Gadis berseragam putih abu-abu itu terus berjalan menunduk membelah jalanan di gelapnya malam. Gadis bername tag Anasta Late Suran itu terlihat sangat risih dengan keadaan sekitarnya, bahkan dia beberapa kali terlihat menghindar seakan di depannya ada sesuatu. Karena semakin merasa terganggu dia memilih berlari hingga sampailah dia di depan pagar rumahnya. Tepat saat membuka pagar rumah, seketika di depannya muncul sosok perempuan bergaun putih cantik dengan lebam yang begitu ketara di lehernya.
Anasta menggeleng dan buru-buru membuang pandagannya kesamping, dia memilih menyibukkan diri dengan bermain ponsel yang baru saja diambil dari sakunya. Gue gak boleh natap dia! Gue harus pura-pura gak liat!
“Aku tau kamu bisa melihatku, Anasta.”
Gadis yang sendari tadi mencoba berpura-pura sibuk itu meringis dan menunduk dalam-dalam. Dia gagal berpura-pura seperti biasanya. Pada akhirnya Anasta mendongak menatap manik mata sosok di depannya yang tersirat kesedihan dan penyesalan secara bersamaan. Sejenak Anasta tetegun akan hal itu.
“Oke. Gue ngaku bisa liat lo. Dan sebelumnya, gue mau tanya sama lo. Kenapa beberapa hari ini lo ikutin gue? Gue ada salah?” tanya Anasta menggebu-gebu.
Sosok di depan Anasta menunduk sejenak. “Maaf kalau aku menganggumu. Aku hanya ingin meminta bantuanmu. Hanya itu saja.” Jawabnya.
Anasta menghela napas panjang. “Minta bantuan? Dalam hal apa ya? Dunia kita itu beda, kalau lo lupa. Lo udah meninggal dunia, lo beda sama gue yang masih sehat walafiat ini.”
Sosok itu mentap Anasta dengan tatapan penuh arti. “Maka dari itu bantu aku. Aku mohon. Hanya kamu yang bisa membatuku. Aku mohon.” pintanya.
Inilah yang sangat tidak disukai oleh Anasta, dia sangat sulit mengabaikan seseorang yang meminta tolong padanya. Memang benar bahwa di depannya ini bukan seorang manusia, tapi dia pernah menjadi seorang manusia.Tuhan memberikan Anasta anugerah dapat melihat sesuatu yang tak dapat dilihat oleh manusia normal lainnya. Dan hal itulah yang membuat dirinya tidak punya teman karena dianggap gila ketika berbicara sendiri.
Suara ketukan pintu dari luar kamarnya membuat Anasta yang tengah tidur nyenyak itu menggeliat. Anasta berdiri dan melangkah kearah pintu untuk menghampiri seseorang yang mengganggu tidurnya. Daun pintu terbuka menampakkan tampilan Anasta yang semrawutan. “Hoammm... ya?” tanyanya sambil masih berusaha mengumpulkan raganya.
“Kok, lo belum siap-siap sih, dek?!”
Anasta terjengit kaget dan reflek menutup telinga mendengar pekikan itu. “Apa sih, kak? Please deh, gausah lebay!”
Tuk.
“Aduh!”
Perempuan yang berada di depan Anasta menghadiahkan jitakan pada kepala Anasta. “Lebay, lebay, paha lo goyang! Sekarang udah setengah tujuh. Lo jadi nggak, nebeng gue? Kalo nggak, ya, gue tinggal.”
Anasta lantas membuka matanya lebar-lebar dan menengok jam dinding di tembok sebelahnya. Seketika kecepatan kilat untuk mandi muncul pada diri Anasta. Perempuan yang tadinya berada di depan pintu kamar Anasta mengendikkan bahu acuh kemudian masuk kedalam kamar adiknya lalu merebahkan diri di kasur.
Di dalam kamar mandi, Anasta yang tengah membilas rambutnya dengan sampo berteriak. “Kak Dinda! Tungguin gue, gue jadi nebeng lo!”
Berkat keterlambatan Anasta pagi tadi, disinilah dia. Berakhir dengan sebuah sapu di tangannya. Mendapat hukuman menyapu lapangan adalah salah satu hukuman yang selama ini Anasta hindari, karena dedaunan yang gugur berjumlah sangat banyak. Tak hanya itu beberapa gangguan pun dia dapatkan karena dekat dengan pohon beringin sekolah.
Anasta bedecak kesal, “Ini pasti gara-gara dengerin cerita, tuh, hantu muda. Jadi kurang tidur kan gue.” Gerutunya.
***
Anasta berjalan di sebuah rumah usang yang terletak sedikt jauh dari pemukiman warga sekitar. Rumah usang yang masih ada pembatas polisi itu sangat kotor. Di belakang Anasta, hantu yang sudah beberapa hari bersamanya, kini selalu mengikutinya.
“Ikuti aku, Anasta.”
Anasta menoleh kebelakang sejenak lalu mengikuti hantu tersebut. Dan sekarang Anasta menatapi gedung kuno yang terletak tak jauh dari rumah usang tadi. Anasta masuk dalam gedung itu, hingga Anasta berhenti kala melihat hantu yang menuntunnya itu menunjuk sebuah bongkahan kayu.
