oleh : Riani Suhandi
“Mei!!”
Jeritan itu membangunkan Sandy, masih dalam keadaan setengah sadar ia pun bertanya pada Angga yang sudah duduk tegak di sisinya dengan tubuh berpeluh dan napas memburu. “Kenapa, lo?” ke sepuluh jari tangan itu mengucek-ngucek mata, namun kantuk hebat enggan membuatnya meninggalkan bantal kesayangan.
Angga menoleh sekilas, namun tak mengatakan apa-apa. Setelah bangkit untuk menuju meja sudut kamar, air yang dikucurkannya dari dispenser ke dalam sebuah gelas bening pun sudah meluncur di tenggorokan. “Mei—” ia menatap cowok keturunan Arab yang masih tergeletak di kasur lantai. “Dia hadir lagi di mimpi gue.” Dengan gelas dalam genggaman, pandangannya menerawang, membuat Sandy kesal bukan kepalang.
“Gue beneran takut sama lo, Nyet. Itu cewek kan fiktif, cuma ada di novel yang lo baca doang.”
Angga bergeming, diam-diam membenarkan kalau Mei hanyalah sosok tokoh perempuan Cina dalam novel tua yang ia dapat dari sebuah bazar buku. Namun, seolah perempuan itu benar-benar nyata, kehadirnyannya yang berulang dalam mimpi membuat Angga yakin ada pesan di balik semua mimpi tersebut.
“Tapi, dia nyata banget di mimpi gue, bro. Sama persis dengan deskripsi penulis dalam novel itu.” Angga keukeuh, lantas berusaha mengingat seperti apa wujud perempuan itu sembari menjelaskan pada Sandy. “Mata beningnya, hidung mancungnya, bibirnya, semuanya,” fokus pada Sandy lagi, “Bahkan rambut sehitam arangnya terasa lembut saat gue pegang.”
Sandy bergidig ngeri, tak habis pikir kalau sebuah novel mampu mempengaruhi teman sekamarnya sedalam ini, membuat ia lebih memilih memiringkan tubuh, menenggelamkan wajahnya di bawah bantal, dan Angga pun protes karena merasa diabaikan. “Kalau gila tolong jangan ajak-ajak gue, Nyet. Gue mau tidur aja.” Memejamkan mata, “Tidur aja deh lo, dan gue saranin untuk stop baca itu cerita daripada elonya malah berkhayal yang nggak-nggak.”
“…”
(***)
Di hari berikutnya Angga langsung kabur dari kampus ketika kuliah usai, mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain di bawah langit sore demi mencari buku referensi proposal skripsi di sepanjang kios penjual buku bekas murah meriah, mengabaikan suara deru kendaraan di jalanan padat merayap sembari sesekali menawar harga dengan si penjual sampai tiga buah buku berhasil digondolnya satu jam kemudian.
Memilih tak langsung pulang ke kosan karena dirinya akan gatal untuk membaca kelanjutan kisah si Mei dalam novel tua tersebut, yang akan membuat usahanya selama dua minggu ini untuk mengabaikan cerita tersebut sia-sia. Jadilah, kini ia duduk bersebelahan dengan seorang ibu berkaca mata bertubuh gempal yang juga tengah menikmati es dawet ayu, sementara anak gadis si ibu sibuk bermain HP. Sambil meresapi rasa manis es tersebut di lidah, Angga diam-diam berterima kasih pada Sandy karena telah menegurnya untuk berhenti membaca kisah Mei karena sampai saat ini sosok itu tak muncul lagi dalam mimpi.
“Berapa, Pak?” Angga bertanya setelah dahaganya hilang, tepat ketika lembayung menggelayuti langit.
“Lima ribu aja.”
Setelah membayar, Angga beranjak dari sana, dan suara si gadis dengan ponsel yang mengatakan pada ibunya ingin membeli novel salah satu penulis terkenal Indonesia terdengar, membuat Angga berpikir untuk menghabiskan penghujung minggu dengan membaca novel saja.
Kembali berjalan dari gerai satu ke gerai yang lain, dan napasnya tertahan saat berhenti di depan sebuah gerai, menyaksikan novel tua bersampul biru laut bertengger di tumpukan buku, sebuah novel yang sama dengan miliknya di kosan.
“Mei…” tanpa sadar ia berkata lirih, mengabaikan cubitan tak kasat mata pada hati ketika teringat akan sosok yang bahkan belum tentu nyata walau di belahan dunia lain.
Ini memang aneh, namun tak ada yang lebih aneh lagi dari hati yang merasa hampa karena kerinduan, membuatnya kewalahan menghadapi perasaan tersebut yang terus berlanjut bahkan sampai hari-hari berikutnya seperti episode sinetron kejar tayang. Mengekang hasrat untuk menyentuh novel tersebut, Angga memilih mengalihkannya dengan melakukan hal lain. Seperti sore tadi yang dipakainya untuk mengerjakan proposal di perpustakaan sampai tempat itu tutup, dan mungkin esok pagi ia akan memulai hari Sabtunya dengan berolahraga.
