Sejak hari itu, Aritha terpaksa menggantung kamera dan mengurung dirinya di dalam kamar. Meninggalkan kebiasaan hunting yang selalu ia lakukan di kala senggang. Sebagai pengganti, ia kembali membongkar kardus pindahan berisi buku paket sekolah lamanya. Apalagi ayahnya juga rajin membelikan buku-buku tambahan, dari buku saku hingga RPUL. Selama tujuh hari dalam seminggu, ia berjuang belajar tes masuk sesuai dengan kisi-kisi materi yang diberikan wakil kepala sekolah. Hal itu membuatnya hampir gila. Satu tahun di awal masa SMA-nya dihabiskan di dua sekolah berbeda, dengan pelajaran yang berbeda jauh. Sepertinya soal-soal seleksi masuk memiliki tingkat kesulitan di atas soal-soal ulangan harian yang biasa ia temui. Bahkan, sejauh Aritha mengingat, materi dari kedua sekolah lamanya itu tak terlalu membantunya untuk mempersiapkan diri menuju seleksi masuk di SMA Dwipa Sentosa. Namun, sayangnya ia tak punya pilihan untuk gagal.
Saat hari seleksi, Aritha berdebar bukan kepalang. Apalagi ketika memasuki laboratorium komputer dan ia duduk bersama 59 peserta lain yang menjadi saingannya. Belum lagi ketika ia menatap 100 soal di layar komputer yang terlalu sulit dikerjakan dalam 120 menit. Namun ia yakin, semuanya pasti kesulitan seperti dirinya. Jika tidak, orang itu pasti bukan manusia.
Akhirnya, kerja kerasnya terbayar ketika layar komputer menampilkan namanya sebagai peringkat kedua nilai tertinggi dalam seleksi, walau dengan selisih yang sangat tipis dengan peringkat ketiga. Saat itu yang terbayang di matanya hanyalah wajah ayahnya yang bangga dan wajah Pak Erick menyebalkan. Tanpa dikomando, gadis itu meloncat tinggi di atas tempat tidur sambil mengepalkan tangan dan berteriak.
“YEAH... AKU MENANG!”
Lalu ia menghadap kaca lemari. Seharusnya yang ada di sana adalah refleksi dirinya. Namun yang Aritha lihat justru wajah Pak Erick yang kaku seperti kanebo. Sementara dirinya tak ubahnya seperti ratu suatu negeri yang berdiri angkuh dengan gaun lebar dan mahkota kebesaran. Dengan bangga, ia pun bertolak pinggang sambil berkata,“Lihat, Pak Erick. Aku tidak sebodoh itu, kan?”
Di cermin, ia melihat raut Pak Erick yang menunduk karena malu. Lalu perlahan menciut hingga menjadi sebesar liliput. Aritha tertawa, lebih tepatnya menertawai ilusinya yang benar-benar di luar batas. Ia berharap Pak Erick benar-benar menyesal sekarang.
Sudahlah, yang penting ia menang. Dia benar-benar menang! Ah, penasaran seperti apa SMA Dwipa Sentosa itu. Apa memang sehebat yang selama ini ia dengar? Apa memang seketat dan sekeren itu? Atau apakah ini cuma akal-akalan strategi pemasaran Pak Erick agar terlihat berkelas dan berharga? Apakah siswa-siswinya tipe cupu dengan buku di tangan dan menghabiskan seluruh waktu mereka di laboratorium dan perpustakaan? Ataukah mereka tak berbeda dengan remaja dalam sinetron yang hanya membawa buku tipis dan lebih senang menikmati waktu luang dengan memadati mall-mall bersama geng populer? Atau jangan-jangan... mereka ini tipe work hard and play hard?
Ah, Aritha benar-benar penasaran.
@Neofelisdiardi Terima kasih juga sudah berkenan mampir, Kak. Sukses selalu, dan semangat lanjutin ceritanya, ya. :)
Comment on chapter Prolog