“Di dalam sana.” Anasta mengangguk dan mencari celah agar menemukan benda milik hantu itu di dalam bongkahan kayu di depannya.
Lama mencari akhirnya Anasta berhasil menemukan sebuah slimbag yang sudah cukup berdebu dan sedikit rusak. Anasta menatap hantu perempuan di depannya, sedangkan hantu di depannya tersenyum lalu mengangguk kala mengetahui tatapan Anasta yang seakan meminta ijin padanya. Ketika Anasta hendak membuka slimbag di tangannya, terdengar suara pecahan kaca nyaring yang membuat Anasta menoleh dengan cepat menatap ke arah sumber suara.
“Kamu harus pergi dari sini. Cepat!!!” titah hantu itu.
Tanpa berpikir panjang Anasta berlari sesuai perintah hantu perempuan itu. Anasta berlari dengan debaran jantung yang cepat, tadinya Anasta pikir suara itu berasal dari hantu-hantu lain yang menggangunya. Tapi melihat bayangan hitam seseorang membuat Anasta yakin, bahwa semua itu bukan ulah hantu.
Sampai di rumah Anasta menghempaskan tubuhnya di kasur. Berlarian tadi itu benar-benar membuatnya lelah. Teringat akan sesuatu, Anasta buru-buru menegakkan badannya dan meraih tas sekolahnya. Diambilah slimbag dekil dari dalam sana. Anasta menatap slimbag di tangannya dengan penuh rasa penasaran.
“Bukalah.”
“Allahuakbar!” pekik Anasta kaget, reflek mengelu dadanya. “Lo, kalo muncul jangan tiba-tiba dong, woi. Kalo gue mati jantungan gimana?” sunggutnya.
“Baguslah, kalau kamu mati, kita bisa berteman.” Ujar hantu itu.
“Sembarangan!”
Mengabaikan rasa kesalnya, Anasta beralih membuka slimbag di tangannya. Benda pertama yang Anasta lihat adalah dompet berwarna pink. Dibukalah dompet itu sampai-sampai Anasta menatap hantu di depannya dengan mata lebarnya.
Karena bingung atas tatapan yang dihadiahkan Anasta, hantu itu bertanya, “Kenapa?”
Anasta menggeleng takjub. “Duit lo gilak...” serunya sambil megeluarkan lembaran seratus ribuan dari dalam dompet. “Banyak banget, woi... dan sayang banget, udah rusak...” sesal Anasta.
Anasta menatap beberapa kartu yang tersimpan di dompet milik hantu itu. “Sarah Nayla Azzeva.” Ejanya membaca kartu identitas yang baru saja diambilnya. “Jadi, nama lo Sarah?” Hantu yang bernama Sarah itu mengangguk.
Sambil menatap kartu identitas milik Sarah, Anasta menggelengkan kepalanya pelan. “Gila! Lo masih muda banget. Umur lo beda dua tahun sama gue. Berarti, kalo lo di bunuh satu tahun yang lalu, lo masih umur tujuh belas tahun, dong.”
Sarah tersenyum miris. “Ya, tepat tiga hari setelah ulang tahunku, aku terbunuh.”
***
Celaka! Aku belum mengerjakan tugas!!!
Anasta menambahkan kecepatan berlarinya menuju kelas untuk mengerjakan tugas. Lima menit lagi bel masuk berbunyi, Anasta harus cepat sampai dan meminta sontekan pada ketua kelas. Untung saja ketua Anasta tidak ikut-ikutan menjauhinya, jadi dia masih punya orang yang bisa di andalkan disaat seperti ini.
BUG.
“Aduh!” ringis Anasta karena jatuh mendarat duduk di ubin koridor dengan keras.
Anasta mendongak saat tiba-tiba sebuah uluran tangan seseorang berada tepat di depan wajahnya. Tanpa pikir panjang dia meraih uluran tangan itu, tapi orang itu melepaskan tangan dengan tiba-tiba membuat Anasta kembali terjatuh. Orang itu menertawakan Anasta membuat Anasta bersunggut kesal. Anasta memunguti bukunya yang jatuh di lantai akibat peristiwa tabrakan tak terduga dengan seorang laki-laki menyebalkan.
Anasta berdiri, berniat ingin memaki laki-laki di depannya sampai suara bel masuk terdengar membuat Anasta kelimpungan dan memilih berlari meninggalkan laki-laki menyebalkan itu.
Laki-laki bername tag Ezzava Hismana putra itu menatap punggung Anasta dengan kernyitan di dahi. “Tuh, cewek main pergi aja. Nggak bilang minta maaf lagi, ke gue.” Gerutunya.
Eza mengalihkan pandangannya untuk mencari ponselnya yang terjatuh saat Anasta menabrak tadi. Ternyata ponselnya tergeletak di samping sebuah kertas usang yang pada akhirnya Eza memungutnya. Seketika saat membalik kertas tersebut raut wajah Eza berubah menjadi terkejut kemudian matanya melirik takut ke sekitar.
Kenapa dia punya foto Sarah?
Dengan cepat Eza menyembunyikan foto Sarah dalam sakunya dan berjalan dengan terbur-buru.
