Azalea menarik jepit rambut dari tatanannya. Dia memekik kesakitan tatkala beberapa rambutnya ikut tertarik. Azalea tidak peduli akan hal itu. Yang terpenting saat ini dia harus keluar dari gudang sekolah. Dia memasukkan jepit rambutnya ke dalam lubang pembuka jendela yang sudah rusak. Jendela kuno yang ada di situ adalah satu-satunya jalan yang bisa membawanya keluar.
Setelah dirasa kuncian jendelannya agak longgar, Azalea mengangkat roknya. Dengan sekali tendang dia bisa membuat jendela itu terbuka. Azalea melangkah keluar, dia harus segera berada dipesta agar tidak mendapatkan masalah dari guru seninya. Dia juga harus memberi pelajaran pada Cornie, Abel, dan Greed yang menguncinya di gudang. Namun, lengan gaunnya tersangkut paku yang tertanam di papan kayu. Sobekannya cukup panjang, membuat lengannya terekspos sebagian. Tidak ada pilihan lain, Azalea menyobek kedua lengannya. Menyisakan gaunnya yang tanpa lengan. Azalea berlari menuju ke arah aula pesta.
Seingatnya, sebelum meninggalkan aula tadi ada musik yang berdentum dengan keras. Namun, saat ini hanya hening dan sepi yang dapat dia rasakan. Ketika dia melangkah masuk, dia menemukan semua yang ada di pesta itu membeku. Mereka tidak bergerak, bahkan beberapa dari mereka menampilkan raut terkejut dan mulut yang terbuka kaget. Azalea mengalihkan pandangannya menyusuri sekeliling ruangan. Dia menemukan satu sosok berwarna hitam yang dikelilingi aura berwarna hijau pekat. Otaknya memerintahnya ke sana hanya saja tubuhnya lebih dulu di tarik oleh seseorang ke bawah meja.
“Sttsss!” Krissan mengisyaratkan diam lewat telunjuk tangannya. Dia kemudian melihat sosok itu lagi dari lubang kecil yang ada pada taplak meja. Sosok hitam itu pergi dari sana.
“Itu siapa?” tanya Azalea penuh dengan rasa penasarannya.
“Black Died. Dia banyak menghancurkan sekolah-sekolah untuk mencari reinkarnasi dari permaisuri Anzelline.”
“Permaisuri.... Anzelline?”
“Kamu pasti belum mendegarnya.” Krissan keluar dari kolong meja diikuti Azalea. Mereka berjalan keluar aula pesta. Krissan berhenti berjalan, ada sesuatu yang dia lupakan. Tentang gaun tanpa lengan yang dipakai Azalea. Krissan sangat tidak nyaman melihatnya. “Apa kamu sengaja memamerkan bahumu pada semua orang?” tanya Krissan dengan sarkatik.
Azalea melebarkan matanya tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari Krissan tentang gaunnya. Dia juga reflek menutup tubuh bagian atasnya ketika Krissan menatapnya dengan sangsi. “Jaga bicaramu!”
Azalea melangkah pergi menjauhi Krissan tapi Krissan lebih dulu melemparinya jaket. Krissan menyuruhnya memakainnya. Lagipula suasana bahaya yang saat ini sangat kentara tidak baik untuk berjalan sendiri-sendiri. Azalea memakainnya dengan terpaksa. Jaket Krissan melekat di tubuhnya dengan kebesaran mengingat tubuh Krissan yang tinggi tegap dan tubuhnya yang atletis sangat berbnding terbalik dengan tubuhnya yang kecil dan agak pendek.
“Ah, aku baru ingat. Kita harus ke ruangan Grey. Dia pasti tahu sesuatu tentang ini. Dia pasti bisa membantu kita.” Azalea melihat Krissan yang mengangkat alisnya tidak mengikuti instruksi Azalea. Tanpa kata lagi, Azalea menarik tangan Krissan ke arah perpustakaan sekolah. Grey adalah penjaga perpus sekolah Asdagra yang sangat Azalea hormati.
“Grey! Ada sesuatu yang harus kamu tahu.” Azalea langsung berbicara pada Grey ketika dia sudah berada di dalam Perpustakaan bersama Grey.
“Tentang apa?”
