Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kompilasi Frustasi
MENU
About Us  

PILU. Parasnya tertekuk. Ia menunduk dalam. Menatap meja kayu tua, yang permukaannya tampak berbercak-bercak merah. Membasuhnya dengan bulir-bulir sesal dan kepedihan. Sesekali, sengguknya membuncah. Melukai ketenangan yang menguasai udara tengah malam. Sesekali pula, ia mengumpulkan napas panjang. Bak memohon hawa dingin obati infeksi hatinya. Namun percuma. Sekeras apapun ia berusaha, rasa itu tetap mengganjal batinnya. Mencipta bongkah penyesalan yang kian membesar, mengeras, dan menguat di palung lubuknya.

 

Pilu. Aku pun terpaku. Menatapnya bisu. Satu tanganku mengepal erat. Coba kendalikan emosiku yang berjingkrak liar. Meronta marah. Minta dilampiaskan. Sementara tanganku yang lain, bergerak pelan. Menelusur lembut gerai hitam dihadapku. Gerai hitam yang selalu mempesonaku. Gerai hitam milik…istriku.

 

“Istriku, jangan menangis lagi. Kumohon.” pintaku, tercekat. Bukannya berhenti, istriku malah makin tergugu. Jemariku, yang masih menyisir indah rambutnya, spontan membeku. Aku semakin kelu. Menyadari kalau wanita yang sedari tadi kutenangkan, tak sedikitpun tergugah bujukku.

 

“Tuhan, maafkan aku…Aku terlalu mencintainya…Ter-la-lu…” Istriku akhirnya bicara. Tunggu, bukan bicara. Namun meracau. Karena setelah itu, tak henti bibirnya berkomat-kamit. Menggumamkan satu kata yang sama. Satu kata yang melukiskan seluruh rasanya. Sekaligus, satu kata yang menghancurkanku; “Aku terlalu mencintainya…”

 

Rahangku mengeras. Kutarik tangan yang sedari tadi membelai kepalanya. Sepasang kakiku mencoba merentang jarak. Menjauh dari sisinya, itu tujuanku. Sungguh, tak sanggup lagi aku berada disana. Tapi kemudian, langkahku terhenti. Tertancap pada satu titik, tepat di ujung meja tempat istriku mengadukan duka.

 

Kupandangi sebilah pisau yang tergeletak itu. Sebilah pisau kepunyaan istriku. Sebilah pisau yang biasa digunakannya memotong bawang. Sebilah pisau…yang kini berselaikan cairan merah kental. Rasa muakku pun menggelegak. Tidak, bukan pisau berdarah itu yang menjadi sebab. Melainkan diriku sendiri. Karena akulah, penyebab dari semua kekacauan yang terjadi. Akulah “terdakwa” dari segala bencana malam ini.

 

Peristiwa dimulai beberapa jam yang lalu, selepas senja. Istriku, yang  membantuku membanting tulang, baru saja pulang bekerja. Ia pulang, dengan penat dan peluh sekujur tubuh. Proyek yang ditanganinya seminggu ini memang selalu menguras tenaga. Namun setibanya di rumah, apa yang ia dapat tak seperti yang ia duga.

 

Di depan pintu, ia menemukan sebuah kotak hijau. Awalnya ia tak was-was. Kotak itu terlampau ringan untuk sesuatu yang mungkin berbahaya (seperti bom). Tapi ketika kemudian membukanya, rasa shock mendadak menyambar. Membuatnya cemas bukan kepalang. Refleks, ia melempar kotak itu ke tanah. Membuat bangkai tikus penuh darah didalamnya terlontar. Istriku semakin ngeri. Apalagi ketika ia dapati, bahwa di tubuh bangkai itu, tersemat sebuah ancaman, “Hentikan, kalau tak mau kami mengirim ‘bangkai’ yang lebih besar.”

 

Kalut, istriku memutar kunci dengan tergesa. Begitu daun pintu itu terbuka, cepat-cepat ia berlari masuk. Menguncinya rapat-rapat. Lalu menghampiri setiap jendela. Menurunkan seluruh tirainya, hingga ruangan menjadi temaram. Seusai memastikan rumah sudah tampak seperti tak berpenghuni, segera ia berlari ke kamar. Menelponku.

 

“Halo, Mas.” sapanya.

