Tidak pernah ada yang mengajariku tentang hidup ini, sebelum aku mengambil saripati-nya sendiri. Ada mengatakan puncak masa remaja adalah Usia 17 tahun- usiaku di tahun depan. Tetapi bahkan fase-fase itu seolah tak pernah sabar untuk mengajariku. Mereka melompat-lompat tanpa kenal berapa usiaku saat itu. Dan sebelum aku benar-benar menjadi remaja dewasa, aku telah banyak mengetahui kehidupan orang-orang dewasa, kehidupan memuakkan mereka lebih tepatnya. Aku seolah melompat dari seorang bayi menjadi dewasa dalam sekejap.
Aku menghampiri Arza dengan segala keraguan di dalam hatiku. Pemuda itu berada di Taman belakang- duduk di bangku dekat kolam renang sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat jelas dari raut wajahnya jika ia tengah memikirkan sesuatu dan aku tidak berani menebaknya. Keputusanku untuk membuka suara adalah seperti mencoba menelan pil-pil antoxida secara bersamaan, itu akan membunuh tubuhku dengan sendirinya. Ibu terkena masalah karena kelakuanku, Sam tidak ingin lagi berbicara denganku dan Arza entah dia mau mendengarkan penjelasanku atau tidak, aku tidak tahu.
Aku beringsut mengambil tempat duduk di sampingnya begitu saja. Dia menoleh sebentar sebelum kembali menatap keposisinya semula. Aku memutar bola mataku beberapa kali untuk mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengannya, tetapi otakku tidak bisa menemukannya. Arza menghembuskan nafas panjangnya tiba-tiba membuatku refleks mengangkat kepala. Kupikir dia hendak mengatakan sesuatu, namun ternyata bibirnya tetap membisu. Dia mungkin mulai tak nyaman dengan keberadaanku dan tak menginginkan kehadiranku.
“Apa aku melakukan kesalahan lagi?” sahutku dengan suara parau. Entah mengapa keadaan yang kupikir membuatku puas ternyata tidak berjalan sesuai ekspetasiku. Arza menarik nafasnya dalam-dalam dan kembali menghembuskannya sebelum menyahutiku.
“Ya!” sahutnya singkat. Kupikir dia akan membenarkan tindakanku tetapi tenyata sebaliknya. Mungkin hanya aku yang tak sadar dengan kesalahanku sendiri. “Keberanianmu tidak pada tempat yang tepat.” penjelasannya kemudian.
Aku mengangkat kembali kepalaku dan menatapnya dari samping. “Lalu kenapa kau berbohong? Kau mengakui sesuatu yang tidak kau perbuat!” aku mencoba membela diriku.
Arza melenggos, “itu memang kewajibanku. Memangnya kenapa?”
“Kewajiban?” nada suaraku mulai meninggi,
“Kewajiban melindungi adikmu dan mengorbankan dirimu sendiri?”
“Ya!” dia kembali menyahutiku dengan kata-kata yang singkat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi.
“Aku tidak mengerti!”
Dia berbalik menatapku dengan tatapan teduh ketika aku telah mengalihkan pandanganku ke tempat yang lain. Ada setetes air yang jatuh di atas rumput, tetesannya memantulkan cahaya dari lampu Taman hingga membuatnya tampak berkilauan. Cahaya membuat sesuatu tampak lebih indah.
“Kau akan mengerti jika yang berada di posisi Dani adalah Sam, adikmu!”
“Tapi aku tidak yakin jika itu alasanmu yang sesungguhnya.” sahutku memotong perkataannya.
“Memangnya menurutmu aku punya alasan lain?”
“Ya!”
Dia menyerah pada jawabanku. Tapi aku terus ingin menggali sesuatu yang ingin kudengar darinya secara langsung meskipun aku telah mengetahuinya. “Kau pernah berkata jika kita memiliki kesamaan. Meski begitu aku tidak cepat memahami ucapanmu itu. Hanya belakangan ini saja aku baru memahaminya.” Aku membalas tatapan Arza dengan keyakinan penuh. Dia adalah cermin diriku, mana mungkin aku membiarkannya berlalu begitu saja.
“Kau dan aku sama-sama membenci kehidupan ini. Jadi alasanmu yang sebenarnya adalah untuk bisa melarikan diri seperti yang kau katakana padaku beberapa hari yang lalu.” Tenggorokanku agak tertahan saat mengatakan kata-kata itu, karena sebenarnya jauh di dalam hatiku aku tak mendukung keinginan Arza untuk pergi dari negara ini. Aku hanya tak yakin jika ia akan menepati janjinya untuk membawaku. Dan untuk pertama kalinya, aku justru berharap terus berada di negara ini setelah mengetahui keinginan Arza tersebut.
Dengan hati-hati bola mata Arza tampak menjelajahi manik-manik mataku. Dia bisa melihat pantulan wajahnya sendiri. Tanpa sadar mataku semakin terasa panas. Arza menarik sedikit lengkungan di bibirnya untuk tersenyum. Senyuman yang terkesan memaksa.