“Apa kamu tidak tahu kalau seluruh penghuni sekolah yang berada dipesta membeku?” Grey menggeleng tapi raut wajahnya tidak terkejut sama sekali. Memang Grey selalu seperti itu. Sifatnya tenang tanpa bisa berubah seperti manusia pada umumnya. “Apa ada yang bisa kita lakukan untuk membebaskan mereka?” tanya Azalea penuh harap. Azalea sangat ingin Cornie, Abel, dan Greed kembali seperti sebelumnya. Meski Azalea tidak menyukainya, tapi Azalea sudah terbiasa dengan kehadiran ketiga orang itu. Sangat tidak nyaman rasanya jika dia tidak berada di antara mereka meski dirinya selalu jadi bulan-bulanan mereka.
“Ada. Menurut beberapa sumber buku yang pernah aku baca beberapa bulan yang lalu. Mereka yang membeku bisa diselamatkan dengan mantra yang ada dibuku Noterratus. Tapi buku itu sudah lama hilang dan tidak ada yang tahu tempatnya dimana. Kecuali dewa dan dewi negeri atas yang tahu semua itu. Sangat sulit untuk mendapatkan jawaban dari mereka.”
“Kenapa begitu? Apa dewa dan dewi adalah orang yang jahat?” Azalea bertanya dengan mata yang membulat antara tidak percaya dan takut jika memang benar itu keadaanya.
“Tidak. Hanya saja mereka akan membuatmu bertanya-tanya tentang dirimu sendiri. Dan mereka akan memberimu ujian sebelum kamu mendapatkan apa yang kamu cari. Sebelumnya, kamu harus tahu jika ada tiga tahap sebelum teman-temanmu menjadi batu selamanya. Itu membutuhkan waktu tiga hari dan dalam waktu itu kamu harus mendapatkan bukunya. Jika tidak, tidak ada lagi murid yang dapat sekolah di sini. Sekolah ini juga akan ditutup seperti sekolah lain yang bernasib sama seperti kita.”
“Tunggu. Sebenarnya aku ingin menanyakan ini. Mengapa hanya aku, Krissan, dan Anda yang selamat?”
“Karena... kita tidak ada dipesta itu.”Grey menghembuskan napasnya. “Apa kamu akan mencari buku itu?”
“Iya.” Azalea mengangguk mantap berbeda dengan Krissan yang menggeleng tegas pada Grey. Dia tidak mau terlibat sesuatu yang meribetkan dirinya.
“Kami akan pergi!” Azalea menatap Krissan dengan melotot, memerintahkan Krissan agar mau menemaninya. “Bisa kamu bawa kami ke sana?”
“Iy...”
“Ganti pakaian dulu.” Krissan melenggang pergi sebelum Azalea memprotesnya.
Setelah mereka berganti pakaian. Grey menunjukkan jalan mereka untuk sampai ke negeri atas. Mereka berjalan menuju taman belakang sekolah. Pohon beringin dengan diameternya yang lebar terbuka di depannya. Menampilkan pintu kayu yang hanya dapat dibuka dengan mantra yang Grey punya. Karena memang hanya Grey yang bebas keluar masuk dunia atas. Selain itu tidak ada lagi kecuali memang pemilik dunia atas sendiri yang bisa keluar masuk seenaknya.
Grey, Azalea, dan Krissan sampai di negeri atas. Azalea takjub dengan dunia berwarna hijau di depannya. Seperti lahan bunga dengan bunga Daisy sepanjang penglihatannya.
“Sebenarnya... ini dunia seperti apa? Dan siapa yang akan kita temui pertama kali?” tanya Azalea dengan penuh takjub pada bunga Daisy yang dia pegang. Hampir saja dia mengambil satu tangkai bunga itu tapi Krissan lebih dulu mencegah tangannya.
“Kau bisa membuat kita dalam bahaya,” ujar Krissan yang berhasil membuatnya mengernyit tidak mengerti.
“Karena Dewi Daisy tidak akan menyukainya,” ujar Grey menjawab pertanyaannya. “Aku hanya bisa mengantar kalian sampai sini. Semoga kalian beruntung.” Grey lebih dulu menutup pintunya. Pintu itu berjalan ke bawah dan menghilang begitu saja.
“Lalu... kita harus kemana?” tanya Azalea yang tidak bersemangat melanjutkan perjalanannya hanya dengan Krissan saja. Meskipun mereka dalam satu kelas yang sama, tapi Azalea dan Krissan tidak pernah dekat satu sama lain. Apalagi sifat Krissan yang menyebalkan baginya.
“Aku juga tidak tahu.” Krissan meninggalkan Azalea sendirian. Dia berjalan menusuri padang bunga Daisy. Sementara Azalea masih berdiri di tempatnya tanpa mau menyusul Krissan.
Sedetik setelah pemikiran yang menyadarkannya, dia kemudian lari menyusul Krissan. Jika nama bunga dan nama Dewi itu sama, maka secara tidak langsung padang bunga ini akan menunjukkan jalannya menuju ke tempat sang Dewi berada.