 

“Ya, ada apa?” jawabku. Kala itu, tak mampu kutangkap kecemasan dalam suaranya. Aku terlalu sibuk mempelajari kasus dari klien baruku. Tentang sengketa tanah. Penduduk versus pengusaha asing.

 

“Kapan Mas pulang?”

 

“Maaf ya, Dik Dinda. Mas masih harus ada disini. Mungkin nanti malam baru bisa pulang. Ada apa?”

 

Sejenak istriku terdiam. Barangkali bimbang dengan apa yang harus ia ceritakan. Sekali, dua kali, aku pun mendesak. Dan jawaban yang kudapat selalu diwarnai kegugupan. Hal itulah yang membuatku yakin, sesuatu yang ganjil sedang terjadi. Untuk ketiga kalinya, aku memaksanya membuka mulut. Dan akhirnya sebuah jawab mengejutkan aku terima.

 

“Baiklah. Mas akan cepat pulang.” ucapku, tegang. Begitu istriku menyelesaikan cerita. Tanpa pikir panjang, kuraih kunci sepeda motorku. Semua pikiran tentang klien melayang sudah. Karena hanya ada satu hal di otakku sekarang: Istriku dalam bahaya!

 

***

 

“Istriku…Istriku…”

 

Adzan isya’ mulai bertalu. Menggema di jalanan kota. Aku masih memacu sepeda motor dengan cepat. Meliuk-liuk diantara kendaraan yang berjubel. Beberapa orang memakiku. Tapi aku tak peduli. Istriku…Bagaimana keadaannya saat ini? Bagaimana jika peneror itu telah mendatanginya? Bagaimana jika aku terlambat menyelamatkannya?

 

Benar saja. Ketika tiba, kudapati sebuah mobil hitam bertengger di halaman. Jantungku yang sedari tadi berdebar, melonjak begitu hebat. Membuatku nyaris hilang kesadaran. Kutengok kedalam mobil itu. Kosong. Sigap, aku melompat menaiki teras. Menerobos pintu depan yang sudah setengah terbuka. Dan sebuah suara besar menyapa.

 

“Akhirnya bapak pengacara muda pulang.”

 

Aku menoleh ke asal suara itu. Dan aku tercengang. Kudapati tiga lelaki berjas abu-abu duduk berjajar di ruang tamu. Dengan istriku yang duduk di depan mereka. Dengan tampang pucat pasi. Ketakutan.

 

“Dik Dinda, kamu tidak apa-apa?” pekikku, berlutut dihadapnya. Istriku menggeleng lemah. Kupegang kedua pipinya yang dingin. Kutatap kedua matanya yang nanar. Ku menoleh pada tiga orang berjas itu. Tiga orang pengusaha, perwakilan dari perusahaan asing yang terlibat dalam kasusku.

 

“Apa yang kalian lakukan disini? Apa yang kalian lakukan pada istri saya?” Pertanyaan bertubi berdesing dari mulutku. Kupandang mereka bertiga dengan tajam.

 

“Tunggu dulu, Pak. Jangan menuduh kami sembarangan. Istri Bapak sudah begini saat kami tiba.” jawab lelaki berjas dengan rambut setengah botak. Menyeringai. Aku memicingkan mata. Curiga. Namun tak berucap sepatah kata. Aku lupa. Aku tak boleh membela maupun menuduh orang tanpa fakta. Karena aku pengacara.

 

“Kami datang kesini untuk membicarakan masalah sengketa itu. Dan kami ingin semuanya berjalan lancar.” sahut lelaki dengan tubuh tambun, sembari mengeluarkan sebuah amplop besar cokelat. Amplop yang sudah dapat kutebak isinya.

 

“Maaf, Bapak-Bapak. Saya bukanlah pengacara Bapak. Saya sudah menandatangani kontrak dengan klien lain.” jawabku, singkat.

 

“Klien Bapak hanya penduduk biasa, kan? Tenang saja, Pak. Soal bayaran, kami bisa beri sepuluh kali lipat! Asal Bapak bisa mengalah pada kami!”

 

“Saya tidak peduli berapa yang akan saya dapat, Bapak-Bapak. Prinsip saya tak bisa dibeli dengan uang berapapun juga.” tandasku. Tersenyum simpul. Dingin. Namun aku tahu, mataku tak mungkin mengirimkan sinyal yang sama. Karena mata jendela hati. Dan hatiku kini sedang terbakar amarah. Dihanguskan rasa terhina.