“Dy, besok pagi buta bangunin gue, ya?” pinta Angga sembari menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur, lalu menatap langit-langit dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala, sementara Sandy yang tengah duduk di depan meja belajar, dan sibuk menyusun latar belakang proposal skripsi pada laptop menoleh ke belekang sekilas sebelum menimpali.
“Tumben sih. Matahari pagi buat lo kan terbit jam setengah delapan biasanya.”
“Mau jogging gue. Bangunin, ya.”
“Eh, gue juga ikut deh, siapa tahu ketemu bidadari di jalan.”
Sandy terkekeh sendiri sementara Angga tak menanggapi, mulai memejamkan mata dengan telinga masih siaga, sementara novel Mei masih bergeming di tempanya sampai ia benar-benar terjatuh dalam kegelapan.
(***)
Di awali dengan gelap, kemudian sesuatu yang menyilaukan itu muncul dari arah Timur, menyingkap setiap penjuru dinding-dinding asing polos yang kini tampak terang benderang. Takjub, telinga Angga lantas mendengar sayu-sayup seseorang menyerukan namanya. Angga… Angga… Angga. Membuat ia menelaah sekeliling, dan terperangah menadapati sosok gadis dalam balutan Cheongsam merah tak berlengan berdiri beberapa kaki darinya dengan rambut panjang tergerai tertiup angin lembut.
“Mei…” antara takjub dan tak percaya, namun senyumnya muncul begitu saja karena pada akhirnya sosok itu kembali ia lihat. Maju selangkah demi selangkah untuk menutup jarak, keningnya lantas berkerenyit samar ketika Mei meyorongkan novel tua dari bazar buku persis miliknya tepat saat jarak mereka tinggal hanya beberapa kepalan tangan saja. “Ini... ini aku udah punya.” Mengangkat kepalanya lagi setelah beberapa detik tertunduk menatapi benda tersebut.
Perempuan yang disebutnya Mei itu tersenyum, membuat hujan seolah mendadak turun untuk membasahi hati keringnya. Tanpa kata, jari-jari lentik berkutek merah itu pun membuka lembaran penghujung, seolah tengah berusaha membantu Angga menyingkap suatu misteri.
Angga semakin bingung, kabut tebal di kepalanya semakin menjadi mengaburkan pesan yang mungkin ingin Mei sampaikan. Namun, saat matanya sudah berlama-lama memandangi deret angka yang tertulis pada lembaran kertas kekuningan tersebut, ia langsung mengangkat kepala, dan meyadari cahaya sekitar semakin meredup seiring dengan langkah-langkah mundur Mei.
“Mei!” hendak berlari, namun ternyata ada belenggu tak kasat mata menahan kakinya, membuat ia hanya bisa menyaksikan Mei yang kian menjauh, turut serta membawa cahaya itu pergi seperti air kolam yang perlahan surut tersedot pompa. “Mei!” ia berteriak frustrasi di antara kegelapan yang membayang.
“Mei!”
Suaranya menggema, peluh deras dengan mata menyalang menatapi langit-langit. Setelah menyadari semua itu hanya mimpi, Angga pun menghela napasnya yang terengah. Selagi Sandy masih terlelap dalam tidur, ia lantas bangkit menuju meja belajar, menarik novel tua berkaver biru tersebut dari tumpukan buku terbawah. Langsung pada halaman terakhir, mata hitamnya pun membeliak ngeri. Di sana, tertulis deret angka seperti yang dilihatnya dalam mimpi tadi, membuat tubuhnya mendadak limbung, dan terduduk di kursi kayu reot untuk merenung. Ada apa? Ia bertanya pada diri sendiri yang bahkan tak mengetahui jawabannya, makadari itu selanjutnya Angga sudah meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.
Menunggu…
Tanpa sadar Angga sudah menahan napas mendapati kalau nomer telepon tersebut benar adanya, dan baru saja seseorang di ujung sana mengucapkan halo padanya.
“H-halo,” suara Angga terbata-bata, kalah oleh ketakutan, dan keheranan.
“Ya?” suara lembut di ujung sana menimpali.
“M-Mei?”
Ada jeda sepanjang penantian malam menuju siang sebelum akhirnya perempuan di ujung sana menimpali, membuat Angga buru-buru meraih jaket dan kunci motor saat percakapan berakhir. Tak peduli jika matahari masih mempersiapkan diri untuk muncul ke permukaan satu jam dari sekarang, ia pun melangkah menuju pintu tepat saat Sandy menggeliat, dan membuka matanya.
“Mau kemana?” suaranya serak, pandangannya masih kabur.
Sambil memutar gagang pintu, Angga menoleh dengan novel tua di tangan. “Nemuin Mei—” menggeleng, menunduk sejenak menatap novel dalam genggaman, lalu menatap Sandy kembali dengan ribuan keyakinan dan harapan baru dari sorot matanya seolah misteri kemunculan Mei dalam mimpi-mimpinya baru saja tersingkap.. “Gue mau pergi nemuin pemilik novel ini.”
Dan, kantuk Sandy pun langsung hilang bertepatan dengan lenyapnya Anggara di balik pintu coklat tersebut.