“Kenapa kamu lari?”
“Kamu benar. Kita harus jalan ke sana.” Azalea menyeka keringatnya. Napasnya yang terengah-engah sangat tidak nyaman untuk dilihat. Dengan sangat terpaksa Krissan mematahkan bunga itu. Lalu batangnya dia berikan pada Azalea.
“Untuk apa?” beo Azalea sambil menatap Krissan dan bunga secara bergantian. Setahunya tadi Krissan bilang bahwa mereka bisa dalam bahaya jika memetik bunga itu. Tapi Krissan dengan santai memetiknya untuk dirinya.
“Padang bunga daisy ini menyimpan air yang banyak dari batangnya, tidak seperti bunga atau tumbuhan pada umumnya. Rasa airnya pun manis melebihi madu, tapi tidak semanis gula.”
Azalea menerimanya, dia memang haus dan cukup lelah. Setelah dia menyesap batang itu sampai airnya habis, batang itu berubah menjadi coklat dan menyusut kering. Azalea seketika takjub dibuatnya. Tapi dia bertanya-tanya kenapa Krissan mau melanggar apa yang tadi dia akan langgar? Azalea malah mencurigai Krissan adalah dalang dari apa yang terjadi dengan warga sekolahnya. Meski Krissan orangnya selalu tidak peduli pada sekelilingnya ketika di kelas tapi setiap saat Azalea selalu merasakan lelaki itu mengamatinya.
“Kenapa kamu melanggar apa yang kamu peringatkan tadi padaku?”
“Karena tidak ada pilihan lain. lagipula sekarang siap-siap saja bertemu dengan Daisy, Dewi itu pasti akan menyuruh anak buahnya membawa kita ke istananya,” ucap Krissan dengan tenang. Benar saja, beberapa prajurit utusan Dewi Daisy muncul secara ajaib di depan mereka. Para prajurit menodongkan senjatanya, menggiring mereka masuk ke portal yang membawa mereka berada di depan singgasana Dewi Daisy.
“Menunduk hormat!” perintah salah satu prajurit pada Azalea dan Krissan.
Mereka menunduk, bahkan Azalea sangat takut berada di depan dewi seperti itu saat ini. Dia tidak sepemberani ucapan dan tingkahnya. Dia masih memiliki rasa takut tentu saja.
“Jadi kalian bermain-main di ladangku dan memetiknya tanpa izin dariku? Aku semakin tidak mengerti kenapa Grey membawa kalian ke tempat bunga-bunga kesayanganku berada. Jadi siapa yang harus aku hukum? Grey, atau kalian berdua?” Suara Dewi Daisy yang lembut sekaligus dingin dan tegas itu menggelegar menyeluruhi ruangan, terasa sangat mengerikan. Dia tidak tahu saja bahwa ruangan ini sudah di desain sedemikian rupa untuk mengadili rakyatnya yang bersalah.
“Maaf yang mulia.” Azalea mendongak menatap Dewi Daisy. Seketika tubuhnya menegang di tempat. Dia tidak tahu harus mempercayai penglihatannya atau tidak, yang jelas dia mulai percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang sebelumnya bahwa Azalea akan hidup kembali dengan ingatan yang berbeda.
Daisy menatap Krissan meminta penjelasan. Seharusnya dia membenci fakta kebenarannya, hanya saja saat ini dia merasa bahagia. Daisy turun dari singgasananya. Dia mendekat ke arah Azalea dan ikut berjongkok untuk menyamaratakan tubuh mereka.
“Kau, mirip sekali.” Daisy meraba kulit pipi Azalea yang lembut. Lalu turun ke rahang Azalea yang tegas seperti dirinya. Dia tidak menyangka bisa melihat seseorang yang sangat dia rindukan.
“Maaf yang mulia.” Azalea menjauhkan wajahnya. Dia merasa tidak nyaman jika wajahnya dipegang oleh orang lain. Daisy lalu bangkit berdiri. Dia tidak ingin mellow seperti saat ini.
“Kali ini kau bebas dari hukumanku. Karena wajahmu sangat menyerupai anakku yang sudah meninggal. Tapi kalian memang berbeda.” Azalea kembali duduk di kursi kebesarannya. “Apa yang membuat kalian kemari?” tanya Daisy sambil mendudukkan kembali dirinya ke singgasananya. Dia menatap kedua orang di bawahnya dengan angkuh.