 

“Alah…Sudahlah, Pak! Tidak usah naïf. Percuma Bapak berusaha ‘bersih’ di negeri sekotor ini! Bapak tetap akan jadi kotor!” lelaki bertubuh tambun tergelak.

 

Aku takkan mencabut prinsip yang telah mengakar dalam jiwaku. Bahkan sampai keabadian menemui akhirnya!

 

Dan aku mendengus, “Menurut saya, tak ada kata percuma dalam menegakkan kebenaran. Saya yakin, sebanyak apapun ‘kotoran’, akan dapat dibasmi walau hanya dengan beberapa ‘pembersih’. Siapa yang tahu, bila suatu saat nanti saya dapat membasmi Bap-”

 

“Cukup, Mas!” Mendadak istriku memekik. Airmatanya mulai merembesi pipi.

 

“Kenapa Mas tidak menerima tawaran mereka saja?!”

 

Sesaat aku terperanjat. Tak menyangka istriku akan berkata demikian. “Memangnya kenapa, Dik Dinda? Apa aku harus ikut terjun dalam kesesatan seperti mereka?!” bentakku, mulai tak bisa mengontrol emosi.

 

“Me-menurutku begitu, Mas. Itu akan jadi lebih baik…Untuk kita semua.”

 

Aku menggeleng, tak percaya. Istriku…yang selama ini selalu sejalan dengan prinsipku, mendadak berbalik arah?

 

“Kata-kata istri Anda benar, Pak. Ini untuk kebaikan bersama. Kebaikan kami, dan juga kebaikan Bapak.” sahut salah satu ‘penjahat’ berjas.

 

“Sudahlah!” aku membentak ketiga ‘penjahat’ berjas itu. “Urusan kita sudah selesai. Silakan Anda pergi sekarang juga!”

 

‘Penjahat’ berjas dengan kepala separuh botak menyeringai. “Baiklah. Terima kasih atas penolakan kerjasamanya, bapak pengacara muda. Kami akan mengingat pelajaran yang telah Anda berikan.” ujarnya, dingin. Bangkit. Diikuti dua ‘penjahat’ yang lain. Tanpa diantar, mereka berjalan mendekati pintu. Sebelum mereka melangkahkan kaki ke teras depan, salah satu dari mereka menoleh. Berbicara pada istriku.

 

“Dan ohya, kami belum berterima kasih pada Anda, istri bapak pengacara. Terima kasih atas pembicaraan menyenangkan sebelum suami Anda datang tadi. Kami sangat bahagia dengan respon yang Anda berikan.”

 

***

 

Aku mengerti segalanya. Pada “akhirnya”.

 

Begitu ketiga lelaki itu pulang, aku dan istriku terlibat pertengkaran. Pertengkaran pertama yang terjadi dalam lima bulan pernikahan kita. Dan tentu, aku yang memulainya. Sudah kubilang, akulah penyebab dari semua kekacauan yang terjadi. Akulah “terdakwa” dari segala bencana malam ini.

 

“Ada apa dengan kamu, Dik Dinda? Kenapa tadi kamu bicara seperti itu?!” marahku.

 

“Mas, kamu tidak mengerti apa yang terjadi, Mas! Sungguh, kamu harus ikuti keinginan mereka!” Istriku berucap, agak histeris. Aku menggeleng.

 

“Yang tidak aku mengerti adalah kamu, Dik Dinda! Kamu!”

 

“Benar, Mas! Kamu tidak mengerti! Aku ketakutan! Harusnya kamu menuruti mereka!”

 

“Kenapa aku harus menuruti mereka? Jawab dengan jujur, Dik Dinda! Jangan membuatku bingung seperti ini!”

 

Istriku jatuh terduduk. Bersimpuh di depanku. Tampak kehilangan seluruh tenaganya. Sontak aku berbalik. Sesungguhnya aku tak kuasa melihatnya seperti ini. Aku ingin mendekapnya. Namun sebelum itu, aku harus mendapatkan alasannya. Alasan mengapa ia mau aku terlibat dalam ‘pengkhianatan publik nan biadab’ itu.

 

“Baiklah, aku akan mengakui semua, Mas.” lirih istriku, beberapa menit kemudian. Ia memelukku erat. Menumpahkan airmata ke punggung kemejaku. Ya Tuhan, nyaris tak dapat kubendung inginku untuk memeluknya. Menenggelamkannya dalam rengkuh lenganku. Menenangkannya.

