutiku?!”

Faylen berteriak histeris. Orangtuanya sedang tak ada di rumah karena menghadiri acara rekan kerja Dirga. Faylen benar-benar sendirian sekarang. Ah, sial! Harusnya Faylen meminta Rafaza mengantarnya ke tempat mereka tadi.

“Kumohon ... jangan ganggu aku. Apa salah aku? Aku ingin hidup tenang.”

Tubuh Faylen meluruh. Dia bersimpuh di atas dinginnya lantai. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang bersimbah air mata. Siapa perempuan itu? Kenapa dia terus menghantui Faylen?

Faylen memberanikan diri mendongkak.

Deg!

Wajah mengerikan itu tepat berada di depannya, sejajar dengan wajah Faylen. Astaga! Luka bakar itu mengeluarkan cairan nanah dan darah yang mengental. Menjijikkan. Faylen ingin muntah.

“Aaaargh!! Pergi kamu! Pergi!” Tangan Faylen memukul-mukul udara. Berharap sosok perempuan itu menghilang. Tetapi, perempuan itu tetap bergeming. Menatap Faylen dengan sorot kebencian yang nyata.

Lampu yang mendadak mati membuat Faylen semakin kalang kabut. Dia sangat ketakutan. Aroma gosong semakin tercium di ruangan yang gelap ini. Faylen menggigit bibirnya seraya menutup mata. Berharap orangtuanya segera datang. Faylen tenggelam dalam ketakutan.

Tubuh Faylen mendadak kaku, seolah ada yang mengunci pergerakannya. Tetapi, tiba-tiba tangannya bergerak sendiri. Perlahan membuka, memperlihatkan wajahnya yang sebelumnya Faylen sembunyikan. Sebuah apel berwarna merah darah ada di tangannya. Apel itu berkilat dan sangat menggiurkan.

Asyik memerhatikan apel tersebut, Faylen terkesiap ketika sebuah ular tiba-tiba keluar di sana.

“Aaaaaaaargh!”

***

Faylen terduduk. Napasnya memburu. Damn it! Ternyata hanya mimpi. Faylen benar-benar ketakutan setengah mati. Tunggu! Sejak kapan kamarnya beraroma antiseptik? Faylen menyapu ruangan dan pandangannya terhenti pada sebuah apel yang terletak di atas nakas.

Buah terkutuk itu!

Faylen melemparkan apel itu dan beberapa benda yang ada di sekitarnya hingga menimbulkan kebisingan.

“Fay ... kamu sudah sadar?” Fani segera datang dan menghampirinya yang disusul Dirga.

“Faylen ada di mana, Ma?”

“Kita di rumah sakit. Tadi Rafa menghubungi kami. Katanya kamu pingsan.”

“Pingsan?”

“Iya. Rafa bilang kamu pingsan karena kelelahan setelah kalian jalan-jalan.” Dirga angkat suara kali ini.

“Fay ....” Fani membingkai wajah Faylen. “Kalau ada apa-apa cerita sama kami. Kami orangtua kamu. Mama nggak sanggup bila harus kehilangan anak Mama lagi.”

Dirga mengelus bahu istrinya yang terisak. “Mama kamu benar. Kami nggak akan tahu penyakit kamu kalau Rafa nggak bawa kamu ke sini.”

“Penyakit apa, Pa? Fay nggak sakit. Faylen sehat-sehat aja.”

“Cukup, Fay! Jangan berbohong lagi! Kami sudah tahu semuanya.” Fani menenggelamkan wajahnya di dada Dirga. Dia tak sanggup mengatakan apa pun lagi.

“Dokter yang tadi meriksa kamu ternyata sudah kenal kamu dan mengatakan kalau kamu adalah salah satu pasiennya. Kamu menderita sakit jantung. Dokter tadi mengatakan jika kamu ingin menyembunyikan hal ini dari kami,” jelas Dirga. Menatap Faylen datar. Sorotnya antara marah dan sedih.