“Kami ingin tahu kemana kita bisa menemukan buku Noterratus Dewi,” ujar Azalea dengan lirih. Perasaan khawatir masih menyelimuti sebagian hatinya. Apalagi sosok Dewi di depannya penuh dengan aura intimidasi.
“Ahhh buku itu. Aku sudah lama sekali tidak mendengarnya. Terakhir kali, hanya Anzelline yang menyebutnya. Kau... mengingatkanku padanya.” Daisy kembali mendudukkan dirinya kembali disinggasanannya.
“Aku akan membantu kalian. Tapi kamu!” Daisy menunjuk Azalea. “Harus menjawab pertanyaanku. Jika kamu bisa menjawab, aku akan menunjukkan jalan menuju Noterratus berada. Tapi jika kamu tidak berhasil, kamu akan menjadi tawananku beserta temanmu,” ucap Daisy dengan tegas dan angkuh.
Azalea mengagguk mantab di tempatnya. Bagaimanapun juga dia harus menyelamatkan teman-temannya dan seluruh penghuni sekolah. Meski dia tidak menyukai teman-temannya, tapi dia merasa dia harus menyelamatkan mereka. Entah apapun alasannya.
“Mari kita mulai.” Daisy menjentikkan tangannya. Asap berwarna putih lalu mengelilingi mereka menciptakan kabut tebal yang tidak terlihat siapapun kecuali mereka berdua. “Tak terlihat, tapi dapat dinikmati. Tapi juga dapat menghancurkan diri. Kamu hanya perlu waktu sepuluh detik untuk berpikir. Dimulai dari sekarang!”
Azalea menutup matanya. Dia harus berkonsentrasi. Tapi bayang-bayang suara teman-temannya yang mencemoohnya justru berputar-putar didirinya. Dia down bahkan hanya dengan mengingatnya. Justru dia berperang batin sendiri dengan masa lalunya. Dia harus tetap menyelamatkan seluruh penghuni sekolah atau membiarkannya. Dia tahu dirinya tidak berharga dimata semua orang, tapi mereka berharga bagi Azalea. Dan telinganya terasa nyeri hanya memikirkan tekadnya yang sudah bulat menolak hatinya untuk tidak membantu mereka.
“Suara,” jawab azalea dengan lirih. Dia membenci suara-suara yang disekelilingnya. Tanpa sadar dia mengucapkan kata itu. Bahkan dia membulatkan matanya menatap ke arah Daisy. Dia takut jawabannya salah dan harus berakhir di tempat itu sebagai tawanan. Tapi yang ada dia mendapati senyum ceria daisy untuk pertama kalinya.
“Kita sudah selesai. Untuk menemukan Noterratus. Selanjutkan kamu akan bertemu dengan Pangeran Arold. Dia adalah orang yang aku beri perintah untuk menjaganya. Kamu bisa menemuinya setelah keluar dari tempat ini.” Kabut tebal yang berada di sekelilingnya menghilang seketika. Mereka kembali ke tempat semula.
Daisy menggerakkan tangannya memutar. Setelahnya muncul portal di depan Azalea dan Krissan berada. “Portal ini akan membawa kalian menuju ke tempat Pangeran Arold berada.”
Azalea masuk terlebih dahulu, disusul Krissan. Hanya saja Krissan menatap Daisy terlebih dahulu. Daisy mengangguk dan tersenyum pada Krissan. Senyum yang penuh dengan kemisteriusan.
Istana Pangeran Arold sangat berbeda dengan istana Dewi Daisy. Istana itu penuh dengan alat-alat peperangan yang menempel di didingnya. Sepanjang lorong yang mereka lewati mereka menemukan berbagai macam peralatan perang dari yang terlihat umum maupun yang terlihat unik dan langka.
“Kenapa Pangeran Arold disebut pangeran? Bukan Dewa?” Azalea bertanya tidak mengerti. Sebenarnya sedari tadi dia sudah memikirkan pertanyaan itu, hanya saja dia takut untuk mengutarakannya. Dia takut membuat kesalahan di negeri orang lain.
“Karena dia memang masih pangeran, belum di angkat menjadi Dewa sebenarnya,” jawab Krissan dengan tenang seperti biasanya.
Azalea menghentikan langkahnya. Dia menatap Krissan dengan seksama. Dia semakin yakin jika Krissan adalah bagian dari rencana jahat orang bersosok hitam yang membuat seluruh warga sekolah membeku. Tapi dia tidak boleh gegabah, dia harus bermain tenang. Dia tidak ingin mati di negara yang tidak dikenalnya ini. Dia harus kembali ke negerinya lebih dulu.
