Seperti biasa setiap hari saat menjelang sore aku selalu duduk di bawah pohon mangga tua tak bertuan di padang ilalang yang aku cintai. Selalu saja menunggu senja tiba. Jika orang-orang berebut menunggu senja di tepi pantai, aku menepi di sini di padang ilalang di perbukitan. Menanti senja di perbukitan yang rasa-rasanya selalu ingin kucuri.
Di sini bersama ilalang aku merasa damai. Aku terbiasa di sini, berbisik-bisik pada ilalang, bercerita tentang luka yang aku rasakan. Luka menganga yang selalu aku cari obatnya dan menari bersama tak kala angin berhembus. Ilalang-ilalang yang menjadi satu-satunya teman yang pernah aku kenal dalam hidupku. Satu-satunya yang aku rasakan bisa mengerti diriku. Satu-satunya yang bisa memberiku harapan akan kebahagiaan yang mungkin akan raih esok.
Aku memandangi lagi lukisan yang tergeletak di depanku. Lukisan yang aku temukan di depan pintu rumahku pagi tadi. Seseorang tanpa nama mengirimiku lukisan ilalang ini, lukisan yang membuat hatiku berdesir hebat saat aku memandanginya. Lukisan ini seperti memiliki ikatan yang sangat kuat denganku. Aku sudah berkali-kali memandangi lukisan itu, tapi tetap saja aku tidak mengerti dari mana asalnya lukisan ini. Aku tidak punya teman yang mungkin mengirimiku hadiah seindah ini. Keluarga aku juga tidak punya keluarga. Aku hanya punya Ibu yang tidak mungkin bisa menyisihkan uang keperluan rumah tangga untuk membeliku lukisan yang jelas-jelas terlihat sangat mahal ini.
Lagi dan lagi aku mengamati lukisan itu. Aku dan padang ilalang yang aku cintai seperti ditarik masuk dalam lukisan ini. Dalam lukisan itu terlihat seorang gadis dengan rambut tergerai yang tertiup angin sedang duduk di bawah pohon mangga di padang ilalang, gadis dengan senja yang dia cintai. Gadis itu adalah aku, aku yang memang terbiasa duduk menunggu senja di bawah pohon mangga tua ini.
Pelan kuhapus lukisan itu, tanganku yang kurus menelusuri setiap jengkal warna-warna dalam lukisan itu. Aku menemukan sesuatu dalam lukisan itu, sesuatu yang disebut cinta. Cinta yang selama ini aku cari-cari dalam hidupku. Lukisan itu terasa dibuat oleh tangan halus seseorang yang menyanyangiku.
Aku mencari-cari lagi, mencari-cari sesuatu yang bisa aku temukan dalam lukisan itu. Aku menemukannya, tulisan kecil yang terselip di sudut lukisan. Sebuah nama yang sepertinya mengajakku kembali kemasa lalu yang tidak pernah aku ketahui. Masalalu yang selalu ingin kucari, pencarian yang akhirnya membuat hubunganku semakin menjauh dengan Ibuku.
Aku meraih lukisan itu, beranjak pergi meninggalkan padang ilalang. Bahkan senja yang sore ini tak mampu lagi menahanku di sini. Padang ilalang yang menari mengantar kepergianku dengan harapan semoga aku menemukan titik terang masalaluku dalam lukisan ilalang itu.
''Ibu, aku ingin bertanya tentang....'' Aku duduk di samping ibuku yang sedang menonton sinetron favoritnya.
''Jangan bertanya yang tidak-tidak lagi Adelise, Ibu tidak ingin mendengar pertanyaan konyolmu itu lagi.''
Ibu menatapku dengan tatapan marah, sedih dan kebencian seperti biasanya setiap kali aku bertanya tentang dia. Tentang Ayah yang tak pernah aku temui, bahkan hanya untuk sekedar tahu namanya.
''Gunawan Sastro Negara, dia Ayahku bukan?'' Pertanyaanku disambut tatapan jijik dari Ibu, jelas sekali dia tidak ingin mendengar nama itu.
''Adelise!!!'' suara tinggi Ibu menggema diseluruh ruangan.
''Ibu, sampai kapan Ibu akan merahasiakan masa lalu dariku, aku berhak tahu siapa pria yang seharusnya aku panggil Ayah.'' Kataku, bisa kurasakan getaran luka di dalam nada suaraku yang bergetar saat menyebut kata Ayah
Ibu terlihat semakin marah, jauh lebih marah dari biasanya. ''Kamu tidak perlu Ayah untuk menjalani hidupmu Adelise.''