“Akhirnya kau bisa memahamiku! Aku senang…” katanya. Dia mengalihkan pandangan setiap kali berkata lalu kembali menatapku saat giliran aku yang menyahutinya. “Setidaknya aku mulai mempunyai teman yang dapat memahamiku dengan baik.” Lanjutnya.
“Arza!” Aku membantah perkataan Arza karena tahu bahwa ia tengah mengalihkan pembicaraan.
“Kau tidak salah! Aku memang sengaja melakukan agar aku bisa melepaskan diriku dari bayang-bayang ayah. Kau tidak pernah tahu bukan? Alasan dibalik kondisi ibuku yang sebenarnya.” Aku mengikuti kemana arah pembicaraan Arza. Dan setiap dia mulai menceritakan tentang kehidupannya, nada suara laki-laki itu terdengar menyayat hatiku.
“Ayah melarang semua putranya menemui ibu setelah perceraian itu. Menurutnya anak laki-laki lebih baik dibesarkan oleh seorang ayah ketimbang ibunya meskipun hak asuh jatuh ke tangan ibuku. Ayah sengaja membuat ibuku begitu frustasi dan kesepian.” Arza mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan ceritanya. Dia memegang dadanya yang aku tahu pasti terasa sakit. Bagaimana pun dia adalah seorang anak korban perceraian yang memikul beban paling banyak karena usianya yang kala itu sudah cukup dewasa.
“Apa yang terjadi pada ibuku pun semua karena perbuatan ayah. Bukan hanya menyiksanya dengan rasa cemburu tetapi juga melalui putra-putranya. Kondisi ibu sudah lebih baik beberapa tahun terakhir ini, karena aku yang diam-diam mengujunginya tanpa sepengetahuan ayah. Aku ingin membawa ibu pergi dari negara ini seperti yang pernah aku katakan padamu dan langkah pertama yang aku ambil adalah dengan melepaskan diri dari ayah.”
“Jadi kau berpikir jika kau membuat ayahmu kecewa, dia akan melepaskanmu?” aku mengambil kesimpulan dengan sepihak tanpa menunggu Arza menjelasakannya lebih lanjut. Dia tampak tak membantah tebakanku.
“Ayah adalah orang yang menaruh harapan tinggi pada orang-orang yang dipercayainya. Namun jika orang-orang itu mengecewakannya meskipun hanya sekali, maka dia tidak segan-segan untuk menendangnya. Dia tak suka rumput liar diantara tanaman hiasnya karena itu akan merusak tanaman lain yang berusaha dirawatnya dengan baik.”
“Memangnya tidak ada cara yang lain?” aku melenggos,
“Cara apa? Aku justru berterima kasih dengan adanya masalah ini!”
“Maksudku Dani,”
“Apa kau membiarkan menjadi seorang pecundang. Kau adalah kakak tertua yang seharusnya mengajarinya bagaimana bertanggung jawab!”
Arza tiba-tiba tertawa mendengar perkataanku. Dia sengaja mengejekku dengan tawa itu karena aku tahu tidak ada yang lucu diantara pembicaraan kami. “Dani?” dia mengulangi perkataanku.
“Bukankah kau tahu bagaimana sifatnya sejak dulu? Dia masih kekanak-kanakan dan tidak tahu bagaimana bertindak.”
“Tapi bukankah ayah kalian yang akan menanganinya?”
Arza menggeleng, “Aku tidak ingin masalah ini akan mengganggu kondisi psikis Dani, dia sangat muda menyesali perbuatannya dan menyalahkan dirinya sendiri pula.”
“Aku tidak tahu dia seperti itu?” sahutku agak meremehkan. Aku kurang setuju dengan pembelaan Arza. Menurutku Dani tidak akan menyesali perbuatannya.
“Hanya aku yang paling mengerti dirinya!” Arza kembali menarikku pada tatapannya. Dia sudah lebih baik setelah kami membicarakan tentang Dani. Sorot matanya juga tidak lagi sendu seperti saat kami membicarakan tentang ibunya. “Saat masih kecil, dia pernah berulah hingga membuat ibu terpeleset dari atas tangga. Dani tidak mengakui perbuatannya tetapi seminggu kemudian anak itu demam parah hingga dirawat di rumah sakit. Dia memendam rasa bersalahnya hingga menyiksa dirinya sendiri. Dan saat dia berulah dengan menghabiskan makanan yang seharusnya untukmu? Dia juga menyesali perbuatannya padaku sembari menangis malam itu.” cerita Arza panjang lebar.
Aku baru tahu. Aku sungguh baru tahu yang sebenarnya. Tetapi aku tidak benar-benar bisa mempercayai cerita Arza begitu saja. Dani yang aku pikirkan selama ini, dia bocah yang paling nakal diantara ketiga saudaranya bahkan di mataku paling buruk. Dia juga suka mencari gara-gara dengan Sam hingga berkali-kali sering bertengkar dengannya. Aku tidak percaya jika bocah seperti itu masih memiliki rasa bersalah.