“Apa kita akan berjalan disini terus menerus. Dari tadi tidak ada belokan atau ujungnya. Apa kita tersesat?” tanya Azalea sambil meraba-raba salah satu patung berwujud kuda dengan lapisan emas di depannya. Dia terpesona akan indahnya patung itu. Dengan mata yang terbuat dari kristal murni, serta rambutnya yang berasal dari sutra selembut kualitas teratas sudah berhasil membuatnya terpesona.
Azalea mengelus rambut kuda itu. Tanpa disangkanya sendiri, itu adalah alat untuk membuka jalan menuju tempat Pangeran Arold berada. Azalea masuk ke dalamnya. Seperti tadi, Krissan mengekorinya. Bisa dibilang petualangan ini hanya dirinyalah yang beraksi, sedangkan Krissan hanya sebagai penonton atau orang yang hanya menemaninya kesana kemari.
“Ternyata kalian secepat itu menemukan pintu masuknya. Aku kira kalian akan berputar-putar lebih lama di sana.” Suara seorang laki-laki remaja menggema di ruangan itu. Barulah dia memunculkanwujudnya di tengah-tengah ruangan bersamaan dengan lampu yang menyala terang secara bersamaan. Membuat mata kedua orang itu silau.
“Bisakah kamu menunjukkan jalan ke mana kami harus menuju tahap selanjutnya?” kali ini Krissan yang angkat bicara. Laki-laki itu terlihat jengah dengan apa yang ada di depannya. Seorang laki-laki remaja dengan rahang tegas mirip Krissan dan hidung mancungnya yang sama persis berhasil membuat Azalea menyandingkan kedua wajah mereka. memang benar-benar terlihat mirip. Yang berbeda hanya rambut mereka. Pangeran arold memiliki rambut berwarna putih dan lurus. Sedangkan Krissan mempunyai rambut berwarna hitam legam dan sedikit bergelombang.
“Ohh. Kau sungguh tidak sopan.” Pangeran Arold berujar santai tapi sarat akan makna. “Apa kita harus langsung memulainya? Padahal aku ingin bermain-main dulu. Kau tahu, seperti anak remaja pada umumnya. Aku sangat menyukai segala hal tentang permainan. Apa...”
“Suah cukup!! Kita mulai saja. Apa yang akan kamu berikan untuk tantangan ini?” geram Krissan dengan marah. Dia tidak suka melihat Azalea ditatap remeh oleh anak remaja itu.
“Baik. Baik. Kamu sangat tidak sabaran,” kesal Pangeran Arold sambil mengerucutkan bibirnya.
“Aku akan bertanya. Hanya satu pertanyaan saja dan kamu harus menyebutkan alasannya. Jika alasanmu kuat, kamu bisa melanjutkan perjalananmu menuju ke tempat ayahku berada. Dia yang menyimpan buku itu sebenarnya. Tapi tidak, sebenarnya ibuku yang menyimpannya. Dan hanya ibuku yang tahu itu dimana.” Pangeran Arold melirik sinis ke arah Krissan. Wajahnya terlihat sangat muak dengan kehadiran orang itu. Jika bukan karena neneknya-Dewi Daisy yang menyuruhnya. Dia tidak akan mau melakukan hal ini.
“Kenapa kamu mau menyelamatkan seluruh penghuni sekolah?”
Azalea tidak perlu membutuhkanwaktu lama untuk berpikir. Dia suda sangat mantab dengan jawaban yang akan dia utarakan. Sepanjang perjalanan dia memikirkannya, maka ketika Pangeran Arold memberinya pertayaan itu dia sudah bisa menjawabnya dengan siap.
“Karena aku menyayangi mereka. Meskipun kebanyakan dari mereka membenciku atau tidak menyukaiku tapi aku selalu merasa mereka sebenarnya melindungiku. Hanya saja aku terlalu menyayangi mereka sampai-sampai aku lupa bahwa sebuah kekerasan bukanlah senuah bentuk kasih sayang. Tapi aku memang benar-benar menyayangi mereka seperti aku menyayangi diriku sendiri.”
“Menyayangi diri sendiri? yang ada aku melihatmu membenci dirimu sendiri. Berarti kamu juga membenci mereka.” Pangeran Arold menjawab dengan penuh intimidasi. “Sayangnya jawabanmu salah besar. Kamu dan temanmu akan masuk ke dalam penjara bawah tanah. Selamat berjuang!”
Setelah mengucapkan kalimat itu. Lantai yang dipijaki Azalea dan Krissan menghilang. Mereka terjatuh ke dalam lubang di bawahnya yang mengantarkan mereka langsung ke penjara bawah tanah.