Di keramaian kantin, tatapan Eza jatuh pada Anasta yang duduk di ujung kantin. Anasta duduk sendirian tepat mengadap ke arahnya. Yang Eza bingungkan sendari tadi, mengapa Anasta berbicara sendiri? Mengapa gadis itu terlihat frustasi? Dan apa yang dia tulis di bukunya setelah berbicara sendiri?
Di tempatnya, Anasta beberapa kali mengacak frustasi rambutnya bahkan mendaratkan keningnya di meja kantin. Hal itu dia ungkapkan karena beberapa hari ini dia mendapatkan terror. Dari boneka berlumur cairan merah, tikus mati dan yang terakhir adalah foto Sarah yang terbunuh.
“Bilang sama gue, lo ngerjain gue, kan?”
Sarah yang duduk di depannya mengeleng dan membatah berulang kali. “Tidak, aku tidak pernah ada niatan ngerjain kamu.”
Anasta mengeluarkan foto yang dia dapat dari sebuah box. “Lihat, ini lo kan? Jadi lo mati bukan di bunuh tapi gantung diri?” Sarah menggeleng. “Tidak. Aku benar-benar terbunuh dan orang yang membunuhku itu menggantungku, seolah-olah aku mati bunuh diri.” Jabarnya.
Anasta mengacak kembali rambutnya. “Oke, untuk sekarang gue masih ragu. Bisa lo ceritakan kejadian itu?” Sarah mengangguk.
“Seperti yang aku ceritakan kemarin. Aku pergi ke sebuah diskotik setelah acara keluarga di rumahku. Yang aku ingat saat itu aku bersama dengan teman-temanku. Saat aku asik dengan mereka, ada panggilan telepon masuk dan aku mengangkatnya. Karena bising aku memilih keluar dari diskotik.”
“Saat aku menerima panggilan itu, tidak ada suara. Dan nomornya juga nggak aku kenal. Sampai-sampai kepalaku di pukul sama seseorang dari belakang.”
Anasta memilih menulis kejadian yang di ceritakan Sarah. Tulisannya mungkin akan membantunya nanti, dan Anasta menulikan telinganya dari cibiran orang-orang di sekitarnya. Bahkan orang-orang di sekitar Anasta memilih menyingkir seakan-akan Anasta adalah sebuah wabah penyakit.
“Pas aku bangun, aku udah di bekap, duduk di kursi dengan tali mengikat tangan sama kakiku. Tempat itu di gudang kemarin. Kamu tau, kenapa tasku bisa di setumpuk kayu itu?” Anasta menggeleng. “Karena di dalam tas itu aku merekamnya.”
“Merekamnya?” Sarah mengangguk. “Ya, di dalam tas yang belum kamu bongkar semuanya itu, ada sebuah ponsel. Aku menyembunyikan tasku itu, aku pikir seseorang yang membawaku itu adalah perampok. Dan aku berinisiatif untuk merekam segalanya, bermaksud sebagai bukti saat aku memvisumnya sebagai penculik.”
Anasta meggeleng takjub. “Pinter banget lo.” Pujinya, sedangkan Sarah hanya tersenyum kecut. “Tapi aku berakhir begini.” Balasnya membuat Anasta bungkam.
“Kamu tau, di dalam gudang itu, orang itu mengancamku dengan sebilah pisau. Bahkan tak segan memukul kepalaku dengan sebuah balok kayu, jika aku tidak menuruti permintaannya.” Sarah menghentikan ucapannya, berat rasanya mengingat kejadian itu dan sangat besar dendamnya karena kejadian itu merengut kehormatannya sebagai wanita.
“Apa yang orang itu minta dari lo?” tanya Anasta tanpa menatap Sarah seraya sibuk menulis di bukunya.
“Dia memintaku menerima permintaannya menjadi kekasih. tapi aku menolaknya dan berakhir dia menyiksaku bahkan melecehkanku.”
Anasta yang menulis dengan kecepatan dua kali lipat berhenti seketika. Yang orang itu minta dari Sarah adalah-- ... itulah yang ditulis Anasta. Anasta mendongak menatap Sarah dengan tatapan keterkejutannya. Anasta menatap mata sayu Sarah, Anasta tak menyangka akan hal ini. Anasta kira yang di minta orang itu adalah barang-barang berharga seperti uang, ponsel atau mungkin perhiasan yang di kenakan Sarah waktu itu? Tapi nyatanya bukan itu. Anasta yakin, Sarah masih berat menceritakannya, terlihat dari sorot mata Sarah itu. Anasta memilih menutup bukunya dan menggeleng perlahan.
“Jangan di terusin.” Kata Anasta. “Tapi kamu butuh bukti, bukan?”
Anasta menggeleng lagi. “Nanti, nanti aja lo lanjutin cerita lo lagi”
Sarah tersenyum, Anasta memang berbeda. Dan Sarah bersyukur Anasta rela membantunya.
“Lo mau makan?” Sarah menggeleng. “Seriusan ini gue.” Tanya Anasta memastikan.
Anasta mendorong mangkuk baksonya kearah Sarah. “Lo nggak pengen coba gitu, bakso ini?” goda Anasta dengan manik turunkan alisnya berupaya mengalihkan suasana yang sempat tegang tadi. “Setau gue, hantu itu makannya sari pati dari makanan.” Ujarnya lalu tertawa ringan.
