Aku berusaha semaksimal mungkin tak terlihat. Yang aku inginkan hanyalah menjalani kehidupan di sekolah baruku dengan tenang, kemudian lulus dan pergi belajar ke luar negeri. Sekolah international mempunyai akses lebih mudah untuk melanjutkan ke universitas di luar negeri dan karena itulah aku mengabaikan tentang keberadaan Arza di sekolah itu. Aku selalu bermimpi untuk melarikan diri dari kehidupan yang aku jalani, menghilang dan tak terlibat sedikitpun dengan kehidupan glamour ibu yang memuakkan.
Aku mengetahui banyak hal yang tak seharusnya diketahui anak seusiaku, sebuah dosa besar yang mungkin akan mendorongku dan ibuku ke dalam lubang neraka yang paling dalam. Hanya saja aku memilih untuk diam dan membiarkannya.
"Hai... namaku Jia…" sapa gadis berambut sepinggang itu, matanya bulat berwarna hazzel dengan kulit tubuh pucat, aku menebak jika salah satu orang tuanya mungkin tak berasal negara ini. Dia tersenyum padaku sembari mengulurkan tangannya. Aku pun ragu untuk menjabat tangannya. Dia seorang yang asing yang bahkan belum kukenal sedikitpun, sementara aku bukan tipe orang yang terbuka pada setiap orang.
"Aku Freya..." sahutku sedikit waspada. Dia hanya tersenyum tipis lalu tanpa basa-basi segera mengambil tempat duduk di depanku, "mulai hari ini kita teman sekelas!" ujarnya lagi padaku. Yang kubalas hanya dengan senyuman miring.
Diam-diam aku mengemati gerak-geriknya dari ekor mataku, dia tampak cukup mencurigakan. Di sekolah ini tidak seorang pun yang mengambil tempat duduk di deretan paling belakang, kecuali seorang pemberontak yang tak terlalu ingin menonjol sepertiku. Sekalipun masih ada beberapa bangku kosong di depan, entah mengapa dia mengambil tempat di depanku.
“Kau tahu, sekolah di negara ini membosankan! Sama seperti sebuah penjara dengan sipir-sipir mata duitan…” curhatnya padaku seolah hendak menjawab pertanyaan di dalam benakku. “Aku terpaksa memilih sekolah ini karena itu aku tak diterima di luar negeri.”
Dia benar-benar telah menjawab semua pertanyaanku tanpa aku harus mengutarakannya. Gadis itu agaknya cukup terbuka pada semua orang hingga dia tak segan-segan menceritakan apa yang dialaminya pada orang yang bahkan baru dikenalnya sekalipun.
“Kalau kau! Apa kau menyukai sekolah sampah ini?” Tanya balik padaku sembari menoleh. Aku pun sontak mengalihkan pandanganku. Jika aku boleh jujur, aku sangat menginginkan berada di sekolah ini. Bagi seorang siswa biasa sepertiku dengan background pendidikan dari sekolah negeri yang terpencil, dapat berada di sekolah elit ini merupakan suatu kebanggaan. Namun tujuan utamaku tetaplah satu yaitu mencari batu loncatan untuk segera meninggalkan negara ini. Jadi aku tak ingin satu pun orang mengetahui seberapa udiknya diriku sebenarnya.
Aku tak sempat menjawab pertanyaan gadis bernama Jia itu karena seketika itu keributan terjadi di kelas kami. "Akhhh... lihat itu Arza!" teriak beberapa gadis di ruang kelasku saat melihat Arza berjalan di koridor sekolah. Mereka semua berlari mendekati pintu dan jendela kaca di kelas untuk menunggu laki-laki itu lewat. Aku dan Jia ikut mengalihkan pandangan ke luar kelas namun kami berdua tak tertarik sedikit pun untuk mengikuti gerombolan gadis-gadis itu.
