Bumi menekuri layar iMac di hadapannya dengan pandangan kosong dan dahi berkerut. Helaan napasnya terdengar berat. Sebelah tangannya memijit pelipisnya untuk mengilangkan pening. Sisa perbincangan dengan ibunya via telepon lima menit lalu masih terngiang di kepalanya. Entah mengapa, pembicaraan yang dilakukan dengan ibunya lewat apapun selalu berakhir buruk.
Bumi menghitung-hitung di benaknya, kapan tepatnya hubungannya dengan sang ibu mulai memburuk. Sebulan yang lalu. Ya, dia ingat. Saat itu ibunya mendesaknya untuk segera menikah. Bagaimana mau menikah? Wanita saja Bumi tidak punya! Sejak saat itu juga, ibunya mulai meneror dan menjodoh-jodohkan Bumi dengan wanita-wanita anak kenalan ibunya. Sangat menjengkelkan.
Bukannya Bumi tidak laku, dia hanya tidak mau berhubungan dengan wanita manapun saat ini dan mungkin sampai kapan pun. Walaupun banyak wanita cantik bertebaran di sekelilingnya-yang dengan sukarela melemparkan dirinya sendiri kepada Bumi-. Tapi Bumi tidak pernah mau merespons. Mengapa? Karena Bumi muak. Menurutnya, semua wanita sama saja: oportunistik, materialistik, dan bermuka dua, kecuali ibunya. Sejelek itu definisi ‘wanita’ dalam kepala Bumi.
Dan kegiatan menjodoh-jodohkan Bumi dengan wanita manapun yang dikenal ibunya membuat Bumi semakin jengkel. Bumi merasa harga dirinya sebagai lelaki dewasa tercoreng ulah ibunya. Oleh karena itu, ia sangat malas pulang ke rumah dan lebih memilih tinggal di apartemennya yang letaknya dekat dengan kantor daripada harus melihat ibunya selalu berulah. Bumi bukan tidak sayang kepada ibunya, hanya saja, Bumi belum siap jika disuruh menikah dalam waktu dekat. Dan tak akan pernah siap sepertinya.