Jemarinya sedikit bergerak dengan tiba-tiba, tapi malah detak jantungku yang kelewat cepat. Dengan jarak yang lumayan jauh bunyi dari sebuah suara di sekelilingnya membuat telingaku berdengung hebat, apalagi dia. Detik berikutnya keindahan itu kembali ku lihat, pandangan lelah yang tak akan pernah ada yang mengalahkan. Sampai tiba-tiba dia terkulai dan keindahan itu kembali menghilang.
Kata-kata itulah yang dulu sering ibu bacakan sebagai dongeng sebelum tidur untuk aku dan Kak Neysa. Oh ya, aku Keyra Agatha, merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kak Neysa, Neysa Agatha adalah kakak keduaku, dan yang paling tua adalah Babang Theo, lengkapnya Theodor Franzgatha.
*
17 November 2016
Sekarang tanggal 17 November, bulan yang akan dipenuhi oleh hujan di tiap harinya, termasuk pagi ini. Pandanganku, Kak Neysa dan Bang Theo menatap bingung ke arah jendela ruang makan, sambil sarapan kami menatap keluar dan bertanya dalam hati kapan hujan akan berhenti.
“Cepat habiskan sarapan kalian, dan berangkat. Abang jangan lupa bekalnya di makan ya, jangan sampai lupa lagi.” Itu celotehan ibu yang selalu ku dengar tiap pagi.
“Ibu, kalau hujannya masih deras biar Keyra sama Neysa diantar naik mobil aja sama abang. Ya bu?” Sedikit berfikir namun akhirnya ibu mengangguk dengan pasti sambil mengelus pucuk kepala Bang Theo, Kak Neysa dan aku bergantian.
Hujannya masih deras, alhasil aku dan Kak Neysa dapat tumpangan gratis dari Bang Theo. Akhirnya sampai di sekolah dan Bang Theo buru-buru menggas mobilnya pergi. Aku dan Kak Neysa hanya beda satu tahun, dia kelas tiga dan aku kelas dua SMA, kebetulan juga aku masuk di sekolah yang sama dengan Kak Neysa.
Sekolah terasa seperti biasa, tidak ada yang amat berbeda. Hanya saja beberapa kenakalan dan lelucon baru yang dilakukan teman-teman cowok di kelasku. Namanya Frans dan dia biang segala kekacauan yang selalu membuat nama baik kelasku tercoreng. Si cowok jambul itu memang sangat banyak akal dan usilnya bukan main. Kadang, guru-guru muda yang mengajar di kelas bisa sampai nangis kalau sudah diusili oleh Frans dan teman-teman segengnya.
Aku duduk di pinggir namun di deretan tengah, di pinggir jendela. Entah kenapa aku suka di posisi ini, dengan bisa menatap matahari terik seperti lampu di langit yang kadang tidak berawan sama sekali, seperti aku melihat ayah saat dia bermain softball ditengah lapangan.
Ayah adalah pemain softball terbaik di Jakarta, dia telah ikut bersama tim Indonesia untuk berlomba di tingkat Internasional di London. Ayah selalu safe juga sering memukul hingga home run. Suatu kebanggan tersendiri melihat ayahku bisa berlaga seperti itu, apalagi ini tingkat Internasional.
“Key?”
Itu suara Laila, teman semejaku. Aku mengangkat alisku seolah bertanya, kenapa?
“Berhenti melamun! Ayo kita ke lapangan basket, sedang ada pertandingan basket antar angkatan.”
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menarikku hingga berdiri dan mengikutinya berjalan. Di sepanjang jalan menuju lapangan basket, aku melihat tatapan teman seangkatan dan kakak kelasku tak enak memandangku, melihat seolah aku adalah hal yang sangat menyebalkan. Aku memutar bola mataku dan mendapati kebenaran atas apa yang aku pikirkan.
“WOAH! Itu Kak Neysa hebat banget mainnya!”
Kak Neysa memang atlet Basket di sekolah yang selalu di elu-elukan, dan dipuja para cowok ganteng. Tapi itu mematikan posisiku sebagai adiknya, aku yang menjadi korban pelototan dan caci maki murid-murid yang kesal karena kalah melawan kakakku. Mungkin karena mereka tahu juga, kalau mereka melakukan itu pada kak Neysa yang ada malah dihabisin, Kakakku yang satu itu pun jago karate, jadi berhati-hatilah.
Handphoneku bergetar beberapa kali, ternyata Ibu yang menelefon. Aku kembali ke tribun penonton yang ramainya bukan main setelah menjawab telefon Ibu di kamar mandi. Sudah masuk pertandingan selanjutnya yaitu tim cowok kelas XII IPA 2 melawan kelas XI IPA 4. Kak Neysa melambai-lambaikan tangannya padaku, aku menyuruhnya ke tempatku dan dia mulai berjalan mendekat.