Aku menatap wajah ibu. Raut wajah yang selalu terlihat menyimpan luka yang teramat dalam setiap kali aku bertanya tentang Ayah yang baru saja aku tahu namanya.
''Aku tidak bilang aku perlu Ayah, aku hanya ingin tahu masa laluku. Setidaknya Ibu bisa memberiku penjelasan kenapa aku harus bisa hidup tanpa seorang Ayah, agar aku tahu Bu perasaan apa yang harus aku persembahkan untuk seseorang yang harus aku panggil Ayah.''
Aku merunduk berpaling dari tatapan ibu yang membuatku semakin terluka.
''Ibu hanya ingin melindungimu dari rasa sakit, ibu tidak ingin kamu terluka seperti ibu.'' Ibu berkata, nyaris dengan suara yang tak terdengar.
Sementara aku semakin tertunduk bersama air mata yang mengalir di pipiku. Aku sudah merasakannya Bu, ada dan tidak adanya Ayah bersamaku aku tetap saja merasakan luka itu. Ibu aku hanya ingin memiliki alasan untuk bisa membencinya jika memang itulah perasaan yang pantas aku persembahkan padanya.
π
Sore ini disaat aku seharusnya berada di padang ilalang untuk menunggu senja tiba, aku malah berdiri di depan pintu rumah mewah seukuran lima kali rumahku. Pagi tadi aku menemukan kertas kecil yang tertempel dipintu kamarku. Tulisan tangan Ibu yang berisikan alamat Gunawan Sastro Negara, pria yang ternyata menjadi pemeran utama dalam luka yang aku rasakan selama ini.
Setelah beberapa menit aku berdiri di depan pintu rumah mewah ini akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu pun terbuka, seorang wanita tua muncul di pintu. Wanita itu menatapku dari atas sampai bawah. Aku pikir dia akan menilai penampilanku lebih dulu sebelum memperbolehkanku masuk. Aku baru saja ingin bertanya disaat dia berteriak histeris.
''Non Adelise! Astaga non Adelise.'' Dia mengguncang-guncang bahuku dan menatapku seakan sudah mengenalku dengan baik, seakan aku sudah ditunggu bertahun-tahun. Aku jadi merasa diam-diam rumah ini menyimpan kenangan-kenangan tersendiri tentangku.
''Tuan sudah menunggu anda sejak lama, tuan pasti akan senang sekali melihat non. Mari masuk non, mari.''
Tangannya yang keriput menggenggam tanganku dan menuntunku masuk ke dalam rumah yang penuh dengan perabotan-perabotan mewah yang tidak akan kau temui di dalam rumahku. Lukisan-lukisan yang terpajang di dinding membuatku teringat akan lukisan ilalang yang aku terima kemarin. Dari isi dalam rumah ini aku bisa menyimpulkan bahawa pemilik rumah ini memiliki cita rasa seni yang tinggi. Aku berhenti di depan foto yang tak lain adalah fotoku sendiri. Di dalam foto itu aku terlihat sedang menari di tengah-tengah padang ilalang yang aku cintai. Kenyataan bahwa pria yang seharusnya aku sebut Ayah itu memperhatikanku sejak lama membuatku ingin menangis.
''Dulunya tuan adalah pelukis yang sangat terkenal non.''
Dia pasti sudah tahu tidak ada satu pun yang aku ketahui tentang Ayahku.
''Tuan, sudah menunggu anda di dalam.''
Wanita berambut putih ini mengantarku sampai di depan pintu kamar yang tertutup.
''Satu hal yang harus non tahu, tuan Gunawan sangat menyangi non Adelise. Dari dulu sebelum non lahir kedunia ini tuan Gunawan sudah mencintai non. Setelah nyonya kabur dan membawa non lima belas tahun yang lalu Tuan Gunawan selalu mengurung dirinya dalam kesendirian bahkan tuan berubah semakin parah. Seandainya nyonya bisa bersabar sedikit lagi mungkin tuan akan berubah menjadi lebih baik. Sekarang tuan hanya bisa berbaring lemah diranjangnya, sudah satu tahun terakhir ini tuan sakit-sakitan, minggu lalu dia memutuskan untuk pulang dari rumah sakit dan memilih untuk dirawat di rumah.'' Wanita itu berkata panjang lebar. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya yang tua mengisyaratkan bahwa ia sangat mencintai tuannya.