“Gila tuh cewek.”
Reno yang baru saja menghampiri Eza mengeryit bingung dan mengikuti tatapan Eza yang jatuh tepat pada seorang gadis yang kini terkekeh ringan. Dan, Reno tau gadis itu adalah Anasta.Reno memilih duduk di depan Eza membuat pandangan Eza terhalang. “LO—“
“Dia itu nggak gila.” Potong Reno sambil sibuk menuangkan sambal di baksonya.
Karena penasaran Eza mecondongkan tubuhnya membuat Reno yang menuangkan isi dari botol sambal ke mangkuknya sedikit tertegun. “Emangnya, kalo nggak gila kenapa?” Reno yang sempat tertegun bernapas lega.
Reno pikir Eza akan berbuat sesuatu padanya, tapi ternyata otaknya salah mengira.
“Katanya sih, dia itu indigo. Jadi jangan heran kalo dia ngomong-ngomong sendiri atau ketawa-ketiwi sendiri. Begitonggg!!!” jawab Reno.
Eza terdiam sejenak. “Emangnya, anak indigo itu ada? Gue ragu dia indigo.”
“Za. Anak indigo itu istimewa, dia bisa liat yang gak bisa kita lihat. Dan faktanya anak indigo itu ada, kalo lo ragu. Coba aja kesana, tanyain langsung sama orangnya.” Balas Reno gemas dengan sifat Eza yang sok nggak percayaan itu.
Eza mengangguk tanpa sadar dia mengumamkan perkiraan otaknya. “Jangan-jangan dia lagi sama arwah Sarah.”
Reno yang hendak mengalihkan pandangannya langsung kembali memandang Eza dengan tatapan seriusnya. “Za. Jangan bilang, Sarah yang lo maksud itu, Sarah yang...”
“Iya.” Sahut Eza sibuk menatap Anasta.
Reno mengertakkan giginya.”Za, apa jangan-jangan, cewek itu tau kalo Sarah itu lo...”
Eza segera membekap mulut Reno yang mengatakan hal itu dengan suara yang terbilang keras sehingga beberapa menatap Eza bahkan Anasta. Eza menatap tajam Reno, seakan mengerti isyarat Eza Renopun mengangguk dan akhirnya Eza melepas bekapannya..
Eza kembali duduk dan mencoba bersikap senormal mungkin, dia tidak boleh seperti ini. “Za!” pekik Reno sampai Eza berdiri dan menatap tajamnya.
“Ini semua salah lo, Za!” tuduhnya.
Eza mendelik menatap Reno. Renopun berdiri dari duduknya dengan tangan terkepal. “Kalo lo nggak ajak gue ngomong. Semua nggak akan terjadi.”
"Reno!” seru Eza memperingatkan Reno.
Reno semakin mengepalkan tangannya dan menunduk berusaha mengendalikan emosinya. Sedangkan Eza menatap sekitar dimana semua yang ada di kantin menatap bingung kearahnya dan Reno.
Tidak bisa! Reno tidak bisa menahannya!
“Kalo lo nggak ngomong itu! Bakso gue nggak bakalan bernasib gitu, Za!!!” ungkap Reno menunjuk mangkuk baksonya yang berwarna oranye, penuh dengan sambal. “Kalo lo nggak ngajak gue ngomong, bakso gue, nggak bakalan banyak sambel kayak gitu!”
Eza bernapas lega tapi detik kemudian Eza mendegus kesal. “Bukan salah gue! Lo aja yang nggak sadar nuangin sambel sebanyak itu.” balasnya lalu pergi meninggalkan Reno dengan segala makian Reno yang di hadiahkan padanya.
“Za! Bakso gue!”
***
“Mau bareng?”
Anasta yang sibuk menggerutu mengalihkan pandangannya. “Ehh enggak. Makasih.” Tolaknya halus.
Eza yang masih berada di atas motornya memilih melepaskan helmnya. “Gue satu sekolah sama lo. Tenang aja, gue bukan penculik.” Kata Eza tahu bahwa Anasta mengiranya orang jahat.
Anasta meringis pelan, salah mengira. “ Ehhh.. emmm... nggak perlu. Gue udah di jemput kok.”
“Yakin?” Anasta mengangguk. “Ini udah mau magrib, paling jemputan lo bakalan lama. Jakarta kan macet... hahaha...”
Krik krik....
Merasa gurauannya garing, Eza menghentikan tawanya dan berdeham. “Ehem... Kayaknya udah semakin sore. Kalo emang lo udah di jemput, yaudah, gue balik duluan ya.”
Anasta tidak berucap apa-apa, dia bingung. Mau menumpang laki-laki barusan Anasta tidak begitu yakin. Dan soal jemputan, Anasta berbohong. Kakaknya tidak bisa menjemputnya dan Anasta memilih menunggu bus yang lewat.
Anasta menatap kesamping kanannya sambil menghentak kecil kakinya. Bagaimana cara untuk pulang kerumah?
Tepat saat menoleh ke samping, Anasta langsung melihat sosok hantu dengan wajah dan tubuh hancurnya. Karena kaget reflek Anasta memekik dan memegang bahu laki-laki di depannya.