“Berhenti memenangkan pertandingan. Kakak tahu, aku di lihat dengan sinis oleh orang-orang itu.”
Namun balasan Kak Neysa hanyalah rangkulan tangan yang penuh dengan keringat dan memelukku erat dengan tubuhnya yang basah, “Tidak usah dipikirkan, oh ya nanti pulangnya aku tungguin di kantin ya.”
Aku hanya menggangguk sambil melihat Kakakku yang satu itu melangkah menjauh.
**
23 November 2016
Bulan malam ini terlihat sangat jelas dari balik kaca jendala kamar Kak Neysa, aku tidur di kamarnya malam ini. Di balik selimut yang melilitnya aku tahu apa yang sedang dilakukan Kakak ku yang satu itu, dia sedang melihat handphone dan mengetik beberapa balasan untuk cowoknya. Sebentar lagi aku yakin dia akan keluar dari lilitan nyaman itu dan hidungnya mimisan, dan dia akan menangis tersedu setiap malam ditanggal dan bulan yang sama.
Dan dari balik dinding ini, aku bisa mendengar jelas Bang Theo mulai memukul tembok dengan tongkat baseball, dan merancau melalang buana dengan keras.
Ibu? Aku tahu ibu diam melamun di kamarnya, mendengar kegaduhan dan rasa sakit yang diperlihatkan jelas oleh anak-anaknya, tapi Ibu mencoba tenang, Ibu hanya mengingat-ingat kenangan.
Aku sendiri? Saat aku mendeskripsikan kejadian Kak Neysa, Bang Theo dan Ibu tadi, aku sendiri sedang melihat bulan dan sudah menangis lebih dulu, aku selalu menangis sambil menatap ke arah langit yang gelap di setiap malam ditanggal dan bulan yang sama sejak empat tahun yang lalu.
***
23 November 2012
Hari ini adalah hari yang sangat ku tunggu-tunggu. Sebenarnya tidak hanya aku, Kak Neysa, Bang Theo dan Ibu sudah menunggu hari ini dari dua bulan yang lalu. Ayah akhirnya pulang juga!
Setelah dua bulan berlaga softball di eropa, semalam Ayah menelefon dan memberi kabar kalau besok malam akan sampai rumah, dan kami pun sangat senang dengan kabar itu. Sampai-sampai Ibu langsung pergi ke pasar tradisional pagi-pagi buta untuk membeli sayur dan ikan kesukaan Ayah, Ibu sengaja akan membuatkan makanan yang sangat Ayah sukai, Sayur tumis kangkung dan ikan bandeng presto ditambah dengan lalapan brokoli hijau cocol sambal terasi.
Bang Theo dengan sok rajin mencuci mobil pemberian Ayah dan Kak Neysa membolos latihan Karate demi membantuku membersihkan rumah. Pukul tujuh malam Ayah menjanjikan sudah sampai di rumah, namun sampai pukul sepuluh malam tak kunjung tercium wangi parfum Ayah yang menenangkan.
Sampai akhirnya dering handphone Bang Theo yang menghebohkan rumah, tertera di layar bertuliskan Ayah. Dengan sigap Ibu mengambil telefon genggam Bang Theo dan berbicara dengan senang, namun yang ku lihat mata ibu mulai berlinang dan tak lama isaknya terdengar, Bang Theo buru-buru menjaga ibu dalam dekapannya, menahannya agar tidak jatuh terduduk di lantai yang dingin.
Sekarang, aku sudah berjalan beriringan dengan Kak Neysa yang merangkulku kuat, mengikuti Bang Theo dan Ibu yang berjalan di depan. Lorong bersih yang bercahayakan lampu berwarna putih memenuhi pengelihatanku sampai akhirnya aku menginjakkan kaki keruangan persegi yang luas dimana beberapa kasur telah diisi.
Ibu melangkah ke bagian pinggir dan mendapati Ayah yang sudah terbujur membiru. Aku yang melihat itu tak kuat untuk terus menahan tangis sok tegar, pertahananku runtuh, aku meraung tak terkendali. Kak Neysa yang medengar tangisku langsung memelukku dengan erat sambil ia pun melepaskan tangisnya.
Ayah adalah kebanggaanku, tidak, Ayah adalah kebanggan kami.
*
Selepasnya Ayah tak berada di dalam hidup kami—Aku, Kak Neysa, Bang Theo dan Ibu— Jelas yang paling terpuruk adalah Ibu, tapi siapa yang menduga, Bang Theo mendapatkan benturan keras dalam hatinya, dia yang mendapatkan efek samping paling dalam.
**
24 November 2016
Aku dikejutkan dengan tubuh Bang Theo yang sudah pucat dan menggigil di lantai kamarnya, bermaksud membangunkannya untuk sarapan tapi yang ku lihat membuatku tak ingin lagi memakan sarapanku.