Aku menatap wajahnya yang tua. Dia tersenyum, matanya memberi isyarat agar aku segera masuk. Ragu-ragu kuraih gagang pintu.
Pintu terbuka, di tempat tidur aku melihat seorang wanita dengan Selang infuse yang tertancap dipergelangan tangannya yang kurus.
''Tuan non Adelise datang.''
Aku mencari-cari sekeliling ruangan, tidak ada sosok yang lain dalam kamar ini kecuali wanita berambut panjang itu. Aku mendekati wanita itu, mataku membelalak saat menyadari sosok itu bukan seorang wanita, jakun di lehernya menjadi satu-satunya pertanda bahwa dia seorang pria.
''Adelise anakku.''
Aku menatap lekat wajah pucat itu, aku seperti melihat diriku sendiri dalam wajah itu. Inikah pemeran utama dalam luka yang kurasakan? sosok yang selalu kucari-cari dalam hidupku? Yang membuat hubunganku dengan Ibu menjadi renggang. Sekarang aku tahu alasannya mengapa Ibu lebih memilih bekerja membanting tulang untuk mencukupi kebutuhanku ketimbang bertahan dirumah mewah ini sebagai nyonya yang punya segalanya.
''Adelise, kemarilah Nak.''
Aku berdiri terpaku, bungkam seribu bahasa. Mengabaikan tangan kurusnya yang melambai-lambai padaku. Jika aku Ibu aku juga pasti akan memilih meninggalkan kehidupan mewah ini . jika aku Ibu, aku juga pasti akan membencinya seumur hidupku.
''Tolong panggil aku Ayah satu kali saja, setelah itu kau bebas untuk membenciku Nak.'' Pria itu berkata mengiba.
Aku ingin sekali membencinya seperti Ibu yang membencinya. Seperti Ibu aku juga ingin berlari meninggalkannya. Tapi saat kutatap matanya yang seperti duplikat mataku, rasa benciku sirna berganti rasa cinta yang seharusnya memang ku persembahkan padanya. Tatapan matanya yang penuh cinta padaku membuatku tak mampu untuk meninggalkannya.
Ayah, Ayah aku akan memanggilmu Ayah lebih banyak dari yang Ayah mau. ''Ayah!'' Getir kuucapkan kata itu. Kuraih tangannya yang lemah dan menggenggamnya erat.
''Maafkan Ayah, Ayah sudah membuat kamu terluka seperti ini. Ayah bisa mengerti jika Ibumu tidak bisa menerima Ayah lagi. Tapi Adelise kamu harus tahu Ayah sangat menyanyangi kalian. Ayah tidak berani menemuimu karena Ayah takut kamu malu nak. Ayah takut kamu akan terluka seperti Ibumu.''
Dia tersenyum, senyuman yang sama persis seperti punyaku. Tiba-tiba aku merasa takut kehilangannya.
''Ayah, aku ingin kita bisa bersama-sama seperti layaknya sebuah keluarga. Aku yakin jika Ayah berubah Ibu pasti bisa menerima Ayah kembali. Aku akan membantu Ayah untuk berubah.''
Ayah menggeleng, matanya mengamatiku penuh cinta. Aku memeluknya, aku tidak ingin lagi kehilangan Ayah, walaupun Ayah seperti ini aku ingin tetap ingin bersama-sama dengan Ayah. Seperti apa pun Ayah aku bisa menerimanya asal Ayah mencintaiku.
''Adelise, Ayah harus pergi. Katakan pada Ibumu Ayah minta maaf karena sudah membuat hidupnya menderita. Sekali lagi maafkan Ayah nak, Ayah mencintaimu.''
Setelah memastikan dia mencintaiku, Ayah pun pergi untuk selamanya. Meninggalkanku lagi dalam kesendirian. Mengubur harapan-harapanku untuk bisa bersama-sama dengan Ayah yang aku cintai.
Aku memandangi senja dalam lukisan padang ilalang itu, lukisan yang tertempel di dinding kamarku yang putih. Lukisan yang menjadi kunci dalam membuka masalaluku. Ayah, sekarang aku tidak perlu lagi berusaha untuk mencuri senja, karena sekarang aku sudah punya senjaku sendiri. Hadiah pertama dan terakhir dari ayah. Ayah aku mencintaimu dan aku bahagia bisa menyebutmu Ayah. Ayah, aku tidak pernah menyesal menjadi anakmu.
π