Apa? Faylen sakit jantung?Apalagi itu? Faylen bersumpah jika dirinya sehat-sehat saja dan  tak memiliki riwayat penyakit terlebih penyait mematikan seperti itu. Kenapa ingatannya jadi kacau balau? Ah! Apel itu. Semuanya bermula dari buah laknat itu.

“Mama lega dokter tadi mengatakan kalau sekarang kamu sudah sembuh. Dia heran padahal dua minggu yang lalu keadaannya sangat kecil harapan kamu mampu bertahan kurang dari dua bulan. Terlepas dari itu semua, tolong jangan sembunyikan apa pun lagi dari kami.” Fani kembali terisak.

“Tunggu ... Mama sebelumnya sempat bilang kalau Mama nggak ingin kehilangan anak lagi? Bukannya aku anak tunggal?”

Fani menggeleng. “Nggak, Sayang. Kamu punya saudara kembar. Namanya Fayna. Tetapi, saat umur tiga tahun kakakmu diculik dan kami nggak bisa menemukan dia.”

Apa? Faylen punya saudara kembar?

“Mama serius?” Fani mengangguk lemah.

“Rafa mana?”

“Dia sedang di kantin. Papa memaksanya makan di sana karena dia bersikeras ingin menjaga kamu padahal Rafa sudah menunggu kamu semalaman.”

“Fay harus ke rumah Rafa, Ma. Ada yang harus Fay lakukan di sana.” Faylen melepas paksa selang infusan di tangannya.

“Faylen! Kondisi kamu masih lemah.” Dirga berucap tegas.

“Plis, Pa. Keadaan sekarang buat Faylen hampir gila. Konyol aku amnesia gara-gara tertimpa apel. Apalagi hanya Rafaza yang aku lupain. Terus aku gak tahu kalau aku punya penyakit jantung. Belum lagi sosok perempuan yang akhir-akhir ini neror aku! Fay lelah, Pa.”

“Tapi—” Elusan Fani di lengannya membuat Dirga mengalah.

Bersamaan dengan itu pintu terbuka dan memunculkan sosok Rafaza. Matanya membulat melihat Faylen sudah sadar. Dia senang sekali gadis yang dicintainya itu baik-baik saja.

“Fay ....” Dengan langkah cepat Rafaza menghampiri Faylen. “Maafin aku. Kamu kelelahan gara-gara aku. Kenapa kamu menyembunyikan fakta bahwa kamu sakit, hm?”

“Nanti aku jelasin. Sekarang antar aku ke rumah kamu, ya?”

Rafaza mengernyit. “Ke rumah aku?”

Orangtua Faylen turut menjelaskan keinginan putrinya. Tanpa membuang waktu lagi, mereka bergegas menuju tempat tujuan setelah mendapat izin dari pihak rumah sakit. Semoga firasat Faylen merupakan kunci dari permasalahan yang dihadapinya.

Rafaza turun dari mobil bertepatan dengan orangtuanya yang baru saja membuka pintu rumah. “Loh, Rafa ...  Kenapa kamu bawa Faylen ke sini? Baru aja Tante sama Om mau ke rumah sakit jenguk kamu, Fay.”

“Tante, Om ... boleh Fay ke halaman belakang rumah kalian?”

Orangtua Rafaza tak banyak bertanya dan mengizinkan Faylen setelah anaknya memberi penjelasan. Faylen meminta agar tak ada satu orang pun yang mengikutinya. Adam, Mariana, Rafaza dan orangtua Faylen yang baru tiba memilih memerhatikan Faylen dari kejauhan.

“Loh? Kok, Faylen malah masuk gudang?” Mariana mengernyit.

“Memangnya di sana ada, Jeng?”

“Saya juga nggak tahu. Pemilik lama rumah ini udah wanti-wanti jangan ada yang masuk ke sana. Dulu Dhemi pernah masuk. Saya sering lihat Dhemi bicara sendiri. Katanya ada perempuan yang sebaya dengan dia.”

Dirga menopang tubuh Fani yang mendadak lemas. Meski mereka mengkhawatirkan Faylen, mereka harus percaya padanya.