Eza yang hendak menghidupkan mesin motornya berhenti dan menatap bingung ketika air muka Anasta terlihat terkejut. Tiba-tiba tanpa aba-aba Anasta menaiki motor membuat Eza hampir saja terhuyung jika tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.
Anasta menepuk bahu Eza beberapa kali. “Lo cepet jalan deh. Disini banyak--“ Anasta segera menutup mulutnya, hampir saja dia mengatakan bahwa di halte ini banyak hantu. Apa kata Eza jika dia berucap akan hal tersebut. Pasti nanti Eza akan menganggapnya tidak waras.
“Banyak apa?”
“Nyamuk, ah ya! Banyak nyamuk disini.” Jawab Anasta cepat.
Eza terkekeh ringan. “Apaan. Kayaknya nyamuknya nggak begitu banyak.”
Anasta meringis pelan. Dia bingung mau berucap bagaimana pada Eza. Pasalnya hantu tadi sudah berada tepat di sampingnya, ada beberapa lagi nampak di sekitar. Anasta risih melihat wujud mereka dan Anasta risih di tatap hantu-hantu itu. Tidak ada cara lain!
“Nama Lo Eza, kan?” Eza terdiam sejenak. “Iya, kok lo tau?”
Anasta menggeleng. “Gak penting gue tau dari mana. Sekarang, gue tanya sama lo. Lo tau gue bisa lihat hantu?”
Eza mengeryit. “Sejujurnya, gue nggak terlalu percaya sama begituan.” Jawabnya.
Anasta mendegus tapi selanjutnya ia mengulurkan tangannya ke depan. “Oke, kalo lo nggak percaya sama hal begituan, lo bisa pegang tangan gue?”
“Kena—“ belum sempat Eza bertanya, Anasta sudah menyahutinya duluan, “Gausah banyak cincong, sekarang pegang tangan gue dan merem sepuluh detik.”
Dan Eza memillih menurutinya, hitungan ke sepuluh Anasta menyuruhnya membuka matanya. Tepat di depannya, tepat saat Eza membuka mata, hal pertama yang terlihat adalah sosok perempuan dengan wajah hancur penuh darah.
“ASTAGHFIRULLAH!!!” seketika Eza melajukkan motornya dengan cepat membuat Anasta reflek melingkarkan tangannya di leher Eza agar tidak jatuh.
Karena terlalu kaget Eza menjalankan laju motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. “WOI!!! JANGAN NGEBUT!!! GUE NGGAK MAU MATI MUDA!”
***
"Jadi, yang culik lo itu, teman dari teman lo?"
Sarah mengangguk, "Seingatku begitu."
"Aku sadar sudah berada di sebuah ruangan dengan kaki dan tangan terikat bersandar di tembok."
Waktu kejadian.
Decitan pintu terdengar membuat Sarah kembali memejamkan matanya. Suara seorang laki-laki terdengar, membuat Sarah bergetar ketakutan. Apalagi saat laki-laki itu mengelus wajah dan rambutnya. Seketika tubuh Sarah menegang.
"Ya, gue yakin setelah ini dia mau nerima gue. Yaa... diancam dikit lah.”
"..."
"Tenang taruhan itu bakalan gue menangin. Gue yakin setelah ini, dia mau jadi pacar gue."
Setelah itu panggilan berakhir. Orang itu mengelus pipi dan bibir Sarah. Saat menyentuh lehernya, tangan orang itu berhenti dan beralih meraih ponselnya untuk mengangkat telepon masuk. sebuah pintu tertutup membuat Sarah lega. Dimana orang itu keluar untuk menerima telepon.
Sarah berusaha melepaskan ikatan tali di tangan dan kakinya dengan air mata yang keluar tanpa permisi membasahi pipi. Setelah berhasil Sarah menemukan sebuah kamera kecil yang berada di kolong meja. Buru-buru Sarah memungutnya dan menghidupkannya. Merasa memerlukan benda itu Sarah mengaktifkan rekaman dan menaruh kamera kecil itu di sebuah sudut ruangan.
Saat sudah mengamankan kamera itu, Sarah memundurkan langkahnya, tepat beberapa langkah Sarah langsung menoleh cepat kearah belakang.
"Ternyata, lo udah bangun ya?" tanya laki-laki didepannya dengan senyuman miring.
Laki-laki itu melangkah kearah Sarah dan saat itu pula Sarah melangkah mundur. "Kamu gila!" hardik Sarah.
Laki-laki dengan masker hitam itu tertawa jahat. "Gila?" ia langsung mendorong tubuh Sarah dan mengarahkan sebilah pisau lalu,
“Dek, makan dulu sana.”
Anasta mendegus. Kakaknya sudah menganggu apa yang sedang di ceritakan Sarah!
***
Akhir-akhir ini Anasta sangat ketakutan. Tiap pulang pasti ada seseorang yang mengikutinya dan tak segan-segan mengejarnya. Beruntung Anasta dapat kabur dengan cepat. Semenjak berurusan dengan Sarah Anasta selalu mendapatkan terror. Baik dari sebuah box kiriman atau bahkan melalui sms dan telepon. Semuanya sama, orang itu menyuruhnya berhenti ikut campur urusan mengenai Sarah.