Arza berjalan dengan beberapa temannya melintasi ruang kelasku. Dia berhenti sejenak tepat di sebelah pintu lalu sedikit melirik ke arahku. Aku pun mengalihkan pandangan seketika. Meski kami tinggal di rumah yang sama selama lebih dari empat tahun namun aku dan dia tetaplah orang asing. Kami bahkan tak pernah berbicara satu sama lain selama itu. Ku dengar langkah kaki itu semakin mendekat dan suara para gadis itu semakin memenuhi gendang telingaku. Dia; Arza tiba-tiba saja telah sampai di hadapanku, entah sejak kapan.
“Kau rupanya di kelas ini?” ujarnya padaku sembari mengantongi kedua tanganya. “Aku harap kau bisa belajar dengan baik, seperti yang diharapkan ibumu!” lanjutnya lagi kali ini salah satu tangannya memegang puncak kepalaku dan mengacaknya pelan.
Perkataan apa itu? Aku hampir tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Aku membeku begitu saja saat tangannya menyetuh puncak kepalaku. Dia bahkan tersenyum. Hal yang tak pernah dia lakukan selama kami tinggal satu rumah. Beberapa gadis di kelas pun menjerit, ada pula yang berbisik-bisik tentangku. Mereka mungkin mengumpat di dalam hati dan bahkan tak segan-segan ingin membunuhku jika tahu siapa diriku yang sebenarnya.
Aku memberanikan diri menatap mata Arza; mengungkap tatapan matanya yang mungkin menyimpan maksud tersendiri. Tatapan matanya tenang dengan retina berwarna coklat, hidungnya mancung dan terlihat kaku dengan garis senyuman itu. Aku melihat begitu banyak dan bahkan ribuan jarum yang siap menghunus di balik senyumannya dan dibalik mata coklatnya. Dia hanya belum menghunuskannya saja, mungkin menunggu saat yang tepat.
Lututku sedikit demi sedikit melemah seiring dengan perginya laki-laki itu. Dia kembali pada teman-temannya yang menunggu di luar tanpa berbicara panjang. Seolah dia memang sengaja meninggalkan seribu satu pertanyaan di benak semua orang tentang diriku. Dengan begitu orang-orang itu akan mengetahui siapa diriku dan siapa ibuku sebenarnya. “Kau dekat dengan Arza? Apakah kau saudara tirinya yang tinggal se-rumah dengannya itu? Pasti menyenangkan, gadis-gadis di kelas ini akan iri denganmu!" gadis bernama Jia itu kembali membuka percakapan diantara kami. Aku dengan cepat menggeleng untuk menolak keras perkataannya,
“Tidak! Itu tidak seperti apa yang kau pikirkan!”
“Kenapa memangnya? Kau seperti tidak menyukainya” tanyanya lagi. Namun aku tak berminat sedikitpun untuk menjelaskannya, itu hanya rahasiaku dengan diriku sendiri tentang bagaimana Arza yang sebenarnya. “Asal kau tahu saja, aku juga tidak suka padanya! Laki-laki sombong sepertinya." sahut gadis itu lagi yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Dia gadis pertama yang pernah aku temui yang mengatakan dengan tegas bahwa dia tak menyukai Arza sepertiku. Aku tidak terlalu menyukai dirinya secara fisik namun entah mengapa aku sedikit merasa tertolong dengan keberadaannya. Mungkin kami bisa berteman baik.
Aku selalu ingat saat bermain catur dengan ayah dahulu. Aku selalu meminta bidak berwarna putih, alasannya karena aku selalu mengganggap kebaikan itu identik dengan warna putih. Namun apa yang aku sadari beberapa tahun terakhir ini adalah tentang makna warna dalam papan catur itu. Warnanya tidak selalu putih dan sekalipun aku adalah bidak berwarna putih, aku tetap sesekali menginjak kotak berwarna hitam. Jadi sekalipun aku menjadi orang baik, tidak berarti aku tidak akan pernah melakukan dosa sedikitpun. Itu yang aku ingat dari kata-kata ayah.