Di sisi lain, tempat yang Mariana sebut tadi merupakan sebuah gudang, yang terlihat oleh Faylen adalah pohon apel pendek waktu itu. Bulu romanya meremang seiring langkahnya yang kian dekat. Ugh! Faylen menutup hidungnya ketika mencium aroma gosong daging panggang dan sedikit bau amis.

Menepikan rasa takut, Faylen mengulurkan tangannya untuk menyentuh pohon apel itu. Faylen menahan napas ketika dia melihat ada tangan lain yang turut menempel di sana. Tangan pucat kehitaman disertai luka-luka melepuh.

Faylen berusaha tenang. Dia mulai memejamkan matanya.

“Dasar nggak tahu diri! Masih untung saya menampung kamu! Tapi kamu malah berniat menggoda suami saya.”

Seorang gadis belia meronta ketika rambutnya ditarik paksa dan diseret secara kasar. Dia menangis dan memohon ampun pada wanita dewasa yang melakukan itu padanya.

“Nggak, Bu. Bapak yang hampir perkosa saya. Saya gak berani bilang karena Bapak selalu mengancam saya.”

“Ma, hentikan! Kita lepaskan saja dia. Gawat kalau ada tetangga yang lihat dan melaporkan kita ke polisi.”

“Diam kamu, Pa! Berani-beraninya kamu belain pelacur kecil ini! Setelah ini kamu berurusan sama aku.”

Wanita itu mengikat gadis belia tadi dengan seutas tali di pohon apel. Tangisan dan permohonan ampun dianggap angin lalu. Dia marah besar ketika memergokinya dan suaminya hampir melakukan adegan tak senonoh.

“Ambilkan Mama bensin, Pa!”

“Mama sudah gila?!”

Wanita itu menggeram. “Turuti perintahku atau kamu aku perlakukan serupa dengan gadis ini!”

Lelaki itu tak membantah. Dia menuruti titah istrinya.

Wanita itu menyiramkan bensin keseluruh tubuh gadis itu yang terus menangis. Matanya membelalak ketika wanita yang menjadi majikannya tersebut mengambil pematik api dari saku celananya dan mulai menyalakannya.

“Ini bayaran yang pantas! Dan kamu, Pa ... aku gak segan-segan melakukan ini juga sama kamu kalau kamu berbuat macam-macam lagi.”

Teriakan kesakitan menggema. Gadis itu menjerit merasakan panas di sekujur tubuhnya. Saat itu kompleks perumahan di sini sedang sepi dan wanita yang membakarnya hidup-hidup itu sudah memastikan keadaan.

“Argh! Panas!Tolong saya, Bu. Maafkan, saya.”

Faylen menarik tangannya kembali. Napasnya memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Gadis belia tadi memiliki wajah yang sama sepertinya. Faylen memejamkan mata. Samar-samar sebuah gambaran mulai memenuhi isi kepalanya.

Dia melihat seorang gadis yang mengambil galah di sudut dekat pintu belakang rumah ini. Gadis itu mengedarkan pandangan. Wajahnya persis seperti dirinya. Sama sekali tak dapat dibedakan. Mata mereka bertemu. Gadis itu mengulurkan tangan ke arahnya.

Sentuhan itu bagai sengatan listrik dan menimbulkan sensasi yang luar biasa. Faylen membeku. Dia hendak membalas sentuhan gadis itu namun yang terjadi membuatnya terkejut. Gadis itu tiba-tiba limbung bersamaan darah yang keluar dari hidungnya.

“Hah! Hah!”

Faylen meraup udara rakus. Napasnya memburu dan bahunya naik turun dengan ritme yang cepat. Kilasan-kilasan peristiwa tadi mengembalikan ingatan seluruhnya. Apa yang harus dia ceritakan nanti setelah mengetahui semuanya?

“Nggak mungkin!”

Faylen membekap mulutnya menahan isakan. Tidak! Bagaimana bisa begini? Gadis pertama yang dilihatnya adalah Fayna. Dirinya sendiri. Kini Faylen—maksudnya Fayna mengerti kenapa dia tidak mengenal ataupun mengingat sosok Rafaza.