Dan sekarang suasana sekolah sangat ramai saat berita murid baru tersebar. Murid baru yang tampan itu terlihat sangat menawan saat olahraga sekarang. Ya, murid itu satu kelas dengan Anasta. Parahnya dia selalu menatap Anasta sendari tadi, membuat Anasta risih. Karena olahraga sudah selesai, Anasta memilih pergi dari lapangan basket menuju gudang sekolah. Ada yang harus diselesaikan dengan cepat.
Anasta sampai di gudang dan saat meliarkan pandangannya Anasta terkejut atas kedatangan Sarah yang tiba-tiba.
“Kebiasaan ya lo!” sunggutnya kesal. “Jadi gimana?” tanya Anasta.
“Aku sudah tau di mana kamera itu tersimpan. Ternyata, kamera itu masih ada di rumah itu. Dan aku ingat, orang yang membunuhku. Dia memiliki kalung tengkorak. Ya, dia memilikinya. Kalung tengkorak dengan simbol K di tengahnya. Untuk kameranya, benda itu ada di be—“
Sarah mengatup rapat mulutnya saat sebuah kertas dari luar jendela bertuliskan ‘Ada yang mengikutimu.’ Dan itu membuat Anasta bingung. “Kenapa lo berhenti?” tanya Anasta.
Sarah mengatakan bahwa ada orang yang mengikuti Anasta dengan gerakan mulut. Seketika, Anasta bungkam dan memilih keluar dari gudang. Tepat saat keluar, tangan Anasta di cekal oleh murid baru itu, membuatnya memberontak minta di lepaskan.
“Lo ngapain, sih?!” tukas Anasta mengibaskan cekalan tangan Kevin.
Kevin membawa Anasta ke ruang laboratorium yang sepi. “Dengar, gue cuman bantu lo. Gue tadi ngikutin lo, karena ada yang ngikutin lo ke gudang.”
“Kenapa lo ikutin gue juga? Dan kenapa lo ngeliatin gue dari pagi tadi?” cerca Anasta.
Kevin tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Kenalin, gue—“
“Udah kenal!” potong Anasta cepat.
Kevin menarik uluran tangannya. “Oke, sekarang lo lihat ke pojokan sana.” Tunjuknya membuat Anasta tanpa sadar menoleh ke pojok ruangan.“Lo liat apa?”
Anasta melihat sebuah sosok hantu dengan pakaian jaman dulu. Anasta berdeham, “Gak ada apa-apa!”
“Yakin?” Anasta mengangguk. “Kok gue lihat, ada hantu pake kebaya gitu ya?” kata Kevin.
Seketika mata Anasta terbuka lebar. “Lo juga...”
Kevin mengangguk. “Ya, gue juga bisa lihat itu. Jadi, gue pikir berteman sama lo yang sejenis sama gue, nggak salah kan?”
Bel istirahat terdengar membuat Anasta memilih keluar dari kelas untuk menjernihkan pikirannya.
“NA! Balikin kalung gue!”
“Pinjem No! Gue cuman mau lihat aja, sih!”
“Itu penting, Nata!”
Yang menginterupsi pikiran Anasta saat ini adalah Reno –teman Eza dan teman kelasnya, Nata. Mereka berdua berlarian dengan suara toanya. Sampai-sampai Nata tersungkur, buru-buru Anasta menolong Nata.
“Makasih.” Ucap Nata dibalas anggukan oleh Anasta.
“Lihat ya lo, Na!”
Mendengar teriakan Reno membuat Nata berdiri dan kembali berlari. Saat hendak berdiri tanpa sengaja Anasta melihat sebuah kalung, diambilah kalung itu dan di amatinya.
Kalung tengkorak perak dengan huruf K di tengahnya. Anasta tertegun teringat ucapan Sarah. “...kalung tengkorak dengan simbol K di tengahnya.”
Brak!
Reno tersandung dan jatuh di depan Anasta karena tersandung. Tepat saat mendongak mata Reno membelalak. “Kalung gue...” beo Reno.
***
Sarah memegang lehernya saat sebuah tangan berhasil mencekiknya. Sarah memberontak karena napasnya sudah sesak, hingga kemudian orang itu mendorongnya sampai kepalanya membentur keras lemari di belakangnya. Naas, sebuah tongkat besi diatas lemari jatuh menimpa kepalanya dengan keras sampai kepala Sarah mengeluarkan darah banyak. Sarah terkapar di lantai dengan bersimpu darah, sedangkan laki-laki yang mendorongnya terlihat kalut.
Mata Sarah semakin memburam dan jantungnya seolah berdetak lambat sampai pada akhirnya sebuah pukulan dia dapatkan kembali di kepalanya dan semua mendadak gelap.
Laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi saat mengetahui Sarah tidak bernapas lagi. Dia bingung hendak berbuat apa, pasalnya dia tidak menduga Sarah akan meninggal saat dirinya memukul kepala Sarah. Niat laki-laki itu hanya ingin membuat Sarah pingsan saja.
Anasta mempause kamera yang baru saja dia perbaiki di sebuah tempat service elektronik. Anasta tidak percaya bahwa Sarah di perlakukan seperti itu. Anasta berlari ke toilet dan hendak melanjutkna menonton rekaman itu. Namun, sebuah panggilan menginterupsi langkahnya. “Halo?” cek Anasta.