Aku dan Kak Neysa berjalan di lorong yang sama seperti empat tahun yang lalu, rangkulan Kak Neysa makin menguat dan Ibu sudah melangkah lebih cepat juga gusar. Kami berbelok ke kanan dan melihat kondisi Bang Theo yang sudah lebih hangat sepertinya, karena aku tidak melihat dia menggigil dari sini. Ibu ditemani Kak Neysa sedang menemui dokter yang menangani Bang Theo dan aku duduk di sini sendiri. Mendengar samar-samar suara mesin pendeteksi jantung yang dipakai Bang Theo.
Benar-benar diluar dugaanku Bang Theo bisa sampai sedepresi ini setelah Ayah meninggal. Bang Theo memang yang paling terpukul secara mental karena Bang Theo satu-satunya anak lelaki yang dimiliki Ayah, mereka pun lebih sering menghabiskan waktu bersama dibandingkan Ayah menghabiskan waktu bersama denganku dan Kak Neysa. Juga karena Ayah, Bang Theo menekuni Baseball sejak umur lima tahun.
Namun saat kenyaatan Ayah meninggal, sepertinya batin dan mental Bang Theo menurun drastis, dia sering melakukan kesalahan di tim baseballnya sehingga menyebabkan dia dikeluarkan dari tim. Juga sekolahnya makin tak karuan, dari yang awalnya dia mahir MIPA dan Bahasa Inggris, tiba-tiba ingatannya seperti menghilang, otaknya seperti menciut dan bakat yang ia miliki seketika memudar begitu saja.
Dulu saat SMA Bang Theo sempat di bawa ke psikiater oleh Ibu dan berhasil sembuh, tapi satu tahun kemudian saat Bang Theo tiba-tiba sering tidak ingat apa yang dibicarakan atau dijanjikan, ternyata saat Ibu membawanya ke dokter dia divonis mengidap penyakit alzheimer.
Aku tidak habis pikir bahwa kehilangan sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup kita dapat mempengaruhi keseluruhan hidup kita itu sendiri. Namun memang itu kenyataannya, aku melihatnya sendiri itu benar-benar terjadi pada babangku, Bang Theo.
Rasanya aku tidak tahan ingin mengusap dahi Bang Theo yang sendirian di dalam ruang persegi itu, aku berdiri mendekat pada kaca yang membatasi aku dan Bang Theo yang sedang berbaring dengan berbagai macam alat medis mengelilinginya.
Sedetik aku melihat pergerakan pada wajah Bang Theo dan menjalar ke jemarinya yang bergerak pelan sekali, rasanya jantungku mau lepas melihat Bang Theo yang mulai siuman. Dengan cepat aku berlari ke ruangan dokter untuk memberitahu keajaiban apa yang terjadi. Sang dokter, Ibu dan Kak Neysa juga beberapa perawat langsung berlari dengan semangat, dan para perawat masuk dipimpin oleh sang dokter.
Aku mengapit lengan kanan ibuku dan Kak Neysa mengapit lengan kiri Ibu, kami bertiga melihat dengan jelas Bang Theo yang mulai siuman, matanya mulai berkedut dan membuka sedikit demi sedikit dan detik berikutnya aku melihat matanya menatap ke langit-langit ruangannya dengan lelah, lalu saat dokter hendak memeriksa keadaannya, Bang Theo kembali terpejam dan kepalanya terkulai dengan perlahan.
Imajinasiku langsung kalut tak karuan, aku tidak mau kehilangan Babang Theo, satu-satunya Babang yang aku miliki, cukup Ayah saja jangan Babang Theo juga. Aku mulai menangis sambil memeluk ibuku yang sepertinya sangat terpukul karena tangisnya sangat dalam dan menyayat hatiku sebagai anaknya yang mendengarnya langsung. Kak Neysa dengan cekatan membantu ibu untuk duduk di kursi tunggu di luar kamar pasien, kami bertiga berpelukan menangisi Bang Theo yang kembali meninggalkan kami setelah Ayah lebih dulu pergi empat tahun yang lalu.
Dalam ingatanku terngiang kata-kata yang ibu sering ceritakan sebagai dongeng sebelum tidur untuk aku dan Kak Neysa.
Jemarinya sedikit bergerak dengan tiba-tiba, tapi detak jantungku yang kelewat cepat. Dengan jarak yang lumayan jauh intonasi dari sebuah suara sekelilingnya membuat telingaku berdengung hebat, apalagi dia. Detik berikutnya keindahan itu kembali ku lihat, pandangan lelah yang tak akan pernah ada yang mengalahkan. Sampai tiba-tiba dia terkulai dan keindahan itu kembali menghilang.
Itu persis seperti yang terjadi pada Bang Theo. Bahwa sesungguhnya sesuatu keindahan yang sempurna dapat membuat kesedihan yang amat dalam.
-THE END-