Melihat lantai kembali menutup, membuat Pangeran Arold bernapas lega. Jika dia semakin melihat kedua orang itu, bisa dibayangkna seperti apa dirinya nanti. Beruntung dia tidak perlu berlama-lama berurusan dengannya.
“Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil merenggangkan tangannya.
***
“Apa kamu bodoh menjawab sesuatu hal yang tidak masuk akal seperti itu? Kapan kamu mau jujur dengan apa yang kamu rasakan sebenarnya?” bentak Krissan dengan marah. Dia tidak suka terjebak diantara reruji besi yang mengungkung mereka. apalagi suasananya temaram dengan lampu kuno seadanya.
Azalea hanya bisa menunduk pasrah sambil memeluk dirinya sendiri. Dia tahu sudah tidak ada waktu lagi. Ini hari kedua mereka menjelajah mencari buku Noterratus. Dia juga sudah gagal menjawab pertanyaan Pangeran Arold. Apalagi besok adalah hari terkahir mereka untuk menemukan buku Noterratus itu. Azalea sangat sedih jika mengingat hal itu. Dia bahkan tidak mendengarkan gerutuan Krissan yang menyumpah serapahi jawabannya.
Azalea berdiri dari duduknya. Matanya menelisik ke arah dinding yang berada di belakangnya. Dia mengamati setiap ukiran yang ada di dinding. Ukirannnya sangat unik dan terlihat susah untuk diukir dengan tangan. Tapi tidak menutup kemungkinan itu adalah ukiran tangan. Pengamatan Azalea berlanjut lagi. Kali ini dia melihat ukiran acak yang tidak beraturan. Dia menggesernya tapi tidak bisa. Dia mencoba menggerakkan permata kecil yang berada di sisi pembatas ukiran. Dan ketika permata itu berubah tempat, ukiran itu bergerak rapi ke tengah. Azalea menikmati hal itu. Dia kemudian melakukan hal yang sama dengan ke enam batu permata yang lain. setelahnya semua ukiran itu bergerak rapi dan menyusunnya dengan teratur. Azalea terkesiap dengan ukiran yang ada di sana. Ada tiga nama. Dan Azalea sangat kaget dengan itu semua.
Ukiran itu tiba-tiba bersinar menyilaukan mata. Azalea menutup matanya. Cahaya terang itu menghilang begitu saja setelah beberapa saat. Dia membuka matanya. Di sekelilingnya hanya ada nuansa putih tanpa warna. Bahkan pakaian hitam yang dia pakai berubah warnanya menjadi putih. Azalea menatap sekeliling kembali. Dimana-mana hanya putih yang mengelilinginnya. Kepalanya terasa pusing ketika semua teka-teki yang berusaha dia sambungkan dengan semua ini. Dan itu membuatnya memekik kesakitan.
Azalea sudah mengetahui semua ini. Meski dia merasa ada yang salah tapi jika di depannya hanya ada Krissan seorang maka kesimpulan yang dia ambil memang benar adanya.
“Kau... adalah Dewa terakhir yang akan mengujiku.” Tatapan Azalea bagai tatapan tanpa tenaga. Seharusnya dia tidak memercayai Krissan sepenuhnya. Seharusnya dia tahu ketika dia dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya mengenai dunia yang saat ini mereka jelajahi. Tidak mungkin Krissan bisa mengetahui semua tentang negeri ini tanpa dia pernah tinggal di sini. Seharusnya dia menanyai dari awal agar tidak merasa terjebak seperti ini.
Azalea memundurkan kakinya ke belakang ketika Krissan mendekatinya. Meski Krissan menggunakan pakaian seperti dirinya yang berwarna putih dan tanpa seperti Dewa pada umumnya.
“Kau...” Azalea mengingat nama-nama yang tertera di ukiran tadi. “Krissan, Anzelline, dan Arolda adalah keluarga. Bagaimana bisa? Apa kau kira aku bodoh?” Azalea bertanya dengan air matanya yang tanpa sadar menetes begitu saja. Ntahlah dia merasa sesak mendengarnya. Apalagi ketika mengingat bahwa Anzelline adalah seorang permaisuri dan Pangeran Arold adalah anak mereka. Bagaimana dia bisa sebodoh itu percaya bahwa Krissan menyukainnya.
“Kau salah sangka Azalea. Aku hanya... berusaha mengingatkanmu tentang sejatinya dirimu.”
“Apa kau pikir aku adalah reinkarnasi Anzellinemu begitu? Kau yang salah sangka. Sama seperti Dewi Daisy yang salah menyangka aku ini mirip seperti anaknya. Kau... melakukan kesalahan yang sama.”