“Kakakmu dalam bahaya. Jika kamu tidak segera kemari, kupastikan kakakmu akan menyusul Sarah.”
Deg. Jantung Anasta mendadak melambat. Apalagi saat Anasta mendengar suara kakanya. “Jangan sakiti kak Dinda!.” Teriak Anasta tanpa sadar.
Orang di seberang sana tertawa remeh. “Jika kau masih ingin melihat kakakmu, cepat kemari. Ke tempat ini. Bawa semua rekaman itu, tapi ingat. Kau tidak boleh membawa siapapun, atau aku tak segan membunuh kakakmu detik itu juga.”
Anasta segera berlari, dia harus cepat. Jika tidak kakaknya akan di siksa oleh orang brengsek itu. Ini semua salahnya, jika saja saat itu dirinya tidak mengajak Dinda ke rumah itu pasti Dinda baikbaik saja di rumah sekarang. Ya, Anasta dua hari yang lalu mengajak Dinda pergi ke rumah tempat Sarah tewas untuk mengambil kamera itu. Dan hari ini, kamera itu baru saja pulih setelah rusak. Rencananya berjalan dengan lancar. Tapi Anasta melupakan satu hal, dia sudah melibatkan kakaknya. Anasta harus cepat, dia tidak mau melihat kakaknya disakiti!
Sampailah Anasta di depan rumah usang itu.
“Sarah! Sarah, lo tau dimana kakak gue?!” cercanya panik saat sosok Sarah muncul di depannya.
Sarah menatap Anasta dengan tatapan penuh arti membuat Anasta terdiam. “Jangan bilang, kakak gue udah...”
“Tidak! Kakakmu baik-baik saja. Hanya saja, sekarang kamu dalam bahaya. Anasta kamu— ANASTA!”
Tepat saat teriakan Sarah terdengar, sebuah balok kayu menghantam tekuk Anasta membuat Anasta terkulai lemas di tanah, pandangan Anasta yang buram menangkap sosok laki-laki yang kini mengayunkan balok kayu itu kembali, dan saat pukulan itu diterima Anasta di kepala, semua menjadi gelap.
Anasta mengerjapkan matanya sambil meringis merasakan sakit di kepalanya dan perih di pelipisnya yang ternyata mengeluarkan darah. Pandangan Anasta yang buram mulai jelas dan suara tangisan tertahan terdengar di telinga Anasta.
Anasta mengalihkan pandangannya ke samping dan langsung merangkak ke Dinda, Anasta bersyukur Dinda tidak apa-apa. Mulut Dinda di bekap. Kaki serta tangan Dinda dan dirinya di tali rapat.Anasta menghampiri kakaknya dan mendongak, tepat diatasnya ada sebuah tali yang mengantung, dan seketika terlintas sosok Sarah yang mati menggantung dengan kepala terikat pada tali tersebut. Tiba-tiba telinga Anasta berdengung nyaring.
“Sudah bangun, nona-nona cantik?” Suara bariton itu berhasil membuat dengungan di telinga Anasta perlahan mengilang.
Anasta menoleh dan membelalak. “Kevin?!” laki-laki di depannya melepas masker hitamnya. “Hai, teman baruku.” Sapanya dengan tersenyum miring.
“Lepaskan Sarah!” Kevin tersenyum sinis. “Nggak akan! Udah lama gue cari dia, dan begitu ketemu gue lepasin? Cih!” Sarkasnya seraya mencekik arwah Sarah.
“Kevin, lo...” tanya Anasta mengantung ucapannya, mengerti apa yang dimaksudkan Anasta, Kevin tertawa jahat. “Surprise... lo bener, gue yang lakuin semua ini, dan gue yang ngegantung mayat Sarah.” Ungkapnya.
Anasta kehabisan kata-kata, Kevin yang selalu bermain dengannya di sekolah, sosok yang menjadi teman dekatnya itu teryata bukan orang baik. Dia adalah musuh dalam selimut, dan dia berhasil menjebaknya. Anasta memekik kaget saat Kevin memukul kepala Dinda sampai kakaknya itu pingsan di tempatnya.
“Lo gila! Brengsek! Biadab! Kenapa lo lakuin semua itu?! Kenapa?!”
Kevin tersenyum sinis, lagi. “Sederhana. Karena gue suka sama dia.” Jawabnya enteng.
“Lo suka? Lo bilang suka? Tapi kenapa lo lakuin semua itu? Perasaan lo itu, gak pantas untuk Sarah!” hardik Anasta dengan mata merahnya.
Kevin melepaskan cekikan pada arwah Sarah dan mengambil sebuah balok kayu lalu melangkah marah pada Anasta. Kevin memukul Anasta.
Kevin menghentikan pukulannya dan mengangkat dagu Anasta. Dengan kasar Kevin menampar pipi Anasta. “Lo, udah salah berurusan sama gue. Dan perasaan gue, lo nggak tau apa-apa! Semua ini salah Sarah, karena dia nolak gue! Paham!”
BUG.