 

“Sebelumnya, kamu ingat, Mas, aku pernah mencintai seorang lelaki. Dengan begitu dalam…”

 

Sepi. Hanya kudengar seduan itu. Dan aku mengerti. Aku ingat.

 

“Dan…Mas ingat, kan, aku rela melakukan apapun untuk lelaki yang kucintai itu?”

 

Hening. Makin nelangsa kudengar ia bicara. Namun aku tetap diam. Memahami.

 

“Dan sebelumnya…Mas mengerti, kan, kalau segala yang kulakukan pada lelaki yang kucintai itu, semata-mata karena aku terlalu mencintainya? Ya kan, Mas?”

 

Senyap. Napasku menyesak mendengar ‘pergolakan batin’ istriku ini. “Ya.” jawabku singkat. Serak. Mendengar itu, tangis istriku menghebat. Ia mendekapku makin kuat. Sementara aku, hanya terdiam. Menghayati elegi yang dilantunkan istriku ke udara. Merasakan apa yang istriku rasa. Menyadari rasa sakit…Sungguh, ini benar-benar sakit…

 

“Maafkan aku, Mas.” bisik istriku. Kucengkeram erat tangan kanannya. Tangan kanan yang menggenggam sebuah gagang pisau. Gagang pisau yang bilahnya telah menembus kulit perutku. Menghujamkan rasa sakit tiada tara ke sekujur tubuhku.

 

“Dik…Dinda…” sengalku, begitu terkejut. Kulihat tangan kami yang saling bertumpuk basah. Basah dengan cairan merah pekat. Aku masih tak bisa percaya, itu adalah darah…darahku?

 

“Maafkan aku, Mas. Aku minta maaf…” istriku berbisik lagi. Aku tak lagi bisa menjawab. Pita suara tak lagi mengijinkanku melontarkan kata. Istriku melepas pegangan tangan kananku. Menarik paksa benda tajam yang telah mengoyak kulit dan dagingku. Menghantamkan sekali lagi rasa sakit luar biasa. Membuatku langsung tersungkur ke dinginnya lantai.

 

“Mas! Ampuni aku!” jerit istriku. Bersimpuh di sisiku. Jantungku memburu. Memompa lebih banyak darah keluar dari lukaku. Oh Tuhan, jika Kau memang ingin menjemputku, berilah aku keterangan atas semua ini terlebih dahulu!

 

“Mas, ampuni aku! A-aku melakukan ini demi Mas…Tiga orang tadi bukan sekedar pengusaha, mereka adalah mafia!”

 

Sesaat aku beku. Berjuang mencerna apa yang baru saja kudengar. Mafia? Jadi…

 

“Se-sebelum Mas datang, mereka sudah membicarakan segalanya! Mulai dari bangkai tikus itu, sampai rencana menghancurkan Mas! Semua skenarionya sudah diatur…” istriku meneruskan pengakuannya. Dengan tertekan. Dalam isakan.

 

“Me-mereka mengancam, jika Mas tak dapat dibujuk untuk memihak mereka, esok mereka akan menghancurkan karir Mas! Mempermalukan Mas di depan publik! Kemudian, setelah Mas merasakan efek fitnah keji itu, mereka…mereka akan menyiksa Mas sampai m-mati…”

 

Dan pertahanan istriku pun runtuh. Tubuhnya terjatuh lunglai diatas dadaku. Disanalah, ia tenggelam. Tenggelam dalam tangis rana. Diraihnya tanganku. Diciumnya berulang kali.

 

“Mas…A-ampuni aku, M-mas…A-aku t-tak punya pilihan lain…A-aku tak mau kau mengikuti kebusukan m-mereka…Namun, a-aku juga t-tak ingin m-mereka m-membunuhmu pelan-pelan…A-apa yang k-kulakukan m-malam ini, adalah untuk menyelamatkanmu dari k-keduanya…”

 

Perlahan, suara istriku menjauh. Menjelma menjadi ucapan lirih yang sarat luka. Kutangkap secuil siluet istriku yang tersedu. Bahunya yang berguncang hebat. Dan rambut hitam yang terurai membingkai wajahnya. Dengan sisa tenaga, kugerakkan tanganku. Coba menyentuhnya .untuk yang terakhir kali. Namun Tuhan, Tuhan…Kupejamkan mata rapat-rapat. Sakit menerjangku semakin dahsyat. Kurasakan genggam istriku melemah. Hingga kemudian…lepas. Membiarkanku mencengkeram erat udara hampa.