“Apa aku harus memberi tahumu sesuatu?”
“Tidak perlu. Aku sudah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan mereka. Silakan tawan aku sesuka kalian. Jadikan aku budak kalian kalau kalian mau. Aku sudah lelah dengan semua hidupku.”
Krissan sangat tidak menyukai kalimat Azalea. Dia cukup terkejut dengan pemikiran Azalea yang seperti itu. Seharusnya memang dari awal dia tidak merencanakan hal ini. Tapi kenyataan bahwa Black Died muncullah yang membuatnya merencankan hal itu. Hanya saja yang mengetahui di mana Noterratus memang dirinya sendiri. Anzelline sendirilah yang menyimpannya ketika dia menyuruh Anzelline menyimpannya. Dan hanya cara seperti ini yang mampu membangkitkan memori Anzelline dalam diri Azalea.
Dengan sekali kedipan mata, Krissan memeluk tubuh Azalea. Dia sangat tidak menyukai air mata yang keluar dari kedua mata perempuan itu. Perempuan yang menjadi reinkarnasi permaisurinya yang sudah dia tunggu-tunggu sejak lama. Sejak dia mengetahui bahwa permaisurinya akan bereinkarnasi. Saat itulah dia berkelana keliling dunia mencari reinkarnasi Anzelline. Dan ketika melihat seorang bayi lahir dengan nama Azalea, membuatnya kembali bersemangat untuk hidup. Dia bahagia bisa menemukan reinkarnasi Anzelline.
“Aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Kamu adalah bagian dari hidupku. Aku sudah menunggu selama beribu-ribu tahun untuk dapat menemukanmu.”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” Azalea mendorong tubuh Krissan dengan kuat. Membuat laki-laki itu menjauh darinya.
“Kamu. Dan hanya kamu.”
Azalea tersenyum meremehkan. Dia tidak bisa percaya begitu saja. Meski jika benar kenyataannya dia reinkarnasi dari Anzelline, bukankah dia tetap berbeda dengan Anzelline. Dia terlahir kembali bukan terlahir sebagai Anzelline. Dia tidak semudah itu percaya dengan Krissan.
“Jika Anzelline ada disini. Apa kamu akan lebih memilihnya daripada reinkarnasinya? Orang ini tidak sama dengan Anzelline.” Azalea menunjuk dirinya sendiri.
Pembicaraan mereka terhenti tatkala sebuah portal muncul di tengah-tengah mereka berada. Dewi Daisy dan Pangeran Arold muncul dari sana. Setelahnya portal itu menghilang. Menyisakan kedua orang itu berdiri di tengah-tengah ketegangan yang terjadi.
“Tapi aku bisa mengingatkanmu kembali Azalea.” Dewi Daisy berbicara dengan lembut berbeda sekali dengan pertemuan mereka kemarin. “Kamu tahu apa yang aku pertanyakan kemarin? Itu adalah pertanyaan yang pernah Anzelline berikan padaku. Dan hanya dia yang bisa menjawabnya. Jawabannya sama seperti jawabanmu.”
Azalea tersenyum miris. Bisa saja itu rekayasa mereka. Bagaimana bisa mereka merencanakan hal gila seperti ini. Apalagi berhubungan dengan dunia teratas. Saat ini Azalea harus berhati-hati.
“Dan... ibu.” Pangeran Arold kali ini bersuara. Wajahnya menahan rasa rindu pada ibunya yang sudah lama tidak dia lihat. Dia harus tumbuh sendiri dengan Krissan yang mendidiknya dengan keras. “Apapun yang ibu jawab pada pertanyaanku akan menghasilkan jawaban yang salah. Karena memang tujuannya untuk membuat ibu melihat ukiran yang ada di penjara itu. Tapi sebenarnya itu bukanlah sebuah penjara. Melainkan kamarku yang ibu desain untuk melindungiku dari para pembunuh yang selalu mengincar nyawa kita. Dan hanya ibu dan aku yang bisa membuka itu, bahkan ayah tidak tahu ada pintu seperti itu.”
“Berapa banyak lagi kebohongan yang akan kalian bualkan? Aku sudah capek mendengarnya. Bisa kalian tawan aku saja? Itu adalah hal yang mudah,” kara Azalea dengan sarkastik.
“Maka kalau begitu kamu harus melihat ini.”