Setelah melihat Anasta terkapar lemah di ubin dengan beberapa luka lebam dan darah di beberapa bagian tubuh serta wajahnya, barulah Kevin menghentikan pukulannya dan melempar balok kayu itu ke sembarang arah.
“Asal lo tau. Selama ini gue udah peringatin lo. Lewat sms, telepon bahkan gue terror lo dengan box itu. tapi lo..." Kevin berjongkok dan mengangkat dagu Anasta lalu menghempasnya kasar. “Lo mengabaikan semua itu. Dan gue datang, lalu dengan percayanya lo mau temenan sama gue? Thanks, bodoh!”
“Berkat kebodohan lo. Gue bisa nemuin bukti itu. Dan sekarang, lo akan lihat pembalasan gue.” Desisnya.
Sebilah pisau di keluarkan Kevin dari balik jaket hitamnya. Anasta menangis, dia tidak bisa melawan. Tubuhnya remuk dan tenaganya sudah lemah. Anasta bisa melihat senyuman licik yang tersunging di bibir Kevin dan saat Kevin mengangkat pisau itu untuk menusuknya Anasta memilih menutup mata rapat-rapat.
Maaf Sarah. Gue gagal bantu lo.
DOR! DOR!
Suara tembakan itu membuat Anasta semakin menutup matanya erat-erat hingga seseorang melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangannya dan mendekapnya dalam sebuah pelukan hangat. “Lo baik-baik aja sekarang. Tenang, semuanya udah selesai.” Ucap orang itu.
Suara pijakan beberapa sepatu membuat Anasta membuka matanya. Tepat saat itu, Anasta melihat darah di kaki dan bahu Kevin juga beberapa polisi membawanya. Anasta bernapas lega saat Kevin berhasil di bekuk oleh polisi.
Teringat sesuatu, Anasta langsung menatap ke samping, tepat disana, Dinda tengah berada di dekapan Reno yang kini mengagguk tersenyum padanya. Anasta menoleh dan mendongak cepat menatap siapa orang yang mendekapnya.
“Eza!” Eza tersenyum. “Kenapa lo bisa disini?”
“Gue ngikutin lo tadi.” Eza mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Karena buku ini.”
“Buku gue...” Eza mengangguk. “Gue baca semuanya. Dan gue mulai ikutin lo selama ini. Karena lo nulis tentang Sarah di buku ini.”
“Lo...”
“Eza sama Sarah itu saudara kandung. lo nggak sadar namanya sama? Ezzava dan Azzeva” Sahut Reno.”Dan untuk kalung tengkorak itu, jujur gue nyolong dari tas si Kevin buat ngasi tau Eza. Lo salah paham kan, saat itu?” tebaknya tepat sasaran.
Anasta menutup mulutnya tidak percaya. “Jadi, alasan selama ini lo tanya-tanya tentang Sarah, karena lo...”
“Ya, semenjak gue tau lo indigo dan gue menemukan buku ini. Gue percaya apa yang selama ini lo lakuin. Dan sorry, gue nggak ngomong yang sebenarnya. Dan, gue juga berterimakasih. Karena lo, gue punya bukti bahwa kakak gue mati di bunuh, bukan bunuh diri.”
Sambil menyampirkan jaket ke Anasta, “Gue sempat masuk ke kamar lo di suatu malam dan ngecopy rekaman itu. Terus tadi gue minta ke tukang service untuk lihat video dari kamera yang lo bawa. Setelah gue lihat, gue langsung marah. Dan karena gue nguping pembicaraan lo sama orang di telfon saat itu. Gue langsung telfon polisi dan ngikutin lo kesini. Maaf, gue nggak cepat nolongin lo.”
Anasta menggeleng pelan. “Gapapa, makasih udah nolong gue.”
Anasta melirik Sarah yang berdiri menatap Eza dengan senyuman tulusnya.
“Eza.” Eza menoleh mendengar panggilan Anasta. “Sarah ada di depan lo.” Katanya.
Eza sontak menatap ke depan tapi tidak ada Sarah. Perlahan Anasta mengenggam tangan Eza. “Tutup mata lo sebentar, yakinkan diri lo pengen liat Sarah.”
Eza mengikuti perintah Anasta dan benar saja, Sarah ada di depannya sambil tersenyum.
“Kak...” lirihnya.
“Hai, adikku. Kamu baik-baik saja ternyata.” Ujar Sarah. “Jangan menangis, kakak sudah baik-baik saja. Semuanya sudah selesai. Kakak sayang kamu , mama dan papa. Kakak minta maaf jadi gak becus gini. Sampikan maaf kakak pada mama dan papa. Kakak harus pergi.” lanjutnya melihat Eza menintihkan air mata.
“Kak...” Sarah menghilang perlahan tapi menatap Eza dengan tersenyum. “Terimakasih, Anasta. Dan kamu, Eza... Terimakasih sudah membantu Anasta. Kakak sayang kamu. ”
Eza kehabisan kata-kata saat sosok Sarah hilang. Eza terlewat senang melihat sosok Sara. dan sekarang Eza tidak bersedih lagi. karena Sarah pergi dengan kelegaan hati dan tersenyum bahagia. misteri kematiannya terungkap dengan benar. Dan Eza bersyukur akan hal itu.
Semangat kak