“Dani itu si bungsu yang paling tidak tahu apa-apa. Keberadaannya hampir selalu terabaikan apalagi oleh ayah, sehingga dia sangat suka mencari perhatian dari orang-orang sekitarnya mekipun itu dengan cara yang buruk sekalipun. Jadi tidak heran jika dia sering berbuat jail.”
Batang tengggorokanku menjadi kering karena tercekat mendengar pengakuan Arza. Dia menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Bukan hanya tentang kehidupannya saja tetapi juga tentang kehidupan orang-orang di sekitarnya.
“Lalu bagaimana dengan tatapan kalian yang tampak begitu membenci kami. Bukan saja kau atau Dani, Miko bahkan terlihat begitu membenciku. Seolah kalian sangat kompak membenciku dan Sam.”
Arza tertawa renyah lagi. Aku tahu dia hanya memaksanya namun setidaknya itu membuatku bisa melihatnya dengan cara berbeda. Untuk sejenak kami pun kembali melupakan masalah-masalah yang terjadi di sekitar kami.
“Miko? Si pendiam itu?” dia mencibir adiknya sendiri. Itu membuatku tersenyum cangggung.
“Kau bisa mengabaikannya! Satu-satunya kelemahan anak itu adalah perempuan. Dia tidak pernah tega melihat perempuan menderita. Kau bisa melihat bagaimana caranya memperlakukan Jia. Dan bahkan saat kau menderita di rumah kami pun dia yang pertama kali memberitahuku.”
“Memberitahumu? Kenapa?”
“Dia masih punya kepedulian pada orang lain?”
“Memangnya apa yang kau pikirkan tentang kami selama ini? Apa kami terlihat sangat kejam padamu?”
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. “Yah!” jawabku tanpa cangggung. “Kalian bertiga seperti penyiksa. Kau Arza seperti Azazziel; si malaikat maut, lalu Dani seperti Gabriel dan Miko seperti Mikhael jadi aku seperti iblis yang kalian incar di rumah itu.” jawabku terus terang. Arza mengerutkan alisnya bingung.
“Kau terlalu mendramalisir!” tanggapannya sedikit mencibirku. Aku pun menunduk malu. Dia akhirnya mengetahui apa yang selama ini berada di dalam otakku, begitu pula denganku yang mulai memahami sisi lain dari ketiga bersaudara itu.
“Maaf… aku berlebihan menilai kalian.” sesalku dengan mengigit bibir. Arza memandangku hanya sekilas lalu tersenyum miring. “Tidak perlu! Aku juga seperti itu padamu awalnya.” Ucapnya masih berlanjut, “Aku berpikir kau akan sama seperti ibumu tetapi aku salah, sedikitpun kau tidak mirip dengannnya.”
Ucapan Arza masih seperti beberapa waktu yang lalu. Dia rupanya masih mengingat kata yang pernah ia katakan untuk menyakinkanku bahwa dia tidak membenciku seperti yang aku pikirkan. Aku kembali mengulang lembaran-lembaran dari pertama kali bertemu dengannya. Mungkin jika aku bisa memahaminya sebaik hari ini, kami tidak perlu sempat saling membenci satu sama lain apalagi saling menyakiti. Sebelum hari ini dia mungkin menjadi musuh terbesarku namun setelah hari ini siapa yang menyangkah jika ia menjadi satu-satunya yang aku cintai.
“Arza…”
Aku memanggilnya kembali dalam kesunyian malam itu. Kami terdiam cukup lama setelah pembicaraan panjang itu. Hanya berusaha mencari kedamaian masing-masing sebelum aku kembali mengusiknya. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya.
“Bagaimana dengan ayahmu? Apakah aku membuatnya begitu murka?”
Dia tidak langsung menyahutiku, “Kenapa harus kau pikirkan? Aku yang membuatnya marah.”
“Tapi aku membuatnya lebih marah! Aku mendengar pertengkaran mereka tadi.” Aku menyahutinya pelan. Suaraku sedikit tertahan karena sadar seseorang yang tengah kami bicarakan. Arza tidak langsung menanggapinya sehingga aku kembali melanjutkan perkataanku.
“Aku baru sadar siapa yang telah aku lawan!” Dia kembali menatapku sebentar.
“Kau tidak perlu menyesal! Itu adalah tindakan benar. Hanya saja kau harus menyiapkan dirimu sendiri untuk sesuatu yang lebih sulit dari sebelumnya mulai sekarang!”
“Tentang apa? Hidupku sudah sulit selama ini.”
“Beasiswamu!”
Jadi dia tahu jika beasiswaku tidak benar-benar aku dapatkan dari sekolah. Melainkan dari dukungan financial ayahnya yang atas permintaan ibu tak dikatakannya padaku. Aku merasa dibodohi, terutama oleh ibu. Dia membuatku seolah-olah bangga karena aku dapat membiayai pendidikanku sendiri tanpa campur tangan darinya.