Krissan maju di tengah-tengah Dewi Daisy dan Pangeran Arold. Dia menggerakkan tangannya dari samping kiri ke kanan dengan alur melengkung seperti lengkungan pelangi. Lalu sebuah gambar muncul dari sana. Mirip seperti televisi, hanya saja itu tanpa kabel dan sejenisnya. Seperti layar bioskop yang lebar, menampilkan semua kegiatan Anzelline yang pernah terjadi semasa dia hidup. Dari mulai kisah Anzelline dan Krissan, sampai lahirlah seorang anak laki-laki tampan yang Azalea dapat pastikan bahwa itu adalah Pangeran Arold. Kepalanya pusing seketika, matanya memburam. Tapi dia masih bisa melihat sekelilingnya. Hanya saja di dalam matanya seperti ada cermin. Cermin itu menampilkan Anzelline yang ada di dalam dirinya. Dia bisa melihat bahwa Anzelline tersenyum ke arahnya. Tapi dia hilang kendali. Kesadarannya berakhir saat itu juga. Sesaat setelah dia mengingat semuanya dan menerima bahwa dirinya memang reinkarnasi dari Anzelline.
Azalea membuka matanya. Kamar yang dia tempati terasa asing, tapi juga terasa menyimpan banyak makna untuknya. Dia bangkit dari duduknya. Matanya mengelilingi setiap celah dinding yang berusaha dia ingat untuk menemukan buku noterratus itu. Dia ingat dia meletakkannya di antara jepitan terakhir di dalam rak berbentuk pohon miliknya. Rak buku dengan bentuk menyerupai pohon itu di dalamnya ada gambar seperti cetakan tangan. Letaknya ada di dalam, terhalang oleh beberapa buku-buku yang memang sengaja digunakan sebagai penjaga. Cetakan itu sebagai alat untuk membuka penyimpanan buku noterratusnya.
Azalea menyentuh kelima buku penjaganya. Buku itu secara ajaib menghilang. Azalea lalu meletakkan tangannya di cetakan itu. Secara ajaib buku dengan judul Noterrateus sudah berada di tangannya. Ketika dia membuka bukunya, cahaya putih mengelilinginnya. Membawanya berada di aula pesta kembali. Pakaian yang dia kenakan sudah berbeda. Pakaiannya mirip seperti pakaian yang digunakan oleh Daisy kemarin.
“Aku kira kamu tidak akan bangun.” Azalea menoleh ke samping kanannya. Ada Krissan yang ternyata menunggunnya. Pria itu tersenyum manis menatap permaisurinya yang telah kembali. Jujur dalam dirinya sendiri Azalea juga senang. Entah mengapa perasaanya mengatakan bahwa dia telah menemukan kebahagiannya.
“Hanya kamu yang bisa menggunakan mantra dalam buku ini.” Azalea menyerahkan buku itu ke arah Krissan.
“Dan hanya kamu yang bisa menyimpannya.”
Krissan lalu membuka bagian mantra yang dia cari. Dia memang sudah hafal di luar kepala semua matra itu hanya saja, mantra dari buku itu tidak akan berfungsi jika dia tidak langsung membaca dari bukunya. Buku yang unik dan hanya satu-satunya.
Krissan menggerakkan tangannya ke tengah-tengah aula. Cahaya berwarna ungu keputihan tiba-tiba meledak di udara. Menyebarkan seluruh mantra yang dapat mengembalikan semua orang di pesta itu seperti sedia kala.
Setelah semua cahaya dari mantra itu hilang. Perlahan-lahan semua orang di sana bergerak. Mereka kembali melanjutkan pembicaraan yang belum selesai. Ingatan yang menampilkan black died di dalamnya terhapus begitu saja. Semuanya kembali seperti seharusnya. Hanya Azalea yang tidak akan pernah sama lagi. Karena dia memilih untuk melanjutkan hidupnya sebagai permaisuri Krissan. Sebagai ibu dari Arold yang telah lama dia tinggalkan.
“Apa kamu sudah siap?” tanya Krissan sambil menyodorkan telapak tangannya ke arah Azalea.
Azalea menerima uluran tangan Krissan. Sedetik kemudian mereka sudah sampai di bukit dengan pemandangan alamnya yang super indah. Bukit itu adalah bukit yang pertama kali mempertemukan mereka. Yang membuat mereka berakhir dalam sebuah hubungan yang dinamakan pernikahan.
“Aku senang bisa kembali,” ucap Azalea yang berada dipelukan Krissan. Dia akhirnya bahagia dengan seseorang yang tidak pernah dia sangka. Seseorng yang selalu mengamati dirinya tanpa mau menyapanya. Seseorang yang memberikannya pengalaman berharga dalam hidupnya. Dia... benar-benar bahagia.