 

Dan aku mulai menggigil. Tak lagi bisa kendalikan tubuhku. Oksigen lambat laun enggan memasuki paru-paru. Di sisa-sisa napas finalku, kudengar istriku memekik, “Halo, polisi? saya baru saja membunuh suami saya!”. Dan semuanya hilang. Semuanya selesai.

 

***

 

“Tuhan, maafkan aku…Aku terlalu mencintainya…Ter-la-lu…” Istriku meracau. Masih terus bibirnya berkomat-kamit. Menggumamkan satu kata yang sama. Satu kata yang melukiskan seluruh rasanya. Sekaligus, satu kata yang menghancurkanku; “Aku terlalu mencintainya…”, karena sesungguhnya, ia juga ‘hancur’ melihat ‘kehancuranku’.

 

“Istriku, jangan menangis lagi. Kumohon.” pintaku, tercekat. Bukannya berhenti, istriku malah makin tergugu. Jemariku, yang masih menyisir indah rambutnya, spontan membeku. Aku semakin kelu. Menyadari kalau wanita yang sedari tadi kutenangkan, tak sepercikpun tergugah bujukku. Karena ia tak bisa mendengarku. Takkan lagi bisa.

 

Pilu. Aku pun terpaku. Menatapnya bisu. Satu tanganku mengepal erat. Coba kendalikan emosiku yang berjingkrak liar. Meronta marah. Minta dilampiaskan. Sementara tanganku yang lain, bergerak pelan. Menelusur lembut gerai hitam dihadapku. Gerai hitam yang selalu mempesonaku. Gerai hitam milik…istriku. Dan akhirnya tangisku terpecah. Terlontar sia-sia bersama udara. Karena gerai hitam itu, tak mampu merasakan belaiku. Takkan lagi mampu.

 

Pilu. Paras Dinda, istriku, tertekuk. Ia menunduk dalam. Menatap meja kayu tua, yang permukaannya tampak berbercak-bercak merah. Sisa-sisa tetes darahku. Membasuhnya dengan bulir-bulir sesal dan kepedihan. Sesekali, sengguknya membuncah. Melukai ketenangan yang menguasai udara tengah malam. Sesekali pula, ia mengumpulkan napas panjang. Bak memohon hawa dingin obati infeksi hatinya. Namun percuma. Sekeras apapun ia berusaha, rasa itu tetap mengganjal batinnya. Mencipta bongkah penyesalan yang kian membesar, mengeras, dan menguat di palung lubuknya…

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Who are You?
1396      627     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
Ruang Nostalgia
354      257     1     
Short Story
Jika kita tidak ditakdirkan bersama. Jangan sesali apa pun. Jika tiba-tiba aku menghilang. Jangan bersedih, jangan tangisi aku. Aku tidak pantas kamu tangisi. Tapi satu yang harus kamu tau. Kamu akan selalu di hatiku, menempati ruang khusus di dalam hati. Dan jika rindu itu datang. Temui aku di ruang nostalgia. -Ruang Nostalgia-
Stuck In Memories
15725      3218     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
470      334     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
10 Reasons Why
2458      1069     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
Peneduh dan Penghujan
316      261     1     
Short Story
Bagaimana hujan memotivasi dusta
The War
394      268     1     
Short Story
Advanced intelligent humans came seeking for help to us because of the trouble their having, so the humans helped them and then Advanced intelligent humans came seeking for help to us because of the trouble their having, so the humans helped them and then the war of humans and aliens begin! Who will be the last one standing?
Petualang Sejati
505      364     0     
Short Story
Jauh atau dekat bukan masalah, namun dirimu yang menentukan.
Berguna atau Dimanfaatkan?
4074      1442     6     
Inspirational
Pernah gak sih dalam hidup kita merasa dimanfaatkan? Entah oleh temen deket, oleh atasan di kantor, bahkan mungkin oleh orang terkasih. Well, kalo kamu ngerasa pernah dimanfaatin, mungkin ada baiknya kita simak short story inspirasi (yang agak gagal) ini!
No Escape
438      306     4     
Short Story
They're trapped. They're scared. In the middle of nowhere, Cassie slowly learn how to survive, without water, without nothing. No, she's not the only one. A group of 20 people woke up in a remote island. They must work together to find not only an escape, but their lost memories as well. That, or they perish on a desolate island.