Tiga bulan setelah peristiwa pembakaran hidup-hidup itu, majikannya menjual rumahnya kepada Mariana. Dhemi, anaknya, yang saat itu berusia 14 tahun bisa melihatnya dan mereka bersahabat. Sementara itu, Rafaza kuliah di luar negeri.

Fayna ingat seorang gadis yang memiliki wajah persis sepertinya. Gadis itu mimisan sebelum sebuah apel di pohon tempat dia dibakar  menimpa kepalanya. Gadis itu, Faylen, meninggal di tempat karena penyakit jantung yang sudah dia idap.

Fayna melihat bagaimana arwah Faylen keluar dari tubuhnya sendiri.

“Tugasku sudah selesai. Aku memberimu kesempatan untuk menjaga orangtua kita.”

Ya, Fayna yang sudah lama meninggal hidup kembali dalam tubuh Faylen. Meski begitu, ingatan yang melekat tetap miliknya. Tidak semua karena memorinya tercampur dengan memori Faylen.

“Fay ....” Fani menghampirinya. “Kenapa kamu menangis di sini? Apa yang terjadi?”

Fayna mendongkak. Mereka menyusulnya karena Fayna sudah cukup lama di sini. Tangisannya semakin deras begitu melihat sosok Rafaza.

“Ada apa, Fay?” Suara lembut Rafaza terdengar. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.

Fayna menggeleng. Tangisannya semakin menjadi. Bagaimana bisa dia  mengisi tempat yang menjadi milik Faylen? Yang lebih menyulitkan, bagaimana dia mengatakan jika yang bersama mereka bukanlah Faylen. Melainkan jiwa Fayna yang mengisi raga Faylen.

TAMAT.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 1 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • LovelyGallery

    Halo kak, jika ingin dibuatkan cover untuk novel bisa hubungi kami ya :) salam sukses

Similar Tags
Serpihan Hati
11601      1946     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
My Universe 1
4318      1385     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
A Day With Sergio
1860      814     2     
Romance
Secret’s
4298      1374     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
TEA ADDICT
320      212     5     
Romance
"Kamu akan menarik selimut lagi? Tidak jadi bangun?" "Ya." "Kenapa? Kan sudah siang." "Dingin." "Dasar pemalas!" - Ellisa Rumi Swarandina "Hmm. Anggap saja saya nggak dengar." -Bumi Altarez Wiratmaja Ketika dua manusia keras kepala disatukan dengan sengaja oleh Semesta dalam birai rumah tangga. Ketika takdir berusaha mempermaink...
Gunay and His Broken Life
8583      2527     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
SOLITUDE
1754      691     2     
Mystery
Lelaki tampan, atau gentleman? Cecilia tidak pernah menyangka keduanya menyimpan rahasia dibalik koma lima tahunnya. Siapa yang harus Cecilia percaya?
A Perfect Clues
6372      1731     6     
Mystery
Dalam petualangan mencari ibu kandung mereka, si kembar Chester-Cheryl menemukan sebuah rumah tua beserta sosok unik penghuninya. Dialah Christevan, yang menceritakan utuh kisah ini dari sudut pandangnya sendiri, kecuali part Prelude. Siapa sangka, berbagai kejutan tak terduga menyambut si kembar Cherlone, dan menunggu untuk diungkap Christevan. Termasuk keberadaan dan aksi pasangan kembar yang ...
Dominion
247      195     4     
Action
Zayne Arkana—atau yang kerap dipanggil Babi oleh para penyiksanya—telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Perundungan, hinaan, dan pukulan adalah makanan sehari-hari, mengikis perlahan sisa harapannya. Ia ingin melawan, tapi dunia seolah menertawakan kelemahannya. Hingga malam itu tiba. Seorang preman menghadangnya di jalan pulang, dan dalam kepanikan, Zay merenggut nyawa untuk p...